Barra -6-

Hallooooo.
Apa kabar semuanya?
Semoga sehat selalu, ya.
Maaf keterlambatan updatenya, ya.
Semoga sukaaa.
Tandain typonya yaaak.
Enjoyyyy!

Sinar lampu yang terang membuatku terbangun dari tidurku. Ya, aku ada di rumah sakit. Ada seorang yang menemaniku di ruangan ini. Aku mengenalnya dengan sangat baik, Pak Tino yang kebetulan menjabat ketua RT yang rumahnya hanya berjarak beberapa rumah dari rumah Nadira. Pak Tino yang menemaniku, bukan keluargaku. Aku memang meminta pada mereka yang mengantarkanku ke sini untuk tidak menghubungi keluargaku, saat mereka memintaku untuk menyerahkan ponsel.

Kurasakan sakit yang teramat di seluruh tubuhku. Mengingat kejadian beberapa jam yang lalu saat dengan tidak sengajanya pukulanku mendarat mengenai Nadira. Cemburu. Ya, banyak laki-laki yang memang tidak bisa bersahabat dengan satu hal itu.

Ada rasa tidak suka saat kulihat mereka berdua bergandengan tangan dan saling tertawa lepas. Entah setan apa yang merasukiku. Membuat aliran darahku mendidih. Mengacaukan pikiranku dan mengaduk-aduk emosiku.

"Sudah bangun, Mas?" ucap Pak Tino. Kuanggukkan kepalaku lemah.

"Pak, saya mohon maaf sebesar-besarnya karena sudah menimbulkan keributan tadi."

"Sudah, Mas. Jangan dipikirin. Mas Barra istirahat aja dulu. Saya akan stay di sini. Managernya Mas Barra lagi keluar. Katanya cari makanan." Ya, alih-alih menelepon keluargaku, aku malah meminta mereka untuk menghubungi managerku, Gerry.

"Iya, Pak," jawabku singkat. "Pak, Nadira ada di rumah sakit ini juga?"

"Nadira nggak di bawa ke sini, Mas. Kebetulan mobil yang dipakai untuk anter Nadira ke rumah sakit itu mobilnya Pak Iwan. Tadi Pak Iwan bilang ke saya kalo mas-mas yang tadi berantem sama Mas Barra minta Nadira dibawa ke Medika Husada."

"Kenapa nggak dibawa ke sini aja, Pak?" tanyaku. Jelas itu menjadi pertanyaanku. Karena rumah sakit ini lebih dekat ketimbang rumah sakit tempat Nadira mendapatkan perawatan.

"Waduh, kalo masalah itu saya nggak tau, Mas. Pak Iwan cuma bilang kalo itu sesuai permintaan mas-mas yang tadi. Jadi, tadi Pak Iwan sama istrinya anter mereka ke Medika Husada," jawab Pak Tino.

"Sepertinya saya tau alasannya, Pak."

"Mas, sebenernya saya nggak punya hak untuk tau apa permasalahannya. Tapi, karena kejadian terjadi di kawasan saya, mau nggak mau saya harus tanya ke Mas Barra." Pak Tino mulai meluruskan posisi duduknya dan sukses membuatku menelan ludah. "Sebenernya, apa penyebabnya, Mas?"

Tok...tok...tok

Bunyi ketukan pintu berhasil menyelamatkanku dari pertanyaan Pak Tino. Kulihat Gerry masuk dengan membawa plastik tentengan putih di tangannya.

"Alhamdulillah. Akhirnya lo sadar juga, Bang." Gerry menarik kursi kosong dan duduk di sebelah Pak Tino. "Gue perlu kabarin nyokap lo?"

Kugelengkan kepalaku. "Lo telepon nyokap gue besok aja. Bilang ke nyokap kalo gue ada job di luar kota. Bisa ya?"

Gerry hanya menjawab ucapanku dengan anggukkan. "Ini gue beli makanan. Kebetulan di bawah masih ada yang jual makanan." Disodorkannya sebungkus makanan ke arah Pak Tino. "Kita makan dulu ya, Pak. Bapak pulangnya besok pagi aja. Saya yang setirin mobil Bapak."

"Waduh, nggak usah, Mas. Saya pulang habis Subuh aja. Masnya biar nemenin Mas Barra aja di sini."

Setelah selesai sholat Subuh, Pak Tino pamit untuk pulang.

"Lo mau jelasin ke gue nggak sebenernya ada apa?" ucap Gerry.

"Nggak ada apa-apa kok."

"Nggak ada apa-apa tapi lo sampe bonyok kayak begini. Itu semalem bukan lo kan, Bang?"

"Kalo bukan gue siapa?" sahutku.

"Hmmm, bukan style lo banget. Lo kan biasanya kalo nyelesein masalah pake kepala dingin. Mana gue dikasih tau Pak Tino katanya keponakan lo sampe kena pukul."

Kuhembuskan napaski kasar. "Gue nggak sengaja. Sampe akhirnya Dira kena."

"Bang, jujur sama gue. Gue emang baru 4 tahun ini kenal sama lo. Masa iya lo nggak mau cerita ke gue. Masalah lo apa sebenernya?"

"Gue cinta sama Nadira. Paham?" ucapku. Kulihat Gerry hanya bisa terdiam dengan mulutnya yang terbuka.

"Nadira keponakan lo?" tanyanya. Aku mengangguk "Lo gila?"

"Nggak. Jauh sebelumnya, gue dan Nadira pernah pacaran. Di awal-awal karir gue di entertainment."

Kuceritakan semua tentang hubunganku dengan Nadira padanya. Kulihat ekspresi Gerry yang terkejut. Sesekali dia mengurut pelipisnya.

"Okay. Sekarang mau lo gimana? Dapetin dia?" Kuanggukan kepalaku. "Caranya? Lo sadar nggak apa yang lo lakuin semalem itu malah bikin semuanya berantakan?"

"Berantakan?" ucapku. Gerry mengangguk.

"Tamat riwayat lo."

"Gue yakin masih ada kesempatan untuk gue bisa dapetin dia lagi."

"Semoga. Sekarang yang harus lo pikirin adalah gimana itu muka. Lusa lo ada schedule kelas masak di rumah Bu Arini. Lo tau kan kalo ini nggak bisa dibatalin? Tau sendiri gimana Bu Arini. Gue lebih ngerasa lo bakalan kayak gigolo daripada instruktur kelas masak. Secara, dia bakalan undang ibu-ibu sosialita temennya dia. Lo nggak lupa kan sama schedule ini?"

Kugelengkan kepalaku. "Tau gitu kenapa lo terima?"

"Feenya gede, Bang. Sekali lo ngejob di sana, sama kayak bayaran lo syuting 20 episode. Mau dicancel kan nggak mungkin dong."

"Gila aja. Konsep udah mateng."

Ya. Money can buy anything.

💋

Setelah mendapatkan perawatan selama 2 hari di rumah sakit, aku diperbolehkan pulang. Sebenarnya, kemarin dokter sudah mengizinkanku untuk pulang. Tapi, Gerry beralasan untuk tinggal satu hari lagi.

"Kali aja besok muka lo udah mendingan."

Setelah dari rumah sakit, Gerry langsung mengantarku ke tempat dimana aku akan menjadi instruktur masak untuk beberapa jam ke depan. Untuk detail dan konsep acara memang sudah dibicarakan dari jauh-jauh hari.

Di sepanjang perjalanan, tak henti,-hentinya berkali-kali kuperiksa ponselku. Mengharap Nadira akan membalas pesan-pesan yang sudah kukirimkan untuknya. Aku tahu Nadira pasti sangat marah dengan apa yang sudah terjadi. Tapi, tetap saja. Tak ada satupun pesanku yang dibaca olehnya.

"Lo udah pastiin semua bahan-bahan yang bakalan kita pake, kan?" tanyaku. Gerry mengangguk.

"Udah. Bakalan ada 10 ibu-ibu super rempong yang ikutan. Tim kita udah siapin semua keperluan di sana. Semalem juga kita udah setting tempat."

"Semua peralatannya lengkap, kan?" tanyaku memastikan.

"Lo bakalan bengong. Bahkan perlengkapannya lebih lengkap dari yang ada di restoran lo. Gue udah bilang, kan. Bu Arini itu tajir melintir. Dapur rumahnya aja udah kayak dapur hotel. Ovennya yang mahal itu lho, Bang. Yang bisa kebeli 1 mobil."

Beruntung menu yang diajukan bukanlah menu-menu yang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Akan ada tiga menu yang akan dipraktekkan di kelas memasak ini. Caesar Salad sebagai makanan pembuka, Steak daging sapi kualitas terbaik dengan harga selangit dan Panna Cotta sebagai hidangan menutup.

Ini adalah kali pertamaku menginjakkan kaki di rumah besar milik pengusaha tambang batubara, suami dsri Bu Arini. Seharusnya, aku memang ikut dengan timku untuk meninjau tempat kemarin lusa. Tapi, keadaanku sangat tak memungkinkan untuk ikut serta dalam peninjauan lokasi. Karena memang, semua diskusi tentang acara ini sudah dibicarakan dengan Gerry dan timku.

"Welcome, Chef." Ibu Arini, selaku tuan rumah menghampiri, memelukku dan mencium kedua pipiku. Benar apa yang dikatakan Gerry. Saat ini, aku merasa bagaikan seorang gigolo yang sedang dipertemukan dengan calon klien. Ibu Arini menyentuh pipiku. "Lho...lho, ini kenapa Chef?"

"Oh. Ini kemarin ada accident, Bu. Biasa lah, cowok. Kalo lagi ada kegiatan di alam bebas suka lupa diri. Kepeleset waktu camping di gunung."

Camping? Di gunung pula. Sejak kapan?

"Eh, Chef Barra suka camping juga? Kalo di rumah ini, yang suka camping itu suami sama anak perempuan saya. Kapan-kapan boleh lah join sama mereka kalo mau camping."

Aku tersenyum kecut. Padahal, jangankan mendaki gunung untuk camping, naik turun ke kamarku yang ada di lantai atas saja sudah membuatku malas.

"Boleh, Ibu. Nanti tinggal sesuaikan jadwalnya aja. Biar sama-sama enak, kan."

"Oh iya, Chef. Masih ada teman saya yang belum datang, ya. Katanya masih di jalan."

"Just take it easy, Ibu. Schedule saya seharian ini cuma di sini kok, Ibu." Sambil berbincang, kubuka lembar yang berisikan nama-nama peserta kelas memasak kali ini. Mataku tertuju di satu nama. Kuutuskan untuk bertanya kepada Bu Arini untuk memastikannya. "Ibu, maaf. Ini ada nama Ibu Widya Kamil. Ibu Widya istri dari Bapak Handoko Kamil?"

"Oh, iya. Itu Jeng Widya. Kenapa, Chef? Chef  Barra kenal dengan Jeng Widya?" tanya Bu Arini.

"Kebetulan kenal baik, Ibu. Saya dan Magenta berteman karena kebetulan acara yang saya pandu disiarkan di Transtar."

"Oh, begitu. Chef, coba itu tolong si Genta dibantu cari pasangan. Biar cepet nikah. Kalo Chef Barra mah kan udah tau rasanya nikah gimana. Kalo dia kan belum."

"Ibu bisa aja."

Bu...Bu, asal Ibu tau aja. Saya sama dia ngerebutin cewek yang sama. Dan ini bonyok bukan karena camping di gunung. Tapi karena jotos-jotosan sama dia.

Tak lama, Tante Widya datang dan mendekat ke arah kami berdua. Segera kucium punggung tangannya.

"Tante."

"Eh, Barr. Gimana kabarmu? Sehat, kan?"

"Alhamdulillah. Sehat."

"Lho, ini kenapa mukanya?"

"Ini lho, Jeng. Ternyata Chef Barra ini suka camping. Itu mukanya begitu karena kepeleset waktu camping," sahut Bu Arini.

"Hmm, beneran Barr?" tanya Tante Widya. Kulihat raut wajahnya yang panik.

"Eh, iya Tante."

"Genta juga waktu itu tiba-tiba pulang ke rumah mukanya babak belur. Padahal dia abis ditugasin Ayahnya ke Jepang. Waktu Tante tanya kenapa, dia bilang gara-gara nangkep maling di bandara."

Shit! Gue dibilang maling.

"Kita mulai sekarang gimana, Ibu?"

💋

Kelas memasak berjalan dengan sangat lancar. Walaupun, harus kuakui memang sedikit ribet berurusan dengan ibu-ibu kaya ini. Aku tak cukup hanya dengan sekali menjelaskan. Butuh sekurang-kurangnya untukku menjelaskan langkah demi langkah yang harus dilakukan. Ya, mereka tetap ibu-ibu. Mereka mencatat semua yang sudah kujelaskan si kertas buku yang sudah mereka bawa.

Padahal, bisa pake teknologi yang namanya handphone untuk ngerekam, kan?

Kelas memasak akhirnya selesai dengan damai walau ada sedikit accident. Menjadi sebuah musibah ketika cipratan dari lelehan butter mengenai baju mahal yang dikenakan Bu Velia, istri dari seorang anggota DPR yang belakangan ini sering muncul di televisi lantaran penggodokan RUU Ciptaker. Hasil masakan yang dimasak tiap-tiap peserta dinikmati bersama dan saling mencicipi satu sama lain.

"Terima kasih untuk kerja samanya hari ini. Semoga apa yang kita pelajari hari ini bisa dipraktekkan kembali di rumah."

Setelah menutup kelas, kubereskan semua peralatan pribadi yang sengaja kubawa, termasuk satu set kitchen knife yang kupesan khusus dari seorang pengrajin pisau di Jepang. Kulepas apron hitam yang melilit di pinggang.

Setelah memastikan semuanya selesai, segera kutemui Bu Arini yang sedang berbincang dengan teman-temannya.

"Ibu, saya mohon pamit."

"Lho, kok cepet banget sih Chef?" sahutnya.

"Kebetulan saya belum sempet pulang ke rumah beberapa hari ini. Kangen sudah beberapa hari nggak ketemu sama anak."

"Oh, yaudah kalo begitu, Chef. Terima kasih banyak ya untuk ilmunya hari ini, Chef. Kapan-kapan boleh ya kita diajarin resep-resep yang lain," ucap Bu Arini. Aku menanggapinya dengan tersenyum dan mengangguk.

Kutunggu Gerry dan tim lainnya yang sedang membereskan barang-barang di mobil. Tiba-tiba Tante Widya datang menghampiriku yang sedang asyik menunggu sambil memainkan ponsel.

"Kamu pulang juga, Barr?" tanyanya.

"Iya, Tan. Sudah kangen sama anak. Tante nunggu jemputan supir?"

"Nggak. Genta yang mau jemput."

Magenta?

"Tapi kok ini belum sampe juga, ya? Katanya habis dari rumah temennya. Temennya baru keluar dari rumah sakit," ucap Tante Widya.

Aku terdiam.

Teman? Jadi, Magenta belum memperkenalkan Nadira pada keluarganya?

"Tante mau bareng aku, mungkin?" tawarku. Dia menggeleng.

"Nggak, Barr. Nanti Tante pulang bareng kamu, si Genta dateng. Bisa ngomel-ngomel dia. Disuruh jemput tapi yang dijemput nggak ada."

Tak lama setelah itu, kulihat sebuah mobil yang sangat kukenal muncul dan mendekat ke arahku dan Tante Widya yang sedang berdiri di bagian luar lobby rumah. Magenta.

Magenta keluar dari mobil dan mencium tangan Tante Widya. "Yuk, Bun."

"Kok lama, Mas?" tanya Tante Widya.

"Iya, Bun. Tadi kan ke rumah temen dulu. Baru keluar dari rumah sakit."

"Emang temennya Mas sakit apa?"

"Kemaren di deket rumahnya ada yang lagi berantem, Bun. Nah, nggak sengaja dia kena pukul."

Jleb.

"Ya ampun. Tapi udah sembuh, kan?" tanya Tante Widya. Magenta mengangguk.

"Udah kok, Bun. Udah sehat."

"Syukur deh kalo gitu. Eh, ini ada Barra lho, Mas."

"Iya, Bun. Mas liat, kok." Magenta melirik ke arahku dan kubalas demgan senyuman kaku. "Muka lo kenapa, Barr?"

"Barra kepeleset pas camping di gunung, Mas."

"Camping? Di gunung? Bukannya di rumah sakit?" sindirnya. Magenta tersenyum kecut.

Sungguh aku merasa sangat terpojokkan saat ini. Terlebih dengan senyuman yang dilemparnya ke arahku. Dia jelas tahu apa yang terjadi denganku.

Klakson mobil timku sudah memanggilku untuk segera menghampiri. Segera aku berpamitan dengan Tante Widya dan juga...Magenta.

"Ta...Tante, aku pamit duluan, ya. Udah ditunggu sama yang lainnya."

"Hati-hati di jalan ya, Barr. Salam untuk Mama, ya," pesan Tante Widya.

Magenta tak menanggapiku sama sekali. Segera aku berjalan menghampiri mobil timku untuk pulang.

Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar tanpa menemui Ibu dan anakku terlebih dahulu. Tak siap kubayangkan bagaimana ekspresi keduanya saat melihat wajahku, karena bekas lebam belum sepenuhnya hilang.

Kurebahkan diriku di kasur setelah selesai membersihkan diri. Dering ponsel memecah lamunanku. Kubaca nama penelepon yang tertera di layar. Astaga. Mas Haryo.

"Assalamualaikum, Barr. Ke rumah ya, Barr. Ada yang harus kita bicarakan bersama."

Tamat sudah riwayatku.

-To be continued-

Nahlohhhh.
Ada apa nihhhhhh.

See you on next chapter ya fellas.

Miss sayang kalian banyak-banyak.

Maaf kalo chapter ini kurang memuaskan ya.

Muah muah muah 💋💋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top