Barra -5-

MASIH ADA YANG BACA TAPI NGGAK FOLLOW? HMM, FOLLOW YUK!

Selamat membaca yaaa. Enjoy!
Tolong bantu tandai kalo ada typo ya. Tandain aja dulu. Revisinya mah nggak tau kapan. Hehehehhe.
Mohon maaf untuk update yang lamaaaaa banget. Maaf yaaa.

Tolong sampaikan komentar dengan cara yang baik. Miss yakin kalian orang-orang yang baik.
Miss minta maaf ya kalo tulisan Miss belum bisa berkenan di hati kalian. Miss sadar betul tulisan Miss masih jauh dari kata baik. Masih kurang di sana-sini. Miss harap kalian mau maklum, ya.

Bagi yang suka, boleh baca. Untuk yang nggak suka, Miss nggak maksa kalian untuk baca apalagi suka sama tulisan Miss.

Eit, Miss nggak baper. Tapi, Miss hanya mengingatkan. Bersikaplah baik pada siapapun.

Semoga suka yaaaa.

Aku batal memejamkan mata setelah mendapat balasan pesan dari Magenta. Pesan yang dikirimkannya menyiratkan betapa serius dirinya saat ini. Magenta memang sosok penuh humor. Tapi, dia akan menjadi sangat serius di saat-saat tertentu, seperti saat ini. Tak kusangka Magenta akan dengan cepatnya mengiyakan permintaanku untuk bertemu.

"Kita bisa ketemu sekarang. Gue selalu punya waktu kalo itu berkaitan dengan Nadira. Gue memang butuh penjelasan langsung dari mulut lo."

Kuembuskan napas berat. Berat rasanya dihadapkan pada dua pilihan. Memperjuangkan cinta atau kehilangan pertemanan. Aku akan memilih cinta, untuk saat ini.

Kembali jantungku berdetak cepat saat kubuka pesan dari Magenta.

Magenta
Mau lo yang samperin gue atau gue yang samperin lo?

Barra
Biar gue yang samperin lo.

Magenta
Good.
Gue di apartemen.

Begitulah pesan terakhir yang dikirimkannya padaku. Magenta memintaku untuk datang ke apartemennya. Tempat dimana hanya akan dia kunjungi saat ada masalah, seperti saat ini.

Segera kukenakan jaket dan melajukan mobil ke apartemennya.  Sesampainya di sana, segera aku masuk ke dalam lift yang akan membawaku ke lantai tempat unitnya berada, lantai 15. Jujur, aku merasa tak tenang.

Sesampainya di depan pintu unit milik Magenta, kembali kutarik napas panjang dan kuembuskan perlahan. Dengan tenang kutekan bel. Padahal, bisa saja aku langsung masuk karena aku tahu password untuk masuk ke apartemennya. Magenta memberitahukan password unitnya kepada beberapa teman, termasuk aku.

"Masuk." Magenta kembali berjalan ke dalam setelah membukakan pintu. Kuikuti dia dari belakang. Langkahnya terhenti di ruang tengah. Ruang yang biasanya digunakan saat kami kumpul-kumpul. "Lo nggak lupa password apartemen gue, kan?" Kugelengkan kepalaku. "Kenapa pake acara pencet bel segala? Basa-basi kesopanan?"

"Gue ke sini bukan untuk ngebahas sopan atau nggak sopan, Ta."

"Lo boleh mulai. Gue mau denger apa yang mau lo jelasin." Magenta duduk di sofa panjang yang menghadap ke televisi yang menyala. Diraihnya remote televisi yang ada di atas meja. Dia mengecilkan volume suara televisi.

Kuputuskan untuk duduk di sebuah single armchair yang berwarna senada dengan sofa panjang yang didudukinya. Magenta menyeruput sesuatu yang ada di cangkir berwarna hitam yang ada di genggamannya.

"Lo mau mulai kapan?" tanyanya.

"Gue dateng ke sini untuk ngejelasin semuanya ke lo, Ta," ucapku.

"Ngejelasin apaan? Kegoblokkan lo?" ucapnya santai. Aku tertegun mendengar ucapannya.

"Ta, sorry karena sebelumnya gue nggak pernah ngomong tentang semua ke lo. Bahkan lo harus tau dari orang lain. Gue minta maaf."

"Dan bikin gue kayak orang bego di hadapan orang banyak. Gitu?"

"Nggak begitu maksud gue." Aku berusaha meluruskan keadaan. "Gue ngerasa saat itu kurang tepat untuk kasih tau lo."

"Dan lo pikir saat ini tepat untuk ngomong sama gue? Lo cuma mau ngomong itu doang? Jauh-jauh ke sini mau ngomong gitu doang?" ucapnya.

"Gue mau jelasin hubungan di antara gue sama Nadira."

"Maksud lo hubungan selain hubungan antara Om dan keponakan?" ucapnya membuatku seketika terbelalak.

"Lo udah tau?" ucapku. Magenta mengangguk. "Dari Nadira?"

"Menurut lo? Bahkan gue tau apa alasan hubungan kalian berdua berakhir." Magenta meluruskan kedua kakinya dan meremas sebuah bantal sofa. "Gue nggak nyangka. Alasan berakhirnya hubungan itu gara-gara lo."

"Maksud lo?" tanyaku.

"Kekonyolan lo. Lo tuh konyol, tau nggak? Bisa-bisanya lo memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan baru di saat lo tau kalo lo sendiri belum bisa move on dari masa lalu. Aneh. Nggak salah kan kalo gue bilang ini aneh?" Magenta menghembuskan napas kasar. "Gue sih nggak pernah nyangka. Lo nggak seperfect yang gue bayangin. Lo tau? Gue jadiin lo role model gue. Gue pengen suatu hari nanti bisa jadi seorang Ayah kayak lo. Ayah yang sayang banget sama anaknya. Selalu nyempetin waktu untuk anak sesibuk apapun itu. Tapi ternyata, ketololan lo meruntuhkan angan-angan gue. Gue bener-bener nggak nyangka. Seorang Barra Adiguna yang punya image super baik di layar kaca ternyata sosoknya nggak sebaik itu."

"Gue akuin kalo itu semua emang salah gue."

"Gunanya lo ngaku sama gue apaan? Gue nggak butuh pengakuan lo, Barr. Yang gue mau tau, apa tujuan lo ngajak gue ketemu. Tujuan lo apa?"

"Gue cinta sama Nadira," ucapku tegas.

"Kalo lo cinta sama dia, lo nggak akan ngelakuin hal kayak gitu ke dia. Lo pikir dia apaan? Dia anak Ibu Bapaknya, Barr. Gimana kalo sampe orangtuanya tau kalo anaknya digituin sama Omnya sendiri? Lo punya otak nggak sih?"

Aku hanya bisa terdiam.

"Terus? Lo mau balikkan sama dia?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Gue sedang berusaha untuk memperbaiki semuanya."

"Meminta kesempatan. Itu kan maksud lo?"

"Iya. Gue minta Nadira untuk kasih gue kesempatan."

"Terus?" tanya Magenta.

"Maksud lo?"

"Terus, apa hubungannya sama gue?"sahutnya.

"Karena yang gue tau Nadira lagi deket sama lo. Gue ke sini untuk meminta lo secara pribadi untuk bersaing secara sehat."

"Gue tau. Gue udah tau apa mau lo sebelum lo ngomong. Nadira udah cerita semuanya ke gue."

Blesssss.

Ada rasa tak nyaman yang hinggap di hati ini. Nadira sudah sangat terbuka rupanya. Apa gunanya aku menjelaskan panjang lebar kalau ternyata Magenta sudah mendengar semuanya dari Nadira?

"Barr, sebenernya gue pengen banget nonjok muka lo. Tapi, bukan gitu cara orang dewasa menyelesaikan masalah."

"Lo boleh tonjok gue sepuas lo, Ta. Gue emang pantes dapetin itu."

"Itu bukan cara gue. Atau, lebih tepatnya belum jadi cara gue. Gue cuma mau bilang satu hal. Dengan bersaing, itu berarti salah satu dari kita yang akan dipilih. Dan, kemungkinan lainnya adalah kita akam kehilangan persahabatan yang udah kita bangun selama ini," tuturnya.

"Kalo lo minta gue untuk resign, gue akan lakuin."

"Profesional, Barr. Nggak perlu lo campur aduk masalah pribadi sama pekerjaan. Kalo gue kejam, gue bisa lakuin lebih dari itu. Gue bisa blacklist nama lo dan hancurin bisnis restoran lo. Tapi, gue bukan orang kayak gitu."

"Jadi, lo terima?"

"Kalo emang itu mau lo, gue ikutin."

💋

Beberapa hari setelah malam itu, Magenta tak pernah lagi mampir ke restoranku. Padahal, biasanya dia selalu menyempatkan mampir untuk sekedar numpang makan dengan nasi telur ceplok plus kecap. Akupun belum pernah berjumpa lagi dengannya tiap kali datang ke gedung Transtar Media beberapa hari ini.

Kucoba untuk membangun kembali hubunganku dengan Nadira yang pernah runtuh. Sulit memang. Berkali-kali kucoba untuk mengobrol dengannya lewat pesan Whatsapp. Dan berkali-kali juga kudapati balasan yang sangat singkat dan seperlunya.

Dulu. Dulu sekali. Kami sering menghabiskan malam dengan bertelepon. Bertelepon sampai salah satu dari kami jatuh terlelap dan mengirim pesan permohonan maaf keesokkan harinya. Aku rindu saat-saat itu.

Kuselesaikan pekerjaan hari ini lebih awal. Kuserahkan sisanya pada Yohan. Yohan sangat bisa diandalkan. Aku akan menghampiri Nadira yang masih ada di Lenggah. Kukirim pesan melalui Whatsapp beberapa jam yang lalu. Sebelum menuju Lenggah, kusempatkan untuk membeli beberapa cemilan di minimarket yang kulalui. Kubeli beberapa batang cokelat, beberapa bungkus snack berMSG, sebungkus roti kasur isian kombinasi dan beberapa botol susu kemasan rasa buah. Nadira begitu akrab dengan cemilan.

Sesampainya di Lenggah, kulihat dia masih sibuk di salah satu meja kosong. Entah apa yang sedang dikerjakannya. Tumpukkan kertas menggunung di hadapannya.

"Dir." Nadira melirik ke arahku. Kuputuskan untuk duduk di kursi kosong yang ada di hadapannya.

"Lho? Om ada apa kok tiba-tiba ke sini?" tanyanya dengan ekspresi heran.

"Nggak tiba-tiba, Dir. Aku udah kirim WA ke kamu sebelum ke sini."

Nadira merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. "Oh, iya. Aku nggak buka-buka hp dari tadi. Ada apa ke sini, Om?"

"Aku udah bilang kan ke kamu. Aku mau memperbaiki semuanya. Kamu lupa udah kasih kesempatan ke aku?"

"Hmm, perlu aku jelasin lagi mungkin. Kayaknya aku nggak bilang itu sebuah kesempatan."

"Please, Dir."

"Terserah. Kalo emang Om berniat untuk memperbaiki komunikasi yang jelek di antara kita, aku setuju."

"Okay. Pelan-pelan."

Kuamati ekspresi wajahnya yang terlihat serius mengerjakan tumpukkan kertas yang ada di hadapannya. Kacamata yang hampir melorot di ujung hidungnya menambah kesan serius di wajahnya. Berkali-kali tangannya mencoret-coret kertas dengan pulpen bertinta merah yanh digenggamnya. Berkali-kali kuamati dia menghela napas dengan berat.

"Kamu ngerjain apa?" tanyaku.

"Penelitian. Untuk persiapan tesis nanti."

"Bukannya kamu baru aja masuk kuliah? Tesis kan masih lama," sahutku. Nadira mengangguk.

"Nyicil. Aku nggak mau terlalu santai. Mumpung aku lagi santai, nggak ada salahnya kan aku cicil-cicil." Kuanggukkan kepalaku setuju.

"Itu apa?" Kutunjuk ke arah tumpukkan kertas yang ada di hadapanku.

"ini contoh tesis dari temen-temen yang udah duluan lulus. Sengaja aku pinjem tesis mereka untuk jadi bahan acuan. Biar aku ada gambaran."

"Penelitian tentang apa?" tanyaku. Nadira mengendikkan bahunya.

"Penelitian yang bersifat kualitatif. Aku nggak mau ada itung-itungannya."

Nadira melanjutkan pendidikannya ke jurusan pendidikan.

"Penelitian di sekolah?" ucapku. Nadira mengangguk. "Mau aku bantu?" tawarku. Nadira mengernyitkan kening.

"Caranya?"

"Kamu udah dapet sekolah untuk penelitian?" tanyaku. Nadira menggeleng. "Okay, aku bantu kamu."

"Iya. Gimana caranya?"

"Kebetulan beberapa kakak kelasku waktu SMA dulu ada yang jadi kepala sekolah dan guru di SMA yang ada di Jakarta. Mungkin, kalo kamu mau aku bisa minta tolong ke mereka. Gimana?"

"Ngerepotin nggak, Om?"

Hmm, Om lagi. Om lagi. Sabar.

"Kayaknya nggak. Aku cuma akan bantu untuk menghubungkan kamu sama mereka. Mau?" tanyaku.

"Tapi, aku belum urus surat izin penelitian."

"Kamu ambil aja cara gampangnya."

"Maksudnya?" ucap Nadira bingung.

"Penelitian dulu. Kalo udah dapet hasilnya, kamu simpen. Terus nanti pas waktunya nyusun kamu tinggal urus surat izin penelitiannya. Gimana?"

"Kenapa kedengerannya too risky banget, ya?"

"Aku cuma kasih solusi. Keputusannya ada di kamu. Kalo kamu takut, ya jangan. Yang penting, kamu udah dapet tempat penelitiannya. Kalo mau pake cara yang legal ya ikutin sesuai prosedur. Sekarang kamu bikin aja outline tesis kamu. Tentuin mau judulnya apa."

"Aku mau ambil jalan legalnya aja. Sementara ini, aku bakal nyari judul yang pas. Yang sekiranya nggak akan bikin aku terjebak di tengah-tengah nantinya. Aku juga bisa sembari cicil-cicil dulu bab 1-3."

"Dir..."

"Ya, Om?"

"Dir, bisa nggak kamu jangan panggil aku dengan sebutan itu?" ucapku ragu.

"Maksudnya?" tanya Nadira.

"Tolong jangan panggil aku Om. Bisa, Dir?"

"Hmm, itu nggak mungkin."

"Kenapa, Dir? Apanya yang nggak mungkin?" tanyaku tegas.

"Om tanya sesuatu yang sebenernya Om udah tau jawabannya. Kita itu Om dan keponakan."

"Dira..."

Suara seseorang memutus ucapanku.

"Mbak Dira, hp lo mati?" ucap seseorang yang kuyakini adalah salah satu karyawan di sini. Nadira menggeleng.

"Kenapa emangnya?" jawab Nadira.

"Emak lo nelepon. Lo nggak bisa dihubungin dari tadi. Udah coba dihubungin pake WA sampe pake pulsa. Nggak bisa. Tadi, gue bilang ke Ibu lo yang bakalan telepon balik."

"Wi-Fi aktif, kan?" ucap Nadira.

"Aktif. Tapi agak lemot. Gangguan  kayaknya. Dari semalem. Kan hujan deres banget."

Nadira melihat layar ponselnya. "Shit! Stupid. Bego banget sih gue."

"Kenapa, Dir?" tanyaku.

"Aku lupa isi pulsa. Nomerku hangus."

"Najis lo, Mbak. Yakali Co-Owner sampe lupa isi pulsa. Hidup lo bergantung sama Wi-Fi sih," sahut karyawan laki-laki itu.

"Bukannya gitu, Do. Kemaren gue udah rencana mau isi pulsa hari ini. Eh lupa."

"Ganti nomer. Nggak ada option lain," sambarku. Nadira terlihat sedikit kecewa.

"Ganti nomer ya? Aku tuh males ngasih tau ke orang-orang kalo nomerku ganti."

"Ya mau gimana lagi. Emang harus begitu. Setau aku, kalo nomer udah hangus ya nggak bisa diurus lagi. Even, kamu ke service center. Mereka juga pasti akan nyuruh kamu untuk ganti nomer."

Nadira menghembuskan napasnya kesal. "Yaudah lah. Mau gimana lagi."

"Aku temenin kamu cari nomer nanti. Pulangnya kita mampir beli nomer baru untuk kamu. Aku anter kamu pulang. Kamu nggak bawa mobil, kan?"

"Kok Om tau kalo aku nggak bawa mobil?"

"Dira, mobil kamu itu besar. Dan nggak bisa diumpetin. Kalo kamu bawa mobil, pasti kamu parkir di depan. Dan, aku nggak liat mobil kamu di parkiran. Kamu nggak bawa mobil, kan?"

"Iya. Mobilku dipake Papa sama Mama. Mobil Papa masuk bengkel."

"Yaudah. Pulangnya aku anter, ya." Aku masih berusaha untuk membujuknya. "Ya? Aku anter kamu,ya."

"Iya." Aku tahu dia terpaksa mengiyakan permintaanku. Karena dia hapal bagaimana sifatku. Aku tak akan berhenti meminta sebelum permintaanku diiyakan.

Sesuai kesepakatan. Kuantar Nadira pulang. Sebelum pulang, kutemani dia untuk membeli nomor baru. Setelah mengaktifkan nomor baru di ponselnya, Nadira segera menelepon Mamanya, Mbak Retno. Dia mengabari bahwa dia terpaksa mengganti nomor ponsel karena keteledorannya.

Kuhentikan mobil di tepat di depan rumahnya. Nadira bersiap untuk segera keluar dari mobil sambil menenteng semua barang-barangnya. Kuputuskan untuk ikut turun dan membantunya membawa sebagian barangnya.

"Kayaknya aku dateng di waktu yang nggak pas. Aku ganggu ya?"

-to be continued-

Nahlohhh..
Siapa ituuuu?

Gimana gimana gimana?
Hayoooo, yang ngarepin Nta sama MasBarr jotos-jotosan siapa hayoooo?
Ahahahhaha.
Sorry ya fellas.
Miss mah orangnya elegant.
Ahhahaha

Suka nggak sama chapter ini?

Sampai ketemu di chapter selanjutnya, ya.

Miss sayang kalian banyak-banyak. ❤❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top