Barra -1-
"Bang, bentar lagi lo take ya." Gerry, manager yang selama 4 tahun ini sudah setia mengatur jadwal harianku di luar jam kerjaku di restoran untuk menapaki hiruk pikuknya dunia hiburan.
"Iya, bawel. Itu kue-kue yang buat jaga-jaga kalo yang gue bikin nanti gagal udah lo siapin kan?" Seorang chef juga manusia biasa yang kerap kali membuat kesalahan. Setiap syuting, sengaja selalu kusiapkan makanan sudah kubuat sebelumnya, just in case, kegagalan menghampiriku di tengah syuting. Walaupun, selama ini makanan-makanan itu tidak pernah terpakai sebagai properti syuting, melainkan masuk ke perut para kru.
"Pertanyaan lo salah, Bang." Aku mengernyitkan kening mendengar ucapannya. "Harusnya, lo tanya makanan yang buat kru udah disiapin belom. Kalo itu sih udah siap. Lo nggak perlu khawatir. Lo butuh apa lagi?"
"Gue butuh waktu. Nggak lama. Sepuluh menit aja. Gue mau telepon anak. Lo keluar dulu, ya." Gerry hanya menjawabnya dengan anggukkan dan segera keluar dari ruanganku.
Segera kuraih ponselku yang tergeletak di meja kerja. Hari ini adalah hari spesial untuk kami. Peringatan 9 tahun wafatnya istriku sekaligus ulang tahun anakku yang ke 9.
"Hallo. Assalamualaikum, Papa." Ah, suaranya selalu menjadi penawar di kala lelahku.
"Waalaikumsalam, Nak. Kamu udah sholat Dzuhur dan makan?"
"Udah, Pa. Eyang masak enak lho, Pa. Ada nasi kuning, ayam goreng, bihun goreng... Ah masih banyak lagi. Pa, nanti aku sama Eyang mau ke rumah Yangti anter nasi kuning. Terus ke rumah Bude juga."
"Iya, Nak. Maaf ya. Papa nggak bisa anter kamu sama Eyang. Zayyan anak Papa, selamat ulang tahun ya, Nak. Maaf, tadi Papa berangkat sebelum kamu bangun. Kamu nggak marah kan sama Papa?" Aku memang berangkat lebih pagi hari ini. Jadwal syuting yang tiba-tiba dirubah membuatku sedikit kecewa. Padahal, sudah kurencanakan jauh hari untuk bersama merayakan ulang tahun anakku di rumah.
"Makasih, Papa. Nggak apa-apa. Ehm, Pa..."
"Ya Nak? Kenapa?"
"Kita ke makam Mama kan besok? Aku udah kangen banget sama Mama." Kudengar isakkan lemah dari seberang sana. Ah, jagoan kecilku. Setiap tahun, setiap kali peringatan wafatnya istriku yang bertepatan dengan ulang tahunnya, dia selalu saja berubah menjadi sendu. Jagoanku itu selalu berpikiran dialah yang menyebabkan ibunya wafat saat melahirkan.
"Bisa dong. Besok kita beli bunga kesukaan Mama dulu ya. Kamu inget kan Mama suka bunga apa?"
"Daisy. Kita beli yang banyak ya, Pa."
"Siap. Sekarang Papa mau syuting dulu, ya. Kamu yang nurut sama Eyang. Papa pulang cepet hari ini. Jadi nanti kita bisa pergi cari kado. Okay?"
"Besok aja gimana, Pa? Sekalian pulang dari makam Mama. Aku nggak mau beli apa-apa kok, Pa. Aku cuma mau Papa ajak aku makan pizza. Boleh, Pa?"
"Boleh, Nak. Besok kita makan pizza ya. Topping extra mozzarella buat kamu. Yaudah, Papa mau kerja dulu ya. Papa sayang Zayyan. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Papa. Aku juga sayang Papa."
Pekerjaanku selesai. Hari ini, syuting dilakukan 2 kali, untuk stok episode 2 minggu ke depan. Proses syuting memang dilakukan di restoran milikku. Jadi, aku harus menutup restoranku selama 1 hari di setiap minggunya. Tapi, karena hari ini jadwal syuting diubah secara tiba-tiba, mau tidak mau jam operasional restoranku harus mundur. Restoran akan beroperasi setelah syuting selesai. Karena janjiku untuk segera pulang, kupasrahkan operasional restoran kepada Yohan selaku Sous Chef di sini.
"Sorry ya, Barr. Tiba-tiba schedule syuting dirubah dadakan. Soalnya dua minggu ini gue ada project di luar kota. Dan nggak ada yang bisa gantiin untuk ngedirect. Stok video juga udah habis. Gue minta maaf ya, Barr." Bang Jusuf, Jusuf Muttaqin. Sutradara yang menggarap cooking show milikku. Sutradara kawakan yang jam terbangnya tak perlu lagi dipertanyakan.
"No worries, Bang. Lo minta maafnya ke anak gue. Hari ini dia ulang tahun. Harusnya kita mau ke makam bini gue terus lanjut ngerayain ulang tahunnya dia. Tapi, tadi gue udah telepon minta maaf ke dia."
"Astagfirullahaladziim. Kok gue sampe lupa kalo hari ini ulang tahun Zayyan. Nanti gue kirim kado untuk dia ke rumah, ya."
"Lo atur aja deh enaknya gimana. Gue balik ya." Segera kulepas apron hitam yang melingkar di pinggang.
"Eh, lo ditungguin Boss di depan. Dia nungguin lo dari tadi," ucap Bang Jusuf.
Setelah selesai membereskan peralatan, segera kuhampiri boss besar yang tengah menungguku di depan.
"Lama banget sih lo. Gue daritadi nungguin lo syuting nggak kelar-kelar," gerutu bujang lapuk yang sedang duduk sambil bersila kaki di atas kursi.
"Ya maklum lah. Hari ini gue syuting untuk 2 episode. Minggu ini sama minggu depan. Ini aja gue ngorbanin anak gue. Hari ini ulang tahunnya dia. Tapi, gue malah syuting," ucapku. "Lo tumbenan ke sini. Ada apa? Udah nggak sibuk?"
"Adek sepupu gue. Dia mau ngenalin gue ke temennya."
"Lho, bagus dong. Lo mau kan?" tanyaku.
"Mau. Nggak ada salahnya kan nyoba."
"Lo udah liat orangnya?" tanyaku lagi. Karena yang kutahu, setiap wanita yang dikenalkan padanya, mempunyai tingkat kecantikan di atas rata-rata. Bahkan, yang terakhir adalah seorang mantan Putri Indonesia.
"Udah," jawabnya singkat.
"Cantik?" tanyaku. Dia mengangguk.
"She looks so naturally beautiful. Nggak perlu polesan apapun."
"Lo coba aja. Kapan ketemuannya?" tanyaku.
"Besok," sahutnya.
"It's too fast, isn't it?"
"Nggak lah. Kan baru sekedar saling ketemu aja."
"Orang mana?" tanyaku.
"Lo tau sendiri bokap nyokap gue maunya gimana. Kudu nikah sama cewek keturunan Jawa. Nah, kebetulan dia orang Jawa. Namanya juga ada Jawanya. Nadira." Segera kutegakkan badanku.
"Sorry? Nadira?" Ada banyak Nadira di dunia ini. Tapi, cuma ada 1 Nadira yang kukenal.
"Iya. Namanya Nadira." Kutahan napasku. Ya, terasa berat untuk sekedar menghembuskan napas. "Nadira Maharani Sutanto. Kata sepupu gue dia orang yang mandiri. Kerja di cafe punya kakaknya."
Konyol memang. Aku berharap ada Nadira lain yang mempunyai nama sama seperti Nadira yang kukenal. Tapi, sepertinya itu tidak mungkin.
Ada jarak sangat jauh yang tercipta di antara aku dan Nadira setelah perpisahan kami saat itu. Nadira selalu menghindar setiap kali bertemu denganku.
Salahku yang telah lancang menawarkan masa depan untuknya, tapi seketika meruntuhkannya. Salahku yang tak bisa sepenuhnya menerima kehadirannya. Salahku yang telah menggoreskan luka di hatinya. Seakan sedang dihampiri karma, kali ini aku yang merasa lara mendengar berita tentangnya.
"Gue balik, ya. Good luck for tomorrow. Lo kalo mau makan, ngomong aja sama Yohan. Dia ada di dalem." Hatiku berdesir tak karuan saat kuucapkan kalimat itu. Ada rasa yang mengganjal. Kutinggalkan dia yang masih terduduk di kursi.
💋
Kutatap gundukkan tanah berselimutkan rumput zoysia matrella dengan nisan marmer hitam di atasnya. Sembilan tahun sudah. Ya, selama itu. Selama itu pula aku berjuang untuk membesarkan anakku. Menjadi sosok Ayah sekaligus Ibu yang sama sekali belum pernah dilihatnya.
Namanya Vani, Pramudya Devani. Wanita yang selama 5 tahun setia mendampingiku. Masih bisa kuingat dengan jelas ekspresinya saat dia mengabarkan berita kehamilannya padaku. Kehamilan yang dinanti-nanti selama 2 tahun pernikahan.
Dia yang selalu sabar menungguku pulang kerja dengan perut besarnya. Dia yang sampai rela tertidur di sofa ruang tamu hinga larut malam demi membukakan pintu untukku. Dia yang pernah menjadi warna di dalam hidupku.
Vani memberikan hadiah paling berharga yang pernah kuterima di sepanjang kehidupanku. Zayyan. Aku bukanlah dari kalangan medis yang mengerti tentang penyakit. Yang kutahu, Vani hanya sempat memeluk Zayyan selama 5 menit sebelum akhirnya dia pergi untuk selama-lamanya. Vani mengalami pendarahan hebat pasca persalinan, yang diperparah dengan tidak adanya ketersediaan darah yang sesuai dengan golongan darahnya. Vani pergi dengan membawa senyuman terindahnya. Dia berhasil memenangkan pertarungan. Walaupun, harus pergi setelah mengantarkan anak kami menyambut indahnya dunia.
Yang anakku tahu, Ibunya adalah sosok yang cantik dan lembut. Zayyan hanya mengenal Ibunya dari lembar demi lembar foto yang ada di album. Dari foto-foto itulah kerap kali kulihat anakku mencurahkan semua isi hatinya.
"Assalamualaikum, Mama. Zayyan dateng sama Papa." Zayyan langsung duduk bertumpu pada kedua lututnya sambil mencabuti rumput liar yang sudah memanjang.
"Assalamualaikum, Sayang." Aku ikut terduduk di sebelah Zayyan. Membersihkan nisannya yang kotor karena debu dan bekas tanah cipratan hujan dengan air mineral botolan yang kubeli di pintu masuk pemakaman.
Setelah selesai mencabuti rumput liar yang meninggi, Zayyan segera meletakkan sebuah karangan bunga daisy yang kami beli di toko bunga langgananku sebelum pergi ke pemakaman.
"Mama, ini hadiah buat Mama. Bunga kesukaan Mama. Tadi Zayyan sama Papa beli sebelum ke sini." Suaranya bergetar. Kutarik tubuh jagoan kecilku ke dalam pelukan. "Mama, Zayyan kangen sama Mama."
"Shhhh. Mama sudah bahagia di sana, Nak. Mama bangga karena Zayyan tumbuh jadi anak yang baik. Tugas Zayyan sekarang, selalu doakan Mama, ya." Kutepuk-tepuk pundaknya dengan lembut. Perlahan, kurasakan isakkannya mulai mereda.
Anakku mengusap air matanya dengan kedua telapak tangannya. "Iya, Pa."
Van, anak kita sudah besar. Aku yakin, kamu pasti bakal bangga sama dia.
"Papa, kita kirim doa dulu untuk Mama ya."
"Iya, Nak. Kamu yang pimpin ya." Zayyan mengangguk.
"Ya Allah, ringankan siksa kubur Mama. Jauhkan Mama dari api neraka. Sampaikan rindu Zayyan untuk Mama. Pertemukan kami di Surga kelak. Aamiin."
Aamiin. Semoga Tuhan mendengar doamu, Nak.
💋
"Kita mau langsung makan pizza atau jalan-jalan dulu?" tanyaku.
"Boleh jalan-jalan dulu, Pa?"
"Boleh dong. Hari ini, semua waktu Papa untuk kamu. Kamu suka nggak?" Zayyan terlihat sumringah. Memang selama aku sibuk dengan dunia hiburan, aku jarang bisa menghabiska waktu bersama Zayyan. Zayyan lebih sering menghabiskan waktunya di rumah bersama Ibuku dan beberapa asisten rumah tangga. Setidaknya, hari ini aku bisa mengganti waktu kebersamaan kami yang hilang.
Zayyan memintaku untuk menemaninya berkeliling di toko buku. Melihat-lihat buku-buku yang berjejer di rak. Langkahnya terhenti di sebuah rak bertuliskan "BEST SELLER" . Rak yang memajang buku resep masakan yang kutulis. Buku dengan fotoku yang berpose dengan chef jacket putih sambil melipat kedua tanganku di depan dada.
"Pa, aku bangga sama Papa."
"Kenapa bisa bangga sama Papa, Nak?" tanyaku.
"Papa hebat."
"Papa lebih bangga sama kamu. Kamu tumbuh jadi anak yang baik, pintar dan soleh." Kuelus puncak kepalanya dan kukecup keningnya.
Semenjak namaku dikenal di dunia hiburan 6 tahun yang lalu, aku memang sedikit susah bergerak di ruang publik. Permintaan untuk foto bersama dan tandatangan sering berdatangan. Dan, sesekali telingaku secara tidak sengaja mendengar selentingan orang-orang tentangku.
"Kasian ya. Harus ngurus anaknya sendiri."
"Hot daddy, sih."
"Kenapa dia nggak cari pengganti istrinya, ya?"
"Melas banget liat dia kemana-mana cuma berdua sama anaknya."
Telingaku seakan sudah dibuat mati rasa dengan semua itu. Yang bisa kulakukan hanyalah melempar senyum saat melewati kerumunan orang yang tengah membicarakanku. Apa yang kudengar sekarang sudah jauh lebih baik dibanding saat pertama kali kemunculanku di dunia pertelevisian. Awalnya, mereka mengira aku adalah seorang laki-laki single dan belum menikah. Tapi, semua seakan terkejut setelah mengetahui statusku sebagai duda dengan satu anak.
"Ya ampun ternyata duda. Anaknya masih kecil pula."
"Kasian anaknya, ya. Ngenes deh pas nonton wawancara eksklusifnya si Chef."
Saat ini, aku dan Zayyan sibuk melayani permintaan foto bersama dari beberapa ibu yang kebetulan sedang berkumpul. Zayyan yang akan dengan senang hati menjadi juru kamera. Mengarahkan gaya dan mengambil beberapa jepretan.
Setelah selesai dengan para ibu itu, aku dan Zayyan langsung bertolak ke restoran pizza siap saji langganan kami.
"Kamu kan bisa minta Papa untuk buatin pizza untuk kamu, Nak," ucapku.
"No, Pa. Pizza buatan Papa itu beda. Papa lebih suka buat pizza yang tipis. Sedangkan aku sukanya pizza yang rotinya tebel."
"Pizza asli kan emang yang rotinya tipis, Nak."
"Yaudah. Aku maunya yang pizza versi Indonesia aja. Yang rotinya tebel. Biar kenyang." Gemas. Kuacak-acak rambutnya.
Anakku sudah pandai berdebat.
Selesai makan pizza, aku dan Zayyan kembali melanjutkan perjalanan kami mengitari pusat perbelanjaan. Kuputuskan untuk mampir ke supermarket besar yang ada di lantai bawah. Mengambil troli dan berniat untuk memenuhinya dengan berbagai macam kebutuhan sehari-hari selama sebulan ke depan.
"Papa, beli Indomie goreng boleh?" tanya Zayyan. Aku mengangguk.
"Tapi.... "
"Nggak boleh sering-sering makan mie instan," sergahnya seketika. Kulempar senyuman ke arahnya.
Zayyan mengarahkan troli dan mulai menambah penuh troli dengan beberapa bungkus mie instan goreng kesukaannya.
"Zayyan, jangan lupa minyak kayu putih untuk Eyang. Yoghurt di rumah juga habis." Teringat botol minyak kayu putih milik Ibuku yang sudah hampir kosong dan stok yoghurt di kulkas yang sudah menipis.
"Iya, Pa." Zayyan segera berjalan ke lorong dairy product dengan mendorong troli dan mengambil beberapa botol yoghurt cair, 8 cup besar plain yoghurt padat dan 10 pak minumat probiotik mirip yoghurt. Aku memang selalu mengajaknya serta setiap kali melakukan belanja bulanan. Jadi, tak heran jika dia hapal berapa jumlah barang yang dibutuhkan dalam sebulan.
Setelah membayar semua belanjaan di kasir, aku dan Zayyan mendorong troli ke lantai atas untuk menuju tempat parkir. Tempat parkir ada di tingkat paling atas di gedung ini. Sembali mendorong troli, aku dan Zayyan juga menyempatkan diri untuk melihat-lihat barang yang dipajang di etalase toko.
Seketika Zayyan membuat troli yang didorongnya berhenti bergerak di depan kaca besar sebuah cafe yang ada di pusat perbelanjaan ini. Aku yang berjalan sambil mengalungkan lenganku di lehernya pun ikut berdiri. Kulihat arah pandangannya lurus ke dalam cafe. Tertuju pada satu titik. Ah.
"Pa, itu Ma-- ah Kak Dira, kan?"
Iya, Nak. Itu Mama Diramu.
"Itu Om Genta, kan? Ngapain Kak Dira sama Om Genta di sini?"
"Papa nggak tau, Nak. Yuk, kita pulang." Segera kudorong troli, tapi Zayyan menahannya dengan cukup kuat. Aku tahu dia tidak ingin beranjak.
"Pa, boleh aku samperin Kak Dira?" tanyanya. Kugelengkan kepalaku.
"Jangan ya, Nak. Mungkin mereka lagi ngomongin hal penting. Zayyan bisa ke rumah Bude kalo mau ketemu Kak Dira, ya."
Zayyan terlihat sangat kecewa. Dengan langkah gontai dia mengambil jarak beberapa langkah di depanku.
Nak, bukan cuma kamu yang mau samperin mereka. Papa juga mau, Nak. Papa juga rindu dia.
-To be Continued -
Huwaaaa.
Miss agak imosyenel nih nulis chapter ini. Nggak tau deh gimana sama kalian.
Emang dasarnya Miss itu hatinya lembut macam Arwen yang di The Lorsd of The Rings sih.
Jadi ya gampang aja tersentuh.
Kasian Zayyan ya.
Boleh nggak sih Miss aja yang jadi Mamanya dia? 😂😂😂
Suka nggak sama chapter ini?
Masih sama lah ya.
150 votes bisa?
Makasih banyak
Miss sayang kalian banyak-banyak
❤❤❤❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top