Dia dan Luka

Aku merasa tubuhku membeku, tidak senada dengan jantungku yang berdetak bertalu-talu. Aku tahu bahwa hal ini akan terjadi, tetapi tetap saja membawa efek yang luar biasa. Baru beberapa jam yang lalu aku merasa terbebas dari jerat dosa ini, aku pikir semuanya telah selesai. Ternyata tidak. Inilah saatnya mengakhiri.

Mas Harris masih duduk tenang di seberang sana. Kalau dulu aku sangat menginginkan dia seperti ini, sebab dulu Mas Harris adalah orang paling heboh yang pernah kukenal, kini aku sangat ketakutan akan ketenangan itu. Matanya menelisikku, seakan menegaskan telah berhasil menelanjangiku sepenuhnya. Aku pun hanya mampu bertahan menatapnya beberapa detik sebelum kemudian menunduk. Merasa menjadi manusia paling berdosa di dunia. Foto yang diserahkan Mas Harris padaku telah jatuh dan berhamburan di lantai.

Ruang tamu yang dilengkapi pendingin ruangan dengan suhu rendah kehilangan fungsi bagiku, bajuku tetap saja dibanjiri keringat. Aku ingin menentang ucapan Mas Harris, tetapi semua yang pria itu terlalu benar dan tepat. Tidak memberikan aku ruang untuk berkelar. Tamat sudah riwayatku.

"Aku kurang apa untukmu, Dek?"

Hatiku lagi-lagi dihantam, dan aku tahu sebenarnya yang paling tersakiti di sini adalah Mas Harris. Namun, ternyata pisau imajiner itu juga bisa menyakitiku. Salahku memang, aku mengakuinya. Itulah yang membuat aku diam saja sedari tadi, kendati Mas Harris melemparkan sejumlah pertanyaan yang tentunya retoris itu.

"Kau main api selama ini di belakangku. Apa salahku, Dek? Apa salah aku sampai setega itu dirimu?"

Aku mendengar suara yang tadi sempat meninggi itu mulai lirih. Tak ayal, tangisku lolos begitu saja tanpa bisa aku tahan lagi. Aku telah menyakiti pria baik ini, aku coba untuk menatapnya sekali lagi berharap mampu melakukannya.

"Ma-Mas ... maafin aku."

"Apa?! Kalau kau yang berada di posisiku apakah kau akan memaafkanku?"

Mas Harris kembali menaikkan satu oktaf suaranya, aku menggigit bibir, ketakutan. Aku memang bodoh malah meminta maaf. Kurasa otakku tidak berfungsi, karena tidak satu pun lagi bisa kupikirkan. Aku benar-benar blank.

"Aku sudah mengakhirinya," akuku.

Aku menghapus air mataku, dan mencoba untuk berpikir lagi. Hubungan kami tidak boleh berakhir. Benar aku salah. Namun, bukanlah aku telah mengakhirinya? Mas Harris harus tahu bahwa aku hanya khilaf waktu itu.

"Tadi siang, aku resmi berpisah dari dia Mas. Aku kini hanya milik Mas. Aku tidak akan pernah mendua lagi." Aku berusaha meyakinkannya. "Foto itu tidak seharusnya ada, aku sepenuhnya punya, Mas."

"Omong kosong apa ini?!"

"Mas, percaya padaku. Aku tidak akan lagi mendua. Tidak akan pernah."

"Mir ... pernikahan bukan main-main, seharusnya kau tahu itu, Dek. Hanya karena kau mengakhiri permainanmu dengan laki-laki itu lantas semua masalah selesai." Kulihat tatapan serius Mas Harris yang menunjukkan tidak sedikit pun mempercayaiku lagi.

Aku bangkit dari tempat duduk, lalu bersimbah di kakinya. "Maafkan aku Mas. Kumohon percayalah, hanya Mas yang kucintai."

Mas Harris menyingkirkanku dari kakinya. Bukan karena merasa tidak enak, justru karena merasa jijik denganku. Mas Harris sepenuhnya membenciku. Aku tidak akan pernah lagi diterima pria itu.

"Berhentilah berbohong, Mira." Aku menangis sejadi-jadinya saat tak lagi ia menyebutku adek, oh Tuhan segera bangunkan aku dari mimpi buruk ini.

"Jika kau benar-benar mencintaiku, tak sudi kau bercumbu dengan pria itu. Sudah berapa jauh ia menyentuhmu, aku tidak tahu. Akui saja, selama ini hanya aku yang mencintaimu. Dua tahun kita menikah, aku kira mampu meluluhkan hatimu yang memang sejak awal tidak menyukaiku.

"Kalau bersamanya kau bahagia. Pergilah. Aku tidak apa. Tapi kau memilih cara paling jahat untuk mengakhiri pernikahan ini. Suami mana yang rela berbagi istri dengan pria lain? Istri mana yang tega disentuh pria lain?"

Aku menggeleng. Tidak. Aku mencintainya. Sungguh. Meskipun setelah semua yang kulakukan, aku tahu bahwa ia telah sukses membuatku jatuh cinta. Aku mencintai Mas Harris demi Allah.

"Aku mencintaimu, Mas."

"Jangan berbohong, Mira."

Kulihat ia berdiri, kutahu ia akan pergi meninggalkanku. Segera aku menahan kakinya agar tidak melangkah menjauh. Aku tidak sanggup kehilangan dia.

"Hentikan Mira. Hentikan."

"Jangan, Mas. Aku tidak menginginkan ini. Jangan ...."

Ia mendorongku lagi. Hatiku mencelos karena kali ini ia melakukannya dengan sangat kuat sampai membuat aku terjungkal. Mas Harris yang lembut telah lenyap. Ia kini menjadi orang yang sangat tega menyakitiku.

Sikutku nyeri, kurasa lecet akibat bergesek dengan ubin terlalu keras. Mas Harris melihatnya, ia tidak peduli dan melihatku seperti sampah. Tatapan jijik itu menenggelamkanku ke dasar laut. Ia bukan lagi pria yang mencintaiku, yang memuja diriku, yang sangat memedulikan diriku.

"Aku mencintaimu."

"Aku membencimu."

Tamatlah sudah.

...

Semuanya mulai menggelap. Bau anyir bercampur anti-septik menyengat hidungku. Tubuhku begitu sakit. Nyeri dan ngilu di mana-mana. Selang terhubung dengan mulutku. Beberapa kabel menempel dan menusuk tanganku. Kepala nyeri saat aku mencoba untuk membuka mata lebih lebar.

Orang-orang dengan kostum hijau menyentuhku. Memeriksa entah apa yang tidak kuketahui. Sebelumnya salah satu dari mereka menyenter mataku. Aku tidak menghitung berapa lama mereka menggerayangi tubuhku, yang pasti selama itu yang kurasakan ada remuk. Satu-satunya yang bisa kukendalikan dari tubuh ini adalah tetap membuka mata.

"Bertahanlah nona, saya akan mencoba menyelamatkan kalian."

Aku sebentar lagi mati. Omong kosong belaka ucapannya itu. Aku yang tidak tahu apa-apa tentang kesehatan saja tahu bahwa tidak ada harapan lagi, bagaimana ia bisa berbohong sekeji itu?

Tuhan, hentikan segera semua ini. Mereka hanya berbuat sia-sia. Tubuhku sebagian lama-lama mulai mati rasa. Mereka hanya menambah waktu sengsaraku. Apa susahnya membiarkan aku dan anakku pergi cepat? Aku akan bahagia setelah ini.

Keributan terjadi oleh seorang yang menerobos masuk ke ruangan ini, diikuti beberapa perawatan yang mungkin gagal menghalaunya. Sekelompok manusia yang menanganiku berhenti, mereka serempak melihat kedatangan orang itu. Sudah kukatakan, omong kosong dia ingin menyelamatkanku.

"Biarkan saya masuk!"

"Pak, tolong tunggu saja di luar."

"Saya hanya ingin berada di sampingnya. Itu saja."

"Mohon kerjasamanya, Pak."

"Saya hanya ingin di sampingnya, apa kau mengerti!"

Dokter yang mengatakan akan menolongku mengangkat sebelah tangannya, sebuah instruksi yang menghentikan para petugas menahan orang itu.

"Terima kasih."

Petugas dan perawatan keluar setelah memberi si penerobos tatapan maut. Namun, tampaknya dia tidak peduli dan segera mengambil tempat di sampingku. Kelompok itu mulai lagi.

"Aku di sini. Kau akan selamat."

Aku ingin tuli. Sebab walaupun makin banyak organ tubuhku yang mati rasa, nyatanya sakit perasaanku masih mampu kurasakan. Benar-benar gila. Aku tidak ingin sadar. Jika tadi aku berusaha untuk membuka mata, sekarang dengan pasrah aku menutup mata.

"Maafkan aku, maafkan aku. Kau harus bertahan."

Hei, kenapa aku malah menangis? Seharusnya, tidak ada lagi bagian tubuh ini yang berfungsi. Aku menyerah Tuhan, bawa aku segera dari sini. Kepanikan terjadi saat satu suster mengatakan keadaanku memburuk. Hebat, sepertinya doaku dijabah.

"Mira, kumohon jangan. Bertahanlah."

Aku hanya ingin mengakhiri hidup yang tidak berarti ini. Ia juga pernah mengatakannya padaku, bahwa aku tidak pantas berada di dunia ini. Sekarang ada apa dengan dirinya.

"Bayinya, tidak tertolong."

Aku lekas membuka mata, dari balik kain penutup yang menghalangi pandanganku terdapat celah kecil. Namun, mampu membuatku melihat gumpalan daging berbalur darah telah di angkat dari perutku. Menyedihkan, kau meninggalkanku duluan, sayang. Tunggu sebentar lagi ibu akan menyusulmu.

"Tidak mungkin. Kau berbohong!"

"Tenanglah. Kau cukup diam di sampingnya atau kau akan kutendang keluar."

"Tuhaaaan! Apa yang Kau rencanakan?!"

***

"Kau seharusnya berkata sejujurnya pada dia."

"Dia tidak lagi percaya padaku."

"Apa perlu Mbak yang sampaikan?"

Aku menoleh, sambil tersenyum aku menggeleng. Sudah menjadi bubur, apalagi yang bisa diharapkan. Menyentuh perut yang sedikit membuncit, aku berharap aku bisa melewati semua ini.

"Dia benar-benar keterlaluan. Mbak seharusnya dulu menentang Bapak ketika menjodohkan kalian."

"Mbak, Mira nggak papa."

"Dia perlu bertanggung jawab atas cabang bayik di perut kamu itu."

"Aku akan merawatnya sendiri."

"Mir ...."

Pertahanan dan kebohonganku runtuh aku menghambur ke pelukan kakak perempuan tertuaku itu. Kupeluk erat ia, aku sebenarnya tidak mampu. Namun, karena begitu mencintai Mas Harris, aku tidak mungkin menempatkan pria malang itu dalam masalahku lagi.

Mbak menepuk-nepuk bahuku mencoba memberi kekuatan. Aku bodoh. Aku tahu. Mbak Eli sudah memberitahuku sejak tadi perihal kebodohan ini. Aku yang bodoh memilih keputusan bodoh.

"Kau hanya perlu jujur bahwa kau memiliki depresi, laki-laki dalam foto itu adalah doktermu."

Enggak. Mas Harris terlalu sempurna untuk menerima kenyataan bahwa memiliki isteri yang gila, kalau Mbak Eli bilang depresi. Dia akan mendapatkan wanita baik-baik yang pantas berdampingan dengannya. Lagi pula, Mas Harris benar. Aku telah dijamah laki-laki lain, pria mana coba yang mau menerimaku.

Pada saat SMA aku mengalami pelecehan, oh bukan, pemerkosaan lebih tepatnya. Aku depresi sejak saat itu, apalagi saat bapak tidak ingin masalah itu membesar dan membiarkan pelaku bebas setelah berunding dengan keluarga dan memilih berdamai asal masalah ini tetap rahasia, orangtuaku menutup rapat masalah itu. Aku pun tumbuh tertutup. Aku takut berhubungan dengan lawan jenis. Hingga sampai ini pun sebenarnya begitu. Konsultasiku dengan Adrian pria di foto itu telah berlangsung lama sebelum aku menikah dengan Mas Harris. Konsultasi itu diam-diam sebab kasusku adalah aib keluarga yang tidak ingin orang lain tahu. Hanya keluargaku dan Adrian yang tahu.

Di umurku yang menginjak dua puluh lima tahun, mamak dan bapak ngotot ingin aku menikah, karena tidak ingin digunjing tetangga. Keadaanku tidak banyak membaik, selain saat itu sudah dapat bertatap dengan laki-laki tanpa gemetar. Tentunya aku tidak punya pasangan, menerima laki-laki saja belum bisa.

Orang tua kolot itu mencarikan aku calon suami, beberapa bulan kemudian Mas Harris dan keluarganya datang melamar. Aku tidak sebenarnya belum siap, tetapi bapak yang pegang pilihan. Jika ia rasa cocok maka ia akan menikahkanku. Mas Harris dari keluarga baik-baik nan kaya. Tentu bapak langsung menerima.

Kami menikah, aku mati-matian menahan rasa ngeri yang memaksa untuk menghentikan Mas Harris yang telah menjadi suamiku untuk menyentuhku. Namun, aku tidak akan mengecewakan bapak dan mamak yang berharap aku dapat jadi wanita yang tidak sakit di mata suamiku ini. Seberapa pun bencinya aku, aku harus tetap kuat.

Setahun pernikahan, aku mulai kambuh lagi. Tubuhku gemetaran setiap kami berhubungan suami istri. Aku tidak ingin Mas Harris curiga, dan tahu aku sakit. Diam-diam aku menemui Adrian kembali. Laki-laki itu menolongku banyak. Membuatku perlahan kembali mampu normal.

Aku sangat nyaman bersama Adrian yang notabene adalah laki-laki. Itu sebabnya aku lebih suka berlama-lama bersama Adrian. Kupikir juga awalnya aku menyukainya. Namun, Mas Harris yang memberikan banyak cinta padaku lebih menarik hatiku.

Ia pria yang amat baik. Manis dan romantis. Sering membawakan aku hadiah sepulang bekerja, pandai memasak, dan tentunya sangat mencintaiku. Aku sangat ingin jujur, tetapi tidak ingin mengambil resiko besar akan ditinggal ketika Mas Harris tahu isterinya gila. Aku takut. Namun, justru itu yang menjadi boomerang-nya. Mas Harris termakan cerita mantan kekasihnya dulu lalu aku selingkuh.

Aku akui aku pernah memeluk Adrian dan membiarkan ia memegang tanganku. Aku menganggapnya abang kandungku. Walaupun ia mengakui menyukaiku, ia tetap memberikan jarak hubungan kami karena tahu aku sudah bersuami.

"Berjanjilah padaku Mbak, hanya kita yang tahu ini."

***

Mas Harris tiba-tiba menelpon setelah berbulan-bulan kami putus kontak. Ia mengatakan sesuatu yang lebih mengejutkan daripada mengetahui bahwa ia meneleponku.

"Kenapa kamu nggak bilang sedang mengandung anakku?!"

Ponselku langsung kumatikan begitu saja. Mas Harris tahu, aku panik. Buru-buru mencari Mbak Eli ke kamarnya. Kami memang satu rumah. Setelah bercerai, aku numpang hidup di rumahnya. Suaminya jarang di rumah karena kerja di luar kota yang mengharuskan Mbak LDR dengan suaminya. Dua bulan sekali baru pulang. Aman sekali bagiku bersama Mbak Eli.

"Mbak ... Mbak!" Kuketuk pintu kamarnya.

Setelah sekian lama, aku memutuskan untuk masuk saja. Aku kesal tidak menemukan Mbak di kamar. Ya ampun, aku lupa bahwa dia tadi sudah bilang mau ke pasar. Kami ingin pergi bersama, Mbak tidak mengizinkan aku yang keadaanya hamil tua.

Pikiranku sekarang dipenuhi oleh Mas Harris yang tahu aku hamil. Mbak tidak bisa dipercaya. Aku harus bagaimana sekarang? Ia pasti akan menemui.

Deru mobil memasuki rumah lantas membuatku berjalan cepat menuju depan. Yang kutunggu datang. Aku kan memarahi Mbak, tidak kubiarkan ia lolos.

Aku terkejut saat membuka pintu yang kutemui adalah Anto suaminya. Kaget sekaligus bingung, bukannya baru seminggu ia pergi. Kupaksa seulas senyum dikebingunganku.

"Mas Anto kenapa cepat pulang?" tanyaku tidak ingin bingung lebih lama.

"Ada masalah. Eli mana?"

"Ke pasar, Mas."

"Ooo." Mas Anto masuk aku nyusul dari belakang.

"Mir, buatin aku teh dong."

Aku kembali terkejut, Mas Anto terlihat tidak seperti biasanya dari caranya memerintah juga sangat berbeda.

"Oh, iya Mas. Bentar." Aku melenggang ke dapur membuat teh untuknya.

Ada rasa tidak enak tiba-tiba menghampiriku. Sambil mengelus perut aku mengeyahkannya cepat, tidak ingin terlalu berprasangka buruk. Air telah mendidih, aku segera mematikan kompor dan menuangkannya ke gelas.

Saat hendak mengaduk sebuah tangan tiba-tiba merangkul ku dari belakang. Aku terkesiap dan reflek menghindar.

"Jangan takut, Mir."

"Mas Anto jangan kelewatan!" Peringatku tegas.

"Sepertinya Eli masih lama, kita bisa bersenang-senang."

Aku syok seketika mendengar kalimat itu. Naluriku menangkap bahaya, aku berjaga-jaga sewaktu-waktu ada gerakan mengancam.

"Kau seperti tidak biasa melakukan ini. Kau sudah pernah bermain api dengan pria lain, tidak ada salahnya kita mencoba."

"Mas Anto jangan kelewatan!"

"Jangan munafik, Mir. Aku tahu kau merindukan sentuhan pria setelah berpisah dengan suamimu seperti kau juga tidak melanjutkan hubungan gelapmu."

Aku benar-benar terluka dengan ucapan itu, entah keberanian dari mana aku menampar Mas Anto. Napasku terengah-engah setelah melakukannya dan kini aku benar-benar berbeda di tepian jurang yang tidak disentil akan jatuh dan hancur berkeping-keping.

Mas Anto menarik rambutku kencang. "Berani-beraninya kau menamparku jalang!" Ia lalu mendorongku hingga jatuh ke lantai.

"Aku akan memberikan pelajaran kepada jalang nakal sepertimu!"

Setelahnya aku tidak sanggup mendeskripsikan bagaimana ia melecehkanku. Depresiku kambuh, gemetaran, aku tidak berdaya. Aku kembali ke titik terendah hidupku. Jijik, setiap kali ia menyentuhku. Namun, mungkin belum saatnya menyerah satu celah yang tercipta aku mendorong sekuat tenaga yang kupunya untuk lolos dan berlari.

Aku menuju pintu, aku akan keluar meminta bantuan. Tidak peduli pakaianku kini tak layak lagi, atau penampilanku yang berantakan. Perutku yang besar membuatku kesulitan untuk berlari cepat.

Saat sudah hampir mencapai di gerbang, Mas Anto ternyata mampu mengejarku dan menarikku kuat. Terseok-seok, aku memukul tangan yang dengan kasar menarikku seperti binatang itu. Aku berteriak, ia dengan cepat menyimpan mulutku. Tidak. Aku masih belum menyerah aku menggigit tangannya. Sekali lagi kesempatan bagiku untuk lari.

Namun, nasibku sudah terlanjur buruk. Sesuatu yang keras menghantam kepalaku keras, aku sempoyongan langsung ditarik kembali masuk.

Sampai di dalam, tubuhku dihempaskan keras hingga aku tengkurap di lantai. Tidak peduli sesakit apa yang kuterima, aku lebih peduli terhadap perutku yang menghantam lantai dengan keras. Aku hancur saat itu. Sepertinya Anto tidak puas-aku tidak sudi memanggilnya dengan embel-embel mas lagi-kembali dengan menjambak rambutku, membuatku berdiri pincang menghadapnya.

"Kau pikir kau mau lari ke mana heh?!"

"Si-si-sing-kirkan tanganmu, brengsek!"

"Sialan!" Satu tamparan melayang ke wajahku.

Kukira cukup baginya satu kali, tetapi iblis tidak pernah punya rasa puas. Ia menghantamku bertubi-tubi tamparan dan pukulan. Berulangkali aku jatuh terjerembab dan dipaksa berdiri. Aku tidak tahu, salah apa aku sampai dia menyiksaku seperti ini.

Aku merasa tulangku sudah ada beberapa yang patah. Darah segar mengalir dari pahaku. Ia tidak ada belas kasihan, malah masih tega melecehkanku.

Saat itu yang aku pikirkan hanya tentang bagaimana lolos darinya, saat tubuhku sudah hancur lebur begini, bagaimana pun caranya. Hingga kulihat pisau tergeletak di lemari pendek saat tubuhku di lempar ke lemari tersebut, sebuah keberuntungan. Aku meraihnya dan tanpa pikir panjang menusuk perut Anto. Cukup dalam hingga laki-laki itu jatuh dan tidak sadarkan diri.

Baru aku bernapas lega, seseorang masuk. Mbak Eli, belanjaannya terjatuh melihat aku dengan tangan berdarah dan suaminya yang bersimbah darah.

"Mi-mi-ra?"

"Enggak, Mbak. Semua salah paham."

Aku panik. Aku telah membunuh suami Mbak Eli. Mbak Eli menghambur menghampiri lelaki tak sadarkan diri itu.

"Apa yang kau lakukan, Miraaa?!"

"Mbak. Enggak."

Mbak Eli menggoyang-goyangkan tubuh suaminya sambil menangis histeris. Aku sangat takut, mengabaikan keadaan tubuhku yang tidak jauh berbeda terluka parah terseok-seok aku pergi.

"Mira, mau ke mana kau?!"

Aku terus saja berjalan pergi, tidak peduli Mbak Eli terus meneriakiku. Aku benar-benar takut. Tubuhku gemetaran, tidak tahu karena depresiku atau rasa sakit atau rasa takut telah membunuh.

Aku telah sampai di luar, dengan kemampuan tubuh yang sebentar lagi ambruk. Mencoba terus menjauh dari rumah itu. Aku menyebrang. Dengan keadaanku seperti ini, membuatku lalai tidak mengetahui ternyata sebuah mobil sedan melaju kencang sebentar lagi lewat.

Aku tertabrak, terlempar beberapa meter dari mobil itu berhenti setelah pengemudi menginjak rem paku.

Badanku yang memang sudah remuk tambah remuk. Darah mengucur deras dari kepalaku. Dan beberapa detik kemudian semuanya gelap.

***

"Aku benar-benar merasa menyesal," sesal Eli.

Keadaan wanita itu benar-benar buruk. Mata bengkak yang menghitam. Rambut yang kasar dan hampir gimbal, sebab sudah beberapa hari tidak keramas dan sisiran. Wajahnya masih sama sembabnya seperti hari-hari sebelumnya.

"Seandainya aku tahu apa yang sebenarnya terjadi, Mira tidak akan seperti ini."

Eli memukul kepalanya, berkali-kali sambil mengatakan bahwa ia bodoh. Ia yang menyebabkan adiknya sekarat di dalam sana. Ia juga yang menyebabkan, Mira kehilangan anaknya.

"Aku benar-benar Kakak yang tidak berguna, akh ... lebih baik aku mati saja!"

Saat Eli hendak kembali memukul kepalanya, sebuah tangan mencegahnya. Tidak jauh berbeda dengan Eli. Pria itu sama buruknya. Namun, setidaknya ia masih memiliki sedikit akal sehat.

"Hentikan. Itu tidak akan mengembalikan keadaan."

Eli kembali menangis meraung-raung, ia tidak peduli dengan air matanya yang telah habis. Ia sangat menyesal. Seharusnya saat itu ia memeluk Mira, menenangkan perempuan malang itu, bukan malah meneriakinya.

"Mira, masih ada ampunankah untuk kakakmu ini?"

"Mbak Eli. Sudah."

"Ris, maafkan aku. Aku yang membuat Mira seperti itu."

Selanjutnya Eli hanya menangis dalam diam, bibir pucatnya bergetar menahan isak. Harris sendiri tidak mengerti keadaan perasaannya saat ini. Begitu tiba-tiba dan sangat buruk. Seandainya. Ia juga sudah sering menggunakan kata itu. Namun, sejauh ini tak ada perubahan yang terjadi, tidak ada yang bisa diulang. Maka, ia memilih untuk berhenti menggunakan kata itu.

Banyak kejutan yang ia terima akhir-akhir ini. Dimulai dari fakta bahwa mantan istrinya mengandung anaknya, Mira yang ternyata tidak pernah selingkuh, dan ia kehilangan anaknya yang bahkan baru ia temui dan itu pun dalam keadaan tidak bernyawa.

Ia tidak akan sanggup lagi menerima kejutan yang lebih buruk. Ia berdoa pada sang Esa, yang satu ini jangan dia ambil. Ia tidak akan sanggup. Tidak akan pernah sanggup.

Teringat sesuatu, ia berdeham sebelum mengucapkan informasi itu.

"Mas Anto sudah siuman, Mbak Eli tidak ingin menjenguk?"

Eli memicingkan mata dan mendesis, "aku lebih ingin mengetahui dia mati ketimbang dia hidup."

"Ta-tapi-"

"Kalau aku ke sana, aku hanya akan membunuhnya."

"Baiklah."

***

Perihal harapan. Hal itu akan selalu ada, mengenai terwujud atau tidak, hanya sang pencipta yang tahu. Semua orang berhak berharap, beroda sebanyak-banyaknya agar harapan itu jadi nyata. Banyak yang kecewa tetapi tidak sedikit yang merasa puas.

Hidup dan jalannya hidup tidak tertebak. Siapa kita yang seolah tahu, apa yang akan terjadi? Begitu pun yang terjadi di ruangan itu.

Harris rasa ia sudah banyak berdoa agar Tuhan mau menyelamatkan Mira, tetapi kini wanita yang amat ia cintai itu telah terbujur kaku.

"Tidak mungkin! Kalian pasti bohong. Kumohon periksa kembali dia, pasti ada kesalahan."

Teriakkan Harris memenuhi ruangan, orang tua Mira juga tak kuasa menangis histeris mendengar fakta bahwa anak mereka lebih dulu pergi dibandingkan mereka. Sedangkan Eli, sudah tak mampu lagi menahan tubuhnya terduduk lemas di lantai dengan kegamangan dan air mata menderu deras.

Perihal hidup dan mati siapa yang tahu?

T a m a t

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top