Barra -2-
YANG BELOM FOLLOW MISS, YUK MONGGO FOLLOW.
Lo nggak punya hak untuk sakit hati, Barr.
Ya, aku memang tidak berhak. Bahkan sedikitpun itu. Aku yang sudah menyakiti hatinya, bahkan harga dirinya. Wanita mana yang rela dibandingkan dengan wanita lain? Jelas tidak ada. Rasa cintaku yang berlebih pada almarhumah istriku telah membuatku berambisi mendapatkan pengganti yang sepadan dengannya.
Vani, dia wanita paling sempurna, di mataku. Aku mengenalnya dari seorang teman dekatku. Butuh setahun sampai akhirnya aku berani mengungkapkan perasaanku. Dengan jabatan sebagai asisten executive chef di sebuah restoran, kuberanikan diri ini untuk meminangnya setelah 3 tahun menjalin hubungan.
Kebahagiaan pernikahan kami semakin lengkap saat Vani dinyatakan hamil setelah 2 tahun lamanya berusaha. Vani sangat bahagia dengan kehamilannya. Wanita mana yang tak bahagia saat tahu di dalam dirinya tengah tumbuh calon buah hati yang sudah lama dinanti. Dia sangat menjaga kehamilannya. Tak pernah sekalipun dia melupakan vitaminnya.
Hari itu, langkahku terasa sangat berat untuk meninggalkannya. Tapi, dia terus berusaha untuk meyakinkanku bahwa dirinya baik-baik saja.
"Kamu berangkat aja, Yang. Aku nggak kenapa-kenapa kok. Anak kita aman. Kalo ada apa-apa nanti aku langsung telepon kamu."
"Aku nggak tenang. Aku mau temenin kamu. I wish i could."
"I am gonna be okay, Sayang. Percaya deh."
Kegundahanku begitu mengganggu. Fokusku bercabang. Pekerjaanku kacau. Tak lama, aku mendapatkan telepon dari Ayah mertuaku yang mengabarkan bahwa Vani tengah berjuang untuk melahirkan anak kami.
Tak sampai lima menit. Hanya selama itu kesempatannya untuk memeluk jagoan kecilku yang dilahirkannya. Sebelum akhirnya dia kehilangan kesadaran dan pergi selama-lamanya.
Bertahun-tahun, aku menutup hati untuk cinta yang lain. Beberapa sempat meminta kesempatan untuk bisa mengisi ruang kosong di hati ini. Tapi, hatiku selalu saja menolak. Aku lebih memilih untuk membesarkan jagoanku seorang diri. Menjadi Ayah sekaligus Ibu untuknya.
Sebuah usulan bodoh sempat terlontar dari mulut Deka, salah seorang keponakanku. Deka mengusulkan agar aku menikah dengan salah satu dari dua orang keponakanku, anak-anak perempuan dari kakak almarhumah istriku. Konyol memang. Semua serasa bertambah konyol setelah salah satu dari mereka mengiyakan usulan itu. Nadira. Nadira merasa tidak keberatan dengan ide yang disampaikan Deka. Jawabannya sungguh membuat hatiku tergelitik. Bagaimana mungkin gadis 22 tahun akan tertarik untuk menikahi seorang duda, duda beranak satu lebih tepatnya.
Harus kuakui, Nadira memang mempunyai hubungan yang sangat baik dengan anakku, Zayyan. Yang sempat membuatku sangat terkejut adalah panggilan yang digunakan Zayyan untuk Nadira. Anakku memanggilnya dengan sebutan "Mama". Hatiku menghangat tiap kali kudengar Zayyan memanggilnya dengan sebutan Mama.
Alih-alih marah dengan panggilan itu, Nadira malah senang dan memperlakukan Zayyan seperti anaknya sendiri. Nadira selalu memperhatikan semua kebutuhan Zayyan. Bahkan, dia selalu menyempatkan diri di tengah kesibukannya untuk mampir ke rumah untuk mengunjungi Ibuku.
Aku tahu ini sangat tidak masuk akal. Nadira membawa kembali warna yang pernah hilang dari hidupku. Ada desir kebahagiaan setiap kali aku melihatnya. Tubuh mungilnya yang lucu. Tawanya yang lepas. Cara bicaranya yang terkesan ceplas-ceplos, dan rambut sebahunya yang selalu dibiarkan terurai. Perasaan ini bukan sekedar rasa kagum. Aku berani bersumpah.
Lo jatuh cinta lagi, Barr.
Beberapa hari setelah perayaan ulang Ayah mertuaku yang ke 75, kuberanikan diri untuk menyatakan perasaanku padanya. Kuajak dia untuk bertemu di sebuah restoran.
"Dir, aku tau ini konyol. Tapi, aku sayang kamu. Dan aku mau aku jadi masa depan kamu."
"Kenapa tiba-tiba kayak begini, Om?"
"Konyol, kan?"
"Nggak sih. Nggak konyol."
"Aku pikir, kita bisa rubah hubungan antara Om dan keponakan ini ke sebuah hubungan lain."
"Ini lagi nembak ceritanya?"
"Dira, umurku bukan di fase-fase itu lagi."
"Terus?"
"Kamu mau jadi bagian dari hidupku dan Zayyan?"
"Jadi apa nih, Om? Jadi babysitter?"
Nadira, please. Aku udah serius banget. Kamu malah begitu.
"Bercanda kali, Om. Aku ngerti kok maksudnya."
"So?"
"Hmm, maunya gimana?"
"Please, Dira. Perasaanku bersambut nggak nih?"
Nadira menganggukkan kepalanya.
"Jadi?"
"Demi pahala yang gede, aku nggak mau nyia-nyiain undangan Malaikat Ridwan yang udah melambai-lambai di pintu Surga."
"Maksudnya?"
"Pahala jadi seorang istri dan ibu sambung. Ngerti kan?"
"Bisa kamu mulai biasakan untuk nggak manggil aku dengan sebutan Om?"
"Ya susah lah ngaco. Nanti kalo keceplosan gimana?"
Sejak saat itu, kami menjalankan hubungan secara sembunyi-sembunyi. Karierku sedang menanjak dengan pesatnya. Sehingga, menyembunyikan hubunganku dengan Nadira adalah pilihan yang tepat. Aku pun tak pernah mengakui dirinya sebagai kekasihku di depan teman-temanku. Entah apa yang kupikirkan saat itu. Aku tau betapa kecewanya Nadira setiap kali kuperkenalkan dirinya sebagai keponakanku. Bodoh!
Hubungan kami yang baru berjalan beberapa bulan menjadi sedikit renggang karena obsesiku terhadap almarhumah Vani. Sedikit saja Nadira membuat kesalahan, tanpa sadarnya aku akan mulai membandingkan dirinya dengan Vani.
"Dewasa dong, Dira. Dewasa. Kamu udah bukan anak kecil lagi. Kamu harus belajar bertanggung jawab. Kamu tau, Dira. Vani seumuran kamu waktu aku nikahin dia. Dia bisa bersikap dewasa. Bahkan, dia belajar untuk jadi seorang istri jauh sebelum aku sama dia nikah. Kenapa sih kamu nggak bisa kayak gitu?" Aku merasa kecewa karena Nadira lupa untuk menjemput Zayyan di sekolahnya. Nadira pergi bersama teman-temannya dan pulang larut malam.
"Mas, kamu tau hal yang paling menyedihkan yang pernah terjadi di hidupku? Dibanding-bandingkan dengan orang lain yang bahkan udah nggak ada lagi di dunia ini. Aku udah minta maaf ke kamu. Aku tau aku salah. Tapi, apa harus begini perlakuan kamu ke aku? Di mata kamu, aku emang cuma anak kecil, kan? Nggak lebih. Aku lebih ngerasa jadi keponakan plus babysitter dibandingkan pacar kamu. Kamu pikir selama ini aku nggak tertekan sama hubungan ini? Aku mau aku diakui. Tapi, sayangnya kamu lebih peduli sama image kamu di luaran sana. Image bagus Chef Barra Adiguna sang Hot Daddy. Malu kalo sampe ketauan media kamu pacaran sama aku? Sebenernya waktu itu, waktu kamu ungkapin perasaan kamu ke aku, udah kamu pikirin belom sih? Kalo kayak begini terus, aku nggak tahan. Aku nggak peduli dengan semua masa depan yang udah kamu janjiin. Jangan heran kalo suatu hati nanti aku lebih milih untuk menyerah."
Saat itu adalah pertama kalinya kulihat Nadira benar-benar marah.
Keadaan yang rumit menjadi tambah rumit dengan kehadiran Jihan, cinta masa SMA. Jihan yang sudah lama menetap di luar negeri, tiba-tiba kembali ke tanah air dan mencariku. Rindu, itu alasannya.
Masih teringat jelas di kepalaku alasan kami berpisah saat itu. Orangtua Jihan yang tidak menyukai hubungan kami. Mereka bilang, aku tak akan punya masa depan yang bisa dibanggakan. Jihan terpaksa dipindahkan ke luar negeri agar putus hubungan denganku. Bertahun-tahun tak pernah kudengar kabar tentangnya.
"Kamu pacaran sama anak kecil kayak begitu, Barr? Yang bener aja. Kenapa selera kamu jadi anjlok begitu? Dari aku, ke almarhumah istri kamu, terus anjlok banget ke dia. Kamu nggak salah? Untuk dibawa ke acara-acara juga bakalan malu-maluin, Barr. Dia tuh masih kecil. Masih maunya seneng-seneng nikmatin hidup. Belum siap untuk berumah tangga. Kamu pikirin lagi deh. Apa kata orang, seorang Barra Adiguna pacaran sama keponakan istrinya sendiri?? Pikirin karier kamu. Aku di sini. Ada aku."
Tak lama setelah kembalinya Jihan, Nadira meminta berpisah denganku. Aku bagaikan seorang pecundang. Aku tak sanggup mempertahankan Nadira di sisiku.
"Aku nggak bisa lagi dengan hubungan ini. Terima kasih untuk waktu kamu beberapa bulan ini. Seharusnya, aku sadar diri. Aku nggak pantes bersanding sama kamu. Kamu malu untuk sekedar mengakui aku sebagai pacar kamu. Seharusnya, aku juga sadar. Sampe kapanpun hubungan di antara kita nggak akan pernah berubah. Sampe kapanpun. Dan, tolong sampein ke pacar baru kamu itu. Aku nggak seperti apa yang dia pikir. Aku bukan anak kecil yang masih mau seneng-seneng nikmatin hidup. Bilang ke dia, aku denger semua yang dia ucapin ke kamu. Dan sikap kamu justru makin bikin aku yakin untuk berpisah sama kamu. Nggak ada satupun kalimat yang keluar dari mulut kamu untuk ngebela aku. Kamu bisa anggap beberapa bulan ini kamu lagi main-main sama anak kecil yang lagi nikmatin hidup. Semoga kamu bahagia."
Laki-laki macam apa aku ini. Berani menawarkan masa depan tanpa adanya perwujudan. Ucapan Nadira saat perpisahan kami sangat menusuk. Aku pantas mendapatkan semua ini. Aku telah membiarkan seorang wanita baik pergi dari hidupku.
Setelah berpisah, Nadira selalu menghindar dariku tiap kali ada pertemuan keluarga besar. Dia akan memilih untuk tidak hadir dengan berbagai macam alasan yang dibuatnya.
Nadira juga sempat menutup semua aksesku untuk menghubunginya. Aku memang pantas mendapatkan semua ini.
Dan sekarang, aku dihadapkan dengan sebuah kenyataan yang pahit. Terasa pahit saat kulihat dia tengah tersenyum dengan laki-laki lain, bukan aku.
💋
"Gue suka sama dia, Barr." Ucapannya membuatku menghentikan pergerakan tanganku yang sedang mengiris bawang bombay.
"Alasannya?" tanyaku.
"Dia beda. Nggak kaya cewek-cewek yang pernah dikenalin sama gue. Dia nggak lenjeh. Kalo cewek lain, mereka yang getol hubungin gue. Di sini, gue yang mendadak getol hubungin dia setiap harinya. Kayaknya gue udah masuk ke level bucin parah. Nggak pernah gue dibuat ngechat cewek di tengah-tengah rapat direksi sebelumnya. Cuma dia yang bisa bikin gue ngelakuin semua itu."
"Udah sejauh apa hubungan lo sama dia?"
"Gue sama dia sepakat untuk ngalir aja ikutin takdir. Kalo takdir berpihak ya lanjut. Kalo nggak ya mau gimana lagi. Sesuatu yang dipaksain itu nggak akan pernah bagus. Dan gue nggak suka maksa-maksa."
Hatiku merasa sedikit lega mendengar penuturan Magenta. Mengharap masih ada setitik kesempatan. Kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Semoga takdir berpihak padaku. Semoga.
"Doain gue sama Nadira, ya. Setiap sholat gue berdoa semoga dia jawaban dari Allah untuk gue."
Bolehkah aku menolak untuk mendoakan?
"Kok lo bengong sih, Barr?" ucap Magenta. Lamunanku buyar seketika. "Lo sendiri gimana? Nggak ada niatan untuk nikah lagi setelah gagal nikah?"
"Ada. Tapi, belum tau gimana. Gue ngerasa nggak kuat bersaing sama lo."
"Maksud lo?"
"Ah, nggak. Gue bercanda. Lo mau makan sekarang atau nanti?" tanyaku.
"Sekarang. Gue mau makan nasi sama telor ceplok aja. Ceplokkin gue telor, ya. Dua. Kuningnya dibikin mateng, ya
Eneg gue kalo masih mentah. Seharian ini makan gue nggak enak banget. Kalo kata bokap gue, porsinya seplenyean, bikin jigong doang."
"Emang lo makan dimana?"
"Tadi gue dapet undangan makan siang di hotel. Biasa. Makan siang antar pemegang saham. Makan siang di hotel. Tau gitu mending makan di warteg. Ketauan. Lauknya banyak. Nasinya bisa nambah."
Sudah beberapa hari ini Zayyan mengungkapkan kerinduannya pada Nadira. Kucoba untuk memberinya pengertian bahwa Nadira sibuk dengan semua kegiatannya.
Tak ingin membuat anakku kecewa, segera kuajak dia dan Ibu berkunjung ke rumah Nadira. Sesampainya di depan rumah, kulihat mobil yang biasa digunakan Nadira setiap harinya belum terparkir di halaman. Sepertinya, Nadira belum pulang.
"Kita tunggu di dalam, ya. Sama Pakde dan Bude." Zayya mengangguk.
Di ruanh tengah, kami berbincang-bincang sambil menunggu kedatangan Nadira. Tak lama, kudengar deru mesin mobil berhenti di halaman rumah.
Dia pulang.
Betapa bahagianya aku. Bisa melihatnya setelah lama tidak bertemu. Tapi, sedikit kecewa karena tak lama setelah masuk rumah, Nadira segera membuka pintu kamarnya. Seakan tak menyadari kehadiran kami di ruang tengah. Nadira beralasan akan mandi terlebih dahulu sebelum bergabung dengan kami.
Nadira mencium punggung tanganku. Aku tahu dia terpaksa melakukan itu. Tak sadar kuhirup harum rambutnya yang masih basah. Segar seperti biasanya.
"Dira, kita ke sini tuh anter Zayyan. Katanya kangen banget sama kamu. Eyang ya juga kangen sama kamu. Sudah lama banget kamu nggak pernah main ke rumah," ucap Ibuku.
"Maaf ya, Eyang. Dira sekarang sibuk kuliah sekaligus urus cafe. Nggak ada liburnya. Sabtu Minggu Dira kuliah," jawabnya. Ya, Nadira memang baru saja memutuskan untuk mrlanjutkan pendidikannya.
"Oalah, kamu lanjut kuliah tho. Jangan sampe lupa cari pendamping karena keasikan cari uang dan kuliah ya, Dir. Sudah ada calon, Dir?" ucap Ibuku lagi. Aku sangat menunggu jawaban darinya. Tapi, sebisa mungkin aku berusaha untuk terlihat tidak mencolok.
"Bantu doa ya, Eyang. Untuk calon pendamping Dira belum ada. Tapi, kalo untuk yang lagi deket sih kebetulan ada. Dira minta doanya ya, Eyang." jawabnya. Kupandang dia dengan lesu. Berharap apa yang baru saja kudengar hanyalah angin lalu.
Tak lama setelah berbincang, Nadira meminta izin untuk membawa Zayya lebih masuk ke kamarnya. Pasti akan ada sebuah perbincangan setiap kali mereka bertemu.
Kulihat waktu yang sudah semakin malam. Kuputuskan untuk segera pamit pulang. Kukumpulkan semua keberanianku untuk mengetuk pintu kamarnya. Nadira mempersilahkanku untuk masuk, mungkin karena dia tak memyangka bahwa aku yang baru saja mengetuk pintu.
Saat masuk kamarnya, yang pertama kulihat adalah anakku yang sedang tidur dengan sangat pulasnya sambil melilitkan pelukkan di pinggang Nadira.
"Zayyan tidur?" tanyaku. Tak ada sepatahpun kata keluar dari mulutnya. Dia hanya menjawabku dengan anggukkan.
"Kamu bener lagi deket sama seseorang, Dir?" tanyaku. Nadira hanya diam tak menjawab pertanyaanku. "Aku tanya kamu, Dir. Kamu deket sama seseorang?"
Dia masih saja memilih untuk diam.
Sampai akhirnya dia mengeluarkan suara.
"Aku deket ama siapapun itu nggak ada hubungannya sama Om," ucapnya.
Deg. Iya, memang bukan hakku.
"Dira..."
"Dan satu lagi. Dia bukan orang yang menganggap aku sebagai seorang anak kecil."
"Dira..."
"Apa?" ucapnya datar. "Angkat Zayyan pelan-pelan. Jangan sampe dia kebangun. Dan Om cepet keluar dari kamarku."
Dengan hati-hati, kubopong Zayyan yang tertidur. Dengan berat hati, kulangkahkan kakiku keluar meninggalkannya. Nadira sudah berubah. Dia sudah bukan Nadira yang kukenal. Aku yang sudah merubahnya.
Begitu bencinya kamu sama aku Dir?
-To be continued-
Masih ada yang melek emang???
Hmm, Miss bingung mau ngomong apa.
Clueless aja ya.
Kita ikutin alurnya.
Semoga nanti kita semua puas ama endingnya.
Ada yang kangen sama rombongan sirkus KalaDia nggak sih?
Kalo ada, nanti coba Miss undang mereka untuk eksis di sini.
Ahhahahaha
Semoga kalian suka yaa ama chapter ini.
Kita buka satu-satu ya tabir misterinya huahahahhahaha.
Miss sayang kalian banyak banyak ❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top