Nadira -1-
SANGAT DISARANKAN UNTUK BACA "DIA (OMKU) SUAMIKU TERLEBIH DAHULU.
BOLEH YA LEBIH AKTIF DI SINI. MISS TUNGGU VOTE DAN COMMENTNYA.
Orang bilang, aku adalah manusia tersantai yang ada di muka bumi ini. Bahkan, kedua kakak kandungku yang sama-sama berasal dari rahim Bu Haryo, juga sampai dengan teganya berkata kalau aku masih akan tetap santai walaupun saat Malaikat Israfil meniupkan sangkakalanya.
Nggak gitu juga elah.
Aku masih saja menjadi kacung bergaji tinggi yang dipekerjakan kakakku, Kak Nadia di cafe miliknya. Kalau mau lebih keren, aku biasa disebut Co-Owner. Tapi, nyatanya aku lebih mirip seorang babysitter infal yang harus selalu siap sedia dipekerjakan.
Ya, mengasuh 3 keponakan kecilku dan Bundanya. Tidak, tidak. Aku serius. Ini bukan kesalahan dalam menulis, dan kalian memang tidak salah baca. Aku memang mengasuh Kak Nadia. Kak Nadia akan dengan seenaknya memanggilku untuk datang ke rumahnya. Dia tambah menjadi karena sekarang dua anak kembarnya sudah mulai banyak tingkah.
"Dir, temenin gue. Mas Kala balik malem."
"Dir, kalo ke sini jangan lupa bawain banana cinnamon roll cake, ya."
"Dir, keponakan-keponakan kangen sama Tante Dira katanya."
"Dir, tolong cebokkin si Naya ya."
Dasar orang gila!
Mama. Mama masih saja menganggap aku sebagai anak kecil yang kemana-mana harus selalu membuat berita acara.
"Mau kemana, dek?"
"Dira mau ketemuan sama temen-temen."
"Di mana?"
Ma, please. Aku nggak punya niatan macem-macem, lho. Aku anak polos, Ma. Serius.
"Di emol, Maaaa. Di emol. Mama mau ikut? Hayuuuuk. Dari tadi nanya terus kayak satpam."
"Ada acara apa, dek?"
"Kangen aja udah lama nggak ketemu."
"Pulangnya jam berapa?"
Mamaaaaaa. Aku bukan anak SD lagi. Huwaaaa.
"Ma, mendingan Mama ikut aja, yuk. Ajak Papa deh sama Bude Ros sekalian. Ma, Dira udah mau 30 tahun lho. Udah bukan bocah lagi."
"Justru kamu udah bukan bocah lagi, Mama banyak tanya. Soalnya kamu udah bisa ngelahirin bocah."
Ya ampun Emak gueeeee.
"Astaga, Mama. Nggak gitu juga kali."
Mamaku yang sedang asyik mengaduk-aduk rendang daging sapi super empuknya mulai berkacak pinggang di hadapanku. Aku tahu, saat Mama sudah begini itu artinya ceramah siraman rohani.
Mamah, curhat yuk!
Iya dong. Lho???
"Dek, sekarang tuh banyak kasus-kasus aneh. Bilangnya ketemuan sama temen. Eh, ternyata temen ketemu di Facebook lah, Instagram lah. Ntar tau-tau nggak pulang berbulan-bulan. Mama kan takut, dek."
Nah kan!
Ma, aku terharu. Tapi, Mama terlalu... Ah syudahlah.
"Tapi Dira kan nggak ketemuan sama temen Facebook atau Instagram, Ma. Dira cuma mau ketemu Tania, Adri sama Resti. Mama nggak lupa kan kalo Dira punya temen namanya Tania, Adri sama Resti?"
"Jangan cuma main, dek. Cari jodoh dong sekalian."
"Ma, Dira masih nyaman begini."
"Justru kamu udah terlalu nyaman, dan akhirnya malah terbuai. Kamu nggak mau berumah tangga dan punya anak, dek?" tanya Mama.
Pertanyaan konyol, Ma. Gue pengen juga kali berkembang biak secara halal.
"Ya mau lah, Ma."
"Ya makanya cari. Anak-anak Mama nggak ada yang jelek, kan. Mas Rama ganteng. Kak Nadia cantik. Kamu juga cantik. Masa iya nggak ada laki-laki yang mau sama kamu."
Ada Ma. Ada. Waktu itu. Cuma.... Ah syudahlah.
"Yaudah gini aja, Ma. Dira mau jalan dulu. Doain aja. Siapa tau ketemu jodoh, kan."
"Dek, kenapa nggak sam---"
"Cukup, Ma. Dira berangkat. Assalamualaikum."
Aku tahu kemana arah pembicaraan Mama.
💋
"Duh. Nggak ada kapok-kapoknya lo ngenalin gue sama cowok. Lo nggak bosen gagal terus ngejodohin gue? Gue aja bosen banget. Serius deh."
Sepertinya, di mata ketiga curut ini aku sangatlah menyedihkan. Berkali-kali mereka selalu berusaha menjodohkanku dengan seseorang, ah lebih tepatnya beberapa orang laki-laki. Hasilnya? Jelas gagal. Tak pernah ada kecocokkan yang terjadi di antara aku dan "beberapa orang" laki-laki itu.
"Sengenes itukah gue di mata lo pada?" Bukannya menjawab, mereka bertiga malah asyik menyeruput coke float dengan tampang tanpa dosa. Bangke! Sempak gorilla!
"Ehm. Nah, itu pinteeeeer! Ngenes banget kita ngeliat lo. Itu tangan lo sampe ada sawangnya, saking udah lama nggak dipake gandengan sama cowok." Suara Iblis. Iblis dari Bojong Gede, Adri.
Eh, sialan juga!
Eh, tapi bener.
"Siapa lagi yang mau dikenalin ke gue?" tanyaku. Kulempar pandang ke arah tiga gemblong kampret yang ada di depanku.
"Sepupu gue, Dir. Gue baru inget kalo kakak sepuu gue itu bujang lapuk," ucap Tania. Lho kok?? Bujang lapuk disodorin ke gue nih?
"Lama-lama, gue ngerasa kalian tuh kayak germonya gue, yang tiap ada pelanggan gue langsung dihubungin buat ngelayanin."
"Lo mau kita bisnisin, Dir?" celetuk Resti. "Ya kalo mau bagus sih. Lumayan buat penghasilan tambahan kita. Nanti kita buka via online juga."
"Bangke! Gue belom kehabisan duit sampe kudu begitu."
"Jelas lah. Siapa sih yang nggak tau Haryo Sutanto. Biar kata cuma bisnis baja ringan, tapi bisa ampe nembus rumah anggota DPR, rumah menteri ampe Istana Bogor. Percaya sih kalo duitnya nggak berseri. Nggak pernah sepi job." Ini mulutnya orang Bojong Gede bisa dirobek aja nggak sih?
"Lo mau ya gue kenalin ke kakak sepuu gue? Mau yaaaa." Tania mulai memainkan mata genitnya di depanku.
Ck, please Tan. Gue jyjyk liat lo begitu.
"Ok." Kulihat 3 gembel ini terlihat sangat senang mendengar jawabanku. Namun, segera berubah ketika kulanjutkan ucapanku. "Tapi, gue nggak janji jadi, ya. Kalo cocok gue pertimbangkan. Kalo nggak, sorry to say."
"Berasa abis diajak terbang. Tau-tau dijatohin. Suka banget sih kayak gitu? Ayok lah, umur lo udah berapa. Jangan cuma sibuk cari duit sama ngejar pendidikan aja. Nikah woy." Lagi-lagi Adri. Korek mana korek. Mau bakar aja eh.
"Hilih! Omongan lo pada tuh kayak udah ngerasain nikah aja. Lo bertiga juga pada belom nikah. Justru, di antara kita berempat, gue yang paling muda. Secara gue kemudaan setahun pas masuk SD"
"Karena kita maennya sama lo, Dir. Kayaknya ngaruh deh. Lo semacam bawa pengaruh gitu ke kita. Makanya, kayaknya kita kudu ngeruwat lo dulu. Biar nanti kesialan ini berakhir dengan cepat," ucap Resti.
Kuangkat daguku sombong. Memasang pandangan tajam ke arah tiga gemblong itu. "Nggak usah jadiin gue alesan. Emang lo pada belom punya modal untuk nikah, kan. Perlu nggak gue jabarin lagi satu persatu?"
Skat mat! Tak ada yang berani menimpali ucapanku.
"Gue pengen liat dulu yang mau dikenalin ke gue kayak apa orangnya." Tania segera mengambil ponselnya dan mengetik sebuah nama di kolom oencarian Google.
"Nih orangnya. Gue nggak punya poto dia. Profile picture WAnyapun cuma gambar pemandangan. Jadi nggak bisa gue tunjukkin ke lo." Kuambil ponsel Tania dan segera mengamati.
Waduh. Ini sih kelas berat.
"Lo nggak salah?" tanyaku.
"Kenapa?" Tania mengernyitkan keningnya.
"Dia yang punya Transtar Media. Gue cuma remah rengginang."
"Remah rengginang yang masuk ke Istana Bogor," celetuk Resti.
Transtar Media adalah stasiun TV swasta yang sangat terkenal, berada di bawah naungan raksasa bisnis Star Corp. Acara-acara yang ditayangkanpun sangat berkualitas. Tak ada drama istri menangis karena suami direbut paksa oleh sekretarisnya. Atau, drama dimana suami dengan gampangnya mengucap kata talak yang kemudian diakhiri dengan soundtrack dari suara diva pop yang mendayu-dayu.
"Biar gue yang atur. Dia nggak sebegitunya," ujar Tania dengan suara tenangnya.
"Jangan asal atur dulu. Gue mau pastiin satu hal. Dia di umurnya yang segitu, uang melimpah ruah tapi masih sendiri ada 2 kemungkinan. Pertama, emang dia nggak mau berkembang biak. Kedua, dia nggak normal."
Aku butuh penjelasan. Karena bagiku, perjodohan itu seperti membeli kucing dalam karung. Dan itu membuatku kapok sekapok-kapoknya. Entah kapan itu terjadi, yang kuingat alah satu dari laki-laki yang mereka kenalkan padaku sempat berlaku tidak senonoh. Saat kami sedang dalam tahap saling mengenal, laki-laki itu langsung meruntuhkan keinginanku untuk melanjutkan ke tahapan selanjutnya. Laki-laki itu menyodorkan film porno yang didownload di ponselnya. Memintaku untuk bergabung bersamanya menikmati film mendesah-desah gemash itu. Jelas aku menolak. Tak sampai di situ, setelah aku menolak dia meraih tanganku dan menaruhnya di atas celana jeansnya, lebih tepatnya tempat dimana "burungnya" bersarang. Iyuuuuuh.
"Astaga, Dir. Kakak sepupu gue itu normal. He is straight. Cuma emang belom ketemu aja jodohnya. Dia juga bolak-balik dijodohin sama cewek. Nggak nanggung-nanggung. Yang terakhir, mantan Putri Indonesia."
"Jangan pernah paksa gue ya kalo yang ini nggak berhasil," pintaku. Mereka mengangguk pasrah.
"Transtar Media yang nyiarin Chef Barra's Secret Recipe, kan?" tanya Resti. Kucoba untuk bersikap masa bodoh. Tapi, lebih tepatnya bodo amat.
"Ngomong-ngomong, Chef Barra Adiguna itu Om lo kan, Dir? Maksud gue, dia masih jadi Om lo, kan?" Ucapan Adri sukses membuatku langsung menengok ke arahnya.
"Ya masih lah. Emangnya dia bisa jadi apa lagi selain jadi Om gue?"
Cuaca panas njeder-njeder sudah membuat volume otak Tania yang pada dasarnya sudah jauh di bawah rata-rata tambah berkurang dan tidak bisa diberdayakan lagi untuk berpikir. Tania hampir membuatku memuncratkan minuman yang masih tertahan di mulutku.
"Kalo gue jadi lo, Dir. Mending gue nikah aja sama dia. Nggak perlu ribet lagi kayak begini."
Eh. Apaan sih.
Sempet mikir gitu juga. Tadinya. Awalnya.
Lo nggak tau aja gimana dramanya. Beruntung sih pada nggak tau. Kalo sampe tau, beuuuuuh. Gempar sudah dunia persilatan. Eh?
"Ngelantur aja mulut lo kalo ngomong," sahutku.
💋
Hal pertama yang kulakukan setelah sampai rumah adalah, mengasah kemampuan tersembunyi kaum hawa, "Stalking". Kemampuan mencari informasi yang dimiliki para wanita bisa melebihi FBI sekalipun. Kuketik nama panjangnya pada kolom pencarian di Google. Thanks Google!
Kupelajari semua informasi tentangnya, keluarga bahkan semua berita di laman gosyip, digosok makin syiip yang membahas tentangnya.
Sefamous ini dia, ternyata.
Selain pencarian di Google, aku juga mengerahkan segala kemampuanku untuk mengarungi samudera perInstagraman. Memang hanya 1 orang yang mempunyai nama seunik itu.
Normal.
Nggak lebay.
Fotonya keren.
Dan...
Ganteng.
Astaga, sudah lama jiwa ciwi-ciwiku tidak meraung-raung melihat penampakan maha sempurna. Membayangkan pertemuan pertama yang bahkan belum terjadi pun sudah cukup membuatku sakit stomach. Pantaskah aku yang lebih senang berflat-shoes ria dengan harga diskonan hari raya berjejer dengannya yang bahkan sangat mampu makan breakfast di Singapura, makan lunch di Swedia dan sekedar numpang buang air kecil di Inggris Raya??
Haduh.
Bisa diajak makan pecel lele di pinggir jalan yang minyaknya hitam sekelam malam nggak ya?
Duh, apa kabar table manner gue yang amburadul? Makan steak aja gue minta kobokkan.
Bercanda.
Setania
Dir, gue udah bilang ke
kakak sepupu gue.
Dia bilang ok.
Nadira
Terus?
Setania
Gue udah atur pertemuan
kalian.
Nadira
Kapan?
Setania
Besok.
Nadira
Besok?
Setania
Iya, besok.
Nadira
Setan!!
Orang-orang bilang, orang kaya itu selalu tepat waktu. Aku tak percaya diriku, yang dengan mudahnya mengiyakan tawaran dari setan itu. Aku datang satu jam lebih awal dari waktu yang sudah ditentukan Tania.
Di sinilah aku. Duduk dengan fokus yang selalu terarah ke pintu cafe. Melihat ke seluruh penjuru cafe. Memastikan tak ada satupun paparazzi yang akan mengambil fotoku diam-diam dan memasang fotoku di headline koran ibukota besok pagi, dengan tajuk "Gembel Merayu Bos Stasiun TV".
Tiba-tiba, kurasakan ada sosok tinggi besar yang datang mendekat. Bukan, itu bukan sesosok Genderuwo. Ini beda. Kalaupun benar dia Genderuwo, aku berani bertaruh dia adalah yang paling tampan sebangsanya.
Sosok yang tengah berdiri di hadapanku, dengan kemeja flanel yang bagian lengannya digulung sampai siku, celana jeans dan sneakers belel.
Ini seriusan 35 tahun??
Untung tadi nggak jadi make kebaya.
Jelas sangat berbeda. Apa yang kulihat di internet sangat jauh berbeda dengan apa yang kulihat saat ini. Di laman Google, semua foto yang terpampang hampir menampilkan dia dengan balutan busana formal. Apalagi kalau bukan setelan jeans yang digosok sampai licin dan dasi ciamik yang disimpul di kerah kemejanya. CEO boooo. Yekaleeee pake kaos kutang sama celana boxer.
Lamunanku buyar seketika saat mejaku diketuknya 3 kali.
"Hai."
Kukedipkan mata untuk mengumpulkan semua kesadaranku.
"Lama nunggu, ya?" ucapnya. Kupandangi dia yang sedang menatapku dari atas sampai ke bawah.
"Oh, nggak kok. Belum lama."
"Boleh duduk?" Dia menunjuk kursi kosong yang ada di depanku.
"Silahkan...silahkan duduk."
"Sudah pesan?" tanyanya. Aku menggeleng. "Kita pesan dulu?"
Kuanggukkan kepalaku mandjah. "Boleh."
"Kamu mau apa? Biar saya pesankan."
"Susu." Bego! Susu?? Nggak elegan, Dir! Segera kuralat ucapanku. "Maksudnya, strawberry milkshake."
Segera dia melambaikan tangan berisinya untuk memanggil pelayan cafe. Setelah pesanan kami selesai dicatat, pelayan itu kembali ke bagian depan untuk menginput pesanan kami.
"Eh, maaf. Saya belum memperkenalkan diri." Kuulurkan tanganku ke arahnya. Etika perkenalan dasar. Eaaaa. "Nadira. Nadira Maharani Sutanto."
"Genta. Magenta Priambodo Kamil."
-To be Continued-
Halloooooo.
Nggak bilang-bilang.
Tau-tau update.
Miss kasih chapter pertama ya.
Semoga suka.
Suka nggak???
Pernah denger nama itu???
Yang ngikutin Miss dari awal pasti ngerti. Karena sebelum publish cerita ini sebenernya Miss udah punya cerita yang siap publish.
Nah, ceritanya tentang si seseMas ini nih. Tapi, harus masuk kandang lagi.
Jadi, konsepnya begini.
Begini ceritanya.
Jadi gini.
Gini lho.
Ahahaha
Jadi, untuk D.J Miss menerapkan sistem chapter kayak gini.
Jadi next chapter bakalan jadi "Barra -1-"
Begitu yaa.
Paham kan?
Next????
150 votes dan comment tembus 100. Kalo nggak tembus ya mon maap sabar aja dulu.
Update di lapak ini nggak akan bisa kayak di lapak KalaDia yaaa.
Miss sayang kalian banyak banyak. ❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top