Barra -7-
FOLLOWNYA JANGAN LUPA DONG.
Hai...
Apa kabar kalian?
Nyari gara-gara nih.
udah updatenya lama...update jam segini pulaaaaak.
sape yang mo baca, Marimarrrrr.
Maaf ya baru bisa update.
Ada aja gangguannya setiap mau garap bab.
Huhuhu
Semoga suka ya ama chapter ini.
Nggak tau lagi deh kalo misalkan kalian nggak suka huhuhu
Happy reading, ya...
Enjoyyyy!!!!
Aku segera pamit tak lama setelah deklarasi itu terucap. Merasa menjadi seorang pecundang jika sedikit lebih lama tinggal di sana. Kulajukan mobilku tanpa arah, asalkan menjauh dari sana.
Setelah menghabiskan 2 jam berputar di jalanan ibukota tanpa tujuan yang pasti, kuputuskan untuk segera pulang. Sudah hampir tengah malam. Karena yang kuingat, sebelum pergi aku hanya berpamitan untuk ke restoran, sebentar.
Sesampainya di rumah, aku tak langsung naik ke lantai atas, kamarku. Aku butuh sesuatu untuk menyegarkan pikiranku. Kulangkahkan kaki menuju dapur yang lampunya sudah dimatikan. Membuat secangkir kopi hitam yang manis menjadi pilihanku.
Kuputuskan untuk menikmati kopi yang sudah kubuat di meja makan. Merenungi apa yang baru saja terjadi. Rasa manisnya kopi tak bisa kurasakan. Lidahku mati rasa, nampaknya. Pahit. Itu yang kurasa.
Lamunanku buyar seketika saat seseorang selain aku ada di ruang makan. Mama. Mama datang dengan sebuah teko kosong di tangannya. Sudah menjadi kebiasaannya untuk selalu menyediakan seteko air putih di atas nakas. Mungkin, stok air minumnya habis dan berniat untuk mengisinya kembali.
"Lho, kamu udah pulang? Kapan?" tanya Mama.
"Tadi, Ma. Setengah jam yang lalu, mungkin. Aku nggak inget."
"Ada masalah di restoran?" Aku menggeleng. "Lho, terus?"
"Nggak apa-apa, Ma."
"Kamu ada masalah?" Aku menggeleng, lagi. "Mama tau. Kamu lagi bohong, kan?"
"Aku udah melakukan sebuah kesalahan yang besar, Ma." Tak mampu lagi kutahan isakkanku. Seketika Mama berjalan menghampiriku. Mama menggeser kursi dan duduk di dekatku setelah mengisi teko airnya.
"Kamu kenapa? Kamu buat salah apa?" tanya Mama dengan nada panik.
"Ma, aku...aku kehilangan Nadira."
"Maksud kamu apa, Barr?"
"Ma, aku sayang dia. Bukan sayangnya Om ke keponakan. Tapi, sebagai seorang pria."
"Sejak kapan, Barr?" tanya Mama.
"Sejak lama. Dan...kami pernah menjalin hubungan."
"Jadi, laki-laki yang dimaksud Dira waktu itu...kamu?" tanya Mama. Aku hanya bisa mengangguk lemah. "Kamu buat salah apa?"
Kuceritakan semua yang terjadi. Termasuk kejadian saat secara tidak sengaja Nadira menjadi korban pada malam itu. Mama terlihat sangat terkejut, dan itu sangat wajar.
"Astagfirullah, Barra. Kamu sadar apa yang kamu lakukan? Mama tau ada yang nggak beres sama kamu. Nggak biasanya kamu pergi kerja berhari-hari tanpa pamitan ke Mama dan anakmu."
Segera kupeluk Mama dengan sangat kencang dan menangis sejadi-jadinya. Biarlah, saat ini aku terlihat seperti seorang anak kecil yang sedang mengadu pada ibunya.
"Ma, aku khilaf. Aku tau aku salah."
"Mama dan almarhum Papa nggak pernah ajarin kamu hal yang buruk kan, Barr?" ucap Mama lirih. Aku mengangguk lemah. "Sekarang semuanya nggak baik-baik aja, Barr."
"Aku tau, Ma."
"Minta maaf ke mereka!" ucap Mama.
"Sudah, Ma. Tadi, aku ke sana atas permintaan Mas Haryo. Mas Haryo dan Mbak Retno sudah tau semuanya."
"Genta juga ada di sana?" tanya Mama. Aku mengangguk. "Maumu sekarang apa?"
"Kalo Mama tanya mauku apa, jelas aku mau Nadira, Ma."
"Kamu nggak bisa seenaknya begitu," ucap Mama. "Ikhlaskan."
"Nggak, Ma. Aku nggak bisa." Kugelengkan kepalaku.
"Dira sudah berhubungan dengan orang lain, Barr!"
"Mereka belum menikah, Ma."
"Magenta temenmu."
"Aku tau, Ma."
"Magenta hadir saat Dira sedang tidak berhubungan dengan siapapun."
"Kamu bisa bayangkan bagaimana perasaan Dira? Mama juga seorang wanita. Hanya wanita tegar yang rela ikut rombongan mantan pacarnya untuk melamar wanita lain. Kamu yang bodoh, Barr. Dan sekarang...sudah bukan saatnya untuk kamu menyesali semua yang sudah terjadi."
"Ma..."
"Kamu sudah sangat dewasa untuk menentukan kehidupanmu. Mama harap, kamu nggak akan berbuat hal bodoh seperti ini lagi. Kamu harus sadar satu hal. Anakmu yang merasa paling dirugikan." Mama meraih teko air yang sudah diisinya dan berjalan menuju kamarnya.
Aku merasa hancur karena menyakiti hati Mama...dan anakku.
💋
Aku merasa tidurku terusik oleh seseorang. Kuputuskan untuk kembali tidur setelah sholat Subuh tadi pagi. Kubuka mataku, walau belum sepenuhnya. Kulihat Zayyan tengah asyik berbaring di sebelahku sambil memainkan hidungku dengan jahilnya.
"Papa ngantuk, Nak."
"Bangun dong, Pa." Diguncangnya tubuhku. "Papa, kok mukanya begitu? Papa berantem, ya?"
"Nggak, Nak. Papa nggak berantem. Kemarin, pas kerja Papa kepeleset. Kepentok meja. Kamu kok nggak sekolah?" Kucoba untuk mengalihkan topik pembicaraan. Kupeluk dia dengan erat.
"Libur, Pa. Ada rapat guru-guru di sekolah. Kita diliburin." Zayyan terlihat bergerak sedikit kurang nyaman di dalam pelukanku. "Pa, aku boleh tanya sesuatu?"
"Mau tanya apa?"
"Papa nggak bisa ya nikah sama Kakak Dira?" ucapnya polos.
"Kok tiba-tiba ngomong begini? Ada apa?"
"Nggak ada apa-apa. Aku cuma bosen aja. Mau kayak temen-temen yang lain. Orangtuanya lengkap. Temen-temen kalo Papanya kerja, di rumah ada Mama. Nggak bisa ya, Pa?"
"Hmm...kamu sayang banget sama Kakak Dira?" tanyaku. Kurasakan gerakan kepalanya yang mengangguk semangat. Sama, Nak. Papa juga sayang dia.
"Papa nggak bisa ngomong ke Kakak Dira untuk jadi Mamaku?"
"Zayyan, menikah itu nggak semudah yang kamu pikir. Harus ada cinta di antara dua orang."
"Papa kan ganteng. Mamanya temen-temenku banyak yang bilang kalo Papa ganteng."
"Ganteng aja nggak cukup untuk alasan menikahi seseorang."
"Papa nggak cinta sama Kakak Dira?" Ucapannya membuatku terdiam. "Pa?"
Cinta. Sangat.
"Ih, anak kecil kok ngomongin cinta-cintaan." Kugelitiki perutnya sampai dia tertawa cekikikan karena kegelian.
"Pa, udah! Geli!"
"Biarin. Biar kamu kapok."
"Papa nggak kerja?"
"Kamu mau Papa kerja?" tanyaku. Zayyan menggeleng.
"Bisa libur dulu, Pa? Biar Om Yohan yang di restoran Papa, ya."
"Iya. Kamu mau ajak Papa kemana?"
"Jalan-jalan ya, Pa?"
"Boleh. Mau kemana?"
"Ke cafenya Kakak Dira."
"Kita ke TimeZone aja, yuk!" Aku berusaba untuk membujuknya. Kuajak Zayyan pergi ke arena bermain favoritnya. Tapi, dia menolak dengan menggelengkan kepalanya.
"Aku lagi nggak mau main. Mau ketemu Kakak Dira aja."
"Yaudah. Nanti kita ke sana, ya."
💋
"Kaka Diraaaaa." Zayyan yang semula berjalan bersisian denganku langsung berlari berhambur ke arah Nadira yang sedang duduk di depan laptop yang terbuka dengan kacamata bersadar di hidungnya.
"Eh. Kok nggak bilang kalo mau ke sini?" ucapnya. Aku berjalam ke arahnya dengan sedikit ragu. Nadira menatap ke arahku. Sampai akhirnya, dia memeluk Zayyan.
"Sekolah diliburin. Papa libur kerja. Aku ajak ke sini. Aku kangen sama Kakak Dira.
"Maaf, Dir. Aku udah coba ajak dia main ke tempat lain. Tapi, ngotot maunya ke sini." Nadira mengangguk pelan menanggapi ucapanku.
"Iya. Nggak apa-apa, Om. Duduk dulu. Kalian udah makan siang belum?" tanyanya. Aku dan Zayyan kompak menggeleng.
"Belum, Kak. Tadi kita berangkat belum ada makanan di rumah. Sarapannya aja tadi cuma pake roti," sahut Zayyan.
"Yaudah. Kamu mau makan apa? Biar Kakak pesenin." Zayyan terlihat berpikir. Dibukanya standing menu kecil yang ada di atas meja. Dibolak-baliknya tiap lembarannya.
"Aku mau ini boleh, Kak?" Zayyan menunjuk gambar Nasi Goreng Omelette.
"Boleh dong." Nadira melirik ke arahku. "Om mau makan apa?"
"Kamu masih inget kan kesukaanku?" ucapku. Nadira tak membalas. Dia bangkit dari duduknya dan segera berjalan ke arah dapur cafe.
Tak lama, makanan kami diantar ke meja. Nadira masih ingat betul makanan kesukaanku tiap kali datang ke sini. Seporsi Sup Iga Sapi lengkap dengan nasi hangat dan segelas jus melon adalah favoritku.
"Selamat makan, ya." Nadira mengusap kepala Zayyan sambil tersenyum. "Kakak mau lanjut ngetik dulu."
"Kamu nggak makan, Dir?" tanyaku.
"Belum laper, Om. Nanti aja."
"Makan dulu, Dir. Ini udah jam makan siang. Kamu kan paling nggak bisa telat makan. Nanti kamu sakit malah nggak bisa ngerjain semuanya." Nadira terlihat menghembuskan napasnya dengan sedikit kesal.
"Yaudah. Aku ke kitchen dulu."
Setelah sepuluh menit berlalu, dia kembali dengan membawa semangkuk mie instan rebus yang diberi begitu banyak irisan cabe.
"Dir, kamu nggak salah cabenya segitu banyaknya?" Kutunjuk ke arah mangkok mie rebus yang ada di hadapannya. Nadira menggeleng.
"Aku lagi pilek, Om. Butuh yang pedes biar nggak pusing."
Kami makan dalam diam. Kecuali, sesekali Zayyan berceloteh dan kami berdua menimpali celotehannya. Sesekali Nadira fokus ke layar laptopnya di tengah makan siang bersama siang ini.
"Tugas, Dir?" tanyaku. Dia mengangguk.
"Iya, Om. Beberapa hari yang lalu kan aku nggak bisa kuliah. Ini ada tugas dari dosen."
"Dir, aku minta maaf."
"Udah, Om. Nggak ada yang perlu dimaafin. Semua terjadi kan karena nggak sengaja."
"Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?"
"Aku nggak apa-apa. Bekasnya juga udah ilang." Nadira mengusap pelipis dan pipinya.
"Aku nggak enak sama Mas dan Mbak."
"Papa Mama nggak apa-apa kok, Om. Mungkin sedikit kecewa. Nanti juga akan baik lagi."
"Papa, aku mau ke toilet dulu."
"Mau Papa anter?" Zayyan menggeleng.
Sepeninggal Zayyan ke toilet, kugunakan kesempatan itu untuk berbicara dengan Nadira.
"Dira, kamu beneran pacaran sama Magenta?" tanyaku. Nadira mengangguk.
"Dia orang yang baik. Nggak ada alasan untuk aku nolak dia. Walaupun baru sebulan aku kenal dia, semua berjalan baik. Dan aku ngerasa click."
Blesssss.
Kenapa aku merasa sangat bodoh saat ini. Berkali-kali menanyakan hal yang berkali-kali pula menambah luka di hati.
"Kamu bahagia, Dir?"
"Lebih baik dari sebelumnya."
Tak lama anakku kembali dari toilet dan duduk melanjutkan makan siangnya.
"Kak, aku boleh ngomong nggak?" ucap Zayyan. Nadira mengangguk. "Waktu aku ulang tahun kemaren, Kakak kan nggak kasih aku kado. Aku boleh minta kado?"
"Kamu mau kado apa, Sayang?" Nadira mengusap-usap kepala Zayyan dengan lembut.
"Aku boleh ya panggil Mama lagi." Sendok terlepas dari peganganku dan menimbulkan bunyi. Usapan lembut Nadira di kepala Zayyan juga terhenti. Nadira menatap manik mata Zayyan dengan lekat.
"Kita sudah pernah bahas ini, kan?" ucap Nadira. Zayyan menggangguk. "Zayyan mau panggil Mama?"
Zayyan terlihat sedikit takut menatap mata kecil Nadira. Kemudian dia mengangguk dengan lemah. "Iya."
Nadira tersenyum dan kembali mengusap kepala Zayyan. "Boleh."
Binar bahagia terpancar dari mata Zayyan. Senyum bahagia yang sudah lama tak pernah kulihat mulai terbit dari bibir tipisnya, bibir yang persis sama seperti bibirku.
"Makasih, Mama." Zayyan berhambur memeluk Nadira dengan eratnya.
"Makannya dilanjutin ya. Dihabisin," ucap Nadira. Zayyan mengangguk dengan semangat.
"Dir, terima kasih, ya." Kuucapkan kalimat itu dengan nada pelan namun masih bisa didengar oleh Nadira. Nadira membalasnya dengan anggukkan.
Setelah lama bermain di cafe milik Nadira, kuajak Zayyan untuk segera pulang ke rumah karena hari sudah semakin sore. Entah mungkin karena terlalu happy, Zayyan menolak ajakkanku untuk pulang.
"Papa, kita kan jarang ke sini. Sebentar lagi ya, Pa."
"Zayyan, kita sudah lama lho main di sini," ucapku.
"Nggak apa-apa, Om. Biarin. Atau nanti biar Zayyan aku yang anter pulang."
"Jangan, Dir. Aku temenin dia sampe puas aja." Sampe aku puas juga liatin kamu. "Aku nggak mau ngerepotin kamu kalo anter dia pulang."
Aku harus berterima kasih pada Zayyan. Berkat keras kepalanya, aku bisa memandangi Nadira yang sedang fokus menggarap tugas di laptopnya dari dekat. Hidungnya mancungnya adalah bagian favoritku. Selalu. Dan akan selalu menjadi favoritku.
"Mama, gurunya galak, ya?"
"Nggak sih. Cuma kalo kita buat salah ya dimarahin."
"Mama ada ambil rapot juga kayak aku?"
"Nggak ada, Sayang. Adanya KHS. Kartu Hasil Studi."
"Yang ambil KHSnya Pakde Bude?"
"Nggak. Mama ambil sendiri ke kampus."
Nadira yang tengah fokus dengan layar laptopnya mulai sadar kalau sedang diperhatikan. Dia berusaha merubah posisi duduknya. Membenamkan wajahnya di layar laptop.
Baiklah, Dira.
Dering ponsel milik Nadira memecah kesunyian.
"Aku masih di Lenggah. Lagi ngerjain tugas."
"..."
"Mau ke sini? Ngapain?"
"..."
"Aku bawa mobil, kok."
"..."
"Yaudah. Aku tunggu."
Nadira meletakkan kembali ponselnya di atas meja. "Dasar reseh."
"Magenta, Dir?" tanyaku.
"Iya. Mau mampir ke sini katanya."
"Aku sama Zayyan pamit pulang aja kalo begitu."
"Lho, mau pulang sekarang?" Aku mengangguk. "Tunggu sebentar ya, Om. Aku mau nitip untuk Eyang Hesti."
Nadira membawa tentengan di tangannya dan mengangsurkannya ke arahku. "Ini untuk Eyang. Udah lama Eyang nggak makan kue dari sini. Salam untuk Eyang ya, Om. Kapan-kapan aku main ke sana."
"Zayyan, kita pulang, ya."
"Iya, Papa." Tanpa penolakan. Dia mengiyakan ajakanku.
"Aku anter ke depan, ya."
Nadira mengantar kami sampai ke tempat parkir cafe. Baru saja akan masuk ke mobil, sebuah mobil yang aku tahu persis milik siapa parkir tepat di sebelah mobilku.
Magenta masih dengan setelan jasnya. Aku berani taruhan dia langsung ke sini dari kantor. Magenta berjalan memghampiri kami bertiga.
"Aku cepet, kan." Dikecupnya kening Nadira.
"Zayyan, salim dulu sama Om Genta," ucapku. Zayyan menuruti perintahku.
"Zayyan udah mau pulang?" tanya Magenta. Zayyan mengangguk.
"Iya, Om. Udah dari tadi siang mainnya."
"Lo ke sini nggak ada niatan mau ngerebut pacar orang kan, Barr?"
"Nta! Ada Zayyan di sini." Zayyan yang sedang sibuk dengan robotnya terlihat tidak memperhatikan apa yang terjadi di sekelilingnya.
"Gue nggak mau buat masalah. Gue ke sini pure karena anak gue yang ngajak."
"Kita pulang, ya." Kugandeng Zayyan untuk segera masuk ke mobil. "Kami pamit pulang, ya."
Kulajukan mobilku pelan melewati mereka berdua. Kuamati dari kaca spion mereka tengah bergandengan masuk ke dalam cafe.
Inikah akhirnya?
-to be continued-
Uyeeeee.
Ada yang kangen sama Miss?
Lama nunggu, ya?
Yang gabung di Instagram pasti udah baca spoilernya kan?
Hihihi
Gimana-gimana?
Enaknya gimana nih ya.
Kok Miss jadi bimbang sih ah.
Bimbang mau lanjutin atau nggak huhu.
Kejam banget rasanya.
Miss kan lemah lembut.
Tapi karena ini Miss jadi ngerasa kejam.
See you di next chapter yang nggak tau kapan updatenya.
Miss sayang kalian banyak-banyak, ya. 💋💋💋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top