Barra -11-

FOLLOW DULU BISA? :)

Hai, maaf ya updatenya tengah malem. Miss lagi kurang sehat soalnya. pintu belakang lagi ngedoll. jadi, kudu bolak-balik ke toilet. kalian semua sehat-sehat, ya. cuaca lagi nggak friendly banget. 

Langsung aja yaaaa. kalian baca. Semoga suka, yaaa. 

ENJOYYYYYY!!!!

Pagi ini, seperti biasanya. Sarapan bersama dengan Mama dan anakku. Sudah kukatakan pada Mbak Sri, salah satu asisten rumah tangga yang biasanya bertugas membantu Mama memasak bahwa aku yang akan memasak makanan untuk sarapan kali ini. Nasi uduk menjadi pilihanku, lengkap dengan bihun goreng dengan sayuran, telur balado dan orek tempe yang sudah kumasak kemarin di restoran.

"Makan yang banyak ya, Boy." Kuciduk secentong penuh nasi uduk ke atas piringnya. Bihun goreng sayur dan orek tempe adalah kegemarannya. "Kerupuknya kamu ambil sendiri, ya."

"Kamu ke restoran hari ini, Barr?" tanya Mama.

"Off dulu, Ma. Aku mau istirahat di rumah. Mau pelajarin konsep untuk syuting minggu depan. Nanti Gerry sama anak-anak yang lainnya juga mau ke sini. Kita mau ngomongin project untuk bikin channel di Youtube. Kenapa, Ma? Mama mau pergi?" Mama hanya menggeleng sambil menyuap sesendok nasi uduk ke mulutnya.

"Jangan uang terus yang dicari, Barr."

"Nggak kok, Ma."

"Menurutmu bikin Youtube itu untuk apa kalo bukan untuk nyari uang?" todong Mama.

"Ini usulan dari anak-anak, Ma. Uang yang aku dapet kan nggak cuma untuk aku, Ma. Ada beberapa orang yang kerja sama aku. Mereka kan juga butuh penghasilan. Kita kerja sama-sama."

"Inget umurmu. Kamu udah nggak muda lagi. Mau sampe kapan kamu sendiri kayak begini?" ucap Mama. Kulirik Zayyan yang sedari tadi memperhatikan pembicaraan yang terjadi di antara aku dan Mama pagi ini.

"Ma, ada Zayyan." Mama segera melanjutkan kegiatan makannya. "Makannya dilanjutin ya, Nak."

"Barr, Mama harap kamu nggak akan nolak dengan usulan Mama," ucap Mama. Kukernyitkan dahiku seketika, berhenti memainkan sendok.

"Usulan apa, Ma?"

"Temen Mama mau coba ngenalin kamu sama keponakannya. Umurnya sama kamu emang lumayan jauh bedanya. Orangtuanya mau dia cepet nikah."

"Ma, orangtua mana yang mau ngelepas anaknya untuk duda beranak satu kayak aku? Mereka pasti mikir dua kali, bahkan lebih. Ditambah lagi, aku udah nggak muda."

"Mama udah coba diskusiin masalah ini sama temen Mama. Dia bilang, umur kamu nggak akan jadi masalah. Orangtua perempuan itu punya pikiran yang terbuka."

"Okelah kita tutup pembicaraan masalah umur. Status dudaku gimana? Ada anak pula. Apa mereka juga nggak mempermasalahkan ini, Ma?" Kuraih gelas berisikan air putih yang ada di hadapanku. Tenggorokanku terasa begitu kering di saat-saat seperti ini. Diskusi yang membuat cukup emosi.

Tak mau kalah, lagi-lagi Mama kembali membuatku sedikit kurang nyaman dan terpojok. "Sekarang yang jadi masalah, kamunya mau ataua nggak?"

"Harus aku jawab sekarang?" tanyaku. Mama mengangguk.

"Kamu mau nunggu apalagi? Nunggu Dira? Mau sampe kapan kamu nunggu dia? Dira udah jadi milik Genta, Barr."

"Mama." Aku sedikit meninggikan suaraku. Zayyan mulai terlihat tidak nyaman saat mendengar nama Nadira disebut. "Nadira belum sah menjadi milik siapapun. Dan, aku masih punya kesempatan untuk memiliki dia."

"Barra, apa pernah Mama dan almarhum Papa ngajarin kamu jadi seorang pengecut kayak begini? Nadira juga punya perasaan. Dia berhak bahagia. Bukan berarti Mama nggak seneng seandainya kamu berjodoh sama dia. Mama akan sangat senang. Nadira anak yang baik dan sopan. Dia juga sayang sama Mama dan Zayyan. Jangan mempermalukan diri kamu lagi, Barr."

"Ma..."

"Eyang...Papa, kalo mau ngobrol bisa dilanjutin nanti? Aku keganggu sama obrolan Eyang dan Papa."

"Maaf ya, Le. Eyang minta maaf, ya."

Apa lagi ini, Tuhan?

"Setelah mengumumkan perihal hubungan percintaannya di akun Instagram miliknya, Magenta Kamil tak segan lagi menggandeng sang kekasih di publik. Kemarin, secara tidak sengaja tim Bisik menangkap kebersamaan mereka saat tengah menghabiskan waktu di bioskop di salah satu mall di bilangan Pondok Indah."

Fokus kami bertiga langsung mengarah ke layar televisi yang menampilkan Magenta dan Nadira yang sedang diwawancarai beberapa juru warta di lobby sebuah bioskop.

"Mas Genta, kapan nih kalo boleh tau disahkannya?"

"Dari kemaren kan saya terus yang ditanya. Kebetulan sekarang ada orangnya. Pertanyaan itu biar Nadira yang jawab, ya." Magenta menatap ke arah Nadira yang kulihat sedikit tersipu karena jepretan kamera para awak pencari berita.

"Mbak Nadira, boleh dong komentarnya."

"Untuk ke arah serius pasti ada. Kami berdua sudah nggak di fase pacaran lama kayak remaja-remaja lagi."

"Sudah ada pertemuan antar keluarga?"

"Sudah. Tapi Cuma untuk sekedar saling mengenal." Magenta mengambil alih. "Secara pribadi, saya udah lamar dia. Belum lama ini. Tapi, lamaran resmi antar dua keluarga belum. Nanti."

Magenta sudah melamar Nadira?

"Kira-kira kapan nih hari H-nya?" Magenta mempersilahkan Nadira untuk kembali menjawab.

"Nanti, ya. Saya juga masih kuliah. Belum lulus. Nanti dikabarin, ya."

"Makasih, ya." Magenta segera mengalungkan tangannya di pinggang Nadira dan mengajaknya pergi menjauh.

Zayyanlah yang menjadi satu-satunya orang yang kuperhatikan di sepanjang pemberitaan ini. Entah apa yang ada di benaknya. Dia memang masih kecil. Tapi, untuk hal-hal semacam "pacaran" dan "menikah", dia jelas tau apa maknanya.

"Pa, berangkat sekarang, ya." Kulihat dia belum menghabiskan sarapannya. Dia sudah bersiap memanggul tas di pundaknya.

"Sarapanmu nggak dihabisin, Boy?" tanyaku. Zayyan menggeleng. Diciumnya tangan Mama dan segera berjalan keluar rumah.

"Jalannya pelan-pelan aja," teriakku. Tapi, Zayyan tak mengindahkan ucapanku. Dia masih saja berjalan dengan sangat cepat ke garasi.

💋

Di sepanjang perjalanan, kuamati tingkahnya yang lebih banyak diam. Biasanya, dia akan dengan sangat cerewetnya membahas apapun itu yang dilihatnya di sepanjang jalanan yang kami lewati.

"Kamu kenapa? Kok dari tadi diem aja?" pancingku. Zayyan menghembuskan napasnya kasar. pandangannya yang semula hanya menatap ke luar jendela beralih padaku.

"Pa, aku dosa nggak kalo aku masih berharap Mama Dira jadi mamaku?" ucapnya. Aku menggeleng. "Tapi, kenapa Mama Dira malah mau nikah sama Om Genta? Bukannya nikah sama Papa. Papa udah bikin Mama marah ya sampe Mama nggak mau nikah sama Papa?"

Pertanyaan polosnya sontak membuatku terkejut. "Kok kamu ngomongnya begitu?"

"Temenku yang namanya Marsha marah sama Vano karena dia sering diusilin Vano. Makanya, Marsha nggak pernah mau main sama Vano lagi. Papa udah bikin Mama marah kayak Vano yang udah bikin kesel Marsha?"

"Masalah kami orang dewasa nggak sesimpel itu, Nak." Kuusap kepalanya dengan satu tangan.

"Aku udah minta Mama untuk nikah sama Papa dan jadi mamaku. Tapi, Mama diem aja. Nggak jawab apa-apa."

"Kamu fokus aja sama sekolah, ya. Masalah ini, nanti Papa yang akan usahain. Kalo emang takdir Papa untuk bisa nikah sama Mama, itu nggak akan kemana."

Setelah mengantar Zayyan, aku kembali pulang ke rumah. Mempelajari konsep untuk syuting minggu depan sembari menunggu kedatangan timku untuk membahas perihal pembuatan kanal di Youtube.

Saat aku sedang asyik membaca dokumen, Mama menghampiri dan duduk di sebelahku.

"Gimana sama apa yang Mama usulin tadi pagi?" ucap Mama.

"Ma, untuk saat ini, nggak dulu, ya."

"Kamu nolak?" sahut Mama yang kemudian kutanggapi dengan anggukan.

"Bukan karena pemberitaan di Tv tadi, kan?"

"Bisa jadi."

"Astagfirullah, Barra. Kamu itu kenapa sih keras kepala banget."

"Aku mau berjuang, Ma. Demi anakku."

"Jangan bawa-bawa Zayyan. Terlambat kalo kamu seret-seret dia ke masalah ini. Kemana aja kamu selama ini, Barr?'

"Ma..."

"Cukup, Barr. Kamu nggak liat tadi gimana ekpresi dia selama nonton pemberitaan di Tv? Dia sedih. Tugasmu satu. Beri penjelasan ke dia. Jangan buat dia berharap terlalu jauh."

Tak lama, salah satu asisten rumah tanggaku datang menghampiri kami.

"Pak, Mas Gerry sama yang lain udah dateng."

"Suruh langsung ke sini aja ya, Mbak," ucapku. "Ma, aku mau rapat dulu sama anak-anak." Setelah mendengar ucapanku, Mama langsung bangun dan berjalan menuju ke kamarnya.

💋

"Fokus kita sekarang tentuin mau kita kasih nama apaan channel kita. Terus, kita bikin akunnya dulu. Abis itu, posting satu video. Semacam ngasih tau ke orang-orang kalo lo udah punya channel, gitu," ucap Gerry. "Lo kan udah jadi BA beberapa produk. Nanti bisa kita minta mereka untuk pasang adsense di channel kita. Dari sana, uang akan mengalir. Kita siasati mau adsense yang kayak gimana. Mau yang viewers kudu nonton sampe abis, atau yang bisa diskip-skip."

"Tempatnya mau dimana?" tanyaku.

"Di sini aja lah. Ngapain ribet-ribet. Dapur lo oke. Peralatan lengkap. Nanti, kita take 1 video. Terus, biar diedit sama si Doddy. Di setiap episode sih kayak biasanya aja, Bang. Ada barang endorse dari sponsor yang kudu lo jadiin bahan campuran di masakan lo."

"Kita pure masak atau gimana?" tanyaku lagi. Gerry menggeleng.

"Lo bego apa polos, ya? Kagak lah. Kayak artis-artis yang laen aja. Kita bikin konten. Tapi, yang berfaedah. Misal nih, nanti ada sponsor susu kemasan. Nah, konten kita pas lagi jalan-jalan ke Ragunan. Nah anggep aja susu itu bekel kita selama di Ragunan. Atau, bisa lo kasihh trik-trik masak yang lo kuasain. Lo juga bisa cuma sekedar ngobrol sama penonton pake fitur live. Paham, kan?" Aku mengangguk paham. "Semuanya biar gue yang atur. Channel kita kalo bisa jangan kaku lah, ya. Biasa aja. Nanti, kita promote di Instagram lo, ya."

Proyek kanal di Youtube berjalan dengan sangat lancar. Pengikut di kanalku juga sudah mulai banyak, padahal baru hitungan hari. Permintaan endorse dari mana-mana mulai bermunculan. Kami tak hanya berfokus dengan memasak. Tapi, setelah disepakati sesekali kami juga akan mengadakan review makanan. Atau, yang paling ekstrim adalah acara makan yang sedang marak di berbagai media sosial.

Ponselku berdering. Kulihat nama Bu Mawarni, wali kelas Zayyan yang muncul di layar ponsel. Tanpa menunda, segera kuangkat panggilan telepon darinya, mana tahu ada suatu hal penting yang memang harus disampaikan padaku.

"Assalamualaikum, Pak. Maaf saya ganggu."

"Waalaikumsalam, Bu. Nggak kok, Bu. Ada apa ya, Bu? Kok tiba-tiba telepon saya?"

"Bapak bisa ke sekolah? Ada hal yang harus saya bicarakan dengan Bapak perihal Zayyan yang beberapa hari ini kelihatan kurang semangat. Sudah beberapa kali Zayyan tidak mengerjakan PR. Nilai ulangannya juga sedikit menurun."

"Baik, Bu. Saya akan segera ke sekolah untuk menemui Ibu."

Setelah bertemu dengan wali kelas Zayyan, kuputuskan untuk tidak kembali ke restoran dan langsung pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, kulihat Zayyan yang sedang asyik bermain Playstastion di ruang tengah. Kuhampiri dia yang sedang asyik memencet-mencet konsol gamenya.

"Mainnya udah dulu, ya. Papa mau bicara sama kamu. Boleh?" Zayyan segera meletakkan konsol gamenya di meja yang ada d hadapan kami. "Papa baru dari sekolah kamu. Tadi, wali kelas kamu telepon Papa. Katanya, udah beberapa hari kamu nggak ngerjain tugas. Dan, nilai ulangan kamu sedikit turun. Kamu kenapa, Boy?"

Zayyan hanya terdiam.

"Kalo ada masalah cerita sama Papa. Jangan dipendam sendirian. Tugasnya susah makanya nggak kamu kerjain?" Dia menggeleng. "Terus, kenapa?"

"Aku pernah bilang ke temen-temen kalo Mama Dira itu mamaku. Tapi, setelah Mama Dira sering muncul di TV sama Om Genta, temen-temen jadi ngeledekkin aku. Mereka bilang aku ngarang cerita."

Astagfirullah.

Kudekap Zayyan ke dalam pelukanku. "Terkadang, kenyataan nggak berjalan dengan apa yang kita harapkan, Nak."

"Papa sayang sama Mama Dira?" ucapnya. Kuanggukkan kepalaku.

"Iya. Papa sayang sama Mama Dira. Sayang sekali."

"Terus, Papa diem aja Mama sama Om Genta?"

Lidahku kelu. Tak bisa kujawab pertanyaan yang terlontar dari mulutnya.

"Pa, kok diem aja?"

"Biar waktu yang menjawab ya, Boy. Janji sama Papa. Jangan ulangi yang seperti kemarin lagi, ya."

"Iya, Pa."

💋

Aku menjadi berkali-kali lipat lebih sibuk akhir-akhir ini. Pekerjaan begitu menumpuk. Restoran begitu dipadati pengunjung. Pesanan menumpuk di akhir pekan. Imbasnya, waktuku dengan Zayyan otomatis berkurang. Perkembangannya selalu kupantau lewat wali kelasnya setiap harinya. Zayyan memenuhi janjinya.

Sudah tiga hari ini, Zayyan terlihat sangat tidak bertenaga. Napsu makannya pun ikut menurun. Sempat kuajak dia untuk memeriksakan diri ke dokter, namun ditolaknya.

"Ke dokter, ya?" Aku berusaha membujuk Zayyan yang terlihat sangat lemas. Kutempelkan telapak tanganku di keningnya. "Badan kamu panas."

"Kan tadi udah minum obat, Pa."

"Tapi, masih panas."

"Aku mau tidur aja, Pa."

"Yaudah. Papa temenin kamu tidur di kamar. Kalo badan kamu tambah panas nantinya, kita langsung ke rumah sakit. Deal?"

"Deal, Pa."

Kutemani dia tidur di kamarnya. Sesekali kuperiksa suhu tubuhnya dengan termometer yang sudah kusiapkan di atas nakas. Karena lelah, aku pun akhirnya ikut tertidur.

Kurasakan sesuatu bergetar di dekatku. Zayyan.

"Pa... Dingin, Pa." Zayyan menggigil dari balik selimutnya. Kembali kutempelkan tanganku di keningnya.

Sangat panas.

"Kita ke rumah sakit."

Segera kubopong dia. Kubangunkan Mama dan memberitahunya bahwa aku akan membawa Zayyan ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, anakku segera mendapatkan tindakan di ruang IGD. Kudampingi dia selama di ruang IGD. Rumah sakit seakan menjadi tempat yang paling kuhindari sejak kematian Vani. Dan malam ini, anakku harus mendapatkan perawatan di rumah sakit.

"Pak, kita cek darah, ya. Saya takut anak Bapak kena DBD. Demamnya sangat tinggi dan juga ada bintik merah di beberapa area tubuh. Dia juga mengeluh badannya sakit semua dan pusing."

"Lakukan, Dok. Saya mohon lakukan yang terbaik."

Benar apa yang ditakutkan dokter. Anakku terkena DBD.

"Pak, kondisi anak Bapak sangat menurun. Trombositnya rendah sekali. Kami putuskan untuk menempatkan anak Bapak di ICU. Agar memudahkan pemantauan."

"Anak saya baik-baik aja kan, Dok?"

"Kita berdoa ya, Pak."

Tuhan, hanya dia yang kumiliki.

-To be Continued-


Huwaaaa.
Zayyan, kamu kenapa, Nak????
Huhuhuhu

Gimana gimana gimana?
Udah nggak ngambek sama Miss lagi kan karena lama nggak update?

Jangan marah lagi yaaaa, Loves.

Perihal Zayyan yang dimasukkin ke ICU itu berdasarkan pengalaman pribadi Miss, ya.
Waktu almarhum Bapak masuk ICU, kebetulan ada sesama pasien di ruang ICU. Dia kena DBD. Dan udah parah banget.
Dokter nggak mau ambil resiko.
Itu kenapa dia dimasukkin ke ICU. Biar lebih gampang dipantaunya. Karena sesuai dengan namanya, Intensive Care Unit. Jelas perawatannya lebih ekstra, kan?

Mau Miss bisikkin sesuatu nggak?

Siap emangnya?

Yakin?

Cusssss















MENDEKATI AKHIR SEASON 1!!!!!!!!

Rela nggak selesai?
Atau nggak usah pake season 2?

Hihihihihi

See youuuuuuuuu on the next chapter.

Miss sayang kalian banyak-banyak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top