Barra -8-
Ciyee, masih ada yang belum follow Miss nih.
Okelah.
Update malam ini nggak ada spoiler dimanapun. Tau-tau update aja.
Eh, Miss mau ngomong.
Coba deh kalian tuh jangan jahat banget sama MasBarr napaaaah.
Ati-ati. Nanti bisa dibikin cintaaaa banget lho sama dia.
Selamat membaca, ya.
Semoga suka....
Memberi pengertian pada anak adalah salah satu tugas terberat yang harus kuemban saat ini. Putraku masih terlalu kecil untuk bisa mengerti betapa rumitnya cinta segitiga yang melibatkan ayahnya saat ini. Yang dia tau hanyalah, aku bisa menikahi Nadira, walaupun kami adalah Om dan keponakan. Rupanya, Zayyan belajar dari pengalaman. Pengalaman Abi dan Nadia yang akhirnya berhasil merubah hubungan Om dan keponakan menjadi suami istri.
"Zayyan nggak boleh kayak tadi, ya. Papa nggak pernah ngajarin kamu jadi anak yang nggak sopan, kan?" Zayyan tertunduk dan menggangguk. "Papa nggak suka. Jangan diulangi lagi, ya."
"Iya, Pa. Maaf ya, Pa," ucapnya sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Kuanggukkan kepalaku dan tersenyum.
"Nanti, jangan lupa minta maaf ke Mama juga, ya. Mama pasti sedih karena tadi kamu langsung pergi tanpa pamit."
"Aku sedih, Pa."
"Kamu sedih kenapa?" ucapku.
"Mama lebih milih main sama Om Genta daripada sama aku."
"Bukan begitu, Nak. Mama kan sudah ada janji duluan sama Om Genta. Justru kita yang salah karena nggak ngabarin dulu mau ke sana."
"Mama sama Om Genta beneran cuma temen, Pa?" tanyanya.
"Kenapa, Nak?"
"Kalo temen boleh cium-ciuman, ya?"
"Maksud kamu?"
"Waktu itu, pas Om Genta ke cafe Mama. Om Genta cium jidatnya Mama pas kita mau pulang."
Jadi, anakku menyadarinya.
"Itu tanda sayang sesama teman, Zayyan. Kan kita harus menyayanhi teman-teman kita, kan?" ucapku. Zayyan mengangguk. "Tapi, bukan berarti Zayyan boleh melakukan itu ke teman-teman di sekolah, ya."
"Iya, Papa."
"Mau main atau makan?" tawarku.
"Makan aja, Pa. Aku lagi nggak mau main." Saat anakku menolak untuk bermain di area permainan favoritnya, itu menandakan bahwa moodnya sedang kacau.
"Yaudah, yuk. Mau makan apa?"
"Ayam crispy ya, Pa. Nanti kita bawa pulang untuk Eyang dan mbak-mbak juga ya, Pa."
Kugandeng Zayyan berjalan menuju restoran ayam goreng cepat saji yang biasa kami datangi tiap kali ke mall ini. Zayyan bukanlah tipe anak yang pemilih soal makanan. Dia memakan semuanya dengan sangat baik. Sampai saat ini, belum ada sayuran yang dibencinya.
Selesai makan, kami memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Aku membatalkan untuk kembali ke restoran. Biarlah hari ini kuhabiskan waktuku bersamanya.
Kuminta anakku untuk segera membersihkan diri, mengganti baju dan segera bersiap tidur. Setelah memastikan dia masuk ke kamarnya, akupun masuk ke kamar untuk membersihkan diri dan bersiap tidur.
Pintu kamarku diketuk seseorang dari luar. Aku tidak terbiasa untuk mengunci pintu kamar saat aku sedang di dalam. Kepala mungil Zayyan muncul dari balik pintu.
"Papa, aku mau tidur sama Papa. Boleh nggak?" tanyanya. Aku mengangguk.
"Boleh dong. Nggak perlu izin untuk tidur sama Papa."
Segera kutata bantal untuknya. Zayyan segera menaruh kepala dan merebahkan tubuhnya di sebelahku.
"Papa, aku nggak pernah liat Mama. Papa mau nggak ceritain tentang Mama?"
"Apa yang mau kamu tau tentang Mama. Kayaknya Papa udah ceritain semuanya ke kamu."
"Pa, Mama sayang aku, kan?" Seketika aku menoleh dan memiringkan tubuhku menghadapnya.
"Kenapa tanya begitu? Mama itu sayang banget sama kamu. Waktu kamu ada di perut Mama, mama selalu makan makanan yang bergizi. Mama selalu minum vitamin yang dikasih dokter setiap hari. Supaya kamu tumbuh sehat, ganteng dan pinter. Ya, kan?"
"Tapi, Mama tinggalin aku sama Papa."
"Mama nggak pernah ninggalin kamu, Nak. Mama selalu ada. Di sini." Kutunjuk dadanya dengan telunjukku. "Allah sayang sama Mama. Makanya, Allah jemput Mama duluan. Mama orang yang sangat baik. Jadi, Mama sudah ada di surga."
"Mama pergi bukan karena aku kan, Pa?" Aku menggeleng tegas.
"Papa kan sering bilang ke kamu. Mama pergi bukan karena kamu. Mama pergi karena Mama memang harus pergi. Mama sayang sama kamu. Itu kenapa Mama mau kamu lihat indahnya dunia."
"Kalo Mama masih ada, kita pasti bahagia banget ya, Pa." Segera kurengkuh anakku ke dalam pelukan. Kutepuk-tepuk halus punggung kecilnya.
"Anak Papa kenapa sih? Kok akhir-akhir ini mellow banget?"
"Mellow itu apa, Pa?" tanyanya polos.
"Maksud Papa, kok kamu akhir-akhir ini jadi begini. Kenapa? Biasanya kamu ceria. Ada masalah di sekolah? Mau cerita sama Papa?"
"Nggak ada, Pa. Semua baik. Cuma, aku mau aja kayak temen-temenku. Kalo pas ambil rapot, semisal Papa mereka kerja, Mamanya yang ke sekolah. Selama ini, rapotku selalu Eyang yang ambil, kalo Papa sibuk kerja."
"Jadi, masalahnya itu?"
"Nggak itu aja, Pa."
"Terus?"
"Aku mau punya orangtua yang lengkap."
Blesss.
"Orangtua kamu lengkap. Kamu punya Papa dan Mama. Walaupun, Mama sudah pergi lebih dulu."
"Pa, aku mau Mama Dira jadi istrinya Papa."
Susah payah Papa mengalihkan perhatian kamu, tapi kenapa kamu bahas masalah ini lagi, Nak? Asal kamu tau, Papa juga sedang berusaha supaya dia bisa jadi Mama kamu.
"Zayyan, Papa nggak bisa janjiin ke kamu, ya. Papa nggak mau bikin kamu kecewa. Zayyan berdoa. Minta ke Allah supaya usaha Papa dipermudah." Zayyan menggangguk.
"Aku pernah ngebayangin kalo Mama Dira nikah sama Papa. Aku bakal punya banyak adek."
Papa juga.
"Udah malem. Tidur, yuk. Besok pagi Papa anter kamu ke sekolah."
💋
Sejak kejadian itu, aku belum mengunjungi rumah Mas Haryo lagi. Merasa tidak enak. Aku bahkan tidak berani berkunjung ke rumah mertuaku. Selalu menerka-nerka, sudahkah berita itu terdengar ke telinga ibu mertuaku? Sungguh akan menjadi hal yang kurang baik apabila beliau sampai mengetahuinya.
"Assalamualaikum, Bu." Kuputuskan untuk menelepon Ibu mertuaku.
"Waalaikumsalam, Le. Gimana kabarmu? Kok wes suwi nggak main ke sini?" Nada bicaranya terdengar biasa. Sepertinya, beliau memang belum tahu masalah ini.
"Aku sehat, Bu." Tapi, hatiku yang kurang sehat. "Iya, Bu. Masih sibuk di restoran dan bolak-balik keluar kota. Ibu sehat, kan?"
"Ibu sehat, Le. Alhamdulillah. Ada apa, Le? Kok moro-moro telepon? Zayyan dan Mamamu sehat, tho?"
"Alhamdulillah, Bu. Mereka berdua sehat. Aku telepon karena mau tau keadaan Ibu, karena belum sempet main lagi ke sana."
"Ealah. Ibu sehat. Ya paling nggak enak badan sedikit. Maklum karena sudah sepuh juga."
"Ibu lagi kepingin makan apa? Bilang sama aku. Nanti biar tak suruh pegawaiku kirim ke rumah."
"Ibu lagi nggak pengen apa-apa, Le."
"Kalo Ibu mau makan sesuatu, telepon aku ya, Bu."
"Iya, nanti tak telepon kalo mau makan sesuatu. Le, kamu opo yo nggak ada niatan untuk nikah lagi? Mamanya Zayyan sudah lama nggak ada."
"Ada, Bu. Tapi, yang mau diajak nikah yang nggak ada. Mohon doanya ya, Bu."
"Iya. Pasti Ibu doain kamu. Ibu ya kasian sama kamu. Apa-apa sendiri. Pasti pengen tho ada yang nemenin. Makan dilayani, baju disiapi sampe ditemeni tidur. Zayyan wes pantes dadi Mas."
Aku tertawa pelan menanggapi ucapan Ibu mertuaku. Andai saja beliau tahu apa yang sedang terjadi saat ini, mungkin beliau akan tidak akan pernah lagi memintaku berkunjung ke rumahnya, mungkin.
"Doakan saja ya, Bu. Kalo nanti ada yang cocok langsung aku bawa untuk dikenalin ke Ibu."
"Belum ada yang cocok, Le?"
Sudah, Bu. Nadira orangnya.
"Belum lah, Bu. Aku lagi nggak deket sama siapa-siapa. Masih nyaman begini."
"Jangan terlalu nyaman sampe akhirnya nanti kamu menghabiskan masa tua sendiri."
"Iya, Bu. Yaudah, Bu. Aku mau lanjut kerja dulu, ya. Ibu jaga diri baik-baik, ya. Nanti, kalo libur aku sama Zayyan dan Mama main ke sana, ya."
"Iya, Le. Jangan lupa kabarin Ibu. Nanti biar tak masakkin makanan kesukaanmu."
Ibu mertuaku memang masih dan selalu menganggap aku sebagai bagian dari keluarga, walaupun Vani telah lama tiada. Beliau lebih menganggap aku sebagai anaknya ketimbang menantu. Beliau paham betul apa yang kusuka dan tidak kusuka.
Selesai memutus sambungan telepon, aku kembali mengerjakan pekerjaanku di dapur. Tak ada pesanan khusus untuk hari ini. Semuanya normal dan berjalan lancar. Pernah kupikirkan untuk menyerahkan segala tanggung jawab di restoran kepada Yohan. Aku akan memantaunya dari rumah dan akan fokus pada karirku di dunia hiburan, mungkin. Tapi, memang berat rasanya melepas sesuatu yang sudah dibangun bertahun-tahun lamanya.
"Bang, orang dari kedutaan Korea Selatan bikin reservasi untuk makan malam di sini untuk beberapa staff mereka lusa. Mereka staff baru. Masih anget. Baru dikirim dari Korea beberapa hari yang lalu. Dari pihak mereka minta lo langsung yang pegang. Mau diterima, nggak?" Yohan yang baru saja kembali entah darimana mengganggu konsentrasiku yang sedang fokus pada pan yang ada di depanku.
"Untuk berapa orang?" ucapku masih dengan konsentrasi penuh.
"Sepuluh. Nggak banyak."
"Ambil selama mintanya nggak aneh."
"Okay. Mereka cuma mau makan makanan khas Indonesia aja. Penasaran katanya."
Tak jarang restoranku menerima pesanan dari orang-orang penting di negeri ini. Bahkan, duta besar dari beberapa negara yang memang diutus ke sini pernah berkunjung dan menikmati masakanku. Kunjungan mereka tak hanya berakhir setelah sekali datang. Tapi, akan terus berlanjut. Bahkan, sebelum mereka menyelesaikan masa tugas dan kembali ke negaranya, mereka akan menyempatkan diri untuk menikmati masakanku.
"Coba lo cek supplier ayam. Bisa nggak mereka sediain ayam kampung yang organik. Minta mereka kirim yang terbaik untuk lusa. Minta dikirim pagi. Jangan lo suruh mereka kirim barang malemnya. Gue mau semuanya fresh."
"Emang lo mau masakkin mereka apaan?" tanya Yohan. Kuendikkan bahuku. "Ih, dasar Bambang."
"Gue masih bingung. Soalnya ayam kampung enak dibikin apa aja. Mereka nggak ada rewel soal menu, kan? Semuanya terserah gue, kan?"
"Iya. As usual. Yang penting mereka ngerasain cita rasa Nusantara."
"Kita harus masak rendang?"
"Nah. Gue baru inget. Mereka request rendang."
Teringat sesuatu aku langsung mematikan kompor yang masih menyala. Rendangku tak seenak buatan Mbak Retno. Mbak Retno sangat piawai mengolah rendang daging, walaupun bukan orang Padang asli. Hasil masakannya tak kalah enak dengan rendang buatan orang Padang.
"Kok lo bengong?" Yohan memecahkan lamunanku.
"Kakak ipar gue yang jago bikin rendang. Rendang kita nggak ada apa-apanya sama punya dia."
"Lo mau nyuruh dia masak ke sini?"
"Nggak. Gue yang bakalan bikin rendangnya."
Kembali ke kenyataan. Aku belum berani menghubungi Mbak Retno. Yang kutahu, Mbak Retno masih kecewa denganku.
"Bang, kalo bisa lo masakkin makanan yang pedes."
"Kenapa emangnya?"
"Mereka penasaran sama pedesnya cabe Indonesia."
💋
Makan malam berjalan dengan sangat lancar. Rupanya, makanan-makanan yang disajikan cocok dengan lidah mereka. Kepuasan pelanggan adalah pencapaian besar bagiku. Pencapaianku tak melulu tentang seberapa banyak uang yang bisa kuhasilkan. Tapi, berhasil membuat pelanggan untuk datang lagi dan lagi adalah tujuanku.
"Thank you so much for having us here wrll. We would like to come again and again. Your foods are amazing. Thank your for introducing Indonesian foods with your amazing foods." Seorang lelaki berkulit putih yang nampaknya paling tua di antara yang lain menyampaikan terima kasihnya padaku. "Yeoreobundeul, gamsahamnidahaeyaji."
Seketika restoranku dipenuhi dengan suara mereka yang kompak dan sedikit membungkukkan badan. Aku tak mengerti apa yang baru saja mereka katakan. Yohan mencolek pinggangku.
"Makasih katanya,"
"Kok lo tau?" tanyaku heran.
"Cewek gue kan mabok drama Korea."
Kenapa sih harus berbau-bau Korea. Gue kan jadi keinget lagi sama Dira.
Akhir pekan ini, aku dan tim akan berangkat ke Jogja. Memenuhi undangan dari Gubernur yang sekaligus raja dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Aku diundang untuk turut membantu mempromosikan pariwisata Jogja karena kebetulan keluargaku juga berasal dari Jogja.
Kedatangan kami diterima dengan sangat baik dan hangat. Setelah membuat konten tentang pariwisata Jogja, keesokan harinya, kami mengambil kesempatan untuk melakukan syuting berlatar belakang megahnya bangunan Keraton Jogja dengan seizin Sang Sultan. Resep makanan yang dimasak kali ini adalah makanan-makanan kegemaran para Sultan terdahulu dan Sultan yang memegang takhta pemerintahan saat ini.
Kehormatan besar bagiku saat Sultan menginginkan untuk muncul in frame denganku dan mencicipi hasil masakanku. Kesempatan langka. Sangat langka. Dan tak boleh kusia-siakan.
Setelah selesai dengan semua pekerjaan, aku dan tim memutuskan untuk menghabiskan waktu berkeliling Jogja. Tak lupa mampir untuk berbelanja di surga dunia, Malioboro. Aku dan Gerry mengitari Malioboro. Sementara yang lain sibuk entah kemana. Malioboro tak pernah sepi pengunjung, terutama di akhir pekan.
Gerry memohon padaku untuk membantunya menawar harga. Bukan rahasia lagi tentang cara berbelanja di sini. Menawar dengan menggunakan bahasa Jawa akan mendapatkan harga yang cukup, bahkan sangat bagus.
"Bu, niki pinten pas e?" (Bu, ini pasnya berapa?)
" Setunggal e selangkung mawon, Mas. Mboten dimahali, kok." (Satunya dua puluh lima aja, Mas. Nggak dimahalin, kok)
Dua puluh lima ribu harga yang harus dibayar untuk sepasang sandal jepit batik? Hmmm, dipikirnya aku tak mengerti harga.
"Selangkung kaleh, nggih. Kulo mendet kaleh." (Dua puluh lima dua, ya. Saya ambil dua)
"Dereng saget, Mas. Tambahi, Mas." (Belum dapet, Mas. Tambah, Mas)
"Nggih pun, Bu. Matur nuwun." (Yaudah, Bu. Terima kasih."
Segera kuajak Gerry untuk berpindah tempat. Tapi, nasib mujur menghampiri kami. Si ibu penjual memanggil kami kembali.
"Monggo dipendet, Mas. Kerso sing pundi mawon?" (Silahkan diambil, Mas. Mau yang mana aja?)
Selesai berbelanja, aku dan Gerry melanjutkan perjalanan ke alun-alun Selatan Jogja. Di sana ada dua batang pohon besar yang konon akan mengabulkan permohonan bagi siapapun yang bisa melewatinya dengan mata tertutup. Itu hanya mitos. Tapi, lagi-lagi si konyol yang satu ini merengek ingin mencoba.
"Jangan sedih, Gerr. Positive thinking aja. Kapan-kapan coba lagi. Paling juga lo gagal lagi." Kugoda Gerry yang berjalan lemas setelah gagal melewati kedua pohon itu. Bukannya berjalan lurus ke arah kedua pohon, alih-alih dia malah berbelok menjauh entah kemana.
"Kampret lo. Sana lo ikutan coba. Biar tau gimana rasanya."
Merasa dilecehkam olehnya, kupenuhi tantangannya. Segera kuminta mataku ditutup kain.
Aku berjalan mengikuti langkah kakiku. Mencoba untuk terus berjalan lurus. Semoga.
Aku mau ketemu kamu, Dir.
Sayup-sayup kudengar suara yang memintaku untuk berhenti. Segera kubuka kain yang menutup mataku. Kulihat Gerry berlari ke arahku sambil berteriak.
"Kok lo bisa, sih?" ucapnya. Aku mengernyitkan dahi.
"Bisa apanya?" tanyaku heran. Gerry menunjuk dengan telunjuknya.
"Lo berhasil bego, Bang."
"Ya ampun. Gue kira apa."
"Minta apa tadi?" tanyanya penasaran. Aku menggeleng.
"Minta biar lo nggak--"
Kulihat sosok yang kusebut dalam permintaanku tadi. Ini lelucon, kan?
"Kamu jalannya yang bener. Jangan mencong-mencong."
"Kita kan jalannya sambil gandengan, Yang."
Mereka berdua berjalan melewatiku, dengan mata tertutup.
Drama apa lagi ini, Tuhan? Sesempit inikah duniaMu?
-to be continued-
Yeayyy. Update.
Chapter ini khusus MasBarr, ya.
Tolong jangan misuh-misuh.
Kasian MasBarr.
Dia kan udah minta maaf.
Suka nggak sih?
Kok Miss takut kalian nggak suka, ya.
Huhuhu
Next chapter mau coba pake goal voting lagi ah. Asik jugaaaa.
Chapter selanjutnya nunggu votenya 600, yaaa.
See you on the next chapter.
Miss sayang kalian banyak-banyak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top