Magenta Priambodo Kamil

Hai, aku post ulang ya. Kisah ini bakal aku post di KARYA KARSA. Buat yang belum sempet baca, boleh ke sana. Tentunya aku juga selipin yang beda. Extra part masih tahap penyelesaian. Batal cetak, jadi aku post di KARYAKARSA. Jadi, aku republish kisah ini sampe nanti babnya selesai launching di KARYAKARSA. STAY TUNED.




Hidupku seakan mendekati sempurna. Ya, hampir sempurna. Entah hal baik apa yang pernah kulakukan. Tuhan membalasnya dengan beribu-ribu kebaikan-Nya. Dikirimkan-Nya seorang wanita baik ke kehidupanku.

Tak pernah kubayangkan alur kehidupanku akan seperti ini. Aku yang semula sudah tak terlalu "ngoyo" untuk berumah tanggan, sekarang malah berbanding terbalik. Membina sebuah keluarga, menjadi tujuanku. Terlebih, membina keluarga bersama  dengannya.

Nadira Maharani Sutanto namanya. Aku suka semua yang ada di dirinya, even the smallest detail on her though. Aku suka kedua matanya yang menurutku agak sipit. Aku suka tubuhnya yang mungil dan...agak berisi. Di saat gadis lain sibuk menjalankan diet ketat mati-matian demi tubuh langsing nan menggoda, Nadira justru memakan apapun yang diinginkannya, tanpa memikirkan tentang bobotnya yang akan bettambah.

Nadira bukanlah wanita yang akan rela makan sangat sedikit dan menahan rasa lapar di tengah makan malam bersamaku demi menjaga imagenya. Dia makan apapun, kecuali terong, tomat dan salmon mentah. Masih jelas ekspresinya saat kusantap seporsi Uni Sushi dengan sangat lahapnya. Menggemaskan.

Seperti kataku. Dia pantas untuk dipertahankan. Sangat pantas. Salahkah aku yang mati-matian berusaha mempertahankan dia walaupun tak ada status dalam hubungan kami? Aku berhak melakukannya, kan?

Pertemuan dengan Barra di apartemenku malam itu menjadi awal mula semuanya. Konyol memang. Barra menggamblangkan semuanya. Dia masih sangat mencintai Nadira. Bukankah sudah terlambat? Tolong koreksi semua kata-kataku, jika memang ada yang salah.

Persaingan sehat. Itu yang dia inginkan. Yang kuingat, selama ini aku melakukannya dengan cara yang sangat sehat. Nadira single, begitu pula denganku. Dan yang terpenting, kami sedang tidak ada hubungan dengan siapapun. Masalahnya apa?

Setelah malam itu, aku perlu waktu untuk mengalihkan semua perhatianku tentang Nadira. Aku butuh berpikir dengan sangat jernih. Keadaan yang sangat langka saat seorang Magenta mengajukan diri untuk dijadikan delegasi perusahaan guna menarik minat investor asing di luar negeri. Tapi, itulah yang kulakukan. Akan kuhabiskan waktuku beberapa hari di sana untuk memikirkan semuannya.

Mungkin dia akan menganggapku sangat kejam. Puluhan pesan dan juga panggilannya tak kurespon. Entah apa yang akan dipikirkannya tentangku. Yang jelas, akan kujelaskan semuanya setelah kepulanganku. Dan dia...akan menjadi tujuan utamaku sesampainya di tanah air.

Beberapa hari terpisah sejauh 4821 km darinya, membuatku sangat rindu. Rindu segala hal tentangnya. Berharap waktu berputar cepat setiap harinya.

Sesampainya di tanah air, kuputuskan untuk segera meneleponnya. Berkali-kali kucoba, dan selalu gagal. Sampai akhirnya kuputuskan untuk menelepon cafe tempatnya bekerja.

"Wah, Mbak Dira udah pulang dari tadi, Mas."

"Dira pulang sendiri, Mas? Soalnya saya coba telepon berkali-kali ke nomernya nggak bisa. Kenapa, ya?"

"Mbak Dira lupa isi pulsa, Mas. Nomernya hangus. Ibu juga tadi sampe nelepon ke sini karena berkali-kali gagal nelepon dia. Tadi, ada Mas Barra ke sini. Mbak Dira pulang dianter Mas Barra."

"Dira nggak bawa mobil?"

"Nggak bawa, Mas. Mobilnya dipake Bapak sama Ibu."

Nyolong start, Barr?

Segera kuminta supir untuk mengantarkanku ke rumah Nadira. Rumahnya masih sepi. Kuperintahkan supir untuk langsung pulang tanpa menungguku. Para pengawal yang setiap hari mengawalku pun sudah kuminta untuk pulang dan beristirahat. Aku hanya ingin menikmati waktuku dengannya. Tapi, sepertinya semua tak akan semudah yang kubayangkan.

Tak kupedulikan bagaimana pandangan orang saat melihatku. Masih dengan setelan jas lengkap lebih memilih duduk di pinggiran pembatas saluran air yang ada di depan rumahnya.

Tak lama, kulihat sebuah mobil berhenti. Tepat dugaanku. Nadira terkejut dengan keberadaanku. Begitu pula dengan Barra. Basa-basi basi pun diluncurkan.

"Udah lama, Ta?"

Menurut lo?

"Lumayan ngasih ko waktu untuk memulai pertandingan kayaknya."

Mendengar jawabanku, Nadira terlihat tidak enak hati, sehingga meninggikan sedikit suaranya. "Magenta."

Merasa hanya menjadi pengganggu, kuputuskan untuk segera berpamitan, mengubur semua angan indah yang sebelumnya sudah kurangkai jauh-jauh hari.

"Aku pamit ya, Dir. Maaf udah ganggu kalian."

Kususuri jalanan sepi sendirian. Katakanlah aku sedikit penakut. Pikiranku terbang ke sebuah rumah kosong yang letaknya tak jauh dari rumah Nadira. Buru-buru kutambah kecepatan laju kakiku melangkah. Sayup-sayup kudengar seseorang memanggil-manggil namaku. Pikiranku travelling, menjadi seorang lulusan pondok pesantren tak langsung membuatku berani akan semua hal, termasuk hal yang tak kasat mata. Karena, bertahun-tahun hidup di pesantren juga banyak kisah mistis yang kudengar. Segera kutambah kecepatan dan melebarkan langkah.

"MAGENTA!! KAMU BUDEK ATAU SENGAJA BUDEK?"

Nadira. Itu suaranya.

"MAGENTA!!! OKE, AKU PULANG!"

Mendengarnya mengucapkan itu, kuputuskan untuk segera menghampirinya. Berlari secepat mungkin, yang kubisa. Dengan napas terengah, segera kurengkuhnya ke dalam pelukan. Menyalurkan kerinduan yang selama ini tertahan.

"Ini aku."

Nadira membalikkan badannya menghadap ke arahku yang masih berusaha menormalkan deru napas.
"Aku panggilin kamu berkali-kali. Kenapa kamu nggak nyaut?" Aku hanya bisa terdiam. "Kamu sengaja?"

"Maaf." Hanya itu yang bisa kuucapkan.

Nadira menyampaikan kekecewaannya. Betapa kecewa dirinya saat pesan dan telepnnya yang tak kurespon.

"Kamu kemana 4 hari ini?" ucapnya.

"Kerja."

"Sampe nggak sempet bales WAku?"

"Bukan begitu," sahutku.

"Aku khawatir sama kamu. Kamu tau nggak? Terakhir kita bicara waktu kamu anter aku pulang malem itu. Aku takut kamu ngelakuin hal yang nggak-nggak waktu ketemu sama Om Barra." Bulir bening menetes dari sudut matanya. Tak ingin melihatnya menangis, segera kuhapus air matanya. "Tangan kamu bersih kan, Nta?"

"Bekas cebok tadi, Dir," ucapku kesal.

Dia tertawa.

Oh, Nadira! Ini yang buat aku bisa suka banget sama kamu.

Kusampaikan padanya hasil pertemuanku dengan Barra malam itu. Nadira terkejut, dia tidak ingin menjadi alasan penyebab retaknya pertemananku dengan Barra.

"Aku nggak mau besar kepala karena ngerasa direbutin sama kalian berdua." Kutatap dua manik matanya lekat-lekat.

"Kenyataannya emang begitu, Dir. Aku sama dia lagi ngerebutin kamu. Paham kan sampe sini?"

"Aku nggak sebegitunya sampe harus diperebutkan sama kalian berdua, kan." Segera kugelengkan kepalaku cepat.

"Aku pernah bilang kan kalo kamu itu sangat pantas untuk diperjuangkan?"

Kugenggam tangannya menyusuri jalan untuk kembali ke rumahnya. Tangan kecilnya terasa lembut saat bergesekan dengan telapak tanganku. 

"Dira, aku tau kenapa Tuhan menakdirkan hubungan ini tanpa status. Karena Tuhan mau sedikit bermain-main sama kita. Aku semakin nggak sabar nunggu kejutan-kejutan dari-Nya." Nadira mendongak dan menatap ke arahku.

Tak terasa kami sudah sampai di depan rumahnya. Kulihat mobil Barra masih setia terparkir di tempat semula. Dengan pandangan setajam elang, Barra menatap ke arahku dan Nadira lewat kaca spion mobilnya. Barra keluar dan membanting pintu mobilnya dengan sangat kasar. Berjalan ke arahku dengan cepat dan...

Satu pukulan mendarat di wajahku.

"Ini yang namanya bersaing secara sehat?" ucapnya kencang. Kilatan amarah terpancar di kedua matanya. Terlihat bukan seorang Barra yang kukenal.

Pukulannya keras. Aku terhuyung. Kulepas genggaman tanganku dan Nadira.

"Lo gila?" sahutku. "Salah gue apa?"

Tak menjawab pertanyaanku, Barra kembali menghampiriku dan meraih kerah bajuku. Bagai tak memberiku waktu untuk bangkit, Barra kembali menghajarku.

"Om! Jangan gila!" teriak Nadira.

"Apa maksud o kayak begini?' ucap Barra. "Bales gue, Ta. Bales. Waktu itu lo bilang ini bukan cara orang dewasa untuk nyelesein masalah, kan? Tapi, lo maksa gue untuk menyelesaikannya dengan cara ini."

"Barr, sekali gue bales, lo bakalan mati."

Barra melayangkan pukulan ke arahku lagi. Tapi, bodohnya Nadira. Kenapa dia malah berlari ke tengah-tengah kami berdua??

Pendengaranku seakan menuli. Hawa panas menjalar ke seluruh tubuh menyaksikan apa yang baru saja terjadi. "Setan lo, Barr!"

Kuhajar dia dengan sangat brutal dan membabi buta. Tak sekalipun kubiarkan dia untuk bangkit dan berusaha melawan. Tak kuhiraukan dengan mulai berlariannya beberapa orang dari dalam rumah untuk menyaksikan pertengkaran kami.

Beberapa orang mencoba untuk melerai. Menahanku untuk tidak kembali menghajarnya. Barra sudah terlihat sangat kepayahan. Dia ambruk.

Kuhampiri Nadira yang terduduk lemas di pinggiran. Tatapannya sayu. Kulihat wajahnya yang sudah terlihat memar. "Kamu nggak apa-apa? Kita ke rumah sakit, ya." Nadira menggeleng. Kuusap pelipisnya dengan ibu jariku. Aku sangat tidak menerima apenolakan untuk saat ini. "Kita ke dokter."

Tak lama, Nadira jatuh pingsan. Segera aku meminta pertolongan dari semua orang yang ada di sana.

"Pak, tolong saya. Tolong antar saya ke rumah sakit," ucapku pada salah satu lelaki setengah tua bersarung.

"Iya, Mas. Ayo saya antar pake mobil saya. Biar istri saya juga ikut nemenin."

"Tolong bawa ke Medika Husada ya, Pak."

💋

Kuminta seorang teman yang yang bekerja sebagai dokter di rumah sakit ini untuk memberikan perawatan terbaik. Apapun itu. Aku tak ingin hal buruk terjadi padanya. Segera kukabari kedua orangtua Nadira lewat Bude Ros untuk menyusul ke rumah sakit.

Kutatap wajahnya yang tengah tertidur lelap selama tiga jam lamanya. Tak sedetikpun kutinggalkan dia. Perlahan, Nadira membuka matanya. Menatapku dengan pandangan sayunya.

"Kamu udah bangun, Dir? Aku panggil dokter, ya?" ucapku yang dijawabnya dengan gelengan kepala.

"Nggak usah. Aku nggak apa-apa. Ini di rumah sakit, ya?" tanyanya.

Kuanggukkan kepalaku. "Iya. Kamu pingsan tadi. Aku langsung bawa kamu ke sini."

Kukatakan padanya bahwa aku sudah meminta Bude Ros untuk menghubungi kedua orangtuanya. Mereka butuh waktu untuk sampai di Jakarta. Nadira terlihat kebingungan.

"Aku harus jawab apa kalo Papa sama Mama tanya tentang masalah ini?" ucapnya pelan.

Kugenggam kegua tangannya. Kuyakinkan dirinya bahwa aku kan selalu bersama dengannya mengahadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. "Hey, kamu nggak sendiri. Ada aku di sini. Kita selesein bareng-bareng, ya."

Jam dinding sudah menunjuk pukul 2 pagi. Kuminta izinnya untuk menunaikan sholat tahajjud. Aku sempat tertidur beberapa saat ketika kami selesai berbincang tadi.

"Aku tahajjud dulu ya, Dir. Kamu tidur lagi aja. Masih malem. Mungkin, Papa sama Mama kamu masih di jalan. Cirebon itu lumayan jauh kalo ditempuh lewat jalur darat."

Nadira tak menuruti permintaanku untuk kembali tidur. Sampai setelah aku selesai menunaikan tahajjud, dia masih tetap terjaga.

"Maaf ya. Kamu harus lihat aku kayak tadi," ucapku.

"Nggak apa-apa. Walaupun sedikit kaget."

Kutatap Nadira dengan serius. Kugenggam jemarinya lembut. "Dir, kita jalani hubungan ini dengan status, ya."

Tak lama sebekum mejelang Subuh, kedua orangtua Nadira sampai di Jakarta. Mereka sangat terkejut melihat keadaan Nadira dengan wajah yang memar. Beragam pertanyaan meluncur. Merasa tak tega melihat Nadira yang diberondong begitu banyak pertanyaan dari kedua orangtuanya, kuputuskan untuk mengambil alih kewajiban menjawab.

"Om...Tante, sebelumnya saya mau minta maaf. Nadira dibawa ke rumah sakit karena tadi ada sedikit insiden di rumah."

"Insiden apa? Ada hubungan juga sama muka kamu yang memar-memar ini?" tanya Om Haryo. Aku mengangguk lemah.

"Saya dan Barra bertengkar di depan rumah. Dan tanpa sengaja... Nadira kena pukul."

Menyempatkan pulang ke rumah untuk membersihkan diri. Seisi rumah bingung melihat keadaanku. Jelas. Aku berkilah bermalam di apartemen alih-alih meengaku menghabiskan malam di rumah sakit menemani Nadira.

"Mas! Mukanya kenapa?" tanya Bunda.

"Kemaren di bandara ada yang kena copet, Bun."

💋

Setelah dua hari mendapatkan perawatan di rumah sakit dan hasil pemeriksaan CT-Scan dipastikan baik, Nadira diperbolehkan untuk pulang dan beristirahat di rumah. Sebisa mungkin, selalu kusempatkan waktu untuk mampir ke rumahnya sebelum dan sesudah pulang kerja. Tak peduli bagaimana sibuknya aku. Karena, saat ini dialah prioritasku.

"Kamu bilang aku mau makan apa. Nanti, aku bawain pulang kantor. Atau, aku bisa delivery untuk kamu."

"Gampang. Ada Papa sama Mama. Kamu kerja aja yang bener, ya."

Sungguh aku merasa sangat "gemas" dengan sikapnya. Perhatianku mental entah kemana. Hati kecilku merasa dia belum bisa menerimaku sepenuhnya.

Pelan-pelan ya, Love.

Menjadi supir pribadi Bunda menempatkanku di sebuah kondisi dimana aku harus kembali bertemu dengan Barra. Konyol. Apa katanya? Jatuh saat camping  di gunung? Hell NO!

Nadira memintaku memenuhi permintaan kedua orangtuanya untuk datang ke rumah mereka. Ternyata, bukan aku satu-satunya yang diundang di sini. Sesuai dengan apa yang dikatakan Om Haryo di rumah sakit, beliau memang berencana untuk mempertemukan kami semua di satu tempat. Jelas itu bukan hal yang memberatkana untukku. Aku juga ingin semuanya jelas.

Dengan mulutnya, Barra mengakui hubungan yang pernah terjalin di antara dia dan Nadira beberapa tahun yang lalu. Dan, dengan tanpa beban dia menyampaikan perasannya pada Nadia di hadapan Om Haryo dan Tante Retno.

"Masih. Dan rasa cinta ini selalu bertambah setiap harinya."

"Kamu yakin itu cinta dan bukan hanya sekedar obsesi?" ucap Om Haryo tegas.

"Iya, Mas. Aku yakin."

Cemburu. Itulah yang membuat Barra sangat gelap mata menghajarku habis-habisan malam itu. Dan rasa cemburu itu pula yang membuatnya menyakiti Nadira, tanpa sengaja.

Aku suka bagaimana kedua orangtua Nadira bersikap. Terlebih Om Haryo. Beliau tidak membela pihak manapun. Beliau juga tidak marah dan menyerang Barra dengan segala caci-maki, walaupun sebenarnya beliau berhak untuk melakukannya. Om Haryo memberikan kami-aku dan Barra untuk berbicara.

Kutanya apa mau Barra. Dengan mantap dia menjawab bahwa dia ingin persaingan di antara kami dilanjutkan. Baik.

Dia tak akan pernah rela melepaskan Nadira, sampai kapanpun. Begitu juga denganku.

Perbincanganku, Barra dan Nadira terdengar semakin alot. Om Haryo berinisiatif untuk menengahi dan mengakhiri kekakuan di antara kami.

"Sudah...sudah. Kayaknya, makin lama makin tegang pembicaraan ini. Di sini, posisi kami berdua hanya sebagai orangtua Nadira. Kami tidak akan berdiri mendukung salah satu pihak, siapapun itu. Sebagai orangtua, kami hanya akan mendukung semua keputusan yang akan diambil Nadira nantinya. Karena bagaimanapun, Nadira juga berhak untuk bahagia. Nadira adalah putri kami. Kebanggaa kami. Bagaimanapun tingkahnya, dia tetap putri kesayangan kami. Dan, untuk kalian berdua. Siapapun nanti yang akhirnya berjodoh dengan putri kami, kami ingin seseorang yang benar-benar bisa membahagiakan Nadira. Bukan hanya menjanjikan kebahagiaan. Dan, apabila jodoh Nadira bukan salah satu dari kalian, anggaplah ini semua hanya bagian dari perjalanan kisah hidup kalian berdua. Kalian bisa menerimanya, kan?" Hanya aku yang mengangguk. Sebaliknya, Barra hanya terdiam mendengarkan ucapan panjang lebar yang keluar dari mulut Om Haryo.

"Maaf sebelumnya, Om. Saya minta izin untuk bicara."

"Silahkan, Genta. Ada yang mau kamu sampaikan?" tanya Om Haryo yang kutanggapi dengan anggukan.

"Selama sebulan lebih saya mengenal Nadira, kami sudah saling mengenal satu sama lain dengan sangat baik. Tapi, sayangnya sejak awal Nadira yang memutuskan untuk kami menjalankan hubungan ini tanpa adanya status. Jadi, bisa dibilang kami berdua bukan pacaran, bukan juga teman. Kami berdua saling menjaga hati. Saya mencoba untuk mengikuti apa yang diinginkan Nadira. Beberapa hari yang lalu, saya coba tanya alasan Nadira. Nadira bilang ke saya, dia perlu yakin dulu untuk berada di dalam hubungan yang berstatus."

"Terus?" sahut Om Haryo.

"Malam itu, di rumah sakit. Beberapa saat sebelum Om dan Tante tiba, saya sudah memutuskan meminta Nadira untuk menjalankan sebuah hubungan yang mempunyai status." Bisa kurasakan tatapan Barra yang menghujam ke arahku.

"Maksud lo apa?" ucap Barra. Aku hanya melirik Barra sekilas. Dan kembali menatap ke arah Om Haryo dan Tante Retno..

"Sejak malam itu, saya dan Nadira resmi berada di sebuah hubungan yang berstatus."

💋

Hubungan kami sudah terjalin. Nadira sudah semakin terbuka. Perhatianku sudah mulai terbalas. Hal ini menghadirkan kebahagiaan dalam hidupku. Perlahan, cintaku bersambut. Aku taku karena tidak hanya aku yang berjuang. Tapi, dia juga.

Satu minggu berjauhan membuat rasa rinduku kian menumpuk. Kewajiban sebagai satu-satunya anak laki-laki di keluarga membuatku memikul beban yang cukup berat. Aku diharuskan memantau beberapa cabang kantor Transtar dan juga gerai retail yang tersebar di beberapa kota. Jadwal menggunung setiap harinya tak jarang membuatku sangat lelah setelahnya.

"Yang, besok aku pulang." Kulihat wajah cantiknya di layar ponsel. Kami terhubung di panggilan video setiap harinya.

"Kamu keliatan capek banget, Nta. Banyak kegiatan ya hari ini?" ucapnya. Aku mengangguk lemah.

"Kayaknya emang aku lagi kurang mujur. Seminggu ini aku capeeek banget. Ke beberapa kantor cabang Transtar plus mampir ke beberapa cabang Transtar Retail. Aku kangen kamu, Yang."

"Kan setiap hari kita videocall. Masa sih masih kangen?"

Selalu, Yang. Selalu.

"Ya beda dong, Yang. Besok sesampainya di Jakarta, aku harus langsung ke Kamil University. Aku dijadwalin ngisi kuliah umum bisnis di sana. Selesai malam, mungkin. Kita ketemu ya," ucapku.

Ya, tak jarang aku dijadikan dosen dadakan di universitas keluarga. Menjadi pembicara di sebuah kuliah umum, di depan banyak mahasiswa dan para petinggi kampus rutin kulakukan. Membagikan kiat-kiat berbisnis dan juga ilmu kewirausahaan.

"Kamu nggak capek?" tanyanya. Kugelengkan kepalaku. Nggak akan capek karena mau ketemu kamu. "Mau aku jemput di kampus aja?"

"Jangan. Biar nanti aku minta dianter Pak Toto." Aku hanya akan menggunakan jasa Pak Toto, supir pribadi Ayah di saat kurasa sangat lelah dan tidak sanggup untuk berkendara sendiri.

"Aku jemput aja, ya," tawarnya. Aku kembali menggeleng. "Yaudah. Kalo kamu capek, ketemunya nanti aja. Gimana?"

"Kan ada kamu. Nanti bisa minta dipijitin. Aku kangen pijitan kamu di telapak tanganku." Aku memang sering memintanya untuk memijit telapak tanganku. Tangannya ajaib.

"Reseh banget, ih. Emangnya aku tukang pijit." Nadira cemberut dan membuat kedua pipinya menggembung.

"Jangan marah, ya. Aku udah siapin oleh-oleh untuk kamu. Mau nggak?" Kukedipkan mata dengan jahil. "Kalo nggak mau, aku kasih ke pramugari aja deh besok."

"Kasih aja sana. Nggak usah nemuin aku lagi."

"Marah, ya?" godaku. Nadira masih cemberut. "Bercanda, Yang. Jangan marah, ya. Kamu kayak nggak tau aku kayak gimana aja, Yang. Hobiku kan godain kamu."

Aku suka perubahan yang ada di dirinya. Nadira tak sungkan untuk menjadi sangat manja. Seperti saat ini.

"Jangan dikasih ke Mbak-mbak pramugarinya, ya," ucapnya pelan. Aku tersenyum dan mengangguk.

Sulit untukku memintanya mengurangi kebiasaan mengonsumsi mie instan yang terlalu sering. Mie instan dan Nadira adalah pasangan abadi.

"Barusan aku makan mie goreng. Aku bikin 2 bungkus. Pake telor sama sosis goreng," ucapnya

"Jangan makan mie terus, Yang."

"Kan nggak sering, Nta. Kalo lagi mau aja. Aku mblenger liat makanan banyak banget di rumah. Mama lagi dapet orderan catering 1000 box."

"Wow. Banyak banget. Di rumah banyak makanan kok malah makan mie sih kamu?"

"Aku mblenger, Nta."

"Kamu boleh makan mie seminggu lagi ya, Yang. Awas aja kalo sampe aku tau kamu makan mie lagi."

"Kalo kamu nggak tau berarti aman dong, ya."

Begitu banyak deretan panggilan yang aku ciptakan untuknya. Tapi, deretan nama itu langsung dicoretnya dengan alasan kurang enak didengar. Dan, akan membuatnya malu jika kupanggil dia di hadapan orang lain.

"Kalo Sugar gimana?"

"Geli, ih."

"Kalo DiMiNta? Kalo ditulis, huruf D, M sama huruf N ditulis pake kapital."

"Eh, apaan tuh?"

"Dira Milik GeNta."

"Astaga, Pak. Anda bukan anak SMP lagi lho, woy." Nadira bergidik geli mendengarkan penjelasanku.

"Geli banget, ya? Sampe begitu." Aku tertawa.

"Pake nanya segala. Aduh, aku nggak nyangka kamu sealay ini, Nta. Pacarku yang alay dulu pas jaman SMP. Eh, sekarang punya pacar alay lagi."

"Kalo ini kamu pasti suka. DiSangGa."

"Apaan lagi itu? Perasaan aku nggak enak."

"Dira Sayang Genta." Nadira segera menggeleng cepat.

"Ogaaaaaah."

"Ditolak lagi? Bener-bener, deh."

"Sayang aja. Mau nggak? Kalo nggak mau yaudah." Tanpa menyia-nyiaka, aku langsung mengangguk semangat.

"Siap, Yang."

"Aku nggak perlu kasih panggilan ke kamu juga, kan?"

"Nggak usah. Cara kamu panggil aku sejak kita udah mulai deket aja udah bikin aku yakin kalo kamu sayang sama aku. Nta. Aku sukaaa."

"Hilih. Pede banget, Pak."

💋

Sengaja tak kuberitahu tempat dimana aku menunggunya. Jelas dia akan sangat menolak jika tahu sebuah restoran mewah yang kupilih. Setelah selesai mengisi kuliah umum, aku langsung meminta Pak Toto mengantarku ke sebuah restoran di selatan Jakarta. Masih dengan setelan jas lengkap. Kutunggu dia di meja yang sudah kupesan beberapa jam sehari sebelumnya. Tak lupa, kubawa sebuah paper bag berisikan baju batik yang khusus kubeli untuknya.

Kulihat dia yang berjalan dengan sangat kesal menuju ke arahku. Kulambaikan tangan ke arahnya.

"Kok lama banget, sih?" ucapku..

"Masih mending aku dateng. Tau gini, aku nggak mau dateng," sahutnya kesal.

"Lho, kenapa?"

"Kamu jebak aku, kan?"

"Kalo nggak begini, kamu nggak bakalan mau makan di tempat ini, Yang."

"Ya bilang, dong. Aku kan malu."

"Malu kenapa?"

"Nggak usah sok polos deh."

"Lho, kok aku disalahin?"

"Baru masuk aja aku udah diliatin. Berasa salah kostum. Apalagi pas masuk. Yang dateng pada pake gaun. Lha aku?? Pake beginian." Kamu cantik, Yang.

"Masalahnya apa?"

"Berasa kayak gembel yang dapet giveaway makan di restoran mahal."

"Sebentar. Jangan marah dulu. Aku mau ke belakang sebentar, ya."

"Kok kamu malah mau pergi? Menghindar?" tanyanya kesal.

"Aku kebelet. Kamu mau aku ngompol di sini?"

Segera aku keluar restoran. Berjalan menghampiri Pak Toto yang masih menunggu di mobil. Kuminta Pak Toto untuk membuka bagasi belakang. Kuambil satu kemeja, celana jeans dan sneakers belel yang selalu ada di mobilku.

"Mas, mau ganti baju?" tanya Pak Toto.

"Iya, Pak. Biar romantis."

Kembali masuk ke dalam restoran setelah berganti baju membuat Nadira terlihat sangat terkejut.

"Aku temenin kamu jadi gembel, ya." Aku kembali duduk di tempat dudukku semula.

"Kamu ganti baju? Ngapain?"

"Masa iya aku tega pacarku dikira gembel. Makanya, aku temenin ngegembel bareng."

Kutanya alasan keterlambatannya. Nadira menjelaskan bahwa dia harus menemani Zayyan yang datang ke cafenya terlebih dahulu. Menangkap ada hal yang disembunyikan, kutodong Nadira dengan sebuah pernyataan. Pernyataan bahwa kami harus saling terbuka dan jujur, sesuai dengan kesepakatan.

"Zayyan tanya ke aku. Bisa nggak nikah sama Papanya. Terus, dia ngelarang aku nikah sama kamu."

Kucoba untuk terlihat setenang mungkin.

"Kamu nggak marah, kan?" tanyanya ragu. Aku menggeleng. "Kok diem aja?"

Kubenarkan posisi dudukku. Menggapai dan menggenggam kedua telapak tangannya.

"Aku mau ngomong."

"Apaan? Jangan bikin aku deg-degan."

"Yang, nikah sama aku mau, ya?"

💋

Satu setengah tahun. Itu waktu yang diajukan Nadira. Dia butuh waktu untuk merampungkan pendidikannya. Baiklah. Sampai waktunya tiba, aku harus benar-benar menjaga kualitas milyaran "Magenta Kecil". Beruntung aku bukan seorang penggila rokok, apalagi alkohol. Hanya merokok di saat-saat tertentu saja.

Sabar ya, little Magentas. Kita tunggu Ibu kalian.

Nadira meminta izinku untuk menghabiskan waktu liburan bersama teman-temannya di Jogja. Kuajukan penawaran padanya jika memang ingin mengantongi izinku, menginap di hotel milikku yang ada di Jogja. Aku tahu dia terpaksa mengiyakan permintaanku. Biarlah, aku hanya ingin liburannya berjalan dengan nyaman.

Sudah kuatur semua fasilitas yang nanti akan digunakan Nadira dan teman-temannya. Aku juga sudah mewanti-wanti orang kepercayaanku di sana untuk memberikan pelayanan terbaik selama mereka ada di Jogja.

"Pak Dika, tolong berikan pelayanan terbaik untuk calon istri saya, ya," ucapku di sambungan telepon dengan Pak Dika yang sudah beberapa tahun ini menjadi orang kepercayaanku untuk memegang hotel cabang Jogja.

"Baik, Pak. Kami akan melakukan yang terbaik."

"Mungkin, calon istri saya akan menolak. Pak Dika bilang aja kalo ini semua saya yang minta. Bilang ke dia kalo Pak Dika nggak berani ngelawan saya."

"Baik, Pak. Nanti akan saya sampaikan ke Bu Nadira."

Benar dugaanku. Tak lama setelah tiba di Jogja dan check-in di hotel, Nadira menerima panggilanku dengan kesal. Memprotes segala bentuk fasilitas yang sudah kuberikan. Sudah kuduga.

"Kamu bikin aku nggak nyaman karena udah nerima tawaran kamu."

"Kok begitu? Justru aku mau liburan kamu sama yang lainnya nyaman."

"Ah tau ah."

"Jangan ngambek, ya. Nanti aku jadi kepikiran. Terus nggak fokus kerja," ucapku. Padahal aku lagi males kerja, Yang. Aku nggak kerja.

"Iya. Aku nggak ngambek. Cuma kesel aja sama kamu."

"Yaudah. Nikmati aja liburan kamu. Jangan lupa sholat, ya. Jangan terlambat makan. Aku lanjut kerja, ya. Mau ada rapat sebentar lagi." Maaf, Yaaaaang. Maaf banget.

"Iya. Happy working, ya," ucapnya.

"Thank you. I love you, Yang."

"I love you too."

Kuputuskan untuk segera memesan tiket untuk menyusulnya ke Jogja. Aku sampai saat mereka tengah menghabiskan waktu di luar. Kuputuskan untuk segera naik ke kamar yang biasanya kugunakan tiap kali berkunjung ke sini. Aku tak memberitahukannya tentang kedatanganku. Sengaja. Kuhabiskan waktuku seharian di dalam kamar sambil mendengarkan laporan perkembangan hotel dari para pengurus cabang Jogja. Kubiarkan Nadira menghabiskan waktu bersama teman-temannya.

Keesokkan harinya, kudapatkan informasi dari Pak Yadi selaku supir yang dihire pihak hotel untuk mengantarkan Nadira dan teman-temannya berkeliling selama di Jogja kalau siang ini mereka akan pergi ke Malioboro.

"Pak, siang ini Ibu dan teman-temannya mau ke Malioboro. Bapak mau saya jemput di hotel nanti?"

"Janga, Pak Yadi. Nanti saya minta dianter supir yang standby di hotel aja. Pak Yadi jangan bilang Ibu kalo saya nyamper ke sana ya nanti."

"Baik, Pak. Laksanakan."

Setibanya di Malioboro, diam-diam kudekati Nadira dan teman-temannya. Berada beberapa langkah dari mereka membuatku bisa mendengar semua pembicaraan yang terjadi di antara mereka berempat. Merasa tak tahan lagi menahan rindu yang sudah "kadung" membuncah, kuoutuskan untuk mempercepat langkah dan...menggenggam tangannya.

Nadira terkejut. Sangat terkejut.

"Kamu ngapain di sini?"

"Nyamperin kamu lah."

Tania dan kedua temannya yang berjalan di depan kami pun menoleh ke belakang.

"Kok lo di sini, Mas?" tanya Tania. Aku tersenyum.

"Kok lo yang reseh? Gue ke sini nyamperin pacar gue. Bukan nyamperin lo."

"Si kampret emang."

"Kok tau kalo kita ada di sini, sih?" tanya Nadira heran.

"Aku telepon orang hotel. Terus, dikasih nomer Pak Yadi. Aku telepon Pak Yadi. Pak Yadi bilang lagi ke Malioboro. Aku samperin deh." Aku bohong lagi, Yang. Sebucin ini aku ke kamu.

"Berarti udah daritadi, ya?" tanyanya lagi. Aku mengangguk mengiyakan.

"Aku cuma beberapa langkah di belakang kamu. Kamunya aja nggak peka aku ikutin."

"Berarti lo denger obrolan kita dong, Mas?" tanya Resti.

"Yang mana? Kereta kuda? Pil KB?" Kuabsen semua pokok pembicaraan yang tadi sempat mereka singgung. "Tenang aja sih. Gue orangnya nggak judgemental. Lo udah dewasa. Tau mana salah mana bener."

Kami tiba di Alun-alun Kidul. Entah apa yang membuat mereka memasukkan tempat ini ke dalam daftar destinasi wisata yang harus dikunjungi. Yang kulihan hanya hamparan rumput luas dengan dua batang pohon beringin super besar yang tertanam di tengah-tengah.

Baiklah, tak ada salahnya mencoba hal baru. Terlepas dari mitos apapun itu yang berkembang di masyarakat. Mari kita bersenang-senang. Sambil menunggu giliran, Nadira menyenggol lenganku dan menunjuk ke arah kedua pohon itu.

"Nta, Mas-mas itu berhasil lho."

"Aku bakalan bikin kita berhasil juga."

Kugenggam erat tangannya untuk melangkah maju ke tengah kedua pohon itu.

Membina keluarga dengannya.

Hanya itu yang ada di kepalaku saat ini.

"Kamu jalannya yang bener. Jangan mencong-mencong."

"Kita kan jalannya juga gandengan, Yang."

Kupenuhi janjinya. Untuk membawanya melewati kedua pohon itu.

💋

Kuambil sebuah keputusan. Melanggar kesepakatan yang sudah kubuat dengan Nadira. Nadira belum siap dengan segala pemberitaan mengenai hubungan kami. Tapi, berbeda denganku. Justru, aku ingin semua orang tahu perilah hubungan kami. Kumulai semua langkah dengan mengunggah foto-foto Nadira di akun Instagram pribadi milikku. Kuberikan caption yang kuharap bisa menjelaskan semuanya.

"Finally, I've found you."

"My woman, the love of my life @nadirasutanto ."

"Terlepas dari mitos apapun itu, aku cuma mau bilang kalo cuma kamu yang bakalan nemenin aku duduk di pelaminan nanti, Yang. I Love You."

Tak butuh waktu lama. Juru warta memang paling handal masalah pemberitaan. Hanya dalam hitungan jam, berita tentang hubungan kami sudah merebak di dunia maya. Bahkan, menjadi yang paling banyak dicari.

Secara tidak langsung, Nadira sudah menjadi bagian dari kehidupanku dan pemberitaan. Selama beberapa hari, foto-fotonya banyak beredar di televisi dan juga internet. Kejadian itu tentu tak luput dari pengamatan kedua orangtuaku.

"Mas, itu beneran pacarnya Mas?" tanya Bunda yang saat ini sedang duduk sambil menonton acara infotainment yang kebetulan menampilkan beberapa foto Nadira dan juga fotoku yang kuungah di Instagram.

Aku mengangguk tiga kali. "Iya, Bun. Namanya Nadira. Itu yang dulu pernah Mas kasih tau ke Bunda. Tania yang ngenalin kita berdua."

"Anaknya baik, Mas?" ucap Ayah.

"Iya, Yah. Terbaik."

"Seiman, kan?" lanjut Ayah.

"Alhamdulillah."

"Ajak main ke sini, Mas. Biar Ayah sama Bunda bisa kenal dia lebih dekat, nggak cuma liat di TV."

"Iya, Bun. Anaknya agak pemalu. Nanti biar Mas cari waktu yang pas, ya."

Setelah hubungan ka,i ditahui publik, aku mulai tak segan untuk mengajak Nadira lebih mengenal duniaku. Seperti saat ini, kuajak dia untuk menemaniku menjadi narasumber di sebuah talkshow yang disiarkan di stasiun televisi milikku. Memang benar jodohku bertemu Barra. Di acara ini, kami sama-sama didapuk menjadi bintang tamu bersama dua orang lainnya.

Selesai acara, sebelum pulang kusempatkan untuk menyapa beberapa kru yang bertugas di studio. Kuamati Nadira yang masih ada di deretan paling depan. Nadira tidak sendiri. Seseorang sedang mengajaknya berbincang. Barra.

Nadira melirik ke arahku. Mengirimkan kode bahwa dia baik-baik saja.

"Om, aku sama Genta duluan, ya. Harus mampir beli sesuatu dulu soalnya." Nadira membenarkan posisi tali tas yang terpasang di pundaknya.

"Oh, iya. Salam untuk Mas dan Mbak ya, Dir," ucap Barra.

"Gue sama Dira duluan ya, Barr." Kutepuk pundak Barra. Barra mengangguk

Aku memakai jasa Pak Toto untuk seharian ini. Kami berdua duduk di kursi penumpang belakang. Perjalanan terasa begitu sepi. Aku yang membuat suasanan menjadi dingin. Ada rasa tidak suka saat melihat Nadira berbincang dengan Barra. Cemburukah aku?

"Aku boleh nanya sesuatu?" ucapnya ragu.

"Apa?" sahutku singkat.

"Tadi...kamu kayak nggak tenang waktu aku lagi ngobrol sama Om Barra. Bolak-balik kamu ngeliatin aku terus. Kenapa?"

"Kamu yakin pertanyaan kayak gini penting banget untuk ditanyain ke aku?" sahutku dengan nada sedikit ketus.

"Kok kamu ngegas banget?" ucapnya. "Aku kan udah kasih kode ke kamu."

"Siapa yang ngegas? Kamu atau aku?"

"Kamu pikir aja sendiri."

"Cowok mana yang seneng liat pacarnya ngobrol sama mantan pacarnya yang masih ngeyel punya kesempatan untuk balikan?"

"Tapi, tadi aku sama dia nggak bahas apapun itu tentang hubungan kami."

Nadira meminta Pak Toto untuk menurunkannya di halte bus terdekat. Merasa kaget dengan keputusannya, segera kuhampiri dia yang sudah duduk rapih di bangku yang disediakan di halte.

"Kamu marah sama aku?" tanyaku. Nadira tak menjawab pertanyaanku. "Yang..."

"Cemburumu konyol. Aku nggak suka."

Untung saja halte bus dalam keadaan benar-benar sepi. Hanya ada aku dan dia.

"Nggak cukup buat kamu aku yang bersedia hidup sama kamu nantinya?" ucapnya.

"Bahkan orang yang mau nikah besoknya aja masih bisa batal karena mantan pacar."

"Tapi, bukan aku."

"Aku takut." Kutatap netranya lekat-lekat. "Aku takut nanti aku yang harus ngelepas kamu."

"Jadi, itu masalahnya?" tanyanya. Aku mengangguk. "Kamu percaya aku?"

"Iya. Aku percaya kamu. Tapi..."

"Kalo percaya ya percaya. Nggak usah pake tapi-tapian."

"Yaudah. Ayo naik lagi ke mobil. Katanya mau makan bubur ayam." Kugenggam tangannya dan mengajaknya masuk kembali ke mobil.

"Pulang aja. Aku udah nggak mood. Mau makan mie goreng aja nanti sampe rumah."

"Jangan kebanyakan makan mie, Yang."

"Biarin."

Setelah kejadian itu, selama beberapa hari dia mengabaikan pesan WA dan bahkan tak mengangkat teleponku. Aku tahu dia sangat kecewa karena merasa aku tak sepenuhnya percaya padanya. Kucoba segala cara agar dia mau mengangkat teleponku. Aku butuh bicara dengannya. Tapi, semua usahaku nihil.

Datang ke kampusnya akan menjadi usaha terakhirku. Hari ini jadwal kuliahnya. Kuputuskan untuk datang menemuinya di sana. Nasib baik menghampiriku. Tak lama setelah kuparkirkan mobil di area parkir kampus, kulihat Mas Abi, kakak ipar Nadira tengah berjalan masuk ke area kampus.

"Mas Abi!" teriakku cukup keras yang kemudian membuatnya menengok ke arahku.

"Lho, kok ada lo di sini?" tanyanya bingung. "Jemput Dira?"

Kugelengkan kepalaku. "Dira lagi ngambek sama gue, Mas. Tolongin dong."

"Haduh. Gawat banget sih kalo dia yang ngambek." Mas Abi merogoh sesuatu dari dalam saku celananya. "Gue WA dulu, ya. Siapa tau dia nggak ada jadwal kuliah."

Kurang lebih lima menit waktu yang dibutuhkan Mas Abi. "Dira kuliah, kok. Udah balik. Tapi, lagi di kantin. Yuk, gue anterin ke sana."

Setibanya di kantin, kulihat Nadira sedang menyantap seporsi mie rebus dengan begitu banyak potongaan cabe rawit di atasnya. Kuamati mangkok yang ada di hadapannya dengan tatapan tidak suka. Nadira sudah paham kalau aku kurang suka dengan kebiasaannya yang terlalu sering menyantap makanan itu.

"Kamu makan apa itu?" tanyaku datar.

"Makan mie rebus pake cabe rawit."

"Aku bilang apa sih, Yang? Jangan sering-sering makan mie."

"Aku laper," ucapnya segera setelah menyuap segulung penuh mie rebus yanga ada di garpunya.

"Di sini kan banyak makanan. Ada bakso, gado-gado, nasi goreng...itu ada soto ayam." Kutunjuk semua lapak penjaja makanan yang berderet di kantin.

"Udah, ya. Tolong biarin aku nikmatin makananku dulu. Sebentar aja. Sedikit lagi mau habis. Nanggung banget." Aku mengangguk kemudian tetap mengamatinya saat menikmati mie rebus sampai benar-benar habis. "Kamu ngapain ke sini? Kuliah juga?"

"Kamu kenapa nggak bales WAku? Teleponku juga nggak diangkat," ucapku. Dia hanya terdiam sambil sedikit menahan pedasnya sisa-sisa cabe rawit yang tercampur di mie rebus.

"Kamu udah bisa percaya sepenuhnya sama aku belum? Kalo belum, ya aku nggak akan bales WA. Apalagi ngangkat telepon dari kamu."

"Aku minta maaf ya, Yang. Maaf karena cemburuku terlalu berlebihan."

"Jujur, dalam berhubungan aku memang selalu mau yang namanya diseriusin. Makanya, kenapa waktu kamu mau serius sama aku...aku seneng. Dan, itu bikin aku juga jadi serius ke kamu. Kamu paham kan maksudku?" Aku mengangguk. "Biar aku selesein dulu apa yang mau aku sampein. Jangan disela dulu. Serius yang kumaksud nggak main-main. Aku juga mau serius sama kamu. Kayaknya, masalah ini pun pernah kita bahas, kan? Seriusnya aku, ya komitmenku terhadap hubungan ini. Terlebih, kamu sudah meminta aku untu jadi istri kamu. Walaupun kamu belum menyampaikan niatan ini secara langsung di depan Papa Mama, aku sangat menghargai itu."

"Aku minta maaf ya, Yang. Maaf karena sudah memgecewakan kamu. Maaf karena sudah meragukan kamu."

"Selama kamu bisa jamin hal macam ini nggak akan terulang kembali, aku okay."

"Insha Allah, Yang."

💋

Sesuai apa yang sudah kami bicarakan. Hari ini, kuajak dia ke rumahku untuk bertemu dengan keluargaku. Di perjalanan, sempat ada perbincangan di antara kami berdua. Kebetulan yang sangat kebetulan, saat kujemput dia di rumahnya, aku bertemu dengan Barra dan keluarganya di sana. Dan, betapa terkejutnya aku saat mendengar Zayyan memanggil Nadira dengan sebutan "Mama".

"Kamu kok diem aja dari tadi?" Diusapnya lenganku pelan. Aku tetap terdiam. "Kamu kenapa, Nta?"

"Nggak kenapa-kenapa."

"Jangan bohong. Kamu tuh nggak bisa bohongin aku. Kamu kenapa?" ucapnya.

Kutepikan mobilnya di pinggiran jalan yang agak sepi.

"Zayyan. Kenapa dia panggil kamu Mama?" tanyaku

"Maaf. Maaf, karena aku nggak pernah bilang soal ini ke kamu. Zayyan mulai panggil aku begitu sejak umurnya 3 tahun. Dulu, aku pengangguran parah. Dan banyak ngabisin waktuku main sama dia. Jadi, sampe sekarang dia panggil aku begitu. Kamu mau maafin aku?"

"Kamu nggak takut Zayyan mikir kamu ngasih harapan ke dia, Yang?"

Dia terdiam.

"Kamu bingung kan jawab pertanyaanku," sambungku. "Kalo aku jadi Zayyan, aku bakalan mikir kalo kamu bisa jadi mamaku suatu hari nanti."

"Nta, jangan mulai lagi, ya. Please. Kamu mau maafin aku?" Segera digamitnya lenganku dan menyandarkan kepalanya di sana. Sementara, satu tangannya masih menggenggam telapak tanganku.

Kukecup puncak kepalanya. Mengusapnya beberapa kali, dan balas memeluknya. "Nggak ada yang perlu dimaafin, Yang. Kamu nggak salah apa-apa. Kita lanjut jalannya, ya. Rumahku masih agak jauh."

"Makasih banyak ya, Sayang."

"Kamu panggil aku apa tadi?" tanyaku.

"Sayang. Kenapa?"

"Aku suka."

Yaelah, Yang. Gengsi banget kamu.

Nadira begitu memperhatikan semuanya. Dia terlalu memikirkan penerimaan keluargaku tentangnya. Takut merasa tidak pantas. Takut dianggap tidak menghargai. Kucoba untuk terus meyakini dia bahwa segala hal buruk yang ada di pikirannya itu tidak akan pernah terjadi.

Sesampainya di rumahku, seluruh keluargaku menyambut kedatangannya dengan sangat hangat. Terlebih Bunda. Budan memeluknya seperti memeluk anak perempuannya sendiri. Okay. Kuanggap ini sebagai signal yang bagus untuk hubungan kami ke depannya.

Sebelum bergabung dengan mereka, kuputuskan untuk naik ke kamarku. Membersihkan diri. Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku turun dan langsung bergabung dengan yang lainnya. Kuamati Nadira sudah mulai bisa berbaur dengan keluargaku.

Kami makan malam bersama. Kuliaht binar bahagian tersorot dari matanya saat melihat ke arah semangkok besar sop sandung lamur kesukaannya. Siapa yang berani menolak lezatnya sop sandung lamur? Noone.

"Enak banget," gumamnya.

"Makan yang banyak ya, Yang."

"Jadi, rencana kalian ke depannya gimana, Dira?" tanya Ayah.

"Untuk ke tahap yang lebih serius, pasti ada, Pak. Dan, belum lama Genta sudah meminta saya secara pribadi untuk menjadi istrinya," jawabnya. Jawabannya membuat senyuman di bibir kedua orangtuaku. "Tapi, sepertinya untuk waktu dekat ini saya belum bisa. Karena, saya masih harus fokus dengan pendidikan. Saya nggak mau nanti kurang fokus dalam mengurus keluarga."

Terlihat raut sedikit kecewa tercetak di wajah Ayah. "Usia Genta sudah sangat matang untuk berumah tangga. Seharusnya, dia sudah punya 2 anak. Tapi, kalau memang begitu keputusannya itu menjadi pilihan kalian berdua. Kami selaku orangtua hanya bisa mendukung. Kapan studi kamu selesai, Dir?"

"Masih satu setengah tahun lagi, Pak."

"Kamu masih bisa tahan kan, Mas?" ucap Ayah.

"Iya, Yah. Aku tunggu sampe Dira selesai."

"Ayah sama Bunda perlu ke rumah Nadira untuk berkenalan dengan Papa Mamanya, Mas?" Ucapan Ayah Nadira sedikit tersentak.

"Kalo Ayah sama Bunda mau, Mas bisa temenin untuk main ke sana. Sekedar mengenal keluarga masing-masing. Boleh kan, Yang?" ucapku yang dianggukinya.

"Iya, Pak...Bu. Papa Mama pasti akan sangat senang dengan kedatangan Bapak dan Ibu di rumah kami."

"Nadira, jangan panggil saya Bapak. Terlalu kaku rasanya. Jangan panggil istri saya Ibu juga. Mulai sekarang, coba biasakan untuk panggil kami berdua Ayah dan Bunda, ya. Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga kami."

Nadira melirik ke arahku, meminta persetujuan. Aku mengangguk. Kemudian, dia juga memandangi Bunda yang duduk tepat di seberangnya. Bunda pun juga mengangguk.

Selesai makan malam, hanya tersisa aku, Nadira dan juga kedua orangtuaku. Mbak Ajeng dan Khaya sudah lebih dulu pamit untuk pulang ke rumah masing-masing. Bunda membawa beberapa album foto yang berisikan foto-foto kenangan saat aku masih kecil. Aku merasa dilucuti. Semua aib terbongkar.

"Ini beneran kamu?" tanyanya, aku mengangguk.

"Iya lah. Siapa lagi kalo bukan aku. Kenapa emangnya, Yang?"

"Jangan kaget kalo aku kasih tau, ya."

"Apaan sih? Kamu bikin aku penasaran aja."

Nadira menunjuk ke arah objek yang dimaksud.

"Kamu percaya nggak kalo aku bilang ini aku?" ucapnya. Ditunjuknya seorang anak perempuan kecil dengan baju kodok yang berdiri tak jauh dari tempatku berdiri.

Aku mengernyitkan keningnya. "Kamu? Jangan bohong. Masa iya ini kamu."

Ayah dan Bunda turut larut dalam obrolan kami berdua.

"Coba Ayah mau liat." Nadira memberikan album foto itu ke tangan Ayah. "Kayaknya, anak ini sekitar umur 6 atau 7 tahun."

"Iya, Ayah. Di foto itu, aku masih TK kalo nggak salah."

"Seriusan itu kamu?" tanyaku.

"Iya. Itu aku. Itu yang ada di sebelahku Kak Nadia."

"Takdir itu unik ya, Yang."

Bolehkah aku bahagia? Seakan mendapat pertanda dari Yang Kuasa.

----

Kilas balik

"Ayah, fotoin Mas. Tapi, gajahnya juga difoto, ya."

"Kalo gajahnya ikutan difoto, nanti adek cantik yang di sebelah sana juga ikut kefoto. Nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa, Yah. Mungkin adeknya juga mau ikut foto bareng gajah."

-To be continued-

Hai semuanya.
Miss mau minta maaf, ya.
Insha Allah, besok Miss update lagi, ya.
Jangan  ngambek lagi ya kalian.
Miss minta maaf.
Untuk yang lupa alur ceritanya, boleh baca ulang, ya.
Semoga nanti bisa update cepet, ya.
Semoga kita selalu sehat, ya.
Semoga kalian suka sama chapter ini, ya.
Chapter ini emang khusus POV Magenta, ya.
Ditambah sedikit bumbu-bumbu penyedap.

See you on the next chapter, tomorrow.
Insha Allah.

Selamat tidur, sayang.

Miss sayang kalian banyak-banyak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top