Magenta Priambodo Kamil
Semoga suka yaaaaa.
Happy reading yaaaa.
Ayo kita mengenal Magenta lebih dekat.
Kalo udah selesai baca, boleh ya bisikkin Miss gimana sih tentang Magenta.
Bisa yaaaa.
Bagaimana sih rasanya menjadi bujang lapuk di usia 35 tahun? Tanya aku. Aku paham betul bagaimana rasanya. Rencana menikah dengan wanita pujaan hati yang sudah tiga tahun kudampingi kandas karena masalah materi. Berkali-kali dijadikan bahan uji coba usaha pencarian tambatan hati. Aku bagaikan roti gambang yang dijajakan di gerobak tukang roti yang lewat di depan rumah setiap hari. Bolak-balik ditawarkan ke sana-sini. Malang nian diri ini. Masih penasaran bagaimana rasanya? Sudahlah. Biar aku saja yang merasakan. Kalian tidak akan sanggup.
"Kapan nikah?"
Sudah tuli rasanya kupingku. Beribu-ribu kali mendengar pertanyaan itu. Setiap mengantar Bunda ke acara arisan dengan teman-temannya. Setiap mengantar Bunda berbelanja kebutuhan bulanan, yang entah kenapa kurasa dunia seakan tak pernah berpihak padaku. Ada saja moment dimana secara tidak sengaja kami berpapasan dengan satu dua teman-teman Bunda. Dan, sudah pasti obrolan tentang hal "itu" tak bisa kuhindari. Sial.
Eit. Jangan pernah berpikir aku adalah anak manja yang selalu menemani kemanapun ibunya pergi. Kebetulan. Kebetulan semua supir sedang tidak ada. Kebetulan aku punya waktu luang. Dan, kebetulan aku sedang kurang beruntung.
"Genta, ayo dong nikah. Kamu udah pantes banget lho punya tiga anak. Mumpung Ayah sama Bunda masih sehat. Masih bisa momong cucu."
Itu siapa? Tante Arini. Ibu-ibu usia di awal 60an, sepertinya, dengan rambut sasakkan setinggi gedung teater Keong
Mas TMII sekaligus istri dari seorang Kunto Wibowo, pengusaha batubara terkenal yang berpusat di Kalimantan. Sepertinya sudah menjadi hobi Tante Arini yang setiap kali melihat wajahku di depan matanya untuk menanyakan masalah pernikahan.
"Yang kemaren jangan dijadiin trauma. Cari lagi yang lain."
Okay. Anggaplah mencari pasangan semudah mencari celana dalam di lemari.
"Bunda, istri aku udah nggak enak banget nih dipakenya. Aku mau ganti istri yang lain boleh?"
Kelakar yang selalu kulontarkan setiap kali Bunda memintaku untuk menikah. Dan, selalu. Bunda menjitak kepalaku dengan sangat entengnya.
"Dasar bocah edan."
"Bunda sih. Aneh-aneh aja. Cari calon istri itu nggak kayak beli kacang di layar tancep, Bun. Bunda doain aku aja, ya. Semoga cepet bisa kasih Bunda menantu perempuan."
"Jangan lama-lama dong, Mas. Mbak Ajeng sama Khaya udah punya anak, lho."
Mbak Ajeng. Ajeng Pramesthi Kamil. Kakak perempuanku satu-satunya. Jarak usia kami hanya terpaut 2 tahun. Mbak Ajeng tergolong terlambat menikah. Dia menikah di usia 32 tahun. Mbak Ajeng menikah dengan jalur perjodohan yang sudah diatur sedemikian rupa oleh kedua orangtuaku. Dia memang anak yang penurut. Kuakui itu. Mbak Ajeng membuka sebuah butik setelah menikah dengan suaminya. Untuk mengisi waktu luang, katanya. Pernikahannya dengan Mas Afwan dikaruniai 2 orang anak. Abidzar dan Shanum, yang masing-masing berusia 5 dan 3 tahun.
Sedangkan si bungsu Khaya Pratista Kamil, baru saja melahirkan anak pertamanya. Khaya berhasil memenuhi impiannya untuk menikah di usia 30 tahun. Aku dan Khaya terpaut usia 4 tahun. Khaya menikah dengan laki-laki yang sudah dipacarinya selama 5 tahun. Laki-laki dari keluarga biasa tapi punya tanggung jawab yang sangat luar biasa, Rizki. Saat ini, Rizki membantuku untuk mengurus bisnis keluarga kami. Rizki dikhususkan memegang StarPark dan Kamil Foods.
Berkali-kali dikenalkan dengan anak kolega sampai teman cabutan sudah kurasakan. Tapi, belum ada satupun yang "nyangkut" di hati. Kebanyakan dari mereka terlalu kepo dengan jumlah kekayaan yang dimiliki orangtuaku. Padahal, apalah artinya aku jika mereka mengusirku dari rumah. Gembel. Aku akan menggembel.
Sampai akhirnya...
Tania
Mas.
Mas.
Mas.
Mas.
Magenta
Gila?
Tania
Mas.
Mageta
Apaan sih lo?
Tania
Gue lupa kalo punya sepupu
bujang lapuk.
Gue kenalin ke temen gue mau, ya?
Magenta
Dianya mau?
Tania
Mau.
Magenta
Kapan?
Tania
Besok.
Magenta
Ok.
Tolong ingatkan aku bahwa pertemuan kali ini bukanlah usaha pertamaku untuk menemukan pendamping sehidup semati sedunia sesurgaku. Eaaaa. Tapi, memang itu yang diharapkan, kan? Menikah sekali seumur hidup dengan seseorang yang tepat.
Jujur, aku merasa sangat lucu saat orang-orang dengan gampangnya menyimpulkan bagaimana diriku. Padahal, mereka tidak tahu sama sekali, tapi berlagak sok tahu. Mereka bilang, seleraku soal wanita yang terlalu tinggi yang membuatku betah melajang sampai saat ini. Hmm, malas membahasnya. Aku tak pernah menetapkan standar sama sekali. Cantik? Lupakan. Fisik akan memudar seakan berlalunya waktu. Bagiku, kenyamanan adalah nomor satu. Dan, yang paling penting dia sayang dengan keluargaku. Terutama Bunda. Mendapatkan pasangan yang bisa akrab dengan Bunda adalah impianku.
Tak lama, Tania mengirimiku sebuah foto. Foto seorang gadis dengan rambut sebahunya yang dibiarkan terurai. Tanpa make up dan polesan apapun itu. Dan anehnya, dia terlihat sangat cantik. Tania menambahkan sebuah caption di bawah foto itu.
"Namanya Nadira, Mas. Nadira Maharani Sutanto."
💋
"Mas, kok udah balik kantor?" tanya Bunda yang tampaknya kebingungan melihatku sudah menjelma menjadi Magenta yang sesungguhnya. Magenta yang lebih suka memakai kemeja flanel, celana jeans dan sneakers belel yang entah kapan terakhir kali sempat kucuci. "Mau pergi?"
"Iya, Bunda. Ada janji. Mas pulang agak maleman, ya."
"Jangan kebanyakan main. Cari calon istri sekalian." Kuhampiri Bunda yang sedang menata makanan di meja makan. Kupeluk Bunda dari belakang, dan kutumpukan daguku di pundaknya.
"Mas pergi untuk ketemu sama seseorang yang potensial untuk jadi calon menantu Bunda. Doain Mas ya, Bun." Bunda segera membalikkan badannya dan mencium keningku.
"Semoga ini rejekinya Mas, ya. Bunda doain yang terbaik. Hati-hati di jalan ya, Mas."
Aku sampai di tempat yang sudah dikirimkan Tania melalui pesan WA siang tadi. Sebuah cafe yang literally bisa dibilang cukup dekat dengan rumahku. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam cafe dengan penuh percaya diri. Kupindai semua sisi yang ada di dalam cafe. Itu dia. Sosok yang kulihat lewat foto yang dikirim Tania. Terlihat berbeda.
Jauh lebih cantik dari yang kulihat di foto.
"Hai." Kuketuk meja yang ada di hadapannya 3 kali. "Lama nunggu, ya?"
"Oh, nggak kok. Belum lama."
Kami berdua saling memperkenalkan diri. Menurutku, Nadira adalah sosok wanita yang santai. Dilihat dari cara bicaranya yang terkesan apa danya. Nadira tak terlalu banyak berbasa-basi.
"Umur kamu beneran udah 35?" tanyanya. Aku mengangguk.
"Lebih tepatnya 36 tahun. Berita di media terlalu sok tahu. Kenapa? Kamu malu ya jalan sama saya yang udah tua?"
Dia menggeleng dengan cepat. "Eh, bukan begitu. Justru, kamu nggak keliatan umur 36. Penampilan kamu, nggak kayak om-om. Kalo pecinta K-Drama bilang, istilah yang tepat buat kamu itu "Ajusshi rasa Oppa"."
Aku berpura-pura menyipitkan mataku. Aku paham apa yang diucapkannya. Sedikit banyak aku sering mendengar dua kata itu. Terima kasih untuk berhembusnya ombak kebudayaan Korea di negara ini. "Oppa? Kakek?"
Nadira tersenyum. Mungkin dia pikir aku tidak mengerti arti kedua kata itu. Lega rasanya karena Nadira tidak merendahkanku. Nadira bilang ungkapan itu memiliki makna yang baik.
Aku dan Nadira sepakat untuk menjalankan hubungan ini sesuai alur takdir, meski tanpa status. Sempat membuatku bingung kenapa Nadira tidak menginginkan adanya status di hubungan kami. Dia butuh waktu untuk meyakinkan dirinya tentang diriku, mungkin. Merasa gemas. Tapi, kucoba untuk mengikuti apa yang diinginkan.
Sebulan lebih menjalin hubungan tanpa status dengannya membuatku sedikit mengenalnya lebih dalam. Sesuai dengan dugaanku di pertemuan pertama kami. Nadira memang sosok wanita yang santai, bahkam kelewat santai.
Nadira. Hanya dia yang bisa merubahku menjadi seorang budak cinta. Sepanjang kisah perjalanan cintaku, aku tidak pernah menjadi sebucin ini. Nadiralah yang bisa membuatku bolak-balik melirik ponsel di tengah rapat penting pemegang saham perusahaan. Hanya dia.
Nadira mulai mengenalkanku pada kakak perempuannya, Nadia. Bagiku, itu merupakan sebuah langkah besar. Kusampaikan keinginan terpendamku padanya saat kulihat sebuah foto keluarga berbingkai besar yang terpasang di dinding ruang tamu rumah Nadia. Kukatakan padanya bahwa aku mau suatu saat nanti keluarga kecil kami bisa berpose dalam sebuah foto keluarga.
💋
"Mas, Tania bilang sama Bunda. Katanya Mas dikenalin sama temennya. Bener begitu?" ucap Bunda. Aku mengangguk. "Gimana hasilnya?"
"Hasil apanya, Bun?" tanyaku.
"Anaknya baik?" sambar Ayah.
"Banget. Ayah sama Bunda pasti suka sama dia," sahutku.
"Cepet bawa ke sini ya, Mas. Kenalin ke Ayah sama Bunda."
"Doanya ya, Bunda...Ayah. Tolong soain Mas."
Bertemu keluarha besar Nadira menjadi hal yang sangat kunanti-nantikan. Terlebih bergabung di acara keluarga besar. Aku terkejut saat kudapati Barra ada di antara tamu yang hadir. Awalnya, kupikir dia adalah tamu yang diundang. Tapi ternyata...
Kenyataan yang sangat mencengangkan adalah saat kuketahui kenyataan bahwa Nadira adalah keponakan dari Barra, temanku. Sempat kecewa karena Barra tidak pernah memberitahukannya padaku. Padahal, sehari sebelum pertemuanku dengan Nadira saat itu, aku sempat berbincang dengan Barra di restorannya. Bahkan, kukatakan padanya bahwa wanita yang akan kutemui adalah Nadira.
Guyonan dari salah satu sepupu Nadira sempat membuatku kurang nyaman.
"Wah, lo nggak jadi dapetin Om Barra dong, Dir!"
Apa maksudnya semua itu?
Moodku sukses terjun bebas karena guyonan itu. Ditambah kuingat ekspresi semua anggota keluarga Nadira yang tertawa lepas. Aku lebih banyak diam setelahnya. Nadira yang lebih banyak mencoba memancingku untuk berbicara. Kumantapkan hatiku untuk menanyakan perihal hubungannya dengan Barra. Entah kenapa hati kecilku merasa bahwa pernah terjadi sesuatu dengan mereka berdua. Bukan jawaban yang kudapat. Nadira hanya menjanjikan untuk memberikanku penjelasan. Okay, kuanggap ini sebagai sebuah hutang. Aku butuh penjelasan.
Keesokan harinya, kuajak Nadira untuk bertemu. Kuminta dia untuk menemaniku menyantap sushi di restoran langgananku. Kupilih beberapa menu favoritku. Saat makanan tersaji, Nadira hanya terdiam melihatku menyantap makanan Jepang itu.
Hmm, salahku yang memintanya untuk menemaniku. Nadira hanya terdiam tanpa sedikitpun mencicipi makanan yang sudah tersaji. Dengan jujur dia katakan, dia tidak suka makanan mentah. Baik. Satu fakta lagi tentangnya yang kupelajari hari ini.
Sebagai penebus kesalahan, kutemani dia untuk menikmati nasi goreng pinggiran yang dijual di dekat komplek perumahannya. Kukatakan padanya bahwa masih ada ruang tersisa di perutku untuk menampung seporsi nasi goreng.
Satu lagi. Nadira sempat memarahiku saat dia menangkap basah aku yang sedang menyingkirkan acar timun dan wortel yang ada di piringku. Baiklah, sekali lagi. Seorang Nadira berhasil membuat Magenta Priambodo Kamil menurut. Kunikmati acar wortel timun itu dengan derai air mata. Bercanda oy.
Di sela waktu makan, Nadira sempat menanyakan perihal hubunganku dengan Marissa. Hubungan yang sudah dibina selama 3 tahun lamanya. Hubungan yang hampir saja berlabuh di pulau pernikahan. Hubungan beda keyakinan yang hampir saja menemukan pintu keluar. Hubungan yang kandas karena masalah uang.
Aku tetap dengan prinsipku. Terbuka. Kuceritakan semua yang terjadi. Termasuk upaya perjodohan dengan Aruna, teman adik perempuanku.
Tiba giliranku untuk menagih janjinya. Janji penjelasan perihal hubungannya dengan Barra.
"Aku pernah pacaran sama dia," ucapnya. "Nggak lama kok. Cuma beberapa bulan."
BINGO!
Kutanya apa penyebab berakhirnya hubungan antara Om dan keponakan itu. Kulihat Nadira berkali-kali menghembuskan napas kasar. Jawaban yang diberikan cukup membuatku geram. Barra yang rupanya belum bisa move on dari sosok almarhumah istrinya menjadikan Nadira pihak yang paling dirugikan. Barra kerap kali membanding-bandingkan Nadira dengan almarhumah istrinya. Menganggap bahwa mendiang istrinyalah sosok wanita yang paling sempurna yang pernah ada di dalam hidupnya.
Shit!
Tak hanya itu, Barra juga tak pernah memgakui status Nadira yang saat itu menjadi kekasihnya di hadapan teman-temannya. Nadira selalu diakui sebagai keponakannya. Selalu.
Aku bertambah geram saat Nadira mengatakan bahwa dia sempat bertemu dengan Barra sebelum akhirnya menemuiku hari ini.
"Dia minta kesempatan," cicitnya.
"Untuk?" tanyaku. "Kembali sama kamu?" Dia terdiam. "Jawab, Dira. Jangan diem aja."
Nadira masih terdiam. Benar dugaanku. Gila!
"Berarti bener, kan. Dira, apa sih sebenernya yang bikin kamu nggak mau hubungan kita punya status?"
"Aku butuh laki-laki yang menghargai aku sebagai seorang wanita tanpa harus dibanding-bandingkan dengan yang lain. Bisa? Karena wanita nggak cuma butuh kasih sayang. Tapi, butuh pengakuan juga."
"Kamu masih ragu sama aku, Dir?" tanyaku.
Kuusap layar ponsel yang ada di atas meja. Sebuah pop-up pesan muncul. Segera kubuka tanpa berpikir panjang.
"Ta, kita butuh ketemu. Ada yang harus kita omongin. Bukan masalah kerjaan. Ini masalah gue sama Nadira. Gue tunggu respon dari lo. "
"Panjang umur. Baru juga diomongin."
"Siapa, Nta?" tanyanya yang aku yakin 1000% hanya untuk sekedar berbasa-basi.
"Yakin nggak tau siapa? Om kamu," sindirku. Kusadari ekspresi Nadira yang seketika berubah drastis.
"Om Barra?" ucapnya. Aku mengangguk.
"Aku tungguin kamu makan sampe selesai. Setelah itu aku anter kamu pulang. Tapi, aku nggak bisa mampir, ya. Aku harus selesein urusanku sama dia," ucapku.
"Nta, jangan aneh-aneh. Aku nggak suka."
"Kamu nggak usah khawatir. Aku cuma mau tau apa sebenernya mau Barra."
"Dia mau bersaing secara sehat sama kamu!"
Bagaikan sebuah bom yang meledak. Akhirnya, kudengar juga apa yang sebenarnya kubenci untuk didengar.
"Begitu?" Kembali kutatap layar ponsel dan mengetik sesuatu. "Aku udah nggak bisa nunda lagi, Dir."
"Nta, jangan aneh-aneh."
"Mungkin sudah jadi takdir Tuhan hubungan kita belum berstatus sampe detik ini. Dira, kalo emang itu mau dia. Bersaing secara sehat, aku terima. Dan, aku mohon ke kamu. Kamu cuma bisa pilih salah satu dari kami. Kalo memang akhirnya kita nggak bisa bersama, itu sudah takdir ya, Dira. Tapi, aku akan berusaha sebaik yang aku bisa."
"Magenta..." ucapnya lirih.
"Kamu sangat pantas untuk aku perjuangkan, Dira."
Setelah selesai makan, aku segera mengantarnya pulang. Memastikan sampai dia benar-benar masuk ke dalam rumahnya. Aku masih terdiam di dalam mobil. Memikirkan semua kemungkinan yang akan terjadi. Kehilangan Nadira atau kehilangan seorang teman. Kembali kulihat balasan pesan yang kukirim untuk Barra.
"Kita bisa ketemu sekarang. Gue selalu punya waktu kalo itu berkaitan dengan Nadira. Gue memang butuh penjelasan langsung dari mulut lo."
Huwaaaaaaa.
Maaf yaaaa.
Baru bisa update.
Ada yang nungguin nggak sih?
Semoga Barra -5- bisa cepet up yaaaa.
Kapal nggak berubah haluan kan?
Masih tetep??
Hahahahah
Salam sayang dari Miss untuk kalian.
Miss sayang kalian banyak-banyak.
Muah muah muah.
💋💋💋💋💋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top