9. Sembilan
Cinta mengerjapkan kedua matanya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Salah satu tangannya segera menutup mulutnya ketika menguap. Ia pun segera terbangun dari tidurnya. Aroma parfum favoritnya mulai menyeruak di hidungnya. Aroma wangi parfum lelaki tercintanya, Raka. Cinta yakin jika Raka yang memindahkan dirinya ke kamar. Ia pun teringat saat tertidur di paha Raka yang sedang melanjutkan pekerjaannya.
Cinta tersenyum mengingat dirinya yang sangat konyol tadi pagi. Ternyata benar adanya, jika cinta itu tak ada logika. Logikanya benar-benar hilang ketika ia mencintai seseorang seperti Raka. Dengan mudahnya dirinya menjadi labil dan lemah di hadapan Raka. Air matanya pun semakin mudah menetes seiring perasaannya yang semakin menguat kepada Raka.
***
Cinta terhuyung saat Raka menarik tangannya dengan cepat dan kuat hingga terjatuh ke dalam dekapannya. Tangis Cinta pun pecah. Raka memeluk Cinta dengan erat. Ia mengusap rambut Cinta dengan penuh sayang.
“Kenapa kamu nggak pernah cerita sama aku, Ka? Kenapa?!” tanya Cinta di sela isak tangisnya.
Raka mengelus-elus rambut Cinta. Sesekali ia bergantian mengusap punggungnya. Kemudian menyeka air mata Cinta.
“Cerita soal Tita?” tanya Raka sambil tersenyum.
Cinta mengangguk.
“Nggak penting cerita soal Tita,” lanjutnya kembali yang membuat Cinta shocked.
“Kamu bilang nggak penting? Terus kamu anggap dia siapa? Dan aku?! Kamu benar-benar keterlaluan Raka! Bisa-bisanya kamu menutupi soal Tita dari aku!” pekik Cinta kesal.
Raka tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Apa yang lucu?!” pekik Cinta geram.
“Kalau aku cerita soal Tita, kamu masih mau sama aku, hmmm?” tanya Raka kembali.
Cinta terkesiap. Ia menatap Raka dengan tajam. Entah apa yang ada dalam otak lelaki tampannya saat ini.
“Mungkin.”
Raka terkekeh, “Ibunya Tita meninggal saat melahirkan. Tita dibesarkan oleh mamaku.”
“Aku sudah mendengar itu. Dan ternyata kamu adalah Ayah Tita. Kamu juga yang sudah menelantarkan Tita selama ini,” tutur Cinta.
Raka tertawa keras. Membuat kedua alis Cinta terangkat. Ia bingung melihat reaksi lelakinya. Raka duduk kembali di sofa, kemudian menarik tangan Cinta hingga terjatuh di atas pangkuannya. Kedua tangannya memeluk pinggang Cinta dengan posesif.
“Kak Keiza cerita apa saja sama kamu soal Tita? Kak Keiza kasih tahu kamu juga nggak siapa nama Ayah Tita?”
Cinta menggeleng. Raka kemudian menarik hidung mancung Cinta dengan gemas. Cinta pun mengerang kesakitan. Sedangkan Raka terkekeh sebelum mencium hidung mancung Cinta.
“Aku memang Ayah Tita. Ayah angkat Tita lebih tepatnya. Tita itu anak abang aku, Bang Zayn. Ayah Tita itu selalu sibuk dengan pekerjaannya. Dia sengaja menyibukkan dirinya untuk bisa melupakan kematian istrinya. Dan sedari kecil, Tita memanggilku dengan sebutan Papa. Karena Tita lebih sering bertemu denganku dibandingkan dengan Ayahnya. Saat dia besar, aku memintanya memanggilku ‘Appa’. Tita tahu, jika aku adalah om-nya, adik dari ayahnya. Tapi dia tetap memangilku dengan sebutan itu,” jelas Raka.
“Ada yang mau kamu tanyakan lagi, Sayang?” tanyanya Raka kembali.
“Memangnya Ayah Tita kerja apa?”
Raka tersenyum. Kekasihnya Cinta pasti akan terkejut jika mengetahui siapa ayah Tita. Ia semakin mengeratkan tangannya di pinggang Cinta. Cinta yang sudah merasa nyaman dengan perlakuan lembut Raka, perlahan mengalungkan kedua tangannya di leher jenjang kekasihnya.
“Ayah Tita seorang polisi. Dia juga salah satu anggota Densus 88,” cerita Raka.
Cinta terkejut mendengarnya. Ia menelan salivanya dengan susah payah. Raka menahan tawanya. Ia sangat gemas melihat ekspresi kekasihnya itu.
Dalam hati Cinta membatin, “Aigoo. Bang Zayn? Densus 88? Oh my God! Kapten Zaynandra, leader Densus 88. Damn it!”
“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Raka.
Cinta menggeleng, “Nggak kenapa-kenapa, Ayah Tita keren.”
Raka mengerutkan dahinya. Matanya kembali menatap kekasihnya dengan tajam.
“Oh, kamu mau sama Ayahnya Tita? Mau gitu sama yang segelnya sudah kebuka?!”
Cinta tertawa keras, lantas memeluk Raka. Ia membenamkan wajahnya di antara leher dan pundak Raka.
“Heh! Apanya yang lucu?!” tanya Raka dengan nada kesal.
Tawa Cinta pun terhenti. Ia menatap wajah tampan Raka lekat-lekat. Tangan kanannya terulur membelai wajah tampan kekasihnya, Raka.
“Mata kamu yang tajam ini sudah membuatku terhipnotis saat kita pertama kali bertemu,” ucap Cinta sambil menyentuh bulu mata Raka yang lebih lentik dari bulu matanya.
“Bibir kamu ini sudah membiusku, saat kamu mengambil ciuman pertama dariku. Membuat detak jantungku berdegup tak normal,” lanjut Cinta sembari menyentuh bibir tipis kekasihnya.
Raka terdiam. Ia bergeming menikmati sentuhan lembut dari tangan wanita tercintanya. Kedua mata tajamnya menatap Cinta dengan lekat. Tangan kanan Cinta perlahan turun ke dada bidang Raka. Darah Raka pun berdesir. Sentuhan lembut Cinta membuat bagian sensitifnya menegang hebat.
“Hati kamu yang tulus, membuat perasaanku luluh lantak seketika. Cara kamu mencintaiku, membuatku selalu nyaman saat kita bersama,” sambung Cinta kembali.
Raka masih terdiam. Ia menatap kekasihnya semakin dalam. Kedua matanya terlihat sayu. Kedua sisi bibir Cinta tersungging ke atas.
“Kamu sudah berhasil membuatku benar-benar jatuh cinta sama kamu, Raka. Aku jatuh cinta dengan semua yang ada di dalam diri kamu,” tutur Cinta.
“I love you, Rakanya Cinta. I miss you so much more,” pungkas Cinta.
Dengan segera Cinta memeluk Raka dengan erat. Raka pun membalas pelukan kekasihnya tak kalah erat. Ia tersenyum bahagia. Kerja kerasnya selama ini untuk meluluhkan hati Cinta telah berbuah manis.
“I love you too Cintanya Raka. And I miss you so damn.”
Cinta tersenyum mendengar balasan dari Raka. Raka merenggangkan pelukannya. Ia menatap wanita tercintanya dengan tatapan lekat meneduhkan. Mereka berdua saling beradu pandang. Kedua tangan Cinta masih mengalung manis di leher jenjang Raka. Hembusan napas Raka menerpa wajah cantik Cinta. Detak jantung keduanya mulai berdetak tak normal.
Entah siapa yang memulai. Bibir mereka saling bertaut satu sama lain. Cinta mengelus tengkuk Raka dengan lembut. Tangan Raka mengusap punggung Cinta dengan lembut. Darah Cinta berdesir. Gelenjar aneh mulai menjalar di sekujur tubuh keduanya. Cinta menarik dan menekan tengkuk Raka perlahan, mengijinkan Raka untuk menciumnya lebih dalam lagi. Suara decakan dari pagutan bibir mereka mulai terdengar. Cinta mendesah saat Raka mengecup lehernya berkali-kali. Raka kembali mencium bibir Cinta untuk meredam desahannya.
Cinta pun kembali mendesah perlahan, ketika tangan Raka mulai menjelajahi tubuhnya. Ia semakin dibuat melayang saat tangan Raka mulai menelusup ke dalam blouse-nya. Raka mengusap punggung Cinta kemudian mengelus perut datarnya dengan lembut. Perlahan, Cinta pun mulai tersadar. Dengan segera ia menahan tangan Raka yang mengelus perutnya. Kemudian melepas ciuman panas mereka saat itu juga.
Keduanya saling beradu pandang. Napas mereka tersengal-sengal. Oksigen seakan habis di sekitar. Raka membelai wajah Cinta dengan lembut.
“Maafkan aku, Sayang,” ucap Raka.
Cinta mengangguk. Raka mengecup bibir Cinta dengan singkat.
“Hah! Kamu harus hati - hati denganku, Ta. Aku selalu lupa jika sudah mulai menciummu,” lanjut Raka yang membuat Cinta terkekeh.
“Lakukan apa saja kalau sampai aku menyerang kamu seperti tadi. Oke?! Kamu harus bisa menjaga diri kamu sendiri. Meskipun ada aku di samping kamu.”
Cinta mengangguk. Ia segera turun dari pangkuan Raka, lantas kembali duduk di samping Raka.
“Sayang, lapar,” rengek Cinta.
Raka terkekeh sambil mengacak-acak rambut kekasihnya, “Habis lembur, Bu?” ledek Raka.
Cinta mendengus kesal.
“Aku belum sarapan tadi pagi.” Cinta segera membungkam mulutnya rapat-rapat dengan salah satu tangannya.
Cinta yakin Raka akan murka kali ini. Raka langsung menatap kekasihnya dengan tajam.
“Cinta!!!” pekik Raka geram.
Cinta segera berdiri untuk menghindari kekasihnya yang mulai tersulut emosi. Namun Raka langsung menahan tangan Cinta, dan menariknya hingga terhuyung jatuh di sofa. Ia menggelitiki Cinta tanpa ampun.
Raka akhirnya memesan makanan untuk sarapan yang sekaligus sebagai makan siang kekasihnya, Cinta. Sambil menunggu makanan datang, ia menceritakan kegiatannya selama tiga hari kemarin. Bagaimana susahnya mencari signal untuk menghubungi Cinta di perbatasan Papua. Ia pun berjanji tak akan menghilang lagi seperti beberapa hari kemarin.
***
Cinta beranjak turun dari ranjang king size Raka. Ia mengucir rambutnya sembarangan dengan gelang karet yang melingkar di tangan kanannya, lantas melangkahkan kakinya keluar kamar. Suasananya sepi dan sunyi. Ruang tengah yang sempat berantakan sudah terlihat rapi saat ini. Ia pun melangkahkan kakinya menghampiri ruang kerja Raka.
“Sayang...,” panggil Cinta.
“Hei Sayang, sudah bangun?” sapa Raka saat Cinta membuka pintu ruang kerjanya.
Cinta tersenyum membalas senyuman manis Raka. Raka terlihat berbeda dengan kaca mata minus yang bertengger manis di hidung mancungnya yang menantang. Dan ini adalah pemandangan baru untuk Cinta. Biasanya Cinta hanya melihat Raka menggunakan kaca mata hitam saja. Ketampanannya tak pernah berkurang sedikitpun.
Cinta berjalan santai menghampiri lelaki tercintanya. Ia merangkul Raka dari samping sembari melihat benda berlayar flat yang berada di hadapannya. Sebuah surat permohonan penangguhan penahanan dan permintaan rehabilitasi.
“Belum selesai ya?” tanya Cinta yang dibalas anggukan kepala oleh Raka.
“Klien baru. Artis muda yang baru ketangkap karena kasus narkoba,” cerita Raka.
“Aku mau pulang, Ka,” ujar Cinta yang membuat Raka menoleh menatapnya.
“Nggak mau mandi dulu di sini? Nanti aku antar pulang,” sahut Raka.
“Nanti saja di kos. Aku mau menjenguk Bunda dulu, sekalian berangkat kerja nanti malam,” cerita Cinta.
“Ya sudah, aku mandi dulu ya. Habis itu aku antar kamu ke kos terus ke rumah sakit. Nanti malam, aku nggak bisa menemani kamu bekerja. Nggak kenapa-kenapa kan, Sayang?” ujar Raka.
Cinta tersenyum menanggapinya, lantas mengangguk. Sejak menjadi kekasih yang sesungguhnya, Raka selalu menemani Cinta bekerja di club. Ia tak ingin sesuatu yang buruk menimpa wanita tercintanya.
“Tapi nanti kalau urusanku sudah selesai, aku usahakan untuk menjemput kamu,” imbuh Raka yang membuat Cinta tersenyum senang.
“Terima kasih, Sayang,” ucap Cinta kemudian mengecup pipi Raka dengan singkat.
Raka membalasnya dengan mengecup kening Cinta. Kemudian menggandeng tangan Cinta untuk keluar dari ruang kerjanya sesaat setelah mematikan komputernya.
Kedua jemari tangan Cinta sangat lincah menyentuh layar iPad yang dipegangnya. Mencoba mengetik beberapa laporan yang harus diselesaikannya untuk segera dikirim kepada atasannya. Cinta melirik jam tangannya, pukul empat sore. Wangi parfum favoritnya mulai tercium jelas di hidungnya. Ia mendongakkan kepalanya saat Raka membuka pintu kamarnya.
Cinta kembali terpukau melihat kekasih tampannya. Badan tinggi tegap itu telah dibalut dengan kemeja slim fit berwarna abu-abu tua dengan dasi berwarna hitam polos yang mengalung di kerah kemejanya. Serta celana slim fit berwarna hitam, yang membuat Raka tampak semakin sempurna di mata Cinta. Raka berjalan menghampiri Cinta sambil merapikan dasinya. Cinta pun meletakkan iPad-nya, lantas segera beranjak menghampiri Raka. Kedua tangannya mulai membantu Raka untuk merapikan dasi.
“Ke kantor lagi?” tanya Cinta saat merapikan dasi Raka.
Cinta melirik Raka sekilas. Raka mengangguk menjawab pertanyaan Cinta. Ia merengkuh pinggang Cinta untuk menghilangkan jarak di antara mereka. Diciumnya kening Cinta sesaat setelah selesai merapikan dasinya.
“Terima kasih, Sayang. Berasa sudah mempunya istri hari ini,” ucap Raka senang.
Cinta tersenyum. Raka mengambil jaket kulit hitamnya di atas sofa, lantas segera memakainya. Sedangkan Cinta tengah sibuk memasukkan iPad dan smartphone-nya ke dalam tas, kemudian segera memakai blazernya.
“Yuk!” ajak Raka kepada kekasihnya.
Raka menggandeng tangan Cinta ketika keluar dari apartemennya. Sepanjang perjalanan menuju basement tempat parkir, Raka terus menggandeng tangan kekasihnya itu dengan erat. Cinta tersenyum menatap Raka dari samping. Inilah cara Raka memperlakukan dirinya dengan sangat hangatnya.
---
Raka kembali menggandeng erat tangan Cinta ketika memasuki ruang perawatan bunda. Membuat Cinta merasa sangat beruntung memiliki Raka di kala dirinya merasa sendiri. Raka segera mencium punggung tangan bunda yang terbebas dari infus. Cinta pun melakukan hal yang sama. Raka menatap Cinta sebelum duduk di kursi yang berada di samping ranjang bunda. Sedangkan Cinta memilih berdiri di samping Raka.
“Assalamualaikum, Bunda. Ini Raka, Bund. Maafkan Raka ya, Bunda. Raka baru sempat menjenguk Bunda hari ini,” ucap Raka.
Cinta tersenyum mendengar ucapan kekasihnya, Raka. Mereka berdua selalu mengajak bunda untuk mengobrol. Bercerita apa pun kepada bunda. Menurut dokter, suara dari orang-orang terdekat bisa membantu pemulihan kondisi bunda.
“Maafkan Raka, Bunda. Hari ini Raka sudah membuat Cinta bersedih dan menangis,” lanjut Raka seraya melirik kekasihnya sekilas.
“Bunda tahu, Putri Bunda sudah jatuh cinta sama Raka,” cerita Raka yang membuat Cinta tersenyum mendengar ocehan sepihaknya.
“Doakan Raka ya, Bunda! Semoga nggak lama lagi Cinta mau menerima pinangan Raka untuk menjadi sahabat hidup Raka.” Raka memohon meminta doa dari ibunda Cinta.
Cinta terdiam. Kedua matanya fokus menatap jemari tangan bundanya yang bergerak dalam hitungan detik. Membuatnya tersenyum simpul. Hanya itu yang bisa bunda lakukan untuk merespon ocehan monolog dari Cinta dan juga Raka.
“Bunda, Raka nggak bisa lama-lama di sini. Raka ada pekerjaan malam ini. Raka janji, Raka pasti akan menjenguk Bunda lagi setelah pekerjaan Raka selesai,” ujar Raka berpamitan.
Cinta mengusap punggung Raka dengan perlahan. Raka mencium punggung tangan bunda sebelum pergi. Ia menatap wanitanya seraya tersenyum. Kemudian mengulurkan tangan kanannya kepada Cinta. Cinta pun mencium punggung tangan Raka sebelum kekasihnya itu beranjak untuk pergi. Hal yang sangat sering dilakukan Cinta ketika keduanya berpamitan.
“Nanti hati-hati ya, Sayang, berangkatnya. Jangan lupa kasih kabar sama aku!” tutur Raka yang dibalas anggukkan oleh Cinta.
“Kamu juga hati-hati ya, Ka! Jangan mengebut! Telpon aku kalau sudah nggak sibuk,” ujar Cnta menasehati kekasihya.
Raka mengangguk setelah mendengar nasehat dari Cinta. Kemudian mencium kening Cinta seperti biasanya. Kedua mata Cinta terpejamkan bersamaan dengan bibir tipis Raka yang menempel di dahinya. Raka pun tak lupa memeluk Cinta sebelum meninggalkan ruang perawatan bunda.
---
Cinta melepas headphone yang menutupi kedua telinganya. Dentuman suara musik yang keras mulai memekakkan telinganya. Lampu yang bergemerlap menambah suasana club menjadi semakin riuh. Cinta tersenyum di saat semua orang menikmati hasil racikan musiknya. Badannya pun juga ikut bergerak mengikuti ritme musik yang dibuatnya sendiri.
Lagu dari Pink-get the party started menggema di seluruh penjuru club. Sebuah request dari seorang pelanggan club yang sedang berulang tahun. Cinta memberikan sedikit ketukan di awal. Kedua tangannya masih bergerak dengan aktif meracik perpaduan musik agar bisa dinikmati oleh semua orang yang berada di club. Ia me-mixing ketukan dengan mixer 2 channel, dan juga memadukan intro satu lagu dengan outro lagu yang lain. Sesekali Cinta memberi scratching pada salah satu turntable (piring putar). House music pun semakim menggema dengan kencang. Ia mengangkat salah satu tangannya seraya mengikuti irama musik yang telah diraciknya.
Cinta tersenyum saat DJ Nilam mulai menaiki podium. Keduanya saling berpelukan sejenak. Sebelum DJ Nilam mempersiapkan peralatan DJ-nya dan mengenakan headphone-nya. Setelah ini giliran DJ Nilam yang akan menghibur. Cinta menepuk bahu Nilam sebelum turun dari podium. Ia mengambil tasnya yang dititipkan kepada Ricky, sebelum memutuskan untuk kembali ke rumah sakit. Karena Raka masih belum bisa menjemputnya.
Cinta melangkahkan kakinya untuk keluar dari club. Ia tersentak saat seseorang mencolek pantatnya. Rahangnya mengeras seketika. Tubuhnya segera berbalik. Seorang lelaki berperawakan sama seperti Raka sudah berdiri tegap di hadapannya. Kedua matanya memerah. Bau alkohol yang tajam menyeruak tercium jelas di indera penciuman Cinta.
“Hai cantik, mau kemana? Baru juga jam segini. Kita main-main dulu yuk!” ujar lelaki itu kepada Cinta.
Cinta menatapnya dengan tatapan ingin membunuh. Tangan kanannya meraih tangan kanan lelaki yang akan membelai wajahnya. Cinta menggenggam tangan itu dengan erat. Mengunci pergelangan tangan lelaki itu dengan menggunakan tangan kirinya, dengan memutar pergelangannya. Lelaki itu memekik ketika Cinta menjatuhkan tubuhnya hingga tersungkur dan menginjak keras punggungnya. Tangan Cinta masih berada diposisi yang sama. Mengunci sambil memutar pergelangan tangan lelaki itu.
“Argh!” pekik lelaki itu.
Cinta terdiam sambil menatap tubuh lelaki yang masih diinjaknya. Mereka berdua sudah menjadi tontonan gratis kali ini.
“Jangan pernah sentuh gue!!!” pekik Cinta sembari memutar kembali pergelangan tangan lelaki itu dan menginjaknya kembali.
Dengan kasar, Cinta menghempaskan tangan lelaki itu. Kemudian menendangnya sebelum pergi.
“Minggir!” pekik Cinta saat beberapa orang yang sedang menonton kejadian itu menghalangi jalannya.
Baru beberapa langkah Cinta berjalan, seseorang menyentuh pundaknya. Dengan gerakan cepat, Cinta langsung memegang tangan itu, kemudian berbalik sambil memutar pergelangan tangannya. Suara pekikan keras pun terdengar. Cinta terbelalak karena terkejut. Ia pun segera melepaskan tangan itu.
“Ups! Maaf Om,” ucap Cinta menyesal.
Rio yang juga sahabat Ayah Cinta hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kamu ini, Ta. Kalau tangan Om patah bagaimana?” keluh Rio.
“Disambung dong Om kalau patah,” canda Cinta yang diakhiri oleh tawa keduanya.
“Ada waktu, Ta? Om mau mengajak kamu makan pagi,” Ajak Rio yang langsung disambut anggukan kepala oleh Cinta.
Sepanjang perjalanan menuju restoran Jepang kesukaan Rio, keduanya bercerita apapun secara random. Tawapun menggema di mobil Fortuner milik Rio, ketika Cinta mulai bercanda dengan kalimat-kalimat konyol yang dilontarkannya.
AKBP. Satrio Dewanto. Cinta lebih suka memanggilnya dengan sebutan kapten atau om Rio. Dia salah satu sahabat dekat ayahnya. Dia juga yang mengajari Cinta banyak hal hingga bisa masuk ke dalam satuan elit Densus 88. Selain orang tua Cinta, dia juga ikut andil untuk mewujudkan cita-cita Cinta. Rio juga mantan anggota Densus 88. Namun Cinta tak tahu pasti, dimana Rio ditugaskan saat ini. Selentingan kabar yang sempat Cinta dengar, Rio saat ini menjadi seorang Polisi tanpa seragam seperti dirinya. Diusianya yang tak lagi muda, Rio masih terlihat tampan dan gagah. Mungkin umurnya hanya berjarak beberapa tahun dari ayahnya.
Tak terasa Cinta dan Rio sudah sampai di tempat tujuan, Shabu Slim. Rio mengajak Cinta untuk duduk di meja kesukaannya. Tidak di tengah, tidak juga di ujung. Sangat pas untuk bisa mengintai siapa pun yang berada di sekitar mereka. Rio pun memesan beberapa makanan khas Jepang, terutama sushi dan shabu yang tak akan absen dari mejanya.
“Kamu mau minum apa, Ta?” tanya Rio.
“Teh Ocha saja, Om,” sahut Cinta yang disambut Rio dengan senyuman.
“Ocha dan Sake,” ulang Rio kepada seorang pelayan.
Pelayan itu pun segera berlalu setelah mengulang membacakan apa yang Rio pesan.
“Bagaimana kabar Bunda, Ta?” tanya Rio.
“Stabil, Om. Belum ada perkembangan lagi," terang Cinta.
“Maaf ya, Ta. Om belum sempat menjenguk Bunda lagi.”
“Iya Om, Cinta mengerti. Om kan sibuk abis!”
Rio terkekeh mendengar ledekan Cinta kepadanya. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
“Om mau nengajak kamu bergabung dengan tim baru Om. Unit 9. Om ingin dari tim baru itu, kamu bisa memperbaiki nama baik kamu di Densus 88. Kamu masih ingin kembali ke sana bukan?’ ujar Rio yang membuat Cinta terkejut.
Cinta menatap Rio. Kemudian tersenyum kembali diiringi gelengan kepalanya.
“Nggak, Om. Cinta nggak mau kembali lagi ke sana. Cinta sudah senang dengan pekerjaan baru Cinta saat ini. Bebas, nggak perlu pakai seragam setiap hari. Cinta juga bisa jadi apa saja, sesuai dengan apa yang Cinta intai,” jelas Cinta yang disambut anggukan kepala dari Rio.
“Kamu mau bukan bergabung dengan Unit 9?” lanjut Rio.
“Apa itu Unit 9, Om? Kasus apa yang sedang ditangani? Cinta ngapain di sana?” cerca Cinta.
Pesanan mereka berdua pun datang. Cinta dan Rio meminum-minuman yang telah dipesan. Sembari memakan shabu, Rio menjelaskan apa yang Cinta tanyakan.
“Unit 9 adalah unit khusus investigasi 9. Om yang langsung memimpin nanti sesuai dengan instruksi dari Mabes. Kamu pasti sudah mendengar jika sekarang negara kita sedang kacau karena narkoba dan terorisme,” terang Rio.
Cinta mendengarkan penjelasan Rio dengan saksama sambil mengunyah segulung sushi. Rio menunjukkan sebuah gambar dari iPad-nya kepada Cinta. Membuat Cinta terbelalak saat melihatnya. Gambar yang sama dengan tato yang melekat di tubuh ayahnya saat meninggal. Cinta pun juga sempat mendengar, pada saat istri Rio meninggal, di tubuhnya terdapat tanda gambar seperti itu.
“Itu yang akan kita tangani nanti, Ta,” lanjut Rio.
Kemudian Rio juga menulis sesuatu di iPad-nya dan menyodorkannya kepada Cinta. Triad Cobra Hitam. Cinta membacanya dalam hati, lantas kembali menatap Rio meminta penjelasan lebih lanjut. Rio segera menghapus tulisan itu sebelum melanjutkan penjelasannya.
“Mereka sudah menyebar di beberapa negara tetangga, Ta. Dan mereka menyebar dengan cepat di sini,” sambung Rio seraya memandang Cinta yang hanya terdiam mendengarkan..
“Om tahu, selama ini kamu masih mengintai keberadaan mereka. Dan mungkin kamu juga sudah mulai menyusup di salah satu kegiatan mereka. Tapi kamu nggak bisa melakukannya sendiri, Ta. Itu terlalu berbahaya. Untuk itulah, Om mau mengajak kamu bergabung dengan tim baru Om. Bagaimana?" tanya Rio
Cinta bergeming. Kasus itu adalah kasus besar. Semuanya harus dipertaruhkan, termasuk nyawa. Rio menyodorkan sebuah amplop berwarna coklat di hadapan Cinta. Sebuah surat penugasan untuk Cinta.
“Om akan memberi waktu satu minggu untuk berpikir dan mengambil keputusan. Semua tugas kamu dan juga di mana kamu akan bertugas, sudah tertera di dalam surat itu. Termasuk ID card baru kamu untuk bisa masuk ke sana,” jelas Rio.
Cinta mengangguk, tanda bahwa dirinya mengerti dengan apa yang Rio sampaikan.
“Om tunggu kabar baik dari kamu Ta,” kata Rio yang diikuti senyuman manis ala duda keren itu.
“Siap, Kapten!” balas Cinta sambil memberi hormat ala dirinya sendiri, membuat Rio gemas melihat tingkahnya dan mengacak-ngacak rambutnya.
Selesai makan dan bercerita santai, Rio pun pamit. Cinta menolak ajakan Rio untuk mengantarkannya ke rumah sakit. Ia ingin berjalan kaki kali ini. Jarak rumah sakit dan restoran tidak terlalu jauh. Menikmati suasana pagi yang gelap tanpa matahari adalah hal yang biasa bagi Cinta. Cinta melambaikan tangannya saat mobil Rio melewatinya. Diliriknya jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya, pukul tiga pagi. Suara notifikasi Line yang berbunyi membuat Cinta menghentikan langkahnya. Cinta segera membuka pesan itu dengan menyentuh sebuah icon di layar smartphone-nya.
From : Rakaku
Sayang, kamu dimana? Aku jemput kamu ya.
Replied :
Iya, Sayang. Kita ketemu di rumah sakit aja ya. Aku udah selesai.
Cinta tersenyum ketika Raka mengirimkan sebuah sticker Aliando yang memberikan sebuah kiss. Cinta pun membalasnya dengan sticker Coni yang memberikan kiss. Dering lagu bang-bang dari smartphone Cinta berbunyi sesaat setelah memasukkan smartphone-nya ke dalam tas. Detak jantung Cinta berdebar kencang saat membaca nama kontak yang tertera di layar smartphone-nya. Tangan kanannya mulai bergetar ketika menyentuh layat flat itu untuk mengangkat panggilan.
“Halo Suster Ana, ada apa?” tanya Cinta cemas.
“Bunda, Ta! Kamu cepet ke sini ya!” ujar suster Ana.
Detak jantung Cinta seakan berhenti kala mendengar ucapan suster Ana. Hingga air matanya tak terasa menetes.
“Iya, Sust."
Cinta menyeka air matanya yang menetes dengan kasar. Kedua tangannya masih bergetar. Ia sudah tak bisa lagi mengontrol detak jantungnya saat ini. Rasa takut yang teramat sangat mulai menjalar di seluruh aliran arahnya. Kedua matanya melihat ke kanan dan ke kiri sebelum menyeberang jalan. Cinta tak memedulikan suara klakson mobil yang memberinya peringatan berulang-ulang kali. Ia berlari dengan kencang menuju rumah sakit.
Brug.
Cinta meringis kesakitan. Beberapa bagian smartphone-nya yang pecah sudah berceceran karena terjatuh. Ia memegang lututnya yang ternyata sudah mengalirkan cairan merah segar di sana.
“Ah!” rintih Cinta mengerang.
Sebulir air bening menetes kembali dari sudut mata Cinta. Bukan karena lukanya, namun karena ketakutannya saat ini. Pikiran buruk tentang bundanya terlintas jelas di otaknya saat ini. Ia kembali menyeka air matanya dengan punggung tangannya seraya bangun untuk berdiri. Mengambil kepingan sim card dengan menahan nyeri di lututnya. Kemudian kembali berlari dengan tertatih menuju rumah sakit.
CintaRaka®
Repub. 25Nov17
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top