Nadira -11-
Buat yang baca tapi nggak follow, sudi kiranya untuk memberikan satu space kosong di list following kalian untuk Miss isi. Tapi, kalo keberatan ya nggak apa-apa. Jangan baca cerita Miss ,ya.
Huahahhaha.
Bercanda.
Buat yang notice, tadi itu nggak sengaja kepencet "PUBLISH", padahal ketikan belum selesai.
Miss panik. Jadi, langsung diunpublish.
Itu kenapa kalian nggak bisa buka hihihihi
Chapter ini nggak ada tegang-tegangnya, ya.
Nih. Buat kalian semuanyaaaaaaaaa.
Tolong tandai kalo ada TYPO, ya.
Mohon maaf untuk salah satu kubu, semoga kalian bisa menikmati dengan lapang dada,ya.
Cussss dibaca.
Semoga sukaaaaa!
"Kamu kenapa nggak bilang kalo mau ke rumah Genta? Kalo kamu bilang, Mama kan bisa siapin sesuatu untuk kamu bawa, Dek. Untung aja Mama masih ada stok beberapa toples kentang Mustofa." Mama memasukkan empat toples kentang goreng pedas buatannya ke dalam sebuah paper bag cokelat. Aku, Mama dan Magenta ada di ruang makan.
Orang kaya makan kentang Mustofa juga nggak, ya?
"Rencananya, Dira mau beli kue aja. Mau mampir ke toko kue, Ma."
"Tante, jangan repot-repot. Saya nggak enak karena sudah merepotkan," sahut Magenta.
"Nggak apa-apa, Ta. Tante malah yang nggak enak karena nggak bisa bawain apa-apa. Tante sama Om titip salam ya untuk orangtua kamu."
"Iya, Tante. Pasti saya sampein salamnya ke Ayah dan Bunda. Sekali lagi terima kasih ya, Tante."
"Yaudah, Ma. Ke depan, yuk! Dira mau pamitan sama Papa, yang lain juga."
Kami bertiga berjalan kembali menuju ke ruang tengah. Ruang tengah masih penuh dengan keluarga Kak Nadia dan juga keluarga Mas Barra.
"Pa, Dira berangkat dulu, ya." Kucium punggung tangan Papa saat meminta izinnya sebelum berangkat. Setelah mencium tangan Papa, Magenta menyusul untuk berpamitan pada Papa. Sementara aku menyalami semua yang ada di sana. "Semuanya, aku pamit dulu, ya."
Setelah berpamitan, kami berdua segera berjalan menuju pintu depan. Tapi, langkahku tertahan ketika Zayyan berjalan menghampiriku.
"Sebentar, ya," bisikku pada Magenta. Magenta mengangguk.
"Ma...Mama mau kemana?" ucapnya.
"Mama mau pergi dulu, ya. Zayyan di sini aja, ya. Main sama Naya, Bima dan Bian."
"Aku ke sini, Mama malah pergi."
"Nanti, kita main lagi. Zayyan boleh ke cafe. Atau, nanti Mama yang ke rumah Zayyan. Ya?" ucapku. Zayyan mengangguk lemah. "Mama pergi dulu, ya."
"Mama masih marah sama aku?"
"Marah kenapa? Nggak. Mama nggak pernah marah sama Zayyan. Mama berangkat, ya." Kualihkan pandanganku ke arah Mas Barra. Memberikannya kode agar dia segera membawa Zayyan. Mas Barra menangkap kode yang kirimkan. Dia segera bangun dan berjalan mendekati Zayyan.
"Zayyan main sama adek-adek, ya. Main sama Papa juga."
Kutatap punggungnya yang berjalan lemas kembali ke ruang tengah.
"Pelan-pelan aja nyetirnya. Habis hujan. Jalanan agak licin." Kulingkarkan seatbelt dan memastikan sudah berbunyi klek.
"Iya," jawabnya singkat.
Hampir 15 menit perjalanan kami hanya diisi dengan kebisuan. Magenta terus fokus dengan jalanan di depannya. Kurasakan aura yang tidak biasa. Dingin.
"Kamu kok diem aja dari tadi?" Kuusap lengannya pelan. Magenta tetap terdiam. "Kamu kenapa, Nta?"
"Nggak kenapa-kenapa."
"Jangan bohong. Kamu tuh nggak bisa bohongin aku. Kamu kenapa?" ucapku.
Magenta menepikan mobilnya di pinggiran jalan yang agak sepi.
"Zayyan. Kenapa dia panggil kamu Mama?" tanyanya.
Pantesan dari tadi manyun aja.
"Maaf. Maaf, karena aku nggak pernah bilang soal ini ke kamu. Zayyan mulai panggil aku begitu sejak umurnya 3 tahun. Dulu, aku pengangguran parah. Dan banyak ngabisin waktuku main sama dia. Jadi, sampe sekarang dia panggil aku begitu. Kamu mau maafin aku?" Kuraih dan kuusap punggung tangannya.
"Kamu nggak takut Zayyan mikir kamu ngasih harapan ke dia, Yang?"
Aku terdiam.
"Kamu bingung kan jawab pertanyaanku," sambungnya. "Kalo aku jadi Zayyan, aku bakalan mikir kalo kamu bisa jadi mamaku suatu hari nanti."
"Nta, jangan mulai lagi, ya. Please. Kamu mau maafin aku?" Segera kugamit lengannya dan menyandarkan kepalaku di lengannya. Sementara, satu tanganku masih menggenggam telapak tangannya.
Magenta mengecup puncak kepalaku. Mengusapnya beberapa kali, dan balas memelukku. "Nggak ada yang perlu dimaafin, Yang. Kamu nggak salah apa-apa. Kita lanjut jalannya, ya. Rumahku masih agak jauh."
"Makasih banyak ya, Sayang."
"Kamu panggil aku apa tadi?" tanyanya.
"Sayang. Kenapa?"
"Aku suka."
"Nanti, mampir ke toko kue dulu, ya. Aku mau beli kue dulu. Nggak enak cuma bawa ini aja. Ini aja aku nggak yakin bakalan dimakan atau nggak sama keluarga kamu," ucapku.
"Kok ngomongnya kayak begitu?"
"Aku nggak enak aja. Takut aja nggak berkenan."
"Hei, keluargaku nggak gitu-gitu banget, Yang. Bahkan, Ayah sama Bunda masih sering makan di warung lesehan pinggir jalan. Masih suka banget jajan gorengan abang-abang yang satunya seribuan. Justru, mereka tuh suka sama makanan-makanan yang sederhana." Ucapannya menghadirkan binar bahagia di kedua mataku. "Jangan terlalu overthinking ya, Yang."
Magenta kembali melajukan mobilnya, melanjutkan perjalanan kami. Mobil berhenti di sebuah toko kue yang cukup terkenal.
Setelah mengambil satu baki, aku dan Magenta berkeliling toko untuk memilih kue-kue yang sekiranya akan kubeli.
"Orangtua kamu suka kue yang gimana?" tanyaku.
"Kan aku udah bilang. Mereka itu simple. Kamu bawain mereka bakwan juga udah seneng banget."
"Ya masa aku bawa bakwan ke rumahmu, Nta."
"Kok nggak pake sayang lagi?"
Segera kutinggalkan dia dan berjalan menuju bagian savory.
"Kok aku ditinggal, sih?"
"Kalo beli ini gimana?" tanyaku. Kutunjuk seloyang pastel tutup dengan banyak taburan keju parut di bagian atasnya. Magenta mengangguk.
"Boleh. Kayaknya enak."
"Kita beli yang manis juga, ya. Biar seimbang. Ada gurih, ada manis juga."
"Kan manisnya ada di kamu," godanya yang sukses membuat pipiku memerah. Ada beberapa orang yang ada di dekat kami. Mereka terlihat tersenyum ke arahku.
Setelah membeli seloyang pastel tutup dan sekotak lapis legit premiun dengan dried black prunes di setiap layernya, kami kembali melanjutkan perjalanan.
"Mampir ke toko buah juga, ya. Aku mau beli parcel buah," ucapku.
"Yang, kamu tuh mau ke rumahku. Bukan ke rumah sakit jenguk orang sakit. Ngapain pake beli parcel buah segala?"
"Bawa ini doang nggak apa-apa?"
"Sebenernya, kamu bawa diri aja juga udah cukup. Kamu beli kue aja udah hampir setengah juta lebih, lho."
"Nggak apa-apa, Nta. Kan ini pertama kalinya untuk aku ketemu sama orangtua kamu. Kind of...first impression."
"Listen, Yang. As I've told you before. You are more than enough. Just you. Even you don't bring anything with you, you'll get good first impression from my parents. Trust me."
Kami tiba di depan sebuah rumah dengan pagar hitam minimalis yang menjulang tinggi. Kawasan elit. Bahkan, rumah-rumah yang ada di seberangnya pun tak kalah besar. Magenta memencet klaksonnya dua kali. Seketika, seorang satpam langsung bergegas mendorong membukakan gerbang.
"Makasih, Pak Edi," ucap Magenta ketika melewati satpam yang membukakan gerbang. Satpam itu mengacungkan jempolnya dan kembali menutup gerbang. "Bentar, ya. Agak jauh masuknya."
Kenapa nggak disediain pangkalan ojek sekalian? Lumayan lho dari gerbang ke rumahnya.
Rumah yang besar. Oh, tidak. Sangat besar. Bahkan, sepuluh kali lebih besar dari rumahku. Rumah yang sangat besar ini berdesain minimalis. Bernuansa putih. Di depannya, terhampar taman dengan berbagai macam bunga.
"Itu daerah teritorialnya Bunda. Bunda sering ngabisin waktu mainan tanah di sana," ucap Magenta saat dia menangkap mataku yang tengah memandang ke arah taman.
"Bunda kamu tangannya adem, ya. Bunganya bagus-bagus. Kalo aku disuruh nanem, bibit yang harusnya bisa tumbuh subur, bakalan busuk seketika."
"Nggak apa-apa. Kan masih banyak yang kamu bisa," sahutnya. Magenta menggandeng tanganku. "Masuk, yuk!"
Pertama kali kuinjakkan kaki, atmosfer hangat keluarga mulai terasa, seperti di rumahku. Ruang tamu yang sangat besar diisi dengan satu set sofa kulit hitam bergaya minimalis dengan meja kaca besar di bagian tengahnya. Sederhana, tapi tak menghilangkan kesan mewah. Jauh sekali dari bayanganku soal rumah orang kaya. Yang biasa kulihat di TV, rumah orang kaya selalu identik dengan arsitektur klasik dengan ukiran yang sangat detail. Ditambah, biasanya rumah mereka dipenuhi dengan guci-guci yang tingginya bisa melebihi tinggi badanku.
Sebuah bingkai besar terpajang di dinding. Foto keluarga. Mereka keluarga yang sangat harmonis. Ibunya sangat cantik, walaupun terlihat sudah berumur. Kelima orang itu bergaya dengan sangat lepas, sangat jauh dari kesan mewah. Tak ada seragam kebaya dan setelan jas yang dikenakan. Hanya kemeja putih dan celana jeans.
"Itu Ayah sama Bunda." Magenta menunjuk ke arah foto yang tengah kupandangi. "Yang sebelah kanan itu kakakku, Mbak Ajeng. Yang di kiri adekku, namanya Khaya."
"Mereka cantik," celetukku.
"Akunya juga ganteng, kan?" Kucubit lengannya kencang. "Sakit, Yang!"
"Kebanyakkan ngomong sih dari tadi."
"Yaudah, kita langsung ke dalem aja, ya." Magenta mengajakku melangkah lebih dalam ke bagian rumahnya.
Betapa terkejutnya aku. Kembali merasa dijebak.
"Kamu bohongin aku, ya?" bisikku.
"Bohongin gimana?"
Magenta menjebakku. Semua keluarga besarnya kumpul. Kedua orangtuanya, kakaknya, adiknya, bahkan suami dan anak-anak mereka.
"Rame banget."
"Mereka kan juga mau kenal sama kamu."
"Awas ya kamu."
Magenta segera menyeretku untuk berjalan mendekat keluarganya yang sedang berkumpul. Kupasang senyum termanis yang pernah kumiliki selama 28 tahun hidupku di dunia.
"Ayah...Bunda, ini Nadira," ucap Magenta sambil mengalungkan tangannya di pinggangku. Merasa agak risih dengan sikapnya di depan keluarganya, segera aku berusaha menyingkirkan tangannya.
"Mas, jangan begitu. Kasihan." Wanita paruh baya yang masih saja terlihat cantik bangun dari duduknya dan berjalan menghampiriku. Beliau menggapai tanganku, memeluk dan mencium kedua pipiku. "Selamat datang di rumah kami ya, Sayang. Kamu cantik. Cantik sekali."
"Terima kasih untuk undangannya, Ibu. Ini ada titipan dari Mama. Semoga berkenan untuk Ibu sekeluarga." Kuserahkan paper bag cokelat berisikan beberapa toples kentang goreng pedas buatan Mama dan kantong kue yang dibawa Magenta ke tangannya.
"Repot-repot sekali. Lain kali, jangan repot-repot, ya. Kamu sudah mau datang ke sini aja kami sudah senang. Yuk, duduk sama yang lain." Beliau menuntunku untuk bergabung dengan yang lainnya. "Mas, tolong bilang Mbok Mur untuk buatin minuman, ya."
"Iya, Bunda." Magenta kemudian berjalan ke bagian lebih dalam dari rumah ini.
Sebelum benar-benar duduk, kuhampiri Ayah Magenta. Kusalami beliau dan kuperkenalkan diriku sebaik mungkin.
"Bapak, perkenalkan nama saya Nadira."
"Jangan kaku, Nadira. Anggap rumah sendiri. Terima kasih ya kamu sudah mau main ke sini," ucap beliau.
"Nadira, ini Ajeng, kakaknya Genta. Itu Afwan suaminya Ajeng," ucap Ibu Magenta. Kuanggukkan kepalaku ke arah Mbak Ajeng dan Mas Afwan. Kusalami mereka satu persatu.
"Hai, Nadira. Salam kenal, ya," ucap Mbak Ajeng dengan senyuman. Cantik. Hanya itu yang kuucapkan untuk menggambarkan sosoknya. "Nggak usah sungkan. Biasa aja."
"Iya, Mbak."
"Kalo itu Khaya. Adiknya Genta. Nah, yang di sebelahnya Rizki, suaminya. Khaya baru aja punya anak. Namanya Namira." Ibu Magenta memperkenalkan seorang perempuan yang tengah menggendong bayi yang sedang tertidur di pangkuannya. Segera kuhampiri dan menyalami mereka satu persatu.
"Lagi bobok, ya?" ucapku. Kuusap lembut pipi gembul bayi perempuan cantik yang tengah tertidur pulas.
"Iya, Tante. Abis nenen, langsung tidur. Semalem rewel banget soalnya."
"Lagi sakit, mungkin?" tanyaku.
"Iya, Tante. Agak demam dari kemarin," jawab Khaya.
"Kalo kata kakakku, harus sering dinenenin. Supaya nggak kekurangan cairan juga."
"Iya. Ini juga aku nenenin terus. Suka nangis kalo dipaksa nenen."
"Cepet sembuh ya, Namira sayang." Kuelus kening Namira lembut. Kurasakan keningnya yang memang masih tetasa hangat. Aku segera duduk di sisi sofa yang masih kosong. Kulihat masing-masing dari mereka yang menatap ke arahku. Merasa agak risih, kutundukkan pandanganku.
"Nggak apa-apa, Sayang. Maaf ya kalo udah buat kamu nggak nyaman." Ibu Magenta duduk di sebelahku. "Kami semua terlalu senang karena akhirnya Genta menemukan wanita yang tepat."
"Benar Tania yang memperkenalkan kalian berdua, Dira? Saya panggil kamu Dira nggak apa-apa, ya?" Pertanyaan yang dilontarkan Ayah Magenta membuatku seketika mengangkat kepala dan mengangguk.
"Iya, Bapak. Nggak apa-apa. Benar, Pak. Tania yang memperkenalkan kami berdua," ucapku pelan.
"Dira, kamu nggak usah malu-malu. Dari cerita Genta, yang kami tau kamu orangnya galak, lho. Bisa jinakkin Genta yang kayak begitu," tutur Ayah Magenta.
"Kok kamu bisa bikin Genta jadi kayak begini, Dira? I mean, ini perubahan baik. Baik banget," ucap Mbak Ajeng.
Tak tahu harus menjawab apa, aku hanya melemparkan senyum kaku salah tingkah.
Magenta datang dan bergabung dengan kami. Dia terlihat sangat segar dan juga sudah berganti pakaian. Dia segera duduk di sebelahku.
"Maaf, lama. Aku mandi dulu," ucapnya.
"Genta belum mandi pas jemput kamu, Dira. Kalo libur, dia emang males banget. Bangun cuma untuk sholat," sahut Ibu Magenta.
"Bunda, jangan bongkar-bongkar rahasia Mas, dong."
"Biar Nadira nggak kaget kalo nanti kalian menikah." Aku dan Magenta langsung saling menatap. Ada senyuman kecil terlukis di sudut bibirnya.
Kami banyak berbincang. Mengenal lebih dekat keluarga masing-masing. Kutarik kesimpulan bahwa mereka adalah keluarga yang sederhana, walaupun sebenarnya mereka punya segalanya.
"Dira, bawa apa ini?" Ibu Magenta mengeluarkan isi dari paper bag yang dibawakan Mama.
"I-itu namanya kentang Mustofa, Bu. Kebetulan Mama memang suka simpen untuk stok di rumah," ucapku ragu.
"Wah, enak sekali kayaknya. Ada teri medannya. Pas deh kayaknya dimakan pake nasi anget sama sayur lodeh." Ibu Magenta terlihat memindai toples, berusaha membuka ujung selotip yang mengelilingi tutupnya.
Bu, nyari ujung selotip di tutup toples adalah salah satu hal yang paling saya benci 😭
"Ini enak banget, lho. Cobain deh, Yah." Ibu Magenta menyodorkan toples ke Ayah Magenta.
"Enak ini. Mamamu pinter masak ya, Dir."
"Iya, Bapak. Kebetulan Mama punya usaha catering. Nggak besar, tapi alhamdulillah banyak pelanggannya," sahutku. Melihat ekspresi mereka saat menikmati apa yang kubawa membuatku merasa tenang.
Magenta menyenggol lenganku dan berbisik. "Aku bilang apa sama kamu. Ayah sama Bunda nggak gitu-gitu banget. Kamu terlalu overthinking."
"Lain kali, jangan bawa-bawa ya, Dira. Kami nggak mau merepotkan," ucap Ibu Magenta.
"Bun, tadi malah Dira minta Mas temenin ke toko buah. Mau beli parcel buah katanya." Kucubit pinggang Magenta, dan membuatnya meringis. "Sakit, Yang. Kamu kenapa suka banget nyubitin aku, sih?"
"Genta emang usil, Dir. Getok aja kepalanya," sahut Mbak Ajeng.
"Jangan reseh deh, Mbak," sambar Magenta dan membuat semuanya tertawa.
💋
Setelah menunaikan sholat Maghrib berjamaah, aku bergabung dengan mereka untuk makan malam bersama. Lagi-lagi, aku dibuat kembali terkejut. Betapa terkejutnya aku melihat deretan piring-piring yang tersaji di atas meja makan.
"Kami belum tau makanan kesukaan kamu, Dira. Jadi, sengaja kami minta Mbok Mur untuk masak ini semuanya," ucap Ibu Magenta.
"Ibu, ini banyak sekali. Saya jadi nggak enak karena sudah merepotkan."
"Nggak apa-apa. Dimakan, ya. Jangan sungkan. Ini disiapkan khusus untuk kamu."
Merasa sungkan, aku hanya mengambil satu centong nasi. Separuh dari porsi makanku yang biasanya. Bahkan, aku bisa menghabiskan tiga centong nasi kalau sedang lapar.
Dengan pandangan usil, Magenta yang duduk tepat di sebelahku menambahkan satu centong nasi ke piringku.
"Aku tau yang tadi bukan porsi kamu. Yang ini baru porsi kamu." Segera kupelototi dia. Ingin rasanya kujambak rambutnya. "Nggak usah malu. Kalo malu, nanti kamu nggak kenyang, Yang."
Mamaaaa. Dira mau pulang aja.
"Makan yang banyak, Dir," ucap Ayah Magenta.
"Iya, Bapak."
Astaga, bingung harus pilih yang mana. Semuanya terlihat sangat lezat. Udang asam manis, ayam bakar, sambal goreng kentang, bihun goreng dengan irisan cabe hijau, tumisan daging dengan paprika, dan oh...kekasihku. Sayur sop dengan sandung lamur yang melimpah.
"Enak banget," gumamku pelan. Kurasakan betapa melelehnya sandung lamur yang masuk ke mulutku. Ditambah ledakkan pedas dari sambal goreng kentang. Gumamanku terdengar oleh Magenta. Seketika, dia terkekeh.
"Makan yang banyak ya, Yang."
"Jadi, rencana kalian ke depannya gimana, Dira?" tanya Ayah Magenta.
"Untuk ke tahap yang lebih serius, pasti ada, Pak. Dan, belum lama Genta sudah meminta saya secara pribadi untuk menjadi istrinya," jawabku. Jawabanku membuat senyuman di bibir kedua orangtua Magenta. "Tapi, sepertinya untuk waktu dekat ini saya belum bisa. Karena, saya masih harus fokus dengan pendidikan. Saya nggak mau nanti kurang fokus dalam mengurus keluarga."
Terlihat raut sedikit kecewa tercetak di wajah Ayah Magenta. "Usia Genta sudah sangat matang untuk berumah tangga. Seharusnya, dia sudah punya 2 anak. Tapi, kalau memang begitu keputusannya itu menjadi pilihan kalian berdua. Kami selaku orangtua hanya bisa mendukung. Kapan studi kamu selesai, Dir?"
"Masih satu setengah tahun lagi, Pak."
"Kamu masih bisa tahan kan, Mas?" ucap beliau. Magenta mengangguk.
"Iya, Yah. Aku tunggu sampe Dira selesai."
"Ayah sama Bunda perlu ke rumah Nadira untuk berkenalan dengan Papa Mamanya, Mas?" Ucapan Ayah Magenta sedikit membuatku tersentak.
"Kalo Ayah sama Bunda mau, Mas bisa temenin untuk main ke sana. Sekedar mengenal keluarga masing-masing. Boleh kan, Yang?" ucap Magenta. Aku mengangguk.
"Iya, Pak...Bu. Papa Mama pasti akan sangat senang dengan kedatangan Bapak dan Ibu di rumah kami."
"Nadira, jangan panggil saya Bapak. Terlalu kaku rasanya. Jangan panggil istri saya Ibu juga. Mulai sekarang, coba biasakan untuk panggil kami berdua Ayah dan Bunda, ya. Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga kami."
Kulirik Magenta, meminta persetujuannya. Dia mengangguk. Kemudian, kupandangi Ibu Magenta yang duduk tepat di seberangku. Beliau pun juga mengangguk.
"Iya, Pak," ucapku gugup.
"Tuh. Kok Pak lagi?" sahut Ayah Magenta.
"Maksud saya... . Iya, Ayah."
"Nah, kan lebih enak didengernya."
Selesai makan malam, keluarga Mbak Ajeng dan Khaya berpamitan lebih dulu. Sekarang, hanya tinggal kami berempat di ruang keluarga. Aku dan Magenta duduk bersebelahan di sofa yang berbeda dengan Ayah dan Bunda.
"Dira, kamu mau lihat foto-foto waktu Genta masih kecil? Kalo mau, biar Bunda ambilin album fotonya." Aku mengangguk semangat. "Sebentar, ya. Bunda ambil dulu."
"Bunda mau aku bantu?" tawarku.
"Nggak usah. Kamu di sini aja. Ngobrol sama Genta dan Ayah. Bunda cuma mau ambil album di bufet itu." Bunda menunjuk ke arah sebuah bufet jati besar berpelitur hitam doff.
Tak butuh waktu lama, Bunda kembali dengan membawa tiga buah album foto di tangannya. Bunda menyerahkan satu album foto ke tanganku. Kubuka lembar demi lembar album itu. Nampak foto Magenta bayi yang sangat menggemaskan.
"Itu album foto waktu Genta masih bayi. Genta dari kecil emang udah ngeselin, Dira. Liat aja gayanya." Bunda menunjuk sebuah foto dimana Magenta balita sedang berpose dengan sebuah kacamata hitam dan lidahnya yang menjulur. Aku tersenyum melihatnya.
"Kalo yang ini kenapa, Bun? Habjs nangis, ya?" tanyaku. Bunda mengangguk.
"Iya, kayaknya itu waktu dia umur setahun. Dia nangis karena diguyur pake pasir segayung sama kakaknya," ucap Bunda.
"Uh, kasian." Kuusap pipi Magenta yang duduk di sampingku. "Nggak sekalian diguyur pake semen juga, ya."
"Jahat banget kamu, Yang." Magenta mengerucutkan bibirnya.
"Bercanda, Sayang. Gitu aja marah." Dia tersenyum. Bravo!
Aku beralih membuka album foto yang lainnya.
"Ini waktu dia mau masuk sekolah. Nangis karena Ayah nggak bisa anter. Ayah ada dines di luar kota. Ya kan, Yah?" tanya Bunda yang kemudian diangguki Ayah.
"Kan waktu itu hari pertama masuk sekolah, Bun. Mas maunya dianter Ayah sama Bunda."
"Yaudah. Nanti, kalo Mas punya anak, Mas anter anak Mas sekolah di hari pertamanya, ya," sahut Ayah.
"Pasti itu."
"Ini waktu Genta pulang dari pondok. Dia minta jalan-jalan ke Ragunan. Ini masih kelas 2 MTS deh kayaknya. Pas dia kena cacar air. Dia dipulangin. Disuruh istirahat di rumah. Takut nularin temen-temen sekamarnya. Di rumah hampir 3 minggu. Cacarnya cuma 2 minggu, padahal." Bunda menunjukkan sebuah foto. Magenta dengan kaos dan celana jeans selutut. Berpose di depan kandang gajah dengan satu tangan bertumpu di dagu.
Mataku terhenti di sebuah objek. Objek yang jelas sangat kukenal.
"Ini beneran kamu?" tanyaku. Magenta mengangguk.
"Iya lah. Siapa lagi kalo bukan aku. Kenapa emangnya, Yang?"
"Jangan kaget kalo aku kasih tau, ya."
"Apaan sih? Kamu bikin aku penasaran aja."
Kutunjuk objek yang kumaksud.
"Kamu percaya nggak kalo aku bilang ini aku?" ucapku. Kutunjuk seorang anak perempuan kecil dengan baju kodok yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri.
Magenta mengernyitkan keningnya. "Kamu? Jangan bohong. Masa iya ini kamu."
Ayah dan Bunda turut larut dalam obrolanku dan Magenta.
"Coba Ayah mau liat." Kuberikan album foto itu ke tangan Ayah. "Kayaknya, anak ini sekitar umur 5 atau 6 tahun."
"Iya, Ayah. Di foto itu, aku masih TK kalo nggak salah."
"Seriusan itu kamu?" tanya Magenta.
"Iya. Itu aku. Itu yang ada di sebelahku Kak Nadia."
"Takdir itu unik ya, Yang."
-To be continued-
Hai..apa kabar kalian semuanya?
Sehat, kan?
Sehat selalu, ya.
Target votes masih belum tercapai.
Tapi, karena Miss sayang banget sama kalian semua...jadi Miss percepat updatenya.
Chapter ini agak panjang, lho.
3126 kata tanpa embel-embel bacotan Miss.
Gimana?
Suka?
Nggak tegang, kan?
Tegang terus bosen ah.
Lanjut nggak nih?
Boleh minta votesnya?
😘😘
Miss tunggu, ya.
Show me your kindness, please.
See you on the next chapter, as soon as possible.
Miss sayang kalian banyak-banyak ❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top