Nadira -4-
Happy reading ya.
Kalo ada typo, tolong ditandain.
Makasih semuanya. ❤❤❤
"Nta, macet banget ya ke sini?" tanyaku sesaat setelah melihat Magenta turun dari mobilnya. Magenta menenteng 2 plastik putih di kedua tangannya.
"Macetnya parah, sih. Mungkin karena weekend. Oh, iya. Ini buat tambahan makanan, ya." Kuintip isi di dalam plastik bening bertuliskan nsma sebuah bakery terkenal yang dibawanya. Wah, mahal nih...mahal.
"Kamu pake bawa-bawa segala, Nta. Kan jadi ngerepotin." Aku mulai mengeluarkan jurus berbasa-basi andalanku.
"Lebay deh. Ada kue kesukaan kamu juga di dalamnya. Mendingan kamu umpetin deh. Nanti nggak kebagian." Magenta tertawa.
Seriusan ada kue sus yang dalemnya pake creamcheese filling???
"Yaudah. Nanti aku minta dibeliin lagi sama kamu," sahutku. Magenta mengganguk-anggukkan kepalanya. "Yaudah masuk yuk. Udah adzan."
Kupimpin jalan menuju ke kamar mandi. Karena waktu sholat sudah hampir dimulai, aku belum memperkenalkan Magenta pada orang-orang yang kami lewati. Magenta berjalan sambil sesekali membungkukkan saat melewati ruang tengah. Mama, Kak Nadia dan yang lainnya melempar pandang ke arahku. Dan hanya kurespon dengan anggukkan kecil.
"Nta, ambil wudhu di sebelah sana ya," ucapku.
Belum sempat Magenta masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, Mas Barra keluar sambil menggandeng Zayyan. Magenta terlihat terkejut melihat keberadaan Mas Barra.
"Barr? Kok ada lo di sini?" tanya Magenta bingung.
Mas Barra hanya tersenyum menanggapinya. Segera dia menghampiri dan menepuk pundak Magenta. "Sana wudhu dulu. Udah mau iqomat."
Di ruang depan, semua sudah siap untuk menunaikan sholat Isya.
"Ayo, siapa yang mau jadi imamnya?" ucap Papa.
"Kamu aja, Har," sahut Pakde Yoga.
"Biar yang muda-muda aja ya, Mas. Deka jadi imam ya?" ucap Papa. Mas Deka menggeleng menolak.
"Mohon maaf, kalo semua nggak keberatan, izinkan saya jadi imamnya."
Magenta?
"Oh, boleh. Silahkan," sahut Papa.
Ada perasaan sejuk saat mendengarnya mengajukan diri menjadi imam sholat malam ini. Tanpa kusadari, senyuman tipis terukir di wajahku. Sialnya, orang yang menangkap senyuman itu adalah kakak perempuanku sendiri.
"Senyum terus, Dir."
"Bawel lo. Sholat," ucapku kesal.
Magenta tak hanya mengimami sholat Isya berjamaah kali ini. Tapi, dia juga memimpin doa dan dzikir sesudah sholat.
Selesai sholat Isya, para laki-laki duduk di ruang depan untuk bergabung dengan para tetangga yang diundang. Sedangkan, para perempuan kembali duduk di ruang tengah sembari menyiapkan suguhan di piring yang disajikan setelah pengajian nantinya.
"Dek, risolnya setiap piring kasih 3, ya." Mama memintaku untuk menata makanan di setiap piring. Ada begitu banyak kue di hadapanku. "Itu temen kamu?"
Pertanyaan Mama membuatku yang sedang menata risol di piring-piring berhenti seketika. "Iya, Ma."
"Pacar?" tanya Mama. Aku menggeleng. "Kok?"
"Temen. Tapi deket."
"Ada rencana ke jenjang yang serius?" cecar Mama.
"Ih, Mama. Nanya apaan sih?" ucapku.
"Realistis aja, dek. Kalo nggak ada masa depan hubungan ngapain. Buang-buang waktu. Kamu udah nggak muda lagi, lho."
"Ih, si Mama jahat banget ngomongnya. Doain aja ya, Ma."
"Kamu sama dia seumuran, kan?" tanya Mama. Aku menggeleng. "Tuaan kamu?"
Ih, ini nenek-nenek sembarangan banget ahelah.
"Ya nggak lah, Ma. Tuaan dia. Kita beda umur 5 tahun, Ma." Mama melongo mendengarjan ucapanku.
"Seriusan? Kok nggak keliatan kayak umur segitu. Apa kamunya aja ya yang mukanya boros." Mama terkekeh.
"Mama ih."
"Nanti setelah acara, jangan boleh pulang dulu. Ngobrol-ngobrol dulu sama kita-kita. Mumpung formasi lengkap," pesan Mama.
"Perasaan Dira nggak enak. Asal jangan ngobrol yang macem-macem aja ya, Ma."
Acara selesai. Dan hatiku semakin tak karuan. Tak karuan mrmikirkan apa yang kan terjadi selanjutnya. Aku sungguh tidak bisa santai. Ini darurat bahaya. Ditambah, sepupuku yang mulutnya sepedas sambal ada di sini. Masih teringat beberapa tahun yang lalu saat dia melontarkan ide gila. Dan bodohnya dengan santainya pula aku kutanggapi ide itu dengan sangat positif. Bodoh.
"Nta, nggak langsung pulang, kan?" ucapku. Magenta menggeleng.
"Nggak, kok. Kenapa? Kamu kangen sama aku?" sahutnya.
"Ih apaan deh. Mama bilang, mau ngobrol-ngobrol dulu sama kamu. Tapi, kalo kamu nggak bisa ya nggak apa-apa," ucapku.
"Kamu bercanda, Dir?" tanyanya. Aku menggeleng. "Semacam interview sama calon mertua gitu, Dir?"
"Bahkan, bisa lebih buruk, Nta. Keluarga besar mungkin ikut nimbrung,"
💋
"Pa...Ma...semuanya, kenalin ini temen Dira. Namanya Genta." Kuperkenalkan Magenta di hadapan seluruh keluarga besarku. Magenta berdiri dan menyalami mereka satu per satu.
"Silahkan duduk, Genta," ucap Papa. "Sudah lama kenal Dira?"
"Baru satu bulan ini, Om. Kebetulan Nadira sahabat dari sepupu saya, Tania."
"Oh, Genta sepupunya Tania?" tanya Mama. Magenta mengangguk.
"Kalau kami semua boleh tau, sudah sedekat apa hubungan Genta dengan Nadira?"
"Papa..." ucapku. Magenta melirikku dan menganggukkan kepalanya pelan.
"Saya dengan Nadira sepakat untuk mengikuti arah takdir, Om. Jujur, saya pribadi berharap hubungan ini bisa ke tahap selanjutnya. Semua ada di tangan Nadira," ucap Magenta.
"Kami selaku orangtua Nadira hanya bisa mendoakan dan mendukung. Selama ini baik, kami akan dukung," ucap Papa.
Satu.
Dua.
Tiga.
"Wah, lo nggak jadi dapet Om Barra dong, Dir!"
Setan!
Magenta menatapku dengan pandangan bingungnya.
"Om?" ucapnya tanpa suara ke arahku. Kuanggukkan kepalaku mengiyakan. "Om Barra?"
"Iya, Genta. Barra ini Omnya Nadira. Suami dari almarhumah adiknya Tante," ucap Mama.
"Kok lo nggak cerita sama gue Barr?" tanya Magenta.
"Belum," sahut Mas Barra. "Belum sempet. Waktu itu, lo terlalu excited banget. Dan gue, buru-buru pulang karena udah ada janji sama Zayyan"
"Kita kan sering ketemu," sahut Magenta.
"Kalo lo dengernya dari gue, nggak akan jadi kejutan."
"Kalian saling kenal?" tanya Papa.
"Kebetulan acaraku ditayangkan di stasiun TV milik Magenta, Mas." Semua yang ada di ruang tengah melongo mendengan ucapan Mas Barra.
"Kamu yang punya Transtar Media, Genta?" tanya Mama.
"Lebih tepatnya orangtua saya, Tan. Saya hanya meneruskan bisnis mereka, karena mereka sudah mulai sepuh untuk mengurus semuanya sendiri. Saya beserta kakak dan adik saya yang mengambil alih kepemimpinan usaha."
Semua orang tampak menganggukkan kepala.
"Ayo...ayo dicicipi kuenya. Dek, ajak Genta makan dulu," ucap Mama. Aku mengangguk.
"Makan dulu ya, Nta. Kamu belum makan, kan?" tanyaku. Magenta mengangguk. "Ke ruang makan yuk!"
Di ruang makan, hanya ada aku dan Magenta.
"Sedikit banget makannya. Nggak kayak biasanya," ucapku.
"Ini cukup," jawabnya singkat.
"Kamu kenapa?" tanyaku.
"Nggak apa-apa."
"Beneran?"
"Tadi, maksudnya kamu nggak jadi dapetin Barra apa?" tanyanya.
"Oh, itu. Itu cuma guyonan beberapa tahun yang lalu. Yang ngomong itu kakak sepupuku. Namanya Mas Deka. Dulu, dia yang punya ide jodohin aku sama Kak Nadia ke Om Barra sama Mas Abi yang saat itu statusnya Om kita."
"Mas Abi sempet jadi Om kalian?" tanyanya.
"Iya. Beberapa hari. Istrinya meninggal kecelakaan. Sampe akhirnya dia nikah sama Kak Nadia," ucapku.
"Kamu sama Barra?" tanyanya. Aku terdiam. "Kamu sama Barra gimana? Pernah ada hubunga?"
"Nanti kita bahas lagi. Sekarang kamu makan dulu," ucapku.
"Ini belum selesai ya, Dir. Kamu punya utang 1 penjelasan ke aku. Kalo kamu mau maju sama aku, kita harus saling terbuka. Aku akan terbuka sama kamu, Dir."
Ucapannya sukses membuatku terbungkam. Magenta serius. Sangat serius. Haruskah aku menceritakan semuanya?
"Walaupun hubungan kita masih begini, kalo kamu minta aku untuk seriusin kamu, aku bakalan lakuin itu. Gimana, Dir?"
"Kita jalani dulu ya, Nta. Jujur, aku masih keinget sama hubungan sebelumnya. Kalo kamu liat aku sesantai ini, itu salah satu caraku untuk ngelupain yang lalu. Aku masih harus memastikan."
"Memastikan apa, Dir?" tanya Magenta.
"Memastikan kalo kamu beda sama dia."
"Dia siapa?"
"Nanti. Aku akan cerita. Nanti, ya."
Kami makan dalam diam. Magenta tak banyak mengeluarkan suara. Sesekali dia hanya bergumam memecah keheningan.
"Bahkan pertemua pertama kita kamu nggak sediem ini lho, Dir," ucapnya. Kuletakkan sendokku di atas piring. Aku sudah selesai makan.
"Maksud kamu aku bawel?" tanyaku. Magenta mengangguk.
"Dan, aku suka kamu yang seperti itu. Kamu yang apa adanya. Kamu selalu cantik dengan cara kamu."
Ini beneran Magenta bukan sih? Nggak salah makan, kan?
"Kamu ada salah makan apa gitu sebelum ke sini?" sindirku. Magenta mengernyit.
"Kamu ya. Dikasih kata-kata romantis malah bilang aku salah makan," ucapnya.
"Kamu tuh nakutin aku, lho. Tiba-tiba bilang begitu. Maksud aku, aneh aja gitu."
"Aneh dimananya sih, Nadira?" tanyanya.
"Udah ah, Nta. Nanti kalo ku ladenin nggak kelar-kelar. Kamu mau langsung balik atau gimana?"
"Ngusir nih?"
"Nggak gitu. Aku takut kamu kemaleman," jawabku.
"Aku bukan anak perawan yang terikat sama jam malam, Dir."
"Iya. Tapi kamu anak bujang. Bujang lapuk, lebih tepatnya." Magenta mencubit hidungku. "Ih. Kamuuuu."
"Aku pastiin kamu yang nantinya bakal nemenin aku duduk di pelaminan."
💋
Setelah mengantar Magenta sampai mobilnya dan memastikan mobilnya melaju meninggalkan rumah Yangti, aku masuk kembali ke rumah. Di pintu, kulihat Mas Barra berdiri sambil menatap ke arahku. Ruang tamu sudah kosong, karena para keluarga masih berkumpul di ruang tengah.
"Seserius itu kamu sama Magenta, Dir?" tanyanya.
"Permisi, Om. Aku mau masuk." Kucoba untuk menerobos tubuhnya yang menghalangi pintu masuk. "Permisi, Om."
"Jawab aku, Dir." Mas Barra mencengkram pundakku dengan kedua tangannya.
"Lepas." Dia semakin menguatkan cengkramannya. "Om itu manusia atau harimau sih? Sakit tau!"
"Jawab pertanyaan aku, Dir!"
"Denger, ya. Aku mau serius sama siapapun itu, aku nggak ada kewajiban untuk bilang ke Om. Nih, ya. Aku aja nggak ngurusin urusan Om. Ya kan? Yaudah. Nggak usah ngerecokkin urusan orang. Bisa kan? Permisi."
Kutinggalkan Mas Barra yang masih mematung di depan pintu. Aku sungguh tak habis pikir dengan apa yang dilakukannya. Dia sangat mencampuri urusanku. Kupikir.
Malam ini, kuputuskan untuk menginap di rumah Yangti. Papa dan Mama sudah pulang satu jam yang lalu. Kugelar kasur busa di ruang tengah. Kurebahkan tubuhku sambil menonton siaran berita di televisi.
"Lo nggak tidur?" tanya Kak Nadia.
"Belom. Lagi nungguin Genta WA gue. Dia belom ngabarin sampe rumah atau belum," ucapku. "Lo kenapa belum tidur? Anak-anak gimana?"
Kak Nadia mengambil duduk di sebelahku. "Udah pada tidur sama Ayahnya. Lo mau ngobrol sama gue?"
"Boleh. Mau ngobrol apa?" tanyaku.
"Nggak mungkin dong kita ngobrolin harga daging sapi di pasaran berapa per kilonya."
"Terus? Mau ngobrol apa?"
"Lo sama Genta."
"Gue sama Genta? Kenapa?"
"Mau sampe kapan hubunga kalian nggak berstatus begini?"
"Kalo kitanya nyaman begini gimana?"
"Kalo lo yang nyaman gue percaya. Kalo Genta gue nggak yakin sih dia nyaman. Lo nggak mau nyoba dulu?" ucapnya.
"Gue sama dia lagi jalanin, Kak. Gue masih mempelajari dia dulu. Gue nggak mau dua kali ngerasa dibanding-bandingin," jawabku.
"Kalo itu keputusan lo sih, go ahead. Kayaknya dia baik, Dir. Agamanya juga bagus. Tadi aja pas jadi imam, enak deh suaranya," tutur Kak Nadia.
Eh, iya. Bener juga. Lupa tadi mau nanya.
"Tadi gue mau nanya malah lupa. Genta malah sibuk nanya gue pernah ada hubungan apa sama Mas Barra selain hubungan Om sama keponakan."
"Genta nanya begitu?" tanya Kak Nadia. Aku mengangguk. "Lo bilang apa?"
"Gue bilang nanti bakalan cerita ke dia. Dia bilang sama gue kalo emang ada niatan maju sama dia, kita harus saling terbuka."
"Kayaknya lo nggak ada pilihan selain cerita ke dia, nantinya." Aku mengangguk mengiyakan. "Gue harap lo bisa ambil keputusan yang terbaik ya, Dir. Gue mau liat lo bahagia."
"Bun, Bian bangun. Minta nenen," ucap Mas Abi.
"Dir, sorry ya gue nggak bisa nemenin lo lama. Gini deh kalo udah punya buntut banyak. Lo tidur jangan kemaleman, ya," ucap Kak Nadia.
Aku masih menatap layar televisi. Kuganti acara berita ke saluran yang menyiarkan acara kompetisi menyanyi dengan sederet pembawa acara.
Kontestan sama hostnya banyakkan hostnya. Mana setiap orang dikomentarin bisa dua jam sendiri. Gila.
Tak lama, ponselku berkedip. Kulihat jam di layar sudah menunjukkan pukul setengah 12.
Magenta
Dir, aku baru sampe rumah.
Tadi aku mampir dulu ke rumah kakakku.
Kamu udah tidur?
Nadira
Pantes.
Yaudah.
Sekarang kamu tidur.
Aku belum tidur.
Lagi nonton kontes nyanyi yang banyak hostnya itu.
Magenta
Dir, beneran nggak mau cerita sama aku?
Nadira
Nanti ya, Nta.
Aku janji.
Magenta
Aku semakin yakin kamu pernah ada apa-apa sama Barra.
Nadira
Nta, lagi cemburu ya?
Magenta
Menurut kamu?
Nadira
Ngapain cemburu sih?
Magenta
Kalo aku deket lagi sama mantan gimana perasaan kamu?
Nadira
Bodo amat.
Magenta
Kok bodo amat?
Nadira
Ya berarti kita nggak jodoh.
Sesimpel itu kok cara kerjanya.
Ya kan?
Magenta
Ampun deh, Dir.
Kamu terbuat dari apa sih?
Nadira
Kenapa?
Magenta
Ngeselin banget.
Nadira
Kamu tidur, ya.
Udah malem.
Aku juga mau tidur.
Magenta
Ih, nggak asik banget.
Jangan tidur dulu.
Aku mau telepon kamu.
Besok kan Minggu.
Masih nonton Doraemon emang?
Nadira
Ya masih lah.
Walaupun banyak spekulasi
yang bilang ini semua cuma mimpinya Nobita. Aku masih setia nonton.
Magenta
Aku mau telepon.
Ya?
Nadira
Yaudah sih.
Biasanya juga langsung nelepon.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Mau ngomong apa?" tanyaku.
"Nggak mau ngomong apa-apa sih. Pengen denger suara kamu. Tadinya, aku malah mau ajakkin kamu face time. Tapi, nggak jadi."
"Eh iya. Aku ada pertanyaan."
"Apa?"
"Kok kamu kayaknya luwes banget jadi imam sholat. Bacaan kamu fasih dan jelas," ucapku.
"Uhm. Aku nau cerita. Tapi nanti kamu nggak percaya," ucapnya.
"Lho. Kenapa aku bisa nggak percaya?" tanyaku.
"Aku pernah belajar di pesantren. Dari SMP sampe lulus SMA. Orangtuaku masukkin anak-anaknya ke pesantren."
"Lho, bagus dong."
"Bagus sih. Orangtuaku mau anak-anaknya punya bekal agama."
"Apa itu juga yang bikin orangtua kamu jadi selektif tentang pasangan anak-anaknya?"
"Hah? Maksud kamu? Kamu denger berita kayak gitu darimana?" tanyanya heran.
"Baca di artikel."
"Duh. Makanya jangan kemakan apa yang ditulis media. Masalah umurku aja mereka udah salah. Ini lagi. Orangtuaku bukan tipe kayak begitu. Mereka membebaskan anak-anaknya dalam berhubungan sama siapapun, selama itu baik."
"Terus, hubungan kamu yang 3 tahun itu?"tanyaku.
"Hmm, kenapa nggak tanya pas tadi ketemu sih? Kalo ketemu kan enak. Kamu bisa liat ekspresi aku. Jadi, kamu bisa tau aku bohong atau nggak."
"Yeee. Aku mau nanya aja mikir dulu. Takut nyinggung perasaan kamu."
"Aku nggak sebaper itu, hey."
"Terus?"
"Nanti deh aku cerita ke kamu. Toh, kamu juga masih punya 1 utang penjelasan ke aku, kan?"
"Iyaaa."
"Yaudah, sekarang kamu tidur. Katanya besok mau nonton Doraemon. Eh, kamu masih libur kuliah?"
"Masuk minggu depan kok. Yaudah aku tidur ya. Assalamualaikum."
"Good night. Waalaikumsalam."
Baru saja ingin kuletakkan ponsel di atas meja. Layar ponsel kembali terang karena sebuah pesan yang masuk. Kulirik dari pop up yang muncul. Ah. Dia.
"Kita bisa ketemu, Dir? Aku tunggu kamu di Uncle's ya. Jam 4 sore. Aku tunggu kamu sampe kamu dateng."
Mau apa lagi dia?
-to be continued -
Yeay.
Enak kan kalo updatenya nggak sering-sering?
Berasa kan jengkelnya.
Jengkel sama Miss maksudnya.
Ahahahah
Maaf yaa. Kemaren sibuk banget.
Kecapekan juga soalnya.
Sampe jumpa di Barra -4- yaaaa, yang nggak tau kapan publishnya ahahahah.
Suka nggak????
Miss sayang kalian banyak-banyak. Muah muah muah.
Terima kasih yang udah join di group chat WA. ❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top