Barra -4-

Kalian iya coba tengok-tengok manja ya cerita ini. Bagus deh. Seriusaaaaan. Miss nggak bohong. Miss bener-bener ikutin dari pas episodenya masih dikit banget.


Judulnya Nayyara : Lost in Marriage. Pengarangnya Mbak fey_ann . Coba yaaak dibaca-bacaaaaa.

Enjoyyyyy!!!!!

Eh iya, yang belom follow IG Miss boleh lho difollow... Cari aja missdandelionishere. Di IG, spoiler chapter sudah banyak bertebaran. Hehhehehe

Benar dugaanku. Sesuatu yang tak kuharapkan terjadi. Nadira mengenalkan Magenta sebagai teman dekatnya. Tetpaksa kupasang senyum palsu di depan mereka. Berlagak ikut larut dengan keadaan. Padahal, sakit di dalam.

Terlintas kejadian beberapa hari yang lalu. Magenta dengan bahagianya datang ke restoranku. Memintaku menghentikan pekerjaan sejenak demi mendengarkan curahan hatinya, yang sudah pasti membuatku...ah sudahlah.

"Gue mau seriusin Nadira."

"Udah yakin?" tanyaku.

"Kalo nggak yakin, gue nggak akan gencar sama dia. Baru kali ini gue ngerasa jadi bucin. Karena, sebelumnya gue nggak pernah kayak begini."

Jawabannya sukses membuatku terdiam. Aku memang baru 4 tahun ini mengenal Magenta. Saat kepemimpinan stasiun TV yang semula dipegang ayahnya beralih padanya. Jarak umur kami yang tidak jauh membuat kami cepat akrab. Magenta akan dengan leluasanya menceritakan kehidupan pribadinya. Tapi, tidak denganku. Tidak semua hal kubagikan dengannya. Termasuk hubunganku dengan Nadira, hubungan Om dan keponakan, maksudku. Itu kenapa, ekspresinya sangat terkejut sangat mengetahui kebenarannya.

Kuhembuskan napas dengan berat. Dadaku terasa sesak. Di satu sisi, aku ingin memperjuangkan Nadira, walau kecil kemungkinannya. Di sisi lain, aku ingin merelakannya untuk bahagia dengan pilihannya, walau bukan aku yang dipilihnya.

Berkali-kali merutukki kebodohan hanya membuatku semakin merasa bersalah. Apa yang sudah terjadi, tak akan pernah bisa diulang. Aku harus mencoba. Ya, harus!

Kuambil ponselku yang tergeletak di atas tempat tidur. Berkali-kali kuketik pesan yang rencananya akan kukirimkam padanya. Berkali-kali kuketik. Dan, berkali-kali pula kuhapus. Sudah terlalu lama kami tidak saling berkirim pesan. Lama. Lama sekali.

Kumantapkan hati. Kuketik beberapa baris pesan di WA untuknya. Kutarik napas panjang, kemudian kutekan tombol kirim. Selesai.

"Kita bisa ketemu, Dir? Aku tunggu kamu  di Uncle's ya. Jam 4 sore. Aku tunggu kamu sampe kamu dateng."

Lama kuamati pesan yang sudah kukirim untuknya. Ceklis dua. Tapi, tak kunjung berwarna biru. Mengharap balasan darinya, itu pasti. Mengingat Nadira adalah seorang yang sangat fast respond, bagaimanalun keadaanya. Dia akan berusaha untuk segera membalas pesan yang masum ke ponselnya. Tapi, mengingat apa yang pernah terjadi di antara kami, kubuang harapan itu jauh-jauh.

Kuhembuskan napas dan melempar kembali ponsel ke atas tempat tidur. Kurebahkan kembali tubuhku di atas kasur. Entah kenapa. Saat sendiri seperti ini, aku selalu memikirkannya. Kuputuskan untuk segera tidur, walaupun hatiku tak tenang, sama sekali.

Baru saja ingin memejamkan mata, nada dering ponsel notifikasi pesan WA mengusikku. Kuraih ponsel dan segera menyapu layarnya. Mataku langsung terbelalak melihat nama si pengirim pesan. Nadira.

"OK."

Satu kata yang akan membuat tidurku nyenyak semalaman. Bukan sebuah respon yang sangat baik. Tapi, setidaknya Nadira menanggapi isi pesan yang kukirim untuknya.

💋

Sengaja kukosongkan jadwal kerjaku hari ini. Kuserahkan semua pekerjaan yang ada di restoran pada asistenku, Yohan. Yohan sangat bisa kuandalkan. Kapanpun. Etos kerjanya membuatku mempercayainya untuk memegang tanggung jawab besar atas restoran. Kasarnya, aku akan tenang memasrahkan restoran di tangannya, bahkan untuk sebulan lamanya.

"Gue off ya. Lo pegang semuanya hari ini."

"Okay. Lo mau kemana emang?" tanyanya di sambungan telepon pagi ini.

"Ada urusan. Lo jangan lupa cek-cek stok, ya. Gue cek ngga ada orderan penting hari ini. Lo bisa napas lega."

"Okay. Semoga urusan lo lancar, ya."

Segera kupilih baju yang akan kukenakan nanti sore. Nadira sangat senang melihatku dengan pakaian santai. Pakaian yang membuatku terlihat lebih muda dari usiaku.

"Mas, umur boleh tua. Penampilan jangan. Banyak kok bapak-bapak di luaran sana yang penampilannya masih fresh walau udah tua. Kamu baru punya anak satu lho. Belom tua-tua banget, sih. Liat Papaku deh. Aku sama Kak Nadia yang bawel banget soal style Papa. Apalagi, kamu tuh terkenal."

Kuputuskan untuk memakai celana jeans dan kemeja flanel yang pernah kupakai saat pergi kencan dengannya, dulu sekali. Berkali-kali kulirik jam dinding di kamarku. Waktu terasa lama berputar.

Hari Minggu. Hari libur. Bukan untukku, tapi untuk anakku. Biasanya, Zayyan akan menghabiskan hari Minggunya sendirian di rumah denga aplikasi menonton TV atau bermain games. Tapi, hari ini kuputuskan untuk membuat hari Minggunya lebih berwarna, sembari membunuh waktuku.

"Zay, mau main sama Papa nggak?" tanyaku. Zayyan yang sedang duduk di sofa sambil menonton TV melongo ke arahku. "Kok bengong sih?"

"Papa nggak ke restoran? Libur ya, Pa?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Papa off untuk hari ini. Tapi, nanti sore Papa harus keluar karena ada urusan. Papa punya waktu sampe jam 2 siang. Kamu mau main sama Papa?"

Zayyan terlihat sangat berpikir.

"Pa, kita main PS aja gimana? Udah lama Papa nggak nemenin aku main PS."

"Boleh. Yuk!"

Kutemani Zayyan lebih bermain PlayStation selama beberapa jam. Sampai akhirnya, jam makan siang tiba. Ibuku meminta kami berkumpul di neja makan untuk makan siang bersama.

"Wah, Mama masak banyak banget hari ini. Ada apa, Ma?" tanyaku. Kulihat deretan lauk-pauk di atas meja makan. Biasanya, Ibuku hanya akan memasak dua macam lauk yang akan disantap sekalian untuk makan malam.

"Oh, nanti temen-temen Mama mau dateng. Udah lama nggak ketemu. Jadi semacam mau ngadain reuni kecil-kecilan," jawabnya.

"Lho, kok nggak bisa aku sih? Kalo bilang, aku kan bisa bantu Mama siapin semuanya."

"Opo, tho. Wong masak gini aja ya Mama juga bisa. Mama masih kuat, Barr.  Ngurus adek-adeknya Zayyan nanti juga Mama masih mampu, kok," ucap Ibu.

"Aamiin ya, Ma. Semoga Mama sehat selalu."

"Kamu mau pergi, ya? Makanya hari ini nggak kerja di restoran." Aku mengangguk.

"Iya. Aku ada perlu sama seseorang. Nanti sih jam 2. Takut jalanan macet. Janjiannya jam 4."

"Oh, yaudah. Makan dulu."

Makan sambil berbincang adalah kebiasaan di keluarga kami. Kami tidak terlalu suka suasana yang terlalu sepi saat makan. Suasana dimana hanya ada bunyi denting sendok dan garpu yang saling beradu di atas piring.

"Uhm, Pa."

"Ya, Nak."

"Kak Dira pacaran sama Om Genta, ya?" tanya Zayyan. Pertanyaannya membuatku menghentikan gerakkan tanganku yang memegang sendok.

"Kenapa? Kok tiba-tiba kamu tanya begitu?" tanyaku.

"Soalnya, Kak Dira ajak Om Genta ke acara di rumah Yangti semalam. Mereka pacaran ya, Pa?"

"Sepertinya," jawabku singkat.

"Mama ya kaget semalam ada Genta di sana. Ya, semoga kalo memang mereka pacaran, bisa lanjut ke pernikahan." Ucapan Mama membuat napsu makanku hilang seketika. Kuputuskan untuk segera merapihkan piring bekas makanku. "Kamu udah selesai makannya, Barr?"

"Iya, Ma. Mau siap-siap Dzuhur. Terus merem sebentar. Nanti jam 2 jalan. Kenapa, Ma?" tanyaku. Mama menggeleng.

"Nggak apa-apa. Yaudah, kalo mau tidur lagi."

Kulangkahkan kaki kembali masuk ke kamar. Mengambil wudhu dan menunaikan sholat Dzuhur lalu kemudian memejamkan mata sebentar.

Aku masih punya kesempatan kan, Dir?

💋

Aku sampai setengah jam lebih awal dari jam yang sudah ditentukan. Bagiku, menunggu lebih baik daripada ditunggu. Itulah yang selama ini kuterapkan pada client yang bekerjasama dengan restoranku. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka menungguku saat membuat janji temu.

Berulang kali pelayan datang menghampiri mejaku. Menanyakan pesananku. Pelayan itupun kembali menuangkan air putih ke gelas yang ada di hadapanku.

"Saya pesan nanti kalau teman saya sudah datang ya, Mbak."

"Baik, Pak. Sebelumnya, saya minta maaf, Pak."

"Kenapa, Mbak?" tanyaku bingung.

"Bapak yang ada di TV, kan? Chef Barra Adiguna?" tanyanya. Kulempar senyuman ke arahnya. Aku mengangguk.  "Pak, boleh saya dan teman-teman minta foro bareng?"

"Boleh dong. Ayo."

Selesai sesi foto bersama dengan karyawan cafe, aku kembali duduk dan menantikan kedatangan Nadira. Lagu-lagu yang diputar di cafe ini sedikit mengurangi rasa suntuk dan gugupku.

Fokusku selalu kuarahkan ke pintu masuk cafe. Setiap kali lonceng cafe berdentang karena ada yang masuk, aku langsung melirik ke arah pintu.

Tak lama, Nadira muncul dari pintu masuk cafe. Penampilan santainya selalu saja enak untuk dilihat. Padahal, umurnya sudah tidak muda lagi. Rambut sebahunya dibiarkan tergerai.

Kulambaikan tangan ke arahnya. Nadira segera berjalan menghampiriku. Dia duduk tepat di depanku. Tanpa rasa canggung.

"Sorry, Om. Nunggu lama, ya?" ucapnya. Aku menggeleng. "Jadi, ada urusan apa kok tiba-tiba aku disuruh ke sini? Kenaoa harus di sini? Kenapa Om nggak ke rumahku aja kalo emang ada yang mau diomongin?"

Sudah lama aku tak memandangi wajahnya sedekat ini. Sudah lama juga aku tak mendengarnya berbicara sepanjang ini. Padahal, dia (selalu) pernah menjadi seseorang yang mengisi kesendirianku. Kupandangi kedua matanya. Mata yang selalu menampakkan keceriaan.

Cukup lama kupandangi Nadira yang tengah duduk di depanku.

"Ada perlu apa lagi, Om? Kalo Om nggak ngomong-ngomong, mendingan aku pamit duluan. Aku di sini bukan untuk liatin orang bengong. Buang-buang waktu."

Salahku yang memulai semua ini.

Jika saja. Jika saja aku tak pernah melakukan hal bodoh itu, mungkin saat ini aku sudah mengikatnya ke dalam ikatan pernikahan.

Aku yang membuatnya menciptakan jarak di antara kami. Bahkan, dulu kami tak setegang ini.

Shit! You are so stupid, Barra.

Kurutukki kebodohanku. Kesalahanku semakin fatal setelah dia hadir. Kenapa dia harus hadir?

"Om? Ini cuma bengong aja nih?"

Mendengarnya kembali memanggilku dengan sebutan itu menciptakan rasa hurt tapi tak berblood, itu ungkapan yang diajarkan Nadira padaku.

"Aku pamit aja deh, Om. Daritadi aku nungguin Om ngomong, tapi nggak ngomong-ngmong. Udah berapa menit coba kita kayak begini? Kita kan nggak lagi lomba tatap-tatapan ampe meleleh, kan?"

Kurasa 'ku sedang jatuh cinta
Karena rasanya ini berbeda
Oh, apakah ini memang cinta?
Selalu berbeda saat menatapnya

Mengapa aku begini?
Hilang berani dekat denganmu
Ingin 'ku memilikimu
Tapi aku tak tahu
Bagaimana caranya?

Tolong katakan pada dirinya
Lagu ini kutuliskan untuknya
Namanya selalu kusebut dalam doa
Sampai aku mampu
Ucap maukah denganku

Shit. Lagunya.

Nadira semakin cantik. Dia cantik. Selalu cantik. Rambut sebahunya selalu dibiarkan terurai. Harum shampoonya masih jelas kuingat saat terakhir kali kucium di perpisahan kami.

Do I sound so pervert? I hope no.

"Aku kangen kamu, Nadira."

Jawab aku, Dira. Bilang kalo kamu juga kangen aku.

"Ngaco. Udah ya, Om. Aku pamit. Aku udah nggak ada waktu untuk hal-hal kayak begini. Permisi."

Jleb. Jangan pergi dulu, Dira.

Refleks. Kuraih lengannya. Segera kucegah Nadira untuk bangun dari duduknya.

"Dir, duduk dulu. Please. Aku mau ngomong sama kamu. Aku selalu cari waktu untuk ngomong sama kamu. Tapi, nggak pernah bisa. Kamu selalu menghindar dan menjauh dari aku. Ada jarak di antara kita."

"Salah siapa sampe semua ini terjadi? Jarak ya? Udah resikonya sih," sahutnya santai.

"Please, Dira. Aku tau aku salah. Sangat salah."

Pemilihan kata yang salah, nampaknya. Bodoh!

"Dan aku lebih salah salah salah berkali-kali lipat salah karena pernah mencintai Om."

Bodoh. Lo bodoh Barra!

"Dir, kasih aku kesempatan. Ya?" ucapku.

"Om!"

"Aku rindu cara kamu panggil aku, Dir," ucapku lirih.

"Panggil Om gimana? Mas?" tanyanya. Aku mengangguk. "Keponakan mana yang panggil Omnya sendiri dengan sebutan "Mas"? Nggak ada, Om."

"Dira. Aku mohon. Aku minta maaf."

"Om, jauh sebelum ini. Aku udah memaafkan Om. Karena orangtuaku selalu mengajarkan anak-anaknya untuk memaafkan setiap orang yang berbuat salah sama kita."

"Tapi, sikap kamu berubah, Dira."

"Tapi, sayangnya orangtuaku mengajarkan anak-anaknya untuk teguh memegang prinsip hidupnya. Dan, bersikap seperti ini adalah prinsip hidupku, Om. Sulit rasanya untuk bersikap kayak nggak ada apa-apa. Sakit hati seakan sudah mematikan sebagian rasa santaiku."

"Tolong kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya, Nadira. Aku mohon," pintaku.

"Om, maaf. Kesempatan untuk apa? Memperbaiki hubungan kita? Kita balikan lagi, gitu? Maaf. Om punya kesempatan. Jadi manusia yang lebih baik lagi dari sebelumnya," ucapnya.

"Aku mohon, Dira. Izinkan aku berusaha. Aku bisa bersaing secara sehat dengan Magenta, kalo kamu mau. Aku yang akan jelasin semuanya ke dia. Tentang hubungan kita. Tapi, kamu tetap harus memilih salah satu di antara kami berdua, nantinya."

"Om udah gila, ya? Nggak bisa ya sebentar aja bikin hidupku tenang?" ucapnya.

"Bisa. Kalo kamu izinin aku untuk berusaha dapetin kamu lagi."

"Terserah. Aku nggak peduli. Lakuin apapun itu yang mau Om lakuin. Tapi..." Ucapannya terputus.

"Tapi apa, Dir?" tanyaku.

"Jangan pernah libatin Zayyan."

"Terima kasih ya, Dir. Aku akan gunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Aku harap, kita bisa kembali bersama. Aku harap masih ada sedikit rasa di hati kamu untuk aku, Dir."

"Aku nggak bisa janji, Om. Dan, aku nggak bilang kalo aku kasih Om kesempatan.Aku permisi."

"Dir, aku anter kamu pulang ya?" ucapku. Nadira menggeleng.

"Nggak usah, Om. Aku ada janji lagi setelah ini."

"Magenta?"

"Siapa lagi. Aku permisi."

Nadira pergi meninggalkanku sendiri. Entah apa sebenarnya yang sudah kulakukan. Meminta kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Tapi, aku harus rela melihatnya dengan Magenta.

Sesampainya di rumah, kuputuskan untuk menentukan langkah apa yang harus kuambil selanjutnya. Sebelum mengambil keputusan, kuputuskan untuk segera membersihkan diri. Selesai membersihkam diri, kembali kurebahkan tubuh ini di tempat tidur. Aku sudah tidak sekuat dulu. Usia membuatku mudah lelah.

Kuraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Kembali. Aku harus mengirim pesan untuk seseorang. Pesan yang mungkin akan menentukan kelangsungan masa depanku.

"Ta, kita butuh ketemu. Ada yang harus kita omongin. Bukan masalah kerjaan. Ini masalah gue sama Nadira. Gue tunggu respon dari lo. "

-to be continued-

Halloooooo..
Apa kabar?
Sehat semuanya kan?
Gimana gimana?
Kesel nggak?
Pindah haluan kah?
Tim Magadir mana suaranya?
Tim Barradira mana suaranya?
Tim MissBarra mana suaranya? Lhooooo

Ahahahhaah.
Maaf yaaa updatenya lamaaaa banget.
Sengaja soalnya.
Biar pada kesel duluuuuu.
Hhhahhaha.
Bercanda ah.
Jangan dimasukkin ke hati yaaaaa.

Semoga suka yaaaaaa.

See you ya di Nadira -5-

Untuk Dia Jodohku, Miss nggak akan bikin chapternya banyak kayak KalaDia, yaaaaak.❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top