Nadira -3-

YANG BELOM FOLLOW, YUK FOLLOW. YANG PUNYA INSTAGRAM BOLEH YA FOLLOW MISS DI SANA. SPOILER CHAPTER BIASANYA MISS SEBAR DI IG STORY. SILAHKAN FOLLOW YA. DI IG, MISS JUGA BUKA JASA KONSUL ALIAS CURCOL HUAHAHAHAHHA

Mengenal seorang Magenta membuatku harus selalu siap dengan semua pemberitaan. Siapa yang tak kenal seorang Magenta Priambodo Kamil? Putra dari Handoko Kamil, pemilik kerajaan bisnis Star Corp. Star Corp adalah sebuah perusahaan besar yang memegang hampir sebagian besar kendali bisnis di negara ini.

Bidang usaha Star Corp bukan cuma stasiun televisi swasta Transtar Media. Tapi, mereka juga mengembangkan binis ke ranah hotel, universitas, pabrik makanan, pusat perbelanjaan sampai theme park yang tiket terusannya harganya selangit. Yang membuatku harus berpikir dua kali untuk sekedar merogoh kocek bersenang-senang di sebuah taman bermain untuk naim roller coaster sampai muntah atau bahkan mati duduk karena puyeng diguncang wahana yang mirip dengan Kora-kora di Dufan.

Seriously. I am not that kind of person. Ke Dufan aja itu gue dari sekolah. Itupun cuma naik Istana Boneka, Rumah Miring sama Bianglala. Mendingan gue disuruh karokean sampe radang tenggorokkan. Eh jangan deh.

"Kapan-kapan ngedate ke StarPark, ya?" tanyanya. Kugelengkan kepalaku segera. "Kenapa?"

"Ke tempat lain aja ya."

"Kamu suka Harry Potter?"

"Jangan konyol. Ya suka lah! Masuk ke sekolah sihir terus naik sapu terbang itu cita-citaku." Aku jujur, kan? Buat seluruh pecinta sosok anak laki-laki tampan dengan tanda petir cindera mata dari si You-Know-Who dikeningnya itu, menjadi salah satu murid di Hogwarts tentu adalah sebuah impian terpendam. Uhm, impian terpendam yang konyol, lebih tepatnya.

"Kalo ke The Wizarding World of Harry Potter yang di Florida, gimana? Atau Warner Bros Studio Tour yang di London. Kan enak tuh. Bisa ke The Great Hall, Hagrid's Hut terus lanjut ke The Burrow. I have been there before. And that was so damn cool. Mau?"

"Kamu ngajak aku ke Florida sama London tuh berasa kayak ngajak aku beli barang black market ke Taman Puring sama Pasar Uler. Asli deh. If you ask for my answer, aku jawab nggak."

"Terus kemana dong?"

"Nta, kamu gila aja. Papa sama Mama aku nggak akan ngijinin aku pergi ke luar negeri sendirian. Eh, berdua ama kamu pulakkk." Aku memang lebih suka untuk memanggilnya dengan nama itu. Magenta sendiri tak merasa kebetaran dengan panggilan yang kuciptakan untuknya. Dia menolak dengan tegas saat aku memanggilnya dengan "Mas", "Kak" atau bahkan "Abang".

"Ya makanya dibikin boleh dong."

"Tunggu kuliahku selesai, ya."

"Semoga kamu jawaban dari doa-doaku, Nadira."

Kalau boleh dibilang, sosok Magenta bagaikan Prince William, Duke of Cambridge yang banyak digilai kaum betina sedunia raya. Insecure? Pastinya. Menyesal kucari tahu banyak hal tentangnya, termasuk deretan wanita yang pernah dikabarkan dekat dengannya. Okay, aku memang tidak suka dibanding-bandingkan dengan wanita lain. Hello, normal kan ya kalo perempuan ngerasa insecure ke sesama perempuan? Normal nggak sih?

Magenta pernah dikabarkan dekat dengan putri seorang politikus sekaligus anggota DPR ternama yang diusung partai politik pemenang Pemilu yang lalu. Marissa Angelina. Dari berita yang kubaca di internet, hubungan 3 tahun yang dibina kandas. Selentingan beredar, orangtua Magenta begitu selektif dengan pasangan anak-anak mereka.

Tak hanya pernah dekat dengan putri dari seorang anggota DPR, Magenta juga pernah dikabarkan menjalin hubungan  dengan Aruna Gyaneshwari, seorang mantan Putri Indonesia. Jangan tanya bagaimana rupanya. Jelas sudah. Putri Indonesia, sebuah gelar yang disematkan pada seorang wanita tercantik seIndonesia. Remahan cireng salju mundur teratur.

Jelas semua kucari tahu tanpa sepengetahuan Magenta. Padahal, aku bisa saja menanyakan langsung. Tapi, aku tak mau dianggap terlalu mencampuri kehidupan pribadinya.

Pernah sekali berkhayal namaku akan ada di laman pencarian yang beritanya terkait dengan Magenta. Membayangkannya saja sudah membuatku tertawa. Mungkin, akan menjadi tajuk yang selalu diperbincangkan sebulan ke depan. Jika boleh kuandaikan, tajuknya akan seperti ini "Magenta Transtar Media Menjalin Hubungan dengan Seorang Pelayan Cafe". Ya gimana dong. Kalo karyawan pada sibuk kan mau nggak mau gue ikutan ngelayanin.

Hubunganku dengan Magenta? Kami dekat. Hanya itu yang bisa kujawab. Mengikuti alur takdir. Itu kesepakatan kami. Baik aku maupun Magenta, kami masih sangat santai dengan hubungan ini. Tapi, seperti ada sebuah kontrak tak tertulis. Aku dan Magenta seakan mulai menutup hati untuk datangnya orang baru. Untuk saat ini, menjaga perasaan masing-masing adalah hal yang tepat, walaupun belum ada status "in a relationship" yang tercipta.

Satu bulan. Ya, satu bulan ini aku sudah mengenalnya. Kami sering berbagi informasi. Tentang keluarga, apa yang disuka, apa yang dibenci sampai mimpi masa depan.

Dari obrolanku dengannya, kutarik kesimpulan bahwa Magenta adalah seorang yang sederhana, walaupun dia sanggup mengguyur tubuhnya dengan berember-ember uang sekalipun. Magenta, anak kedua dari 3 bersaudara itu sangat menggilai telur ceplok yang dimasak di teflon, kalau bisa teflon yang diameternya 24 cm. Kenapa teflon?

"Teflon itu kan datar. Kalo nyeplok telornya pake teflon, telornya bisa dilebarin. Jadi bagian putihnya bisa lebar. Nah, kalo udah lebar, nanti bisa cukup untuk sepiring nasi," ucapnya.

"Astaga, Nta. Kan bisa ceplok 2 biji."

"Eh iya. Bener juga, ya."

💋

Hari ini, panggilan sebagai baby sitter infal terpaksa membuatku meninggalkan Lenggah lebih awal dari biasanya. Kak Nadia meminta bantuanku untuk menjaga anak-anaknya karena dia merasa kurang enak badan. Kanaya sudah dititipkan ke ibu mertuanya. Jadi, tugasku memegang kendali Bima dan Bian yang kujamin akan membuatku sangat basah karena keringat.

"Kak, lo mendingan berobat deh." Kulihat Kak Nadia yang sedang berbaring berselimutkan bed cover. Kak Nadia menggeleng. "Wait. Lo nggak hamil lagi, kan?"

"Lo gila, Dir?" sahutnya.

"Lo yang gila kalo sampe hamil lagi. Ini dua tuyul aja masih piyik banget. Bisa gila gue kalo lo nambah anak lagi. Lama-lama gue bisa kenyang ngurusin anak-anak lo," ucapku.

"Kan mumpung lo belom punya anak, Dir. Sekalian belajar. Jadi, nanti pas punya anak lo nggak kagok."

Leh ugha uy.

"Dir, bikinin gue teh panas dong. Pake madu. Madunya ada di lemari deket tempat cuci piring. Kasih kayu manis sama jahe ya."

"Kak, ini gue lama-lama bisa buka toko minuman herbal, lho." Kuhentikan telapak tanganku yang tengah menepuk-nepuk pantat Bima dan Bian bergantian.

Segera kuletakkan teh panas yang diminta Kak Nadia di atas nakas yang ada di samping tempat tidurnya. Aku merasa dengan adanya Bima dan Bian, kamar ini terasa semakin sempit. Mungkin karena kasur single yang setiap malam dipakai Mas Abi masih digelar di lantai dan belum sempat dirapihkan. Sebelum Bima dan Bian lahir, Mas Abi dan Kak Nadia sudah membiasakan Kanaya untuk tidur di kamar tamu yang sekarang sudah disulap menjadi kamarnya.

Ponselku terus saja berkedip. Kuusap layar ponsel. Magenta mengirimiku beberapa pesan via Whatsapp.

Magenta
Dira.
Kamu udah makan?
Di Lenggah?
Pulang jam berapa?
Aku jemput, ya.

Nadira
Aku belum makan, Nta.
Aku nggak di Lenggah.
Aku udah balik daritadi.
Ada panggilan baby sitter infal.

Magenta
Itu side job kamu?

Nadira
Bukan real meaningnya, Nta.
Aku di rumah kakakku.

Magenta
Udah makan belum?

Nadira
Belum.

Magenta
Shareloc.

Nadira
Mau ngapain?

Magenta
Bawel banget ih.
Udah cepet shareloc.

Begitulah Magenta. Segera kukirimkan lokasi rumah Kak Nadia via pesan Whatsapp. Tak lama, Magenta kembali mengirimiku pesan.

Magenta
Mau makan apa?

Nadira
Kenapa?

Magenta
Aku mau bawain kamu.
Kamu mau makanan atau bunga?
Katanya belum makan.

Nadira
Kok bunga sih?
Kamu pikir aku Suzzana
yang suka makan bunga?

Magenta
Makanya, aku tanya kamu mau apa.

Nadira
Aku mau makan mie ayam.

Magenta
Okay.
Aku beliin kakak kamu bubur aja ya.

Nadira
Bubur kertas dia paling doyan, Nta.

Magenta
Dasar adek durhaka.

Kira-kira setelah satu jam, kudengar seseorang mengucap salam dari luar.

Udah dateng aja.

"Kok cepet?" taanyaku.

"Nggak tau. Jalanan lengang, sih."

Magenta masih berpakaian lengkap. Ah, maksudku masih mengenakan setelan jas hitam dan dasinya.

"Tadi dari kantor?" tanyaku. Magenta mengangguk. Dia sudah terduduk di kursi santai yang ada di teras. Magenta sedang membuka ikatan tali sepatu pantofel hitamnya yang super mengkilap. "Masuk yuk!"

Kulihat Magenta yang memandangi penjuru rumah. Magenta menghentiman langkahnya di depan sebuah bingkai foto besar yang ada di ruang tamu.

"Dira," ucapnya.

"Ya, Nta?"

"Aku harap nanti kita bisa kayak begini." Magenta menunjuk foto keluarga Mas Abi, Kak Nadia beserta ketiga anak mereka. Foto keluarga dengan dress code kemeja putih.

"Semoga ya, Nta."

"Aamiin."

"Aku tinggal ke kamar sebentar ya, Nta. Tunggu di sini," ucapku. Magenta mengangguk.

Kak Nadia sedang memainkan ponselnya di atas tempat tidur.

"Kak, makan dulu. Ini ada bubur. Dari temen gue."

"Temen lo? Siapa? Kok nggak disuruh masuk?" ucapnya.

"Kan gue butuh izin lo, Kak. Yakali ujug-ujug gue masukkin dia ke sini. Laki-laki, Kak."

"Yaudah. Nggak apa-apa. Kan ada lo. Bentar lagi Mas Kala balik, kok. Lagi di jalan. Temen lo suruh masuk sini. Kasian di depan sendirian," ucao Kak Nadia.

Segera aku melangkah ke luar kamar. Di ruang tamu, kulihat Magenta sedang duduk sambil menyenderkan kepalanya di sofa dan menutup matanya.

"Nta, kamu capek?" tanyaku. Magenta yang menyadari kehadiranku langsu g membuka mata dan meluruskan posisi duduknya.

"Sedikit."

"Udah makan?" ucapku. Magenta menggeleng. "Kak Nadia suruh aku ajak kamu ke kamar. Aku nggak tega tinggalin kamu di sini sendirian. Sementara, aku nggak bisa nemenin kamu kalo di luar. Bima sama Bian lagi tidur di dalem. Aku harus jagain mereka. Ke dalem yuk!"

"Iya. Aku mau cuci tangan dulu, ya. Di dalam ada bayi kan? Aku takut bawa kuman. Toiletnya dimana?" Magenta melepas jas yang melekat ditubuhnya. Disampirkan jas itu di sofa ruang tamu.

"Aku anter, ya."

Setelah selesai mencuci tangan dan kakinya, kuajak Magenta masuk ke kamar Kak Nadia. Kak Nadia masih duduk di atas tempat tidur sambil menikmati bubur ayam yang dibawa Magenta.

"Eh, ya ampun. Maaf, ya. Nerima tamunya di kamar. Mohon dimaklumi ya. Nadira lagi dihire jadi baby sitter dulu." Kak Nadia berdiri dan membersihkan mulutnya dari sisa-sisa bubur dengan tisu. Eh mulutnya. Minta disobek.

"Santai aja. Saya Genta. Magenta Priambodo Kamil." Magenta mengulurkan tangan kanannya pada Kak Nadia.

"Nadia. Nadia Kamaratih Sutanto. Kakaknya Nadira. Salam kenal ya, Genta.  Silahkan duduk."

Aku, Kak Nadia dan Magenta memilih untuk duduk di karpet, sembari mengawasi Bian dan Bima yang masih tertidur pulas di kasur Mas Abi.

"Mereka kembar, ya?" tanya Magenta.

"Iya. Kembar identik," jawab Kak Nadia. Magenta mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ngomong-ngomong, kenal Nadira darimana? Biar enak, ngomongnya santai aja, ya."

"Oh, siap. Gue kenal Dira dari sepupu gue, Tania."

"Oh, jadi lo sepupunya Tania." Magenta mengangguk. "Lo baru pulang kerja atau gimana? Kok langsung ke sini?"

"Sebenernya sih belum waktunya pulang.  Tadi, selesai rapat gue langsung cabut ke sini," ucap Magenta.

"Lo kerja dimana emang?" tanya Kak Nadia penasaran.

"Kak, gue saranin lo nggak usah nanya. Daripada nanti kaget," sahutku santai.

"Kaget kenapa? Kerjaan lo halal kan, Genta?" Kutepuk keningku pelan. Punya kakak kenapa bego banget sih.

"Alhamdulillah halal. Untuk menghidupi Dira nantinya." Kak Nadia seketika melirik ke arahku.

"Kerja dimana, Genta?" pantang mundur. Kak Nadia masih saja penasaran.

"Di Transtar Media," jawab Magenta.

"Kak, udah. Gue nggak mau bikin lo mati muda kalo nanti tau kerjaan dia," ucapku.

"Di Transtar bagian apaan, Genta?"

"Gue bagian yang kasih persetujuan semuanya."

"Manager?" tanya Kak Nadia. Magenta menggeleng. "Terus?"

"Kebetulan gue yang punya Transtar Media," ucap Magenta yang sumses membuat Kak Nadia melongo.

"Lo ngeyel sih gue bilangin," sahutku.

"Keren. Pantesan, gue kayak nggak asing liat muka lo. Kayal pernah liat dimana gitu. By the way, gue suka program-program yang ada di TV lo. Bagus. Mengedukasi. Nggak penuh drama pernikahan menye-menye."

"Thank you, ya. Itu emang udah jadi keputusan kami untuk menyiarkan program-program yang berkualitas. Setiap hari Minggu juga kami masih konsisten menyiarkan kartun-kartun untuk anak-anak. Karena, gue ngerasa masa kecil gue dulu masih enak banget.
Minggu pagi, bangun tidur masih jigongan nongkrong depan TV bisa nonton film kartun. Sekarang, pagi-pagi isinya kebanyakan sinetron-sinetron yang sebenernya tujuannya bagus. Tapi, mereka kurang pas aja memilih jam tayang. Hampir seharian mereka tayangin itu sinetron-sinetron. Kapan anak-anak punya kesempatan nonton TV, kan. YouTube, iya kalo orangtuanya mampu isi kuota," tutur Magenta.

"Gue setuju sama lo."

"Mon maap nih, ya. Mie ayamnya udah bengkak sempurna. Kita makan dulu ya, Nta." Kubuka dua styrofoam berisikan mie ayam yang dibawa Magenta.

Kuamati Magenta menyisihkan sawi yang ada di mie ayam miliknya.

"Nta..." Magenta yang sedang menunduk menyingkirkan sawi hijau tiba-tiba menengadah dan menatapku.

"Ya, Dir?"

"Nggak ada ya. Makan sawinya. Nggak ada acara-acara buang makanan," ucapku. Kupunguti kembali sawi hijau yang sudah disingkirkannya dan menaruhnya di atas mie ayam miliknya.

"Ini agak pahit, Dir. Aku kurang suka."

"Makan, Nta. Biar balance apa yang masuk ke badan kamu. Ini ada seratnya. Biar nggak sembelit. Makannya jangan sawinya aja. Tapi, barengan sama mienya, ya. Nggak akan pahit, kok."

Magenta menghembuskan napasnya pelan. Terlihat dia berusaha untuk memakan potongan-potongan sawi hijau yang ada di mie ayam miliknya.

"Sorry, Nadira emang lebih mirip Ibu tiri. Galak banget. Jangan kaget, ya."

"Kalopun gue jadi ibu tiri, nggak akan jadi yang galak kali, kak."

"Kalo ada aku, ngapain kamu sampe jadi ibu tiri. Mending juga ibu kandung dari anak-anakku nantinya."

Beuh... Abang aqua kok nggak lewat ya. Butuh aqua dingin nih buat guyuran. Anget-anget gimana gitu rasanya.

"Aamiin ya, Genta. Aamiin," ucap Kak Nadia.

💋

"Onti, kok nggak bilang sih kalo ke sini? Naya daritadi di rumah Uti." Kanaya yang sudah terlihat segar lengkap dengan bedak tabur bayi yang menghiasi wajahnya menekuk wajahnya saat menemuiku.

"Kak, Onti kan harus jaga Bunda sama adek-adek. Jangan marah, ya," ucapku.

"Kak, salim dulu sama Om Genta," ucap Kak Nadia.

Kanaya menuruti perintah Kak Nadia. Kanaya mencium punggung tangan Magenta yang tengah bermain dengan Bima dan Bian yang sudah bangun dari tidurnya.

"Om ini siapa, Bunda?" tanya Kanaya polos.

"Pacarnya Onti," sahut Kak Nadia sekenanya. Kanaya hanya mengangguk.

"Naya mau main lagi ya, Bun. Boleh?" tanyanya.

"Boleh. Kakak udah mandi. Udah cantik. Nggak main yang kotor-kotor lho, ya." Kanaya mengangguk. Lalu kemudian menciumi tangan kamk bertiga satu per satu.

"Kak, kayaknya di antara 2 tuyul ini ada yang eek deh. Baunya semerbak," ucapku.

"Dicek dong, Dira. Lo kan baby sitter untuk seharian ini."

Setelah berhasil menemukan sumber bau tak sedap, segera kuangkat Bima dan membawanya ke kamar mandi. Magenta terlihat bingung melihatku yang tiba-tiba "menenteng" Bima ke kamar mandi. Dia mengikutiku sampai di depan pintu kamar mandi.

"Kamu bisa, Dir?" tanyanya.

"Bisa, Nta."

"Nggak jijik?"

"Lebih jijik kalo nggak cepet dicebokkin, Nta. Nanti eeknya bisa kemana-mana."

Kuputuskan untuk memandikan Bima karena hati sudah sore. Selesai memandikan Bima, kubaringkan Bima di atas kasur sembari mengeringkan seluruh tubuhnya dengan handuk. Kubaluri tubuhnya dengan minyak telon. Bima yang sangat pecicilan berusaha akan kabur saat akan kupakaikan celanan. Dengan sigap Magenta memangku dan menahannya.

"Nah, kan kalo udah selesai jadi ganteng." Kuciumi pipi gembil Bima. Bima yang merasa kegelian, terus tertawa menampakkan dua gigi depannya. "Bian biar dimandiin Mas Abi ya, Kak."

"Iya. Nanti biar mandi sama Ayahnya. Genta kayaknya daritadi bingung banget liat Nadira."

"Pastinya. Nadira kayak udak terbiasa urus bayi."

"Aku udah sampe gumoh, Nta," ucapku.

Tak lama, suara Mas Abi terdengar memasuki rumah.

"Eh, ada tamu." Magenta segera bangun dari duduknya dan menyalami Mas Abi. "Abi."

"Genta."

"Bunda udah makan?" tanya Mas Abi.

"Udah. Tadi dibawain bubur sama Genta. Ayah udah makan?" tanya Kak Nadia. Mas Abi menggeleng. "Bunda nggak masak, Yah. Nggak enak badan soalnya."

"Gampang. Nanti Ayah bisa goreng telor sama bikin sambel. Oh iya, tadi Mama telepon. Katanya, Mama nelepon Bunda nggak bisa-bisa."

"Handphone Bunda mati, Yah
Tuh lagi dicharge. Mama bilang apa?"

"Minggi depan mau ada acara kirim doa untuk almarhum Yangkung di rumahnya. Kita semua disuruh dateng. Setelah Maghrib acaranya. Semua keluarga disuruh hadir."

"Kok Mama nggak bilang sama gue ya?" ucapku.

"Bukannya nggak bilang, Dir. Belum. Mungkin Mama nanti bilangnya kalo kamu udah pulang ke rumah," sahut Mas  Abi.

"Genta, kalo lo free, nggak da acara dan berkenan hadir boleh kok ikutan," ucap Kak Nadia. Magenta melirik ke arahku.

"Insha Allah gue bisa dateng, ya. Aku boleh dateng kan, Dir?" tanyanya.

"Ya boleh lah."

- To be continued -

Hai hai hai.
Apa kabar semuanya.
Maaf yaaaa nunggu lama.
Baru banget kelar ngetik jam segini.
Pasti udah pada tidur, kan?
Yaudah nggak apa-apa.
Bacanya besok juga boleh.

Lagi dan lagi.
Miss mau bilang, pake aja imajinasi kalian masing-masing untuk ngebayangin castnya ya.
Miss ngga akan kasih patokan visual.
Karena imajinasi yang dimasih patokan itu nggak asik, guys.

Semoga kalian suka ya sama chapter ini.

Miss sayang kalian banyak-banyak  ❤❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top