Barra -10-

Mon maap sebelumnya. Ada kesalahan penulisan. Ya ampuun. Untung ada yang ngingetin. Makasih ya. Makasih, Riani. Udah ngingetin. Dan ada beberapa reader juga yang notice. Makasihhhhhhh.

Maaf ya.
Jangan bosen, ya.
Miss minta maaf terus, nih.
Iya, soalnya lama updatenya.
Miss tiba-tiba jadi pengangguran banyak acara sih.
Selalu ada aja yang dikerjain.
Maaf, ya.
Nih, untuk kalian semua.
Semoga suka yaaaa.
Tolong tandai TYPOnya, ya.
Nggak tau kapan revisinya hahahahah.

Enjoyyyy!

"Papa, bangun." Kurasakan guncangan di tubuhku. Ah, anak lelakiku. Aku masih sangat mengantuk. Pulang begitu larut malam setelah menyelesaikan pesanan penting dari orang yang cukup berpengaruh di Jakarta.

"Sebentar lagi ya, Boy. Papa masih ngantuk banget." Kembali kubenarkan posisi selimutku yang sudah melorot entah kemana.

"Pa, ini udah jam 10. Papa mau tidur sampe jam berapa?" ucapnya. "Papa nggak sholat Subuh, kan?"

Astaga, bahkan aku sudah melewatkan waktu Subuhku.

"Papa kecapekan, Nak. Maaf, ya."

"Minta maaf sama Allah, Pa. Banguuuuun." Kembali ditariknya selimut yang baru saja kubenarkan posisinya. Kurasakan hawa dingin dari pendingin ruangan yang seingatku kusetel di angka 16°C sejak tadi malam.

"Kok selimut Papa kamu buka lagi, sih? Papa kedinginan."

"Makanya, Papa bangun. Ini udah siang."

"Ini kan hari Minggu, Nak. Papa mau istirahat. Masih ngantuk."

"Pa, bangun. Papa lupa sama janji Papa?"

"Janji apa? Papa janjiin kamu apa emangnya?" Kusipitkan mataku karena kuyakin sebelum lelaki kecilku itu masuk ke kamar, dia sempat membuka seluruh tirai kamarku.

"Pa, kita kan mau ke makam Mama. Hari ini ulang tahun Mama, Pa."

Astagfirullah. Aku lupa.

"Papa mandi dulu, ya. Bakalan panas banget lho di makam Mama." Aku segera bangun dan bersiap membersihkan diri.

"Kita bisa pake payung, Pa. Papa juga sih lama banget tidurnya. Eyang udah nunggu dari tadi pagi, Pa."

"Yaudah. Papa mandi sebentar. Kamu tunggu aja di bawah sama Eyang." Anakku mengangguk, kemudian berjalan keluar kamar.

Syukurlah, perjalanan hari ini lancar. Jalanan terlihat sangat lengang. Mungkin, banyak penduduk Jakarta yang menghabiskan waktu liburan  akhir pekannya di Puncak. Cuaca juga sangat mendukung. Tidak terlalu panas.

Kedatangan kami bertiga disambut dengan harumnya bunga kamboja putih yang ditanam di seluruh penjuru pemakaman. Menyempatkan diri untuk membeli beberapa botol air mawar dan sekantong besar bunga yang dijajakan di depan pintu masuk. Sebelumnya, kami juga sudah membeli seikat bunga Daisy, bunga favorit Vani.

Zayyan begitu semangat. Digenggamnya bouquet bunga Daisy dengan erat. Mengambil posisi paling depan dan memimpin jalan.

"Pelan-pelan. Nggak usah buru-buru." Kucoba untuk mengingatkan Zayyan. Tapi, memang dasar Barra kecil. Dia tetap berjalan dengan semangatnya di depanku dan Mama.

"Biarin aja, Barr. Dia seneng karena berkunjung ke rumah mamanya."

Sesampainya di makam almarhumah istriku, aku, Zayyan dan Mama segera mengambil posisi untuk duduk. Kami membawa sebuah kursi lipat khusus untuk Mama. Karena usianya yang sudah lanjut, duduk bersila di bawah tentu akan sangat sulit baginya.

"Assalamualaikum, Mama." Tangan kecil Zayyan mengusap lembut nisan marmer hitam di atas pusara Vani. "Mama, selamat ulang tahun. Aku dateng sama Papa juga Eyang, Ma."

Assalamualaikum, Sayang. Selamat ulang tahun.

Kami bertiga tak hanya mengirimkan doa untuk almarhumah Vani, tapi juga untuk almarhumah Vina yang dimakamkan tepat di sebelahnya. Mereka kembar. Sudah pasti, hari ini adalah hari ulang tahun mereka berdua.

"Langsung pulang?" tanyaku. Zayyan dan Mama mengangguk serentak.

"Ayo. Udah mendung banget ini kayaknya," ucap Mama. Mama menatap ke arah langit. Benar. Langit memang sudah mulai sedikit gelap.

"Pamit dulu sama Mama." Zayyan yang sudah bersiap untuk melangkah meninggalkan area pemakaman, mengurungkan niatnya.

"Aku, Papa sama Eyang pamit dulu ya, Ma. Assalamualaikum."

Kami pulang ya, Van.

Selesai mengirimkan doa dan menabur bunga di kedua makam, kami bertiga bersiap untuk segera pulang. Pemakaman ini sangat luas. Terluas di Jakarta, mungkin. Butuh beberapa menit untuk bisa sampai ke parkiran. Di tengah perjalanan kami menuju mobil, rintik hujan mulai turus satu persatu.

"Untung Mama bawa payung. Cukup kayaknya untuk kita bertiga." Dengan segera, Mama membuka payung yang dibawanya. "Kamu yang bawa ya, Barr."

"Iya, Ma."

Aku segera melajukan mobil meninggalkan pemakaman. Hujan semakin deras. Ditambah dengan tiupan angin yang juga kencang.

"Mau neduh dulu nggak?" tanyaku.

"Neduh gimana, Pa? Kan kita di dalam mobil."

"Maksud Papa, sembari nunggu hujannya reda kita mampir dulu ke  mana gitu. Sekalian sholat Dzuhur. Ini udah mau adzan soalnya." Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kananku.

"Mampir ke rumah Retno aja, Barr. Kan deket dari sini. Udah lama Mama nggak main ke sana," sahut Mama. Kulirik Mama dari spion depan. Mama menangkap pandanganku. "Ke rumah Retno aja ya."

"Ke rumah Mbak Retno, nih?" tanyaku memastikan. Mama mengangguk mantap.

"Iya. Tapi, kita mampir dulu beli buah atau kue, ya. Nggak enak kalo ke sana nggak bawa apa-apa."

Ucapan Mama bagaikan titah untukku. Untung saja, kekakuan yang terjadi karena kejadian kala itu sudah mulai mereda. Mbak Retno sudah kembali sering menghubungiku. Entah untuk menanyakan kabar ataupun resep masakan yang akan dipakai untuk kebutuhan usaha cateringnya.

💋

Sesampainya di sana, kami disambut dengan begitu hangat. Ada Nadia, Abi dan ketiga buah hati mereka.

"Lho, kok ke sini nggak bilang-bilang, Bu?" ucap Mbak Retno. Mbak Retno segera menghampiri dan memeluk Mama.

"Ini, lho. Baru dari makamnya Vani sama Vina." Bisa kulihat raut kebingungan di wajah mereka. "Hari ini kan ulang tahun mereka berdua."

"Astagfirullah. Kok aku ya lupa kalo hari ini ulang tahun mereka."

"Wes nggak apa-apa. Yang penting doanya aja. Yang mereka butuhin sekarang cuma doa dari kita, tho?" Mama menyerahkan tentengan yang dibawanya pada Mbak Retno.

"Ya ampun, Bu. Kok repot-repot banget."

"Jarang-jarang main ke sini, kan."

Kami bertiga segera duduk bergabung dengan yang lainnya.

"Kak Naya, Om Zayyan diajak main, ya." Nadia mengelus lembut puncak kepala Zayyan. "Ajak Bian sama Bima juga ya, Mbak."

"Om, main yuk di belakang. Akung Naya baru beli ayam, lho. Kita liat yuk."

Kuedarkan pandanganku. Mencari sosok yang selalu kurindu. Tak kutemukan.

"Gimana kabarnya, Om?" tanya Nadia.

"Alhamdulillah, baik. Kamu sama Abi gimana kabarnya?" sahutku.

"Nadia baik. Mas juga baik. Cuma ya kami berdua lagi riweuh ngurus anak. Lagi aktif-aktifnya," jawab Nadia.

"Rame dong, ya. Banyak anak-anak di rumah."

"Rame banget, Om. Kita tuh udah kayak rombongam sirkus. Ya kan, Yah?" Nadia melirik ke arah Abi yang duduk di sebelahnya.

"Ya gitu deh, Mas. Restoran lancar, Mas?" tanya Abi. Aku mengangguk.

"Alhamdulillah. Semalem, aku malah pulang jam 2 pagi. Restoran dibooking  untuk late dinnernya orang kaya Jakarta. Makanya, ke makamnya kesiangan."

"Dinikmati aja ya, Mas. Usaha nggak akan pernah mengkhianati hasil, kok." Aku hanya bisa mengangguk.

Terpikirkan segala usaha yang sudah kulakukan untuk mendapatkan dia kembali, yang kupikir malah sia-sia.

"Aku belum sholat Dzuhur. Mau sholat dulu," ucapku.

"Kita juga belum pada sholat, Om. Jamaah aja yuk!" sahut Nadia. Aku mengangguk.

"Boleh."

"Bun, anak-anak suruh masuk. Ajak sholat bareng," ucap Abi. Nadia mengangguk.

"Bunda mau ke kamar dulu, ya. Mau nengok Dira dulu. Dira lagi nggak sholat kayaknya." Nadia segera bangun kemudian berjalan masuk ke kamar Nadira.

Selesai sholat Dzuhur berjamaah, kami kembali duduk di ruang tengah.

"Om, Nadia nonton waktu Om Barra jadi bintang tamu di People's Choice. Om keliatan ganteng banget di TV. Genta juga..."

"Bun," sela Abi. Abi menggelengkan kepalanya pelan. Seketika Nadia tidak melanjutkan ucapannya.

"Itu karena dipoles sedikit di make-up room, Nad. Biar nggak butek banget. Aku juga sempet ngobrol sama Dokter Indra. Ternyata dia dokter kandungan kamu ya, Nad?"

"Iya, Om. Dokter Indra yang nanganin proses kelahirannya anak-anak. Dokter paling enak deh." Nadia mengacungkan ibu jarinya. "Nanti, kalo Om Barra nikah lagi, boleh bawa istri Om konsul ke Dokter Indra. Nggak akan ngecewain."

Aku hanya menanggapi ucapannya dengan senyuman. Senyuman yang menurutku agak dipaksakan.

Semoga, ya.

"Makan dulu, yuk. Makanannya udah disiapin. Dari tadi ngobrol terus kita," ucap Mbak Retno.

"Kak, panggil adeknya. Suruh makan dulu," ucap Mas Haryo. Nadia segera berjalan menuju ke kamar Nadira.

Tak lama, yang kutunggu akhirnya muncul. Nadira keluar kamar. Nadira terlihat...sangat cantik.

Nadira segera bergabung dengan kami di meja makan. Menyalami semua orang yang ada di sana, termasuk aku.

"Kamu udah rapih banget, Dek. Mau pergi?" tanya Mas Haryo. Nadira mengangguk. "Mau pergi kemana?"

"Makan dulu ya, Pa. Nanti ngobrolnya dilanjutin." Mbak Retno menyendokkan dua centong nasi ke piring Mas Haryo.

Di sela makan siang, kami sempatkan untuk mengobrol. Dan, kusempatkan juga untuk mencuri pandang ke arahnya. Aku berani sumpah. Dia sangat cantik hari ini. Rambutnya tak sepanjang sebelumnya. Sepertinya, Nadira sudah memotong sedikit rambutnya. Rambutnya tak dibiarkan terurai seperti biasanya. Dikucir kuda. Tapi, aku masih bisa mencium segarnya shampoo yang biasa digunakannya.

"Dek, Masnya udah dateng." Bude Ros tiba-tiba menghampiri Nadira yang sedang asyik menikmati makanannya.

Mas? Siapa? Mungkinkah...

"Lho, udah dateng? Suruh masuk aja ya, Bude."

Satu menit berselang, Bude Ros kembali masuk dengan seseorang mengikuti di belakangnya.

Benar dugaanku.

Nadira segera bangun dari duduknya. Menghampiri dia yang masih berdiri di tempatnya.

"Kok nggak bilang kalo udah sampe?" ucap Nadira.

"Udah. Aku WA kamu."

"Handphoneku di kamar."

"Aku mau nyapa Papa sama Mama kamu dulu, ya."

Magenta berjalan mendekati meja makan. Menghampiri Mas Haryo dan Mbak Retno, mencium punggung tangan keduanya.

"Om... Tante, apa kabar?" ucapnya sopan.

"Baik. Kami semuanya baik. Kamu gimana kabarnya?" ucap Mas Haryo.

"Alhamdulillah baik, Om. Cuma, lagi agak sibuk aja sama kerjaan. Makanya, jarang bisa main ke sini." Magenta melihat ke arah Mama yang duduk di sebelahku. Menghampiri Mama dan menyalaminya. "Bu, gimana kabarnya?"

"Baik, Genta. Kamu gimana? Sehat, kan?" ucap Mama.

"Alhamdulillah, Bu." Setelah menyapa Mama, dia menyapaku. "Udah lama, Barr?"

"Lumayan. Tadi mampir sepulangnya dari makam istri." Kulihat Magenta mengangguk pelan. Setelahnya, Magenta lanjut menyalami Nadia dan Abi.

Mbak Retno meletakkan sebuah piring di depan Magenta. "Makan dulu ya, Ta. Kita makan bareng-bareng."

"Nggak usah, Tante. Ngerepotin."

"Hushh. Nggak ada yang direpotin. Makan dulu, ya."

"Kak, duduknya geseran," ucap Nadira.

Note : seriusan, ini cuma buat gambaran aja. Bikinnya juga asal. Kalo diniatin pun, hasilnya juga bakalan kek gini. Nggak punya jiwa seni emangggg. Papan congklak ye beppp.

Sebelum

Sesudah

"Lagi sibuk apa, Ta?" ucap Mas Haryo. Magenta yang semula akan menyuapkan nasi terhenti seketika.

"Untuk sejauh ini, saya lagi sibuk memantau aja, Om. Sesekali memang harus ke luar kota."

"Orangtua kamu sehat, kan?"

"Alhamdulillah. Mereka sehat, Om. Mereka berdua lebih sering main sama cucu-cucunya. Hiburan mereka, Om."

"Bener. Di usia segini, memang paling enak main sama cucu-cucu. Suka kangen kalo mereka lama nggak ke sini. Kadang, Om sama Tante yang nyamperin ke rumah Rama sama Nadia. Rama itu kakak laki-lakinya Nadira, Ta. Anak pertama kami."

Magenta tersenyum. "Ayah sama Bunda juga sama, Om. Kadang, malah suka nginep di rumah kakak sama adek saya. Kangen cucu katanya."

"Pa, udah. Biar Genta makan dulu, ya," ucap Nadira.

💋

Selesai makan siang, kami kembali melanjutkan untuk mengobrol di ruang tengah. Nadira duduk tepat di samping Magenta.

"Aku udah bikinin kamu teh manis anget. Tadi aku liat rambut sama baju kamu agak basah. Kehujanan?" ucap Nadira. Nadira menyugar rambut Magenta.

"Kehujanan pas keluar dari mobil aja, kok."

"Diminum dulu, ya. Biar enak. Aku nggak mau kamu sakit nanti."

"Makasih ya, Yang. Insha Allah, nggak."

"Aku ambil handuk kering dulu, ya. Rambut kamu masih basah. Nanti kamu pusing kalo nggak dikeringin."

Ya Tuhan. Kuatkan hati ini.

"Duh, Dira perhatian banget," celetuk Nadia.

"Bawel lo." Nadira yang baru saja kembali dengan membawa handuk di tangannya mencubit pipi Nadia kesal.

"Yah, pipi Bunda dicubit sama Dira." Abi hanya bisa manggapinya dengan tertawa pelan. 

"Bawel sih, lo. Tadinya malah pengen gue gelindingin di pertigaan depan, Kak," ucap Nadira sambil mengusap-usap mengeringkan rambut Magenta dengan handuk yang dibawanya. "Kita perginya nanti aja, ya. Hujannya sebentar lagi reda, kayaknya."

"Aku nurut aja sama kamu. Baiknya gimana."

"Papa, aku juga mau pelihara ay..." Ucapan Zayyan terhenti seketika saat dia menyadari kehadiran Nadira dan Magenta di ruang tengah. "Ayam."

"Zayyan, salim dulu sama Om Genta, ya." Zayyan menurut dan menghampiri Magenta.

"Zayyan apa kabar?"

"Baik, Om."

"Sekolahnya gimana?"

"Baik, Om. Aku mau PTS sebentar lagi, Om."

"Belajar yang rajin, ya. Nanti, kalo nilainya bagus, Om Genta beliin mainan untuk Zayyan."

"Makasih banyak, Om."

"Zayyan, makan dulu, ya? Kakak Dia temenin. Sekalian mau nyuapin Naya, Bima sama Bian. Yuk!" Nadia segera menggandeng Zayyan berjalan menuju ruang makan.

Aku bisa ikut merasakan kekecewaan yang dirasakan anakku.

Hujan sudah mulai mereda.

"Mau berangkat sekarang?" ucap Nadira pada Magenta.

"Boleh. Yuk! Aku mau pamit dulu sama Papa Mama kamu, ya."

"Kalian mau pergi sekarang?" tanya Mbak Retno.

"Om...Tante, saya mau minta izinnya. Saya mau ajak Nadira pergi sebentar."

"Mau pergi kemana, Ta?" sahut Mas Haryo.

"Ayah dan Bunda minta saya untuk ajak Nadira main ke rumah, Om. Mereka mau lebih mengenal Nadira. Boleh saya ajak Nadira ke rumah, Om?"

Allahu Rabb. Inikah pertanda untukku benar-benar berhenti mengharapkannya?

-To be continued-

Puehlisssss. Jan ada adu argumen dari masing-masing kubu yeee. Kita sodaraan, woyyy. Selow baeeee. Okhayy?? ❤❤❤

Yeah.
Akhirnya.
Miss nggak tau deh menurut kalian gimana di chapter ini.
Semoga kalian suka sama chapter ini.
Miss mau kasih tau, cerita ini akan dibuat dua season, ya.
Season pertama adalah yang sekarang. Ruwetnya cinta segitiga.
Season kedua itu  yang akan menceritakan kehidupan selanjutnya, ya.
Masih setiakah kalian dengan kapal masing-masing?

Boleh minta votesnya 550, yaaaaa.
Bisa dong???
Di Nadira -8- kalo nggak salah. Kaliam hebat banget. Miss minta 500, dikasihnya 600 😭😭😭
Kan jadi terharuuuuu.

Yaudah, see you on the next chapter,yaaaaaa.

Miss sayang kalian banyak-banyak ❤❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top