Nadira -2-

"Salam kenal, ya." Magenta Priambodo Kamil. Laki-laki ini ada di depan mataku. Padahal, baru semalam kuintip dia di laman pencarian Google.

"Iya. Salam kenal juga."

Kami berbincang tentang banyak hal. Sebisa mungkin kuhindari topik yang terlalu mengarah ke masalah pribadi. Begitu juga dengannya, sepanjang obrolan dia hanya menanyakan pertanyaan dasar saja.

"Jadi, kamu mengelola cafe punya kakak kamu, ya?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Tadinya, cuma iseng."

"Iseng?" Aku mengangguk.

"Iya, iseng. Nunggu waktu sidang kuliah. Daripada di rumah. Tenagaku diberdayakan. Eh, keterusan sampe sekarang." Dia mengangguk-anggukkan kepalanya.

Posisi dudukku yang menghadap ke jendela membuatku bisa melihat pemandangan di luar cafe yang ada di dalam mall ini. Mataku tak sengaja menangkap dua orang yang sedang memperhatikanku dari luar. Sebisa mungkin aku berusaha untuk bertingkah natural dan berpura-pura tidak sadar tengah diperhatikan.

Hatiku mencelos sesaat ketika kulihat bocah itu berjalan gontai meninggalkan cafe. Zayyan. Kutebak, dia tak berhasil mendapatkan izin Mas Barra untuk menghampiriku. Berkali-kali kudengar dari Mama dan Kak Nadia tentang Zayyan yang begitu merindukanku. Beberapa tahun terakhir, kami memang sudah jarang bertemu. Alasannya sudah jelas. Aku memang sengaja mengurangi intensitas pertemuan kami. Zayyan tumbuh dengan baik menjadi anak yang pintar.

Lamunanku pecah ketika Magenta menggerakkan telapak tangannya di depan wajahku.

"Kamu kenapa bengong?" tanyanya.

"Oh, nggak. Nggak apa-apa kok. Sorry, ya. Tadi tiba-tiba lagi kepikiran sesuatu aja."

"Jangan bengong. Nanti kesambet," selorohnya yang disertai senyuman ke arahku.

"Aku kira orang kaya nggak akan ngerti yang namanya 'kesambet'. Ternyata kamu ngerti juga."

"Jangan begitu. Saya suka nggak nyaman dengan istilah itu," ucapnya.

Aku sungguh merasa sangat tidak enak karena mengucapkan kalimat itu.

"Aku nggak bermaksud. Aku minta maaf, ya. Semoga kamu nggak tersinggung."

"Santai aja. Jangan terlalu mudah bilang maaf, ya. Terlebih kalo kamu nggak salah apa-apa," jawabnya. "Ada yang mau kamu tanyain ke saya, mungkin?"

"Umur kamu. Beneran udah 34?" tanyaku polos. Dia mengangguk.

"Lebih tepatnya 35 tahun. Berita di media terlalu sok tau. Kenapa? Kamu malu ya jalan sama saya yang udah tua?"

Kugelengkan kepalaku cepat. "Eh, bukan begitu. Justru, kamu nggak keliatan umur 36. Penampilan kamu, nggak kayak om-om. Kalo pecinta K-Drama bilang, istilah yang tepat buat kamu itu "Ajusshi rasa Oppa"."

Magenta menyipitkan matanya. Membuat matanya yang sudah sipit tambah mengecil. "Oppa? Kakek?"

Aku tertawa mendengar penuturan polosnya. Gue salah ngomong sama orang yang bahkan nggak tau tentang Korea-koreaan.

"Nggak usah dipikirin. Istilah itu punya arti yang nggak jelek kok," ucapku. "Aku pikir, tadi kamu salah orang."

"Kok bisa mikir begitu?"

"Yang aku liat di Google, kamu selalu berpakaian formal. Jas, kemeja plus dasinya. Makanya, aku kaget waktu kamu dateng."

"Saya keliatan gembel banget, ya?" tanyanya.

"Gembel? Itu barusan salah satu contoh pengaplikasian majas litotes, ya?" sindirku.

Magenta berhenti menikmati minumannya dan tersenyum kecil. "Nggak gitu. Saya seneng first impression kamu tentang saya seenggaknya nggak jelek-jelek banget."

"Aku boleh tanya sesuatu?" tanyaku.

"Silahkan. Mau tanya apa?" jawabnya.

"Kamu nggak ada penyimpangan seksual kan?" Diraaa! Mulut lo yaaaaa.

Tanpa diduga, Magenta tertawa begitu lepas. "Kamu pikir saya gay? Begitu?"

Kuendikkan bahuku merespon pertanyaannya. "So?"

"Saya normal, Nadira. Bukan gay. Tania nggak ngomong yang macem-macem tentang saya, kan?"

"Justru, karena dia nggak ngomong apa-apa aku jadi curiga," ucapku.

"Kamu lucu, Nadira. Kenapa kamu bisa mikir kayak begitu?"

"Buatku, di usia kamu yang sematang ini dan dengan kemapanan kamu, seharusnya kamu udah nikah dan punya keluarga," ucapku.

"Nadira, kalo Tuhan belum ngizinin saya, apa saya harus maksa? Sesuatu yang dipaksa itu nggak akan bagus hasilnya. Ya, kan?" Kuanggukkan kepalaku setuju.

Benar. Sesuatu yang dipaksakan itu memang tidak bagus. Seperti aku dan dia yang memaksa untuk bersama dulu.

"Bahkan, saya bisa hamilin kamu, kalo kamu mau."

Eh, si begooo.

"Kok, kedengerannya horor banget, ya?"

"Eh, jangan salah paham. Hamilin kamu dengan cara yang halal pastinya," ucapnya.

"Kirain."

"Tenang aja. Saya nggak sebejat itu. FYI, saya masih perjaka."

Gilaaaak.

"Bagus kalo begitu. Pertahankan." Duh, ngapa gue malah ngomong begituuuuuu.

"Kamu udah lama?" ucapnya. Aku menatapnya bingung.

"Udah lama apanya?"

"Cantiknya..."

Eh...eh...eh, ini jantan bisa gombal juga.

"Bercanda. Maksud aku, kamu udah lama sendiri?"

Paling males gue kalo ditanyain ginian.

"Lumayan lama. Sekitar 4 tahun, mungkin."

"Lama juga, ya." Aku mengangguk. "By the way, yang tadi saya ucapin seriusan, lho."

"Tentang?"

"Udah lama cantiknya." Pipiku terasa hangat. "Soalnya kamu emang cantik."

"Kamu sendiri gimana?" ucapku.

"Apanya?"

"Udah lama juga?" ucapku.

"Udah lama apanya nih?" sahutnya

"Udah lama jago gombalnya?"

Lagi. Dia tertawa.

"Saya nggak gombal. Ini kenyataan."

💋

Magenta
Malam, Nadira.

Nadira
Ya.

Magenta
Do I disturb you?

Nadira
No, you don't.
What's up?

Magenta
Kita bisa jalan lagi, mungkin?

Nadira
Bisa

Magenta
Kapan?

Nadira
Hmm.
Belum cek schedule.

Magenta
Cek dulu.

Nadira
I'll inform you asap.

Magenta
Thank you, Nadira.

Di pertemuan pertama, kami sempat saling bertukar nomor ponsel. Magenta juga mengantarku pulang sampai ke rumah. Saat kutawari dia untuk masuk ke dalam, dia menolak dengan memberikan alasan yang membuat tenggorokanku seakan tersumbat dengan biji kedondong.

"Masuk dulu?" Kulepas sabuk pengaman yang melingkar di tubuhku.

"Nggak. Kapan-kapan aja. Saya belum siap."

"Belum siap apanya?"

"Belum siap kalo nanti langsung ditodong tanggal pernikahannya."

"Pantesan," sahutku datar.

"Pantesan apa?"

"Pantesan sampe sekarang kamu belum nikah. Ternyata nyalinya kecil," sindirku.

"Jangan gitu, Nadira. Kami kaum Adam egonya tinggi, lho."

"Yaudah. Ati-ati di jalan ya."

Pertemuan di cafe bukanlah yang pertama dan yang terakhir kali. Magenta pernah mengunjungiku di Lenggah di sela-sela waktu luangnya.

Tolong jangan pernah berpikiran kalau aku terlalu percaya diri. Tapi, kurasa Magenta mulai menunjukkan ketertarikannya padaku. Terlihat dari usahanya yang selalu mengajakku untuk pergi dengannya.

Dia adalah tipikal laki-laki yang aktif menghubungi. Bahkan, di tengah kesibukkannya dia berusaha untuk menghubungiku. Sekedar menanyakan kabar dan keseharianku.

Dia gigih. Menghadapi aku yang terkadang cuek dengan isi pesan yang dikirimnya via Whatsapp. Tapi, kegigihannya tak pernah melebihi batasan. Dan, yang penting, tidak membuatku terganggu.

Satu bulan sudah kami saling mengenal satu sama lain. Tak ada kata "nembak" dan "jadian". Kami mengikuti kemana takdir membawa hubungan ini. Aneh memang, berjalan bersama tanpa adanya status.

"Gimana sama Mas Genta, Dir?" tanya Tania. Saat ini, aku, Tania, Adri dan Resti tengah menikmati kopi sore di Lenggah. Sengaja kuminta mereka bertiga untuk datang menghampiriku di Lenggah. Rasa mager membuatku malas untuk pergi kemana-mana.

"Ya gitu," jawabku santai.

"Emang dasar aneh. Nggak yang laki, nggak yang perempuan. Ditanyain jawabannya sama. Nggak memuaskan." Tania mendengkus kesal.

"Kira-kira lo liat ada masa depannya nggak hubungan ini?" ucap Adri.

Kuendikkan bahuku. "Kita liat aja nanti, ya."

"Tuh kan. Ngeselin." Tania kembali mengerucutkan bibirnya dan melipat kedua tangannya di atas meja.

💋

Sebuah mobil yang kutahu betul milik siapa sudah terparkir di depan rumah. Hmm, aku pulang di waktu yang kurang tepat.

Begitu masuk ke rumah, aku langsung berencana untuk masuk ke kamar. Namun, langkahku terhenti seketika saat Mama memanggilku.

"Dek, ada tamu lho. Kok langsung masuk kamar?"

Kulihat memang ada beberapa orang selain penghuni rumah ini sedang duduk lesehan di ruang tengah. Ada Zayyan, Eyang Hesti dan...dia.

"Maaf, Ma. Dira nggak tau kalo ada tamu. Dira mau mandi dulu ya, Ma. Nanti selesai mandi, Dira ikutan ngobrol ya." Segera kuanggukkan kepalaku berpamitan dan langsung masuk ke kamar.

Selesai mandi, sesuai janjiku pada Mama, aku ikut bergabung dengan medeka yang sedang berbincang di ruang tengah. Kucium tangan Eyang Hesti, dan dibalasnya dengan ciuman di kedua pipiku. Setelah Eyang Hesti, mau tidak mau aku beranjak mencium tangan Mas Barra yang duduk di sebelahnya.

"Dira, kita ke sini tuh anter Zayyan. Katanya kangen banget sama kamu. Eyang ya juga kangen sama kamu. Sudah lama banget kamu nggak pernah main ke rumah," ucap Eyang Hesti.

"Maaf ya, Eyang. Dira sekarang sibuk kuliah sekaligus urus cafe. Nggak ada liburnya. Sabtu Minggu Dira kuliah," jawabku.

"Oalah, kamu lanjut kuliah tho. Jangan sampe lupa cari pendamping karena keasikan cari uang dan kuliah ya, Dir. Sudah ada calon, Dir?" ucap Eyang Hesti. Mas Barra terlihat sangat menunggu jawabanku. Tapi, dia berusaha untuk terlihat tidak mencolok.

"Bantu doa ya, Eyang. Untuk calon pendamping Dira belum ada. Tapi, kalo untuk yang lagi deket sih kebetulan ada. Dira minta doanya ya, Eyang." Mas Barra menatapku pias.

Mama dan Papa serempak melempar pandangan ke arahku.

"Dek, kok nggak cerita ke Mama sama Papa kalo lagi deket sama seseorang?" todong Mama.

"Bukan nggak cerita, Ma. Tapi, belum aja. Nanti, kalo waktunya udah tepat Dira kenalin ke Mama sama Papa, ya."

"Kalo dia serius sama kamu, langsung suruh ketemu Papa ya," ucap Papa.

"Iya, Pa. Tapi, Dira mau fokus ke kuliah dulu, ya."

"Kamu atur aja, dek. Papa sama Mama lega tau kamu lagi deket sama seseorang. Soalnya, udah lama banget kamu nggak pacaran. Terakhir, yang anak perwira itu kan?" Kutanggapi Papa dengan senyuman tipis.

Bukan dia, Pa. Ada lagi. Tuh orangnya di depan Papa.

"Mana yang katanya kangen sama Kak Dira?" ucapku. Zayyan segera menghampiriku dan memelukku erat.

"Aku kangen banget sama Mama," bisiknya tepat di telingaku. Kutepuk lembut punggung kecilnya. Di depan semua orang, dia memang memanggilku untuk dengan panggilan "Kak Dira". Tapi, dia tetap memangilku "Mama" saat kami hanya berdua.

"Sekolahnya pinter nggak?" tanyaku. Zayyan mengangguk. "Ngajinya udah sampe juz berapa?"

"Udah juz 10, Kak."

"Masha Allah. Pinternya. Maaf ya. Kak Dira udah lama nggak bisa main bareng sama Zayyan lagi. Soalnya Kak Dira udah sibuk banget. Zayyan nggak marah, kan?" ucapku.

"Nggak apa-apa kok. Kalo aku mau main ke sini boleh, kan?" ucapnya polos. Aku mengangguk.

"Ya boleh dong. Tapi, jangan sendiri ya. Minta anter Papa atau Zayyan bisa telepon Pakde Har untuk jemput Zayyan ke rumah, ya."

"Iya, Zayyan. Kalo kamu mau main ke sini, telepon Pakde aja. Nanti, Pakde jemput ke rumah. Kalo Papa kan selalu sibuk," sahut Papa. Zayyan mengangguk.

"Ke kamar Kak Dira, mau?" tanyaku. Zayyan mengangguk. Segera kugandeng tangan Zayyan dan mengajaknya berdiri. "Dira sama Zayyan pamit masuk ke kamar dulu, ya."

💋

Hanya ada aku dan Zayyan di kamar ini. Aku mengajaknya untuk merebahkan tubuh di atas kasur. Zayyan memintaku untuk memeluknya sampai tertidur.

"Aku kangen banget sama Mama," ucapnya lirih.

"Zayyan, Kak Dira tau ini pasti susah untuk kamu. Jangan panggil Kak Dira dengan sebutan Mama lagi ya, Zayyan Sayang." Zayyan merapatkan dekapannya. Mulai terdengar isakkan kecil darinya. "Lho, kok nangis?"

"Aku nggak mau. Aku mau Mama jadi Mamanya aku."

"Zayyan, nggak bisa. Kak Dira nggak bisa jadi Mamanya Zayyan."

"Kenapa?" tanyanya.

"Karena nggak bisa, Sayang."

"Papa kan nggak jadi nikah sama Tante Jihan. Harusnya bisa dong," ucapnya.

Kuhembuskan napasku perlahan. Menghadapi Zayyan saat ini memang terbilang susah. Sebisa mungkin aku harus bisa mengatur emosi.

"Mama mau kan jadi Mamaku?" ucapnya.

"Ka Dira peluk Zayyan sampe tidur. Mau?" Zayyan mengangguk.

"Kok nggak dijawab?"

"Maafin Kak Dira, ya. Kak Dira nggak bisa."

Zayyan terisak sampai akhirnya tertidur. Kuamati wajah polosnya yang tertidur pulas. Zayyan tak sekalipus melepaskan pelukkannya di pinggangku.

Maaf ya, Zay.

Kudengar seseorang mengetuk pintu kamarku dari luar. Karena pintu kamarku tidak terkunci, segera kuminta orang itu untuk masuk ke dalam kamar.

"Zayyan tidur?" tanyanya. Aku hanya mengangguk.

Segera kulepas tangan Zayyan yang melilit di pinggangku dengan perlahan. Aku bangun dari tempat tidur. Tapi, Mas Barra segera menahanku. Dan membuatku duduk di tepian tempat tidur.

"Kamu bener lagi deket sama seseorang, Dir?" tanyanya. Aku hanya diam tak menjawab pertanyaannya. "Aku tanya kamu, Dir. Kamu deket sama seseorang?"

Aku masih setia dengan diamku.

Kudengar dia menghembuskan napas kasar.

"Aku deket ama siapapun itu nggak ada hubungannya sama Om," ucapku.

"Dira..."

"Dan satu lagi. Dia bukan orang yang menganggap aku sebagai seorang anak kecil."

"Dira..."

"Apa?" ucapku datar. "Angkat Zayyan pelan-pelan. Jangan sampe dia kebangun. Dan Om cepet keluar dari kamarku."

Mas Barra segera membopong Zayyan yang tertidur ke dalam pelukannya. Dan berjalan lemas keluar.

Hubunganku dengannya memang hanya bertahan beberapa bulan. Tapi, apa yang dilakukannya saat itu bertahan hingga sekarang.

-To be continued -

Beuuuuh.
Sudahkah kalian menentukan mau masuk ke tim mana?

BarraDira?

MagaDir? Ini couplenya maksa banget bikin namanya ahahah

Hummm, kasian MasBar.
Makanya MasBar, mikir dulu kalo mau bertindak tuh.

Seperti yang selalu Miss bilang.
Miss nggak akan pernah kasih visual para karakter di cerita Miss.
Biar suka-suka kalian mau bayangin siapapun itu.
Berimajinasi bebas itu asik loh.
Apalagi imajinasi liar. Ehhhhh.

Next?

Jangan minta cepet ya.
Mias mau bikin greget soalnya.

Sabar sabar sabar.

Miss sayang kalian banyak-banyak.

💋💋💋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top