Nadira -6-
YANG BELOM FOLLOW, AYO DIFOLLOW. BIAR MISS KELIATAN BANYAK TEMENNYA GITU.
Nungguin yaaaa??
Semoga suka yaaa.
Selamat membaca.
Jangan lupa baca bismillah dulu.
Supaya terhindar dari rasa kesal ingin mengumpat.
Hahahhah
Tandain ya TYPOnya
padahal nggak tau kapan mau revisinya.
tandain aja dulu deh.
Happy reading. Enjoy!
Sejak hari itu, Magenta tak lagi menghubungiku. Bahkan, pesan-pesan yang kukirim, tak ada satupun yang dibalasnya. Empat hari. Sudah empat hari kami tidak berkomunikasi seperti biasanya. Padahal, biasanya dia selalu meneleponku setiap waktu untuk memastikan keadaanku. Masih kuingat pesan terakhir yang kukirim padanya.
"Nta, kenapa nggak ada satupun WAku yang kamu bales?"
Ada rasa aneh di hati ini setiap kali kutengok pesan terakhir yang kukirim padanya. Centang dua, dan berwarna biru. Bahkan, selalu kusempatkan untuk mengecek "last seen-nya". Merasa diabaikan.
Udah lupa kapan terakhir gue ngerasa nggak enak kayak gini karena WA nggak dibales sama cowok.
"Kayaknya aku dateng di waktu yang nggak pas. Aku ganggu ya?"
Dan hari ini, setelah beberapa hari tak ada kabar. Dia muncul di depanku. Masih dengan setelan jas lengkap. Tak kulihat mobilnya terparkir di depan rumah seperti biasanya setiap kali menjemputku.
Aku yang baru saja keluar dari mobil Mas Barra dengan menenteng banyak barang bawaan merasa terkejut dengan kehadirannya. Merasa tambah tidak enak karena Mas Barra yang mengantarkanku pulang. Kuembuskan napas untuk menenangkan irama jantungku.
"Nta, kok kamu ada di sini?" tanyaku sambil berjalan mendekatinya, dan meninggalkan Mas Barra di belakang.
"Kamu kaget, Dir?" jawabnya. "Seharusnya aku nggak usah ke sini, kayaknya."
Mas Barra seketika berjalan mendekat ke arah kami berdua. "Udah lama, Ta?"
"Lumayan ngasih lo waktu untuk memulai pertandingan kayaknya."
"Magenta." Kutinggikan nada bicaraku.
"Aku pamit ya, Dir. Maaf udah ganggu kalian." Magenta kemudian berjalan entah menyusuri jalan besar di depan rumah.
"Om boleh pulang. Makasih ya karena udah anter aku pulang." Buru-buru kukejar Magenta yang sudah semakin menjauh. Langkahnya begitu lebar. Sulit untukku menjangkaunya.
Dengan napas terengah dan detak jantung yang cepat karena berlari, aku berusaha menjangkau Magenta.
Ya ampun. Iseng banget ini. Jalanan sepi banget. Mana harus banget lewat rumah kosong pula.
"MAGENTA!" Kukerahkan semua kemampuanku untuk memanggilnya yang ada kurang lebih 100 meter di depanku. Dia tidak menengok dan masih terus berjalan.
"MAGENTA!! KAMU BUDEK ATAU SENGAJA BUDEK?" Masih kucoba untuk berteriak sambil berjalan setengah cepat.
"MAGENTA!!! OKE, AKU PULANG!" Kuputuskan berbalik badan dan kembali ke rumah. Ini sudah malam. Ditambah suasana jalanan yang sudah sepi membuatku merasa "iseng".
Sekitar 2 meter kususuri jalanan, aku merasa ada yang berjalan mendekatiku. Merasa takut, kutambah kecepatan. Ketakutanku bertambah saat kurasakan sebuah tangan besar meraih pundakku. Kuputuskan untuk segera berlari.
Baru saja bersiap untuk berlari, kurasakan seseorang mendekapku dengan sangat kencang dari belakang. Deru napasnya yang terengah-engah dan detak jantungnya yang cepat bisa kurasakan di punggungku.
"Ini aku."
Suara itu. Ada rasa aneh yang hinggap saat ini. Aneh.
Segera kubalikkan badanku menghadapnya. Magenta terlihat sedang mengatur napasnya agar kembali normal.
"Aku panggilin kamu berkali-kali. Kenapa kamu nggak nyaut?" ucapku. Magenta terdiam. "Kamu sengaja?"
"Maaf."
"Aku ngos-ngosan ngejar kamu. Kaki kamu tuh panjang, Nta. Satu langkah kamu itu, lima langkah kakiku."
"Sekarang aku udah di sini."
"Ngapain?" ucapku sinis.
"Maksud kamu?"
"Iya. Ngapain kamu di sini? Berhari-hari kamu nggak bales WAku. Padahal kamu online."
Dira! Keceplosan kan.
"Maaf," ucapnya pelan. "Kamu stalk aku, ya?"
"Untuk apa?"
"Iya iya. Kamu nggak stalk aku. Akunya aja yang keGRan."
"Kamu kemana 4 hari ini?"tanyaku.
"Kerja."
"Sampe nggak sempet bales WAku?"
"Bukan begitu," kilahnya.
"Aku khawatir sama kamu. Kamu tau nggak? Terakhir kita bicara waktu kamu anter aku pulang malem itu. Aku takut kamu ngelakuin hal yang nggak-nggak waktu ketemu sama Om Barra." Air mataku menetes perlahan tanpa izin. Magenta mengusap bulir yang menetes dengan telapak tangannya. "Tangan kamu bersih kan?"
"Bekas cebok tadi, Dir," ucapnya kesal.
Ucapannya membuatku tertawa. Aku tahu dia hanya bercanda.
"Lagian kamu sempet-sempetnya nanya tanganku bersih atau nggak. Bikin suasana jadi nggak romantis, tau nggak?" ucapnya.
"Aku serius. Aku khawatir. Aku ngebayangin kalo muka kamu bakalan memar-memar karena berantem sama Om Barra."
"Dir, aku sama Barra bukan anak SMA lagi. Yang ngerebutin satu cewek pake cara tonjok-tonjokkan di gang sepi," ucapnya.
"Terus?" tanyaku.
"Apanya?"
"Kelanjutannya."
"Aku terima permintaan Barra. Bersaing secara sehat."
"Nta! Ngapain sih. Aku nggak mau orang lain berpikiran yang nggak-nggak. Aku nggak mau cuma karena aku hubungan kalian jadi nggak baik."
"Kenapa mikir kayak begitu?" ucapnya.
"Aku nggak mau besar kepala karena ngerasa direbutin sama kalian berdua."
"Kenyataannya emang begitu, Dir. Aku sama dia emang lagi ngerebutin kamu. Paham kan sampe sini?"
Ya ampun. Raisa bukan. Kendall Jenner juga bukan. Kenapa gue harus ada di keadaan nggak ngenakkin kayak begini sih? Rumit banget hidup gue.
"Aku nggak sebegitunya sampe harus direbutin sama kalian, kan."
"Aku pernah bilang kan kalo kamu itu sangat pantas untuk diperjuangkan?"
Ada gelenyar hangat yang kurasa untuk kali kedua. Pertama, saat dia mengucapkan kalimat ini di warung nasi goreng malam itu. Kedua, malam ini.
"Dir, tetap di posisimu ya. Aku mohon," pintanya.
"Maksud kamu?" tanyaku bingung.
"Tetap di posisi kamu. Kayak sekarang. Sampe saatnya tiba, nanti. Saat dimana kamu harus memilih salah satu di antara kami."
"Boleh aku aja yang mundur dan membiarkan kalian menemukan perempuan yang jauh lebih baik dibanding aku?" ucapku. Magenta menggeleng.
"Untukku, you're the best. Aku akan berusaha sebaik yang aku bisa. Tapi, kalo memang kamu bukan jodohku, aku terima."
"Terus kenapa 4 hari ini kamu nggak ada kabar sama sekali?" tanyaku.
"Aku butuh waktu. Aku coba menyibukkan diri dengan kerja. Untuk mengalihkan perhatianku, aku sampe minta Ayahku yang kirim aku sebagai delegasi dari perusahaan kami ke Jepang untuk cari investor pembangunan StarPark di pulau lain. Padahal, StarPark itu bukan tanggung jawabku. Melainkan tanggung jawabnya Rizki, adik iparku."
"Sampe nggak bales WAku?"
"Iya. Kan ceritanya nyari pengalihan, Dir. Kalo begitu, ya aku bakalan tetep kepikiran kamu dong. Buat apa aku jauh-jauh ke Jepang?"
"Terus? Usaha pengalihannya berhasil?" tanyaku. Magenta menggeleng.
"Nggak. Kayaknya kamu udah tertanam di otakku. Itu kenapa aku harus berusaha sebaik mungkin."
"Aku minta maaf ya. Karena aku kamu jadi ada di situasi kayak begini. Aku yang nggak berani memberikan status di hubungan ini. Sampe akhirnya menggeret-geret kamu."
"Hstttt. Nggak. Aku cuma minta satu. Kamu tetap di posisi kamu. Nanti, jika waktunya tiba kamu pakai hati kamu, ya. Seandainya kamu nggak memilih aku pun, aku nggak masalah. Buat aku, yang penting kamu bahagia. Meski bahagianya bukan sama aku." Magenta meletakkan kedua telapak tangannya di bahuku.
"Tapi, keadaan nggak akan baik-baik ja setelahnya, Nta. Pahitnya, bakalan ada pertemanan yang hancur. Itu bukan berita yang bagus kan, Nta?"
"Itu udah resikonya, Dir. Kamu tau kan kalo kami kaum laki-laki punya ego yang tinggi?" ucapnya. Aku mengangguk. "Nah, saat ego kami tersentil, saat itulah kami dipaksa untuk menjaga harga diri. Dengan mengiyakan permintaan Barra, aku sedang berusaha menjaga harga diriku, dan melindungi apa yang mungkin nantinya akan jadi milikku."
"Meski kehilangan teman sekalipun?" sahutku.
"That's the worst thing. Tapi, kalo masing-masing dari kami nantinya tetap bisa berpikir jernih walaupun pernah ada pertarungan sengit di antara kami, kami akan tetap bisa berteman. Walau..."
"Walau?"
"Walau harus rela melihat salah satu dari kami bahagia, karena kamu."
"Magenta..."
"Aku suka setiap kali kamu sebut namaku. Padahal, asal kamu tau. Aku nggak suka dengan nama itu."
"Kenapa? Nama kamu bagus. Aku suka."
"Okay. Mulai hari ini, aku akan suka namaku. Karena kamu." Magenta meraih tanganku. "Sambil jalan pulang yuk. Udah malem."
Kami berjalan sambil bergandengan tangan. Berjalan pelan melalui beberapa rumah.
"Dira, aku tau kenapa Tuhan menakdirkan hubungan ini tanpa status. Karena Tuhan mau sedikit bermain-main sama kita. Aku semakin nggak sabar nunggu kejutan-kejutan dari-Nya."
"Kamu ke rumahku kok nggak bilang sama aku?" tanyaku.
"Kata siapa?" sahutnya. "Aku udah bolak-balik coba telepon kamu. Via WA sampe telepon pake pulsa. Tapi, nggak bisa. Makanya, aku langsung ke sini setelah dari bandara."
"Maaf. Nomerku hangus. Aku lupa isi pulsa. Tadi, aku dianter Om Barra pulang sekalian beli nomer baru. Aku juga belum isi paketan internet."
"Aku ke rumah kamu cuma ada Bude Ros. Papa sama Mama kamu belum pulang. Kata Bude, kamu nggak bawa mobil. Tadinya aku mau minta supirku untuk jemput kamu di Lenggah. Tapi, pas aku telepon ke sana, karyawan kamu bilang kalo kamu udah pulang. Dia juga bilang kalo kamu pulang dianter sama Barra."
"Terus, supir kamu mana?" tanyaku.
"Ya aku suruh pulang. Ini udah melebihi jam kerjanya dia."
"Kamu pulangnya gimana?"
"Apa gunanya aplikasi ojek online sih, Dir?"
Sesampainya kami di depan rumah, kulihat mobil Mas Barra masih terparkir di luar pagar. Menyadari kehadiranku dan Magenta dari spion, Mas Barra yang duduk di kursi pengemudi dengan jendela depan yang terbuka segera keluar dan membanting pintu mobilnya kasar. Mas Barra berjalan setengah cepat ke arahku dan Magenta.
Bughhhhh.
"Ini yang namanya bersaing secara sehat?" ucapnya kencang.
Aku membeku.
Magenta terhuyung. Genggaman tangan kami terlepas.
"Lo gila?" ucap Magenta. "Salah gue apa?"
Mas Barra kembali menghampiri Magenta yang terhuyung. Diraihnya kerah kemeja Magenta yang satu kancingnya sudah terlepas. Satu tinju berhasil kembali mendarat.
"Om! Jangan gila!"
"Apa maksud lo kayak begini?" ucap Mas Barra.
Magenta berusaha untuk berdiri dengan susah payah.
"Bales gue, Ta. Bales. Waktu itu lo bilang ini bukan cara orang dewasa nyelesein masalah, kan? Tapi, lo maksa gue untuk menyelesaikannya dengan cara ini."
"Barr, sekali gue bales, lo bakalan mati."
Mas Barra bersiap untuk melayangkan tinjunya ke arah Magenta, lagi. Refleksku berlari ke arah mereka berdua.
Dan...
"Dir, a-aku nggak bermaksud..."
"Setan lo, Barr!" Kulihat dengan brutalnya Magenta menghajar Mas Barra. Aku hanya bisa terduduk di tanah. Kakiku lemas.
Pertengkaran mereka berdua mengundang beberapa tetangga keluar rumah dan berkerumun. Bude Ros juga keluar dari rumah.
"Astagfirullah. Dek, kamu kenapa?"
Tak kuhiraukan pertanyaan Bude Ros. Rasa sakit yang kurasakan di pelipisku pun juga tak terasa. Fokusku masih ke arah dua orang yang tengah baku hantam di hadapanku.
"Setan lo! Mati lo malem ini! Nggak akan ada yang namanya persaingan secara sehat lagi!" Magenta berubah menjadi sangat beringas. Mas Barra terlihat sudah sangat kepayahan.
Beberapa tetangga mencoba untuk melerai keduanya. Beberapa mencoba memegangi Magenta yang masih diliputi amarah. Dan, beberapa mencoba melindungi Mas Barra yang sudah ambruk.
Magenta melepaskan dirinya dari kungkungan para tetangga yang memeganginya. Dia berlari ke arahku yang masih terduduk di tanah dengan Bude Ros di sampingku.
"Kamu nggak apa-apa? Kita ke rumah sakit, ya!" ucapnya. Kugelengkan kepalaku. Magenta mengusap pelipisku dengan ibu jarinya. "Kita ke dokter."
Kutatap wajahnya yang sudah penuh dengan memar dan darah yang mengalir dari luka di ujung bibirnya. Tak lama, pandanganku menggelap.
💋
Kubuka mataku. Masih kurasakan rasa sakit di bagian pelipis sampai pipi kiriku. Magenta, sosok pertama yang kulihat saat mataku benar-benar terbuka sempurna. Wajahnya kacau, dengan luka memar yang sudah mulai membiru di sana-sini.
"Kamu udah bangun, Dir? Aku panggil dokter, ya?" ucapnya dengan nada khawatir. Kugelengkan kepalaku.
"Nggak usah. Aku nggak apa-apa. Ini di rumah sakit, ya?" ucapku.
"Iya. Kamu pingsan tadi. Aku langsung bawa kamu ke sini."
"Kayaknya aku lama juga ya tidurnya?"
"Tiga jam. Kenapa kamu lakuin itu, Dir?"
"Aku nggak mau kalian saling pukul. Terlebih, tiba-tiba dia mukulin kamu. Aku nggak bisa liat kamu kayak tadi."
"Tapi, kamu jadi begini."
"Aku nggak apa-apa. Kamu gimana? Udah diobatin sama dokter?" tanyaku. Kutelusuri wajahnya yang penuh memar dengan telapak tanganku. Magenta meraih telapak tanganku dan menahannya di pipinya.
"Nggak usah pikirin aku. Gara-gara aku kamu jadi begini."
"Om Barra gimana?"
"Masih sempet kamu tanya keadaan dia?" ucapnya.
"Dia dirawat juga?" tanyaku. Magenta menggeleng.
"Dia dianter ke rumah sakit lain sama beberapa tetangga kamu dan petugas keamanan komplek."
"Kalian nambah masalah baru," sahutku.
"Maksud kamu?"
"Dengan kejadian ini, mustahil Papa sama Mama nggak akan tau. Ditambah ada beberapa tetangga deket rumah yang nonton."
"Kamu tenang aja. Aku udah minta Bude Ros hubungi Papa Mama kamu. Mereka sedang dalam perjalanan ke sini."
"Aku harus jawab apa kalo Papa sama Mama tanya tentang masalah ini?" ucapku.
"Hey, kamu nggak sendiri. Ada aku di sini. Kita selesein bareng-bareng, ya."
"Bakalan rumit," sahutku.
"Aku tau. Sekarang, kami istirahat. Dokter bilang, kita butuh CT Scan untuk memastikan kalo kamu nggak kenapa-kenapa."
"Kayaknya kamu deh yang lebih butuh CT Scan," ucapku.
"Aku nggak apa-apa. Kalopun iya, aku bakal ngelakuinnya setelah aku yakin kamu nggak kenapa-kenapa. Aku janji."
Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 2 pagi. Magenta yang tidur sambil terduduk di sebelahku terbangun. Dia berjalan ke arah kamar mandi.
"Aku tahajjud dulu ya, Dir. Kamu tidur lagi aja. Masih malem. Mungkin, Papa sama Mama kamu masih di jalan. Cirebon itu lumayan jauh kalo ditempuh lewat jalur darat."
Aku tidak mengikuti keinginannya untuk tidur. Kuamati dia yang tengah menikmati qiyamul lailnya dengan sangat khusyuk. Setelah selesai menunaikan ibadah malamnya, Magenta kembali duduk di sebelah ranjangku.
"Maaf ya. Kamu harus lihat aku kayak tadi," ucapnya.
"Nggak apa-apa. Walaupun sedikit kaget."
"Dir, kita jalani hubungan ini dengan status, ya."
-to be continued-
I want to be a fakboi..
I want to be a fakboi..
Yuhuuuu
Aye aye.
Akhirnya jotos jotosan.
Elegantnya bentaran doang
Hihiwwww.
Kapal siapa yang masih berlayar????
Suka nggak?
Deg-degan nggak?
Kesel nggak?
Kaget nggak?
Huwaaaa.
Miss kejam banget nggak sih? 😭
Sampai jumpa di chapter selanjutnya yaaaa.
Miss sayang kalian banyak-banyak. 💋💋💋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top