Barra -3-
Happy reading, ya.
kalo nemu typo please remind me.
Hari ini restoran sangat hectic. Ada pesanan untuk makan malam dari rekanan travel agent yang membawa 50 orang turis dari Eropa Timur dilakukan mendadak tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya. Susah untuk menolak. Karena akan sangat fatal akibatnya. Mereka bisa saja memutus kerjasama dengan restoranku.
Restoranku menyediakan berbagai macam masakan khas Nusantara yang disajikan dengan tampilan menarik khas restoran mewah. Pihak travel agent memintaku untuk menyajikan makanan-makanan khas Indonesia yang berhasil menempati peringkat di CNN. Apalagi kalau bukan Rendang dan Nasi Goreng. Selain kedua makanan yang berhasil masuk ke deretan World's 50 Best Foods, kusajikan beberapa makanan yang sangat Indonesia seperti bakso, Soto Kudus, Gado-gado dan Soto Mie Bogor.
Makan malam berjalan dengan sangat lancar. Mereka merasa sangat puas dengan makanan yang disajikan. Merupakan sebuah kebanggan saat bisa menghadirkan cita rasa autentik khas tanah air ke lidah orang asing. Semacam memberikan sebuah gebrakan dengan masakan yang kaya akan rempah.
"Dam, lo nanti kalo mau order jangan dadakan kayak gini ah. Untung aja kepegang," ucapku pada Damar selaku penanggung jawab city tour kali ini. Karena, biasanya pemesanan akan diajukan 3 hari atau selambat-lambatnya 2 hari sebelum D-Day.
"Sorry. Nggak sengaja. Tadi pagi gue kebingungan. Restoran yang harusnya megang dinner hari ini tiba-tiba ngebatalin nggak bisa nyanggupin. Alhasil, kerjasama sama restoran itu putus karena pembatalan. Akhirnya gue langsung hubungin si Yohan. Minta disiapin untuk makan malam buat 50 orang plus 5 kru. Sorry ya, Barr. Nggak lagi-lagi deh," ucap Damar.
Setelah selesai dengan pekerjaanku di restoran, segera kubersihkan diri dan bersiap untuk pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Anakku mungkin sudah terlelap tidur.
Ayo kita pulang sedikit terlambat, Barr.
Pulang terlambat bukan berarti aku akan menghabiskan waktuku di sebuah night club untuk bermabuk ria sampai ngefly-ngefly atau bahkan one night stand dengan seorang wanita yang tidak kukenal. Aku bukan seorang yang brengsek seperti itu, mungkin.
Kuarahkan mobilku ke taman yang ada di trengah Jakarta. Sejak hari itu, aku sering pergi menghabiskan waktuku sepulang kerja di taman ini. Mengenang kenanganku bersama Zayyan dan Nadira. Aku dan Nadira akan memilih untuk duduk mendengarkan lantunan biola yang dimainkan segerombolan anak muda sambil mengawasi Zayyan yang asyik berlarian dengan anak kecil seusianya.
Setelah puas menghabiskan waktu di taman, kuputuskan untuk pulang. Di arah jalan pulang, kusempatkan untuk membeli seporsi nasi goreng pinggiran. Pesananku datang. Kuamati sepiring nasi goreng yang ada di depanku. Nasi goreng lengkap dengan acar wortel timun dan kerupuknya. Sekelebat ingatan masa lalu muncul.
"Mas, acarnya dimakan dong. Kalo emang nggak mau dimakan, bilang sama abangnya biar nggak dikasih acar. Mubazir kalo nggak dimakan."
Nadira. Dia akan selalu cerewet tiap kali aku menyisakan makanan di piringku. Nadira tidak bisa menoleransi hal ini. Baginya, apapun yang disediakan di piringku, harus dihabiskan. Itulah cara menghargai makanan.
Satu bulan ini hidupku sangat tidak nyaman setelah mengetahui fakta Magenta mencoba untuk mendekati Nadira. Konyol. Bukan aku tak pernah berusaha untuk mendapatkannya kembali. Tapi, Nadira selalu saja menolak dan menghindar dariku.
Entah kenapa aku merasa sangat sulit untuk berpaling darinya. Padahal, begitu banyak perempuan dari kalangan dunia hiburan yang berusaha untuk mendekatiku. Tapi, tak ada yang bisa membuatku tertarik. Hatiku sudah tertambat padanya.
Bisa dibilang, aku hampir menjadikannya istri dan ibu dari anakku. Tapi, semuanya hancur karena kesalahan yang kuperbuat. Semua diperparah dengan kehadiran Jihan di tengah-tengah kami.
Nadira memilih untuk mundur. Hubungan kami yang baru beberapa bulan terpaksa hancur. Masih kuingat betapa bodohnya aku di saat Nadira meminta berpisah dariku. Tak ada satupun upayaku untuk mencegahnya. Bodoh. Sangat.
Katakanlah aku brengsek. Ya, aku memang sangat brengsek. Melepasnya pergi begitu saja. Dan dengan konyolnya aku menerima Jihan kembali tak lama setelah berpisah dengan Nadira. Entah dimana otakku saat itu. Begitu mementingkan image baik yang sedang kubangun di mata publik. Berusaha menjaga reputasi kerjaku di dunia hiburan. Tapi, malah merusak kehidupan pribadi.
Saat itu, yang kupikirkan hanyalah memberikan sosok ibu yang tak pernah sekalipun dimiliki anakku. Jihan yang menuntut kejelasan atas hubungan kami, memintaku untuk mengikatnya dalam sebuah ikatan pertunangan. Kuajukan satu syarat padanya. Pernikahan akan dilaksanakan saat anakku sudah bisa menerimanya sebagai Ibunya. Jihan menyetujuinya. Jihan merasa tak bermasalah dengan syarat yang kuajukan. Karena, dia sudah pernah menikah dan mempunyai 2 orang anak dari pernikahan sebelumnya, walaupun kedua anaknya diasuh oleh mertuanya di luar negeri.
Tuhan membuka mataku. Menunjukkan semua kenyataannya. Jihan yang selama itu kutahu dia berusaha baik dan membantuku menjaga Zayyan, ternyata tak sebaik dugaanku. Perlakuannya pada anakku membuatku sangat terkejut.
Saat itu.
Aku terpaksa meminta Jihan untuk tinggal di rumahku selama beberapa hari. Aku diharuskan pergi keluar kota demi proses syuting cooking showku. Ibuku harus pulang ke Jogja karena ada beberapa urusan yang harus diselesaikan mengenai penjualan tanah warisan mendiang almarhum Ayahku. Kuminta Jihan untuk menjaga Zayyan selama aku pergi. Tadinya, aku akan mengajak Zayyan lebih pergi bersamaku sekalian berlibur. Tapi, kondisi Zayyan yang kurang sehat membuatku urung mengajaknya.
"Papa berangkat dulu ya, Nak. Zayyan sama Tante Jihan dulu, ya. Cepet sembuh ya, Sayang. Nanti, Papa bawain oleh-oleh untuk Zayyan. Papa udah telepon wali kelas Zayyan. Bilang kalo kamu belum bisa masuk sekolah." Kuusap rambut Zayyan yang tengah terbaring di kasurnya.
"Jangan lama-lama ya pulangnya," ucapnya.
"Tolong jaga Zayyan ya, Ji. Aku titip dia. Kalo ada apa-apa, kamu segera hubungi aku. Tolong kasih obat penurun panas kalo dia masih demam. Kalo kamu nggak keberatan, bikinin Zayyan omelette atau pancake kalo dia susah makan, ya."
"Kamu tenang aja, Mas. Aku bakal jaga Zayyan. Kamu kerja aja yang tenang, ya."
Aku merasa tenang sudah menitipkan Zayyan pada Jihan. Walaupun, sen narnya ada beberapa asisten rumah tangga yang bekerja di rumah. Ada Mbak Murni dan Mbak Rum. Tapi, anggaplah aku sedang mempersiapkan Jihan untuk menjadi istri dan ibu dari anakku.
Tiga hari kuhabiskan di Cilacap dengan melakukan syuting untuk stok episode 2 minggu ke depan. Cilacap merupakan daerah pesisir yang kaya akan makanan olahan ikan lautnya. Banyak hal baru yang kupelajari selama di sini. Aku sempat mengunjungi sentra pembuatan olahan dari Yutuk, sejenis hewan laut yang lebih dikenal sebagai undur-undur laut. Awalnya, merasa agak geli dan takut untuk mencobanya. Tapi, ternyata rasanya persis seperti udang dan kepiting. Satu lagi, ada jajanan yang diberi nama Gembus. Awalnya, kukira Gembus adalah sejenis tempe seperti yang selama ini kuketahui. Tapi, ternyata gembus cilacap adalah donat yang terbuat dari singkong. Mungkin, akan dikenal dengan nama Geblek di daerah Kebumen dan sekitarnya.
Aku pulang tanpa mengabari Jihan dan Zayyan. Aku ingin memberikan kejutan untuk Zayyan. Dari pesan yang kuterima, Jihan mengabarkan kalau kondisi Zayyan sudah membaik. Kubawakan beberapa oleh-oleh dari Cilacap untuk Zayyan.
Kubuka pintu rumah pelan-pelan. Memastikan tak ada satupun yang tahu kedatanganku, kecuali Mbak Murni dan Mbak Rum. Mereka memberitahuku bahwa Zayyan sedang di kamar bersama Jihan.
Segera aku menuju ke kamar Zayyan. Pintu kamar Zayyan tidak sepenuhnya tertutup. Ada celah yang membuatku bisa melihat apa yang terjadi di dalam. Aku terkejut.
"Awas aja kalo sampe kamu ngadu sama Papa. Tante bakalan tampar kamu. Paham?" Jihan tengah menarik rambut Zayyan yang sedang duduk di atas tempat tidurnya. Zayyan menangis.
Segera kubuka pintu kamar Zayyan tanpa berpikir panjang.
"Jadi begini perlakuan kamu ke anakku, Ji? Kamu siksa dia kayak begini?"
Jihan yang kaget melihatku karena tiba-tiba masuk kamar segera melepas genggaman tangannya dari rambut Zayyan.
"M-ma-mas... Kok udah pulang?" Jihan berusaha untuk mendekatiku. Tapi, aku menghindar.
"Keluar kamu dari rumahku! Nggak akan ada pernikahan. Semuanya selesai."
"Mas, aku bisa jelasin semuanya ke kamu. Ini nggak kayak yang kamu pikir. Mas... "
"Keluar, Ji. Aku nggak pernah memperlakukan anakku seperti itu walaupun aku Ayahnya. Tapi, kamu..."
"Mas... "
"Keluar!!"
Setelah kulakukan interograsi pada Zayyan dan kedua asisten rumah tanggaku, ternyata Jihan sudah berbuat seenaknya selama aku tidak ada. Dari kedua asisten rumah tanggaku kudapati kenyataan bahwa Jihan yang sudah berlaku layaknya nyonya rumah yang sering memerintah seenaknya. Sementara, Zayyan mengakui kalau apa yang kulihat tadi bukanlah kali pertama dia diperlakukan seperti itu.
Kurutukki kebodohanku yang teramat. Aku hampir saja membuat anakku mati di tangan calon ibu tirinya. Bisa saja Jihan melakukan hal yang lebih parah kalau sampai terjadi pernikahan di antara kita.
Pantas saja Zayyan selalu terlihat tertekan tiap kali ada Jihan di antara kami.
Segera kuhabiskan nasi goreng pesananku tanpa sisa. Setelah selesai memakan nasi goreng, kuputuskan untuk segera pulang karena sudah hampir jam 1 pagi. Aku harus cukup istirahat karena besok merupakan jadwal syuting mingguan. Aku harus terlihat segar di depan kamera apapun yang terjadi.
Sebelum tidur, aku kembali untuk membersihkan diriku. Setelah itu, aku masuk ke kamar Zayyan dan memastikan dia baik-baik saja. Kupandangi wajahnya yang damai saat tidur.
"Maafin Papa ya, Nak." Kukecup keningnya dan kubenahi selimut yang sudah berantakan.
💋
"Apa kabar keluarga Indonesia? Weekend gini enaknya masak bareng keluarga di rumah. Hari ini saya udah pake baju serba hijau. Udah seger dong ya. Saya mau ajak yang di rumah untuk bikin cake tapi yang diadaptasi dari kue khas Indonesia. Kita akan buat Klepon Cake. Penasaran kan gimana sih cara buatnya. Yuk kita mulai eksekusi bahan-bahannya."
Syuting hari ini berjalan dengan lancar. Bang Jusuf menutup syuting kali ini dengan 3 kali tepuk tangan yang artinya sangat memuaskan. Pernah sekali aku tidak mendapatkan satupun tepuk tangan darinya. Aku memang hancur di awal-awal perpisahanku dengan Nadira. Dan syuting pun terpaksa dilakukan lagi di minggu selanjutnya.
"Minggu depan siap kan kita syuting di Banyuwang?" tanya Bang Jusuf. Aku mengangguk.
"Minggu depan kan? Pastiin bener ya, Bang. Gue udah bilang sama karyawan gue buat handle resto selama gue nggak ada. Dan mastiin nggak akan ada reservasi penting selama beberapa hari itu."
"Siap. Jadwalnya udah fixed kok."
Tiba-tiba ponselku berdering. Kulihat nama Mbak Retno yang tertera di layar ponselku.
"Bang, gue permisi mau angkat telepon dulu ya. Lo makan dulu gih sana." Bang Jusuf hanya mengangguk kemudian berjalan masuk ke pantry.
"Assalamualaikum, Barr."
"Waalaikumsalaaaam, Mbak."
"Barr, lusa di rumah Ibu mau ada acara kirim doa untuk almarhum Bapak. Kamu bisa dateng? Sengaja sih diadainnya pas weekend. Kalo pas jadwalmu senggang dateng ya, Barr. Tapi, kalo sibuk ya jangan dipaksa. Kirim doa dari sana aja." Segera kulihat kalender yang terpajang ada di atas meja kerjaku. Jadwalku kosong, hanya mengurus operasional restoran.
"Lusa itu berati Sabtu ya, Mbak. Jam berapa acaranya, Mbak?" tanyaku.
"Iya, Sabtu. Sehabis Isya, Barr. Kita sholat Isya berjamaah dulu. Baru mulai acaranya."
"Bisa, Mbak. Insya Allah nanti aku dateng sama Ibu dan Zayyan, ya."
"Iya, Barr. Dateng-dateng aja, ya. Nggak usah bawa apa-apa. Acaranya cuma kita-kita aja kok sama tetangga Ibu sederetan. Tetangga datengnya habis Isya."
"Iya, Mbak. Siap."
Walaupun, Vani sudah tidak ada. Aku masih dianggap bagian dari keluarga besar mereka. Mereka selalu menyertakan aku dan Zayyan di setiap acara keluarga.
Kusiapkan dua kotak kue yang sengaja kubuat siang ini untuk dibawa ke rumah Ibu mertuaku. Kusiapkan Zayyan dengan baju koko dan pecinya.
Sesampainya di rumah Ibu mertuaku, kulihat semua mobil milik anggota keluarga yang lain juga sudah terparkir. Rupanya, keluarga Mas Yoga juga khusus datang dari Bandung untuk menghadiri acara ini.
Saat masuk ke rumah, sofa-sofa di ruang tamu sudah dipindahkan keluar dan karpet-karpet sudah digelar menutupi lantai. Kuajak Zayyan dan Ibuku untuk langsung menuju ruang tengah dimana anggota keluarga yang lain sudah berkumpul.
"Eh, Chef Barra udah dateng." Deka, salah satu dari anak kembar Mas Yoga menyambut kedatanganku dengan memelukku. Deka sudah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki. "Zayyan, kamu sehat kan?"
"Sehat, Mas Deka. Mas Deka gimana kabarnya?" tanya Zayyan.
"Baik dong. Itu ada Juna. Zayyan ajak main ya. Ada Kanaya sama Ghaiya juga di sana." Zayyan mengangguk kemudian pergi meninggalkan kami dan menghampiri gerombolan anak-anak yang ada di halaman belakang.
"Yuk, kita duduk bareng sama yang lainnya sambil nunggu adzan Isya."
Aku dan Deka duduk bergabung bersama semua orang di ruang tengah. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Mencari sosok yang tak kulihat di antara mereka.
Tak lama, Nadira muncul dari arah dapur. Membawa sebuah nampan di kedua tangannya. Dia cantik. Seperti biasanya.
"Dek, Om Barra sama Eyang Hesti tolong di ambilin minuman, ya." Nadira mengangguk, kemudian berjalan ke arah dapur. Dia kembali dengan 2 cangkir teh manis hangat yang ditaruhnya di nampan.
"Diminum, Om...Eyang." Nadira menaruh dua cangkir teh manis itu di hadapanku dan Ibu.
"Makasih ya, Dir," ucapku. Nadira hanya menjawabnya dengan anggukkan.
Nadira kemudian duduk di samping Mbak Retno. Dia terlihat bolak-balik mengecek ponsel yang ada di genggamannya.
"Dek, daritadi liatin handphone terus ngapain sih?" tanya Mbak Retno.
"Dira lagi nungguin orang, Ma. Katanya mau ikutan kirim doa untuk Yangkung," ucapnya.
"Om, lo makin famous aja deh sekarang. Kenapa nggak cari pacar artis aja sih?" tanya Deka.
"Iya, Barr. Pasti banyak kan yang deketin kamu. Kalo ada yang sreg, langsung aja. Kamu harus maju ke depan. Yang dulu jangan dijadikan trauma," sahut Mbak Retno.
"Barra masih nyantai banget itu lho, Ret," ucap Ibuku.
"Nanti kalo udah waktunya juga ada, Ma," ucapku.
Dari posisiku saat ini, masih kulihat Nadira yang masih saja melirik ke ponsel yang ada di genggamannya. Sampai akhirnya adzan Isya berkumandang dan kami yang ada di ruang tengah bergantian untuk mengambil wudhu.
"Ma, Dira keluar dulu, ya. Udah dateng." Nadira berdiri dan langsung berjalan ke pintu depan.
Aku dan Zayyan segera mengambil giliran untuk mengambil air wudhu di kamar mandi. Selesai mengambil air wudhu, kugandeng Zayyan untuk kembali ke ruang tengah dan segera bersiap untuk menunaikan sholat berjamaah.
Langkahku terhenti seketika saat melihat sosok yang tengah berjalan di sebelah Nadira.
"Nta, ambil wudhu dulu di sebelah sana ya," ucap Nadira.
Nta??
Magenta.
Magenta terlihat terkejut melihat keberadaanku di sini. "Barr? Kok ada lo di sini?"
Aku hanya bisa tersenyum menanggapinya. Segera kuhampiri dia dan kutepuk pundaknya. "Sana wudhu dulu. Udah mau iqomat."
Sesuatu yang tak kuharapkan sepertinya akan terjadi hari ini.
-to be continued-
Huwaaa.
Maafin Miss, yaaa.
Semalem mau update malah ketiduran.
Maaf banget.
Eh eh eh Miss ngeselin banget nggak sih?
Adegan dipotong ahahahahah.
Biar pada kesel sih tujuannya.
Sabar-sabar yaaa. Ahahahaha.
Miss sayang kalian banyak banyak 💋💋💋💋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top