8. Delapan

Rasanya Cinta ingin melompat dari mobil Range Rover Sport milik Raka sekarang. Suasananya begitu kikuk. Cinta dan Raka sama - sama terdiam. Hanya ada suara kekehan dan juga tawa dari Keenan dan Tita yang terdengar. Mereka berdua sedang asyik dengan dunia mereka masing-masing. Membaca komik yang baru saja dibeli, bersamaan ketika membeli kertas origami di toko buku.

Kedua mata Cinta terus memandang keluar dari balik jendela kaca mobil Raka. Berbagai pertanyaan sudah mulai terangkai di dalam otaknya saat ini. Namun mulutnya enggan untuk mengeluarkan suara saat ini. Ia tahu, sedari tadi Raka tak fokus mengendarai mobilnya. Kedua mata Raka selalu mencuri-curi kesempatan untuk menatap Cinta yang hanya terdiam sejak tadi. Sama seperti Cinta, Raka juga belum mengucapkan sepatah kata pun kepada kekasihnya itu. Mereka berdua hanya akan bersuara jika Keenan dan Tita bertanya.

Cinta menurunkan kaca mobil Raka. Membiarkan udara yang sudah terkena polusi itu bebas masuk, agar rasa sesaknya mereda. Ia bergeming saat merasakan sebuah tangan mengusap rambut panjang sebahunya dengan pelan. Raka menghentikan mobilnya tepat di depan pintu gerbang rumah mewah Keiza dan Abyan. Keenan dan Tita mulai menggendong tas mereka masing-masing. Dan membawa barang yang sudah mereka beli tadi.

“Keenan, Tita, Om sama Aunty ada urusan. Jadi Om Raka mengantarnya sampai di sini saja ya! Nggak kenapa-kenapa kan?” ucap Raka.

Keenan dan Tita mengangguk.

“Appa, kapan Appa mengajak Tita jalan-jalan lagi?” tanya Tita.

Cinta menelan salivanya dengan susah payah. Hatinya semakin teriris mendengar Tita memanggil Raka dengan luwes seperti itu. Raka tersenyum.

“Nanti ya, Sayang. Kapan-kapan Appa ajak Tita jalan-jalan sama Amma Cinta. Mau?” tanya Raka yang langsung membuat Tita mengangguk senang.

Cinta terbelalak mendengarnya.

“Gosh! Apa-apaan Raka ini!” rutuk Cinta dalam hati.

“Amma Cinta,” panggil Tita sambil tersenyum menatap Cinta dengan matanya yang berbinar.

Cinta tersenyum getir mendengar Tita memanggilnya dengan sebutan seperti itu.

“Boleh tak Keenan ikut?” tanya Keenan dengan logat ala kartun dari Negri Seberang.

“Boleh, boleh, boleh.” Tita menyahutinya dengan logat yang sama.

Tawa pun terdengar. Kedua sisi bibir Cinta terangkat sedikit ke atas. Ia tak marah kepada Tita. Ia hanya marah dengan Appa-nya Tita saja. Ia melihat Pak Arya, salah satu penjaga rumah Abyan sudah berada di samping mobil Raka. Raka pun menekan sebuah tombol untuk membuka kunci pintu mobilnya. Dengan segera Keenan membuka pintu mobil itu. Keenan dan Tita turun bergantian.

“Dah Aunty, dah Om!” ucap Keenan sambil melambaikan tangan kanannya.

“Bye Appa, bye Amma,” ucap Tita yang membuat Cinta terkejut.

Raka melambaikan tangan kepada Keenan dan Tita.

“Pak Arya, tolong antar mereka sampai ke dalam ya, Pak! Saya sama Cinta ada urusan penting," titah Raka.

Pak Arya mengangguk mendengar ucapan Raka, “Baik Den,” balas pak Arya sebelum menutup pintu mobil Raka.

Setelah Pak Arya menggandeng Keenan dan Tita masuk, Raka segera menancapkan gas mobilnya kembali. Kali ini kecepatan mobilnya dinaikkan. Entah kemana Raka akan membawa Cinta pergi.

“Turunkan aku di depan!” pinta Cinta yang tak disahuti oleh Raka.

“Raka! Berhenti nggak mobilnya?! Atau aku akan melompat dari mobil ini!” gertak Cinta.

Raka tersenyum mengejek, “Memangnya bisa? Pintunya nggak akan bisa kamu buka, Sayang.”

Cinta mendengus kesal. Raka semakin menambah kecepatan mobilnya. Sepertinya hari ini jalanan sedang sepi. Cinta memejamkan matanya saat Raka mulai menambah kecepatan mobilnya. Ia benar-benar takut jika Raka sudah mengendarai mobilnya seperti saat ini. Jantungnya sudah berdetak kencang mengikuti kecepatan mobil Raka. 

---

“Sudah sampai,” ucap Raka.

Cinta membuka matanya perlahan. Ia terkejut saat melihat wajah Raka sudah berada di hadapannya dengan jarak yang super dekat. Jantungnya berdegup kencang seketika.

“Maaf, Sayang. Aku sudah nggak sabar untuk menyelesaikan urusan ini,” lanjut Raka.

Cinta terdiam membisu. Raka membukakan seatbelt yang membelit di tubuh Cinta. Setelah itu ia keluar, lantas memutari bagian depan mobilnya dan segera membukakan pintu untuk kekasihnya.

Raka mengulurkan tangannya. Cinta menatap Raka dengan amarahnya yang sudah tak bisa tertahan lagi. Tanpa meraih uluran tangan Raka, Cinta segera turun dan menutup pintu mobil dengan kasar. Ia mendengar helaan napas berat dari Raka. Dengan kasar, Raka menggandeng tangan Cinta untuk masuk ke dalam apartemennya. Sekuat tenanga Cinta mencoba melepaskan genggaman tangan Raka, namun sia-sia. Tenaganya tak sepadan dengan tenaga Raka.

Raka tak memedulikan ocehan Cinta yang memintanya untuk melepaskan genggaman tangannya. Langkah Cinta sempat terseok-seok mengikuti langkah besar Raka yang cepat. Sesampainya di depan pintu apartemen, Raka segera menekan beberapa digit angka untuk membuka pintu. Ia menggandeng Cinta untuk masuk setelah pintu terbuka, dan membawanya untuk duduk di sofa, di depan televisi.

Cinta terdiam. Ia tahu jika kekasihnya, Raka, sedang menatapnya saat ini. Ia mengangkat kepalanya dan menatap balik Raka dengan tatapan yang sama tajamnya.

“Aku ada urusan, apa yang ingin kamu bicarakan denganku?” kata Cinta sembari menatap Raka tanpa takut.

Raka menatap Cinta dengan intens. Tatapan elangnya mulai ditampakkannya. Cinta sungguh merasa terintimidasi jika Raka menatapnya setajam ini. Jantungnya semakin bekerja abnormal di dalam sana.

Raka melepaskan jaket kulit hitamnya, lantas melemparkannya ke sofa. Ia melonggarkan dasinya dengan kasar. Sesaat kemudian Raka berjongkok dan menumpukan salah satu lututnya di atas lantai, di hadapan Cinta. Matanya tak pernah lepas memandang wanita tercintanya. Kedua tangannya meraih tangan kekasihnya. Ia menggenggamnya dengan erat. Cinta menatap Raka dalam diam. Darahnya berdesir saat Raka menggenggam tangan sembari berlutut di hadapannya.

“Aku minta maaf, Sayang. Aku mohon, maafkan aku,” ucap Raka dengan tulus, “maaf, karena aku sudah membentak kamu tadi. Maaf, karena aku sudah membuatmu menangis.”

Jantung Cinta seakan merosot jatuh mendengarnya. Entah dari mana Raka tahu jika dirinya sempat menangis. Ia sama sekali tak melihat wajahnya setelah menangis di dalam taksi tadi. Ia menatap mata Raka dengan tatapan tajam menyeruak. Hanya ketulusan yang bisa dilihatnya di sana. Raka menatap wajah cantik Cinta tanpa berkedip.

“Maafkan aku, Ta. Aku nggak pernah mempunyai maksud untuk membentak kamu tadi. Aku juga nggak pernah mempunyai niat untuk mempermalukan kamu di depan teman-teman sekelasmu. Maafkan aku, Sayang,” lanjut Raka kembali.

Kedua Mata Cinta mulai merebak. Ia mengingat kembali kejadian di dalam kelas pagi tadi. Raka masih menatap kekasihnya dengan intens.

“Aku cuma ingin mendengar suara kamu aja, Ta. Aku kangen banget sama kamu. Tiga hari aku nggak bisa menghubungi kamu. Di sana tidak ada signal sama sekali. Maafkan aku, Ta,” sambung Raka.

Pandangan mata Cinta mulai mengabur karena air bening yang sudah berkumpul di kedua pelupuk matanya. Ia kembali menelan salivanya susah payah. Apa yang dirasakan Cinta ternyata Raka pun merasakannya. Cinta bergeming sembari menatap Raka.

“Maafkan aku, Ta. Aku mohon! Aku kangen banget sama kamu, Sayang.”

Air mata Cinta menetes perlahan. Semua rasa sudah bercampur aduk di dalam hatinya. Ia mencoba melepaskan genggaman tangan Raka, namun tak berhasil. Raka semakin menggenggam tangannya dengan erat.

“Jadi begitu cara kamu melepas rasa rindu kamu? Iya?!” pekik Cinta terisak.

Raka menggeleng, “Nggak Sayang, maaf. Aku kaget saja, kamu tiba-tiba marah sama aku. Aku nggak mungkin diam saja saat ada mahasiswa yang membentakku seperti itu.”

“Aku mau kita putus.”

Raka terbelalak mendengar ucapan Cinta. Rahangnya mengeras seketika. Matanya menyalang semakin tajam kepada Cinta. Rasa takut mulai mendera Cinta saat ini.

“Hah!” dengus Raka geram sembari berdiri.

“Sepertinya otak kamu sedikit geser, Sayang!” pekik Raka kesal.

Raka kemudian pergi meninggalkan Cinta sendiri. Ia berjalan menuju dapur sambil melipat lengan kemejanya satu persatu. Cinta menyeka air matanya. Ia masih terisak menahan dadanya yang masih sesak. Raka kembali berjalan menghampiri kekasihnya Cinta sembari memutar tutup botol air mineral, dan meminumnya sambil berjalan. Kemudian memberikan air minum itu kepada Cinta.

“Minum!” titah Raka.

Cinta menggeleng. Raka menghela dan mengembuskan napasnya dengan kasar. Ia menghempaskan tubuhnya di sofa, di samping Cinta. Kemudian memejamkan matanya untuk sesaat. Mencoba mengontrol emosinya kembali. Berulang kali ia mengembuskan napasnya perlahan, lantas duduk tegap dan menarik tangan Cinta untuk menghadapnya. Membuat keduanya saling beradu pandang dalam diam.

“Aku menjadikan kamu kekasihku bukan untuk main-main, Ta. Aku menjadikan kamu sebagai kekasihku karena aku ingin kamu bisa menjadi istri dan juga ibu bagi anak-anakku nanti. Dan jangan harap, aku akan mengabulkan permintaan konyol kamu tadi!” jelas Raka yang membuat air mata Cinta menetes.

“Apa yang mesti dipertahankan sekarang? Kamu sudah membohongiku selama ini. Kamu sudah menjadikanku wanita paling bodoh sekarang!” pekik Cinta.

“Aku nggak pernah membohongi kamu, Ta,” kilah Raka sembari menatap Cinta.

“Siapa Tita?” tanya Cinta.

Cinta menatap Raka dengan cemas. Raka menghela napasnya lantas mengembuskannya perlahan. Mata mereka saling beradu pandang. Jantung Cinta sudah berdetak tak beraturan.

“Anakku,” jawab Raka singkat.

Air mata Cinta menetes kembali. Jantungnya mungkin sudah merosot jatuh. Dadanya sesak seketika. Bukan jawaban itu yang ingin Cinta dengar. Cinta menyeka air matanya. Ia mencoba berdiri dengan sisa tenaganya yang masih bersisa. Ia sungguh membenci dirinya saat ini. Ia selalu lemah jika berada di hadapan Raka. Dengan cepat ia melangkahkan kakinya untuk keluar dari apartemen milik Raka.

Cinta terhuyung ketika Raka menarik tangannya dengan cepat hingga terjatuh ke dalam dekapannya. Tangis Cinta pun pecah. Raka memeluk Cinta dengan erat. Ia mengusap rambut Cinta dengan penuh sayang. Ia merasa sangat bersalah saat ini. Bukan kemauan dirinya untuk membohongi wanita tercinta. Sampai kapan pun Raka tak akan pernah melepaskan Cinta walau badai menghadangnya.

CintaRaka®

Repub. 24Nov17

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top