24. Dua puluh empat.
Author's POV.
Cinta menghela nafasnya. Kedua matanya memandang keadaan sekitar TKP meninggalnya Sultan yang sangat hiruk pikuk. Suasana sunyi telah berganti menjadi suasana yang ramai namun menyedihkan untuk semua team unit 9. Untuk kesekian kalinya, unit khusus investigasi 9 mengalami masalah kembali.
Di seberang sana, Ge dan Marshall sedang beradu mulut dengan team penyelidik. Mobil Marshall menjadi saksi bisu kematian Sultan. Oleh karena itu semua barang - barang anggota team unit 9 yang berada di dalam mobil Marshall tak dapat di ambil sama sekali untuk proses penyelidikan. Di sudut jalan, Komandan Rio terduduk lesu di trotoar jalan. Pandangan matanya kosong, sembari menerima telpon yang bisa dipastikan adalah telepon penting dari atasannya.
Pandangan mata Cinta beralih ke arah depannya. Suaminya Raka bersandar di dinding dengan wajah yang sudah pucat pasi. Tatapan matanya kosong. Entah kemana arah tatapan mata sendu suaminya itu. Air bening mulai berkumpul di kedua pelupuk mata Cinta. Ia tak pernah melihat suaminya serapuh ini. Cinta lebih memilih suaminya Raka membentaknya di bandingkan melihatnya terpuruk seperti ini. Sedari tadi Raka hanya terdiam. Sama seperti yang Komandan Rio lakukan.
"Ka... " Panggil Cinta.
Rasanya Cinta ingin memeluk erat tubuh suaminya itu. Namun dia harus menahannya karena tempatnya sungguh tidak tepat. Suaminya Raka bergeming.
"Kita pulang yuk sayang. Aku antar kamu ke klinik Audy lagi ya." Ajak Cinta pada suaminya.
Raka masih tetap saja bergeming. Cinta sungguh khawatir dengan keadaan suaminya itu.
"Kalau aku nggak memborgol tangan Sultan, dia pasti masih hidup kan Ta?" Tanya Raka lirih.
Posisi Raka tak berubah sama sekali. Tatapan matanya masih kosong. Sedari tadi dia tidak memandang istrinya yang telah menemaninya berdiri di hadapannya. Cinta tertegun.
"Kalau aku nggak memborgol tangannya, Sultan pasti bisa melawan orang yang akan membunuhnya. Iya kan Ta?" Tanya Raka kembali.
Air mata Cinta menetes. Dengan segera ia menyeka air matanya sendiri. Dia menghela nafasnya kembali sebelum menjawab pertanyaan suaminya. Raka terlihat sangat terpukul atas kematian Sultan. Hingga ia menyalahkan dirinya sendiri.
"Bagaimana jika kita tidak membawa Sultan kesini? Bagaimana jika dia tidak melarikan diri dari Raja? Bagaimana jika kamu tidak menangkap Sultan dulu? Bagaimana jika kamu tidak bergabung dengan unit investigasi 9? Apa semua ini bisa terjadi??" Cercaku.
Raka segera menatap wajah istrinya Cinta. Air mata Cinta mulai merebak kembali. Mereka saling beradu pandang saat ini.
"Ini takdir Ka. Semua memang harus terjadi. Kita boleh berencana, tapi hanya sang Semesta yang boleh menentukan." Lanjut Cinta.
"I see." Sahut Raka diiringi anggukkan lemahnya.
"Kita semua menyesalkan kematian Sultan. Tapi kamu tidak harus merasa bersalah seperti ini. Kamu tidak boleh menyalahkan diri sendiri Ka. Tugas kita sekarang adalah mencari tahu siapa yang melakukan hal ini, serta mencari kebenaran di balik semua ini." Sambung Cinta.
Raka mengangguk paham. Dia menatap istrinya dengan lekat. Pergerakan Kendra mulai membuatnya goyah kembali. Raka khawatir, jika wanita yang berada di hadapannya saat ini, akan menjadi kartu mati baginya. Istrinya Cinta adalah nafasnya saat ini.
"Kamu mau kan kembali ke klinik Audy lagi?" Tanya Cinta.
Raka mengangguk. Cinta tersenyum simpul menatap suaminya yang sudah mulai bisa berinteraksi kembali.
"Raka, Cinta, kita kembali ke markas. Tapi kita tidak diperbolehkan untuk melakukan apapun. Unit 9 mendapat skorsing hingga waktu yang belum bisa di tentukan." Ucap Komandan Rio saat menghampiri Raka dan Cinta.
"Apa??" Pekik Raka dan Cinta tak percaya.
Mereka terbelalak. Mereka menatap Komandan Rio dengan tatapan tak percaya. Cinta menghela nafas beratnya. Sedangkan Raka mengacak - acak rambutnya dengan frustasi. Komandan Rio menelan salivanya dengan susah payah. Rasanya masalah ini lebih berat dari pada masalah - masalah sebelumnya.
"Itu adalah perintah dari atasan." Sahut Komandan Rio.
Komandan Rio berlalu dari hadapan Raka dan Cinta. Raka dan Cinta kembali menghela nafas berat mereka. Mereka saling berpandangan sesaat sebelum mereka meninggalkan TKP.
---
Sudah tiga hari ini unit khusus investigasi 9 mendapatkan skorsing. Entah sampai kapan skorsing itu di cabut. Kesalahan mereka sudah sangat fatal. Membawa keluar seorang nara pidana dan membuatnya terbunuh. Namun bukan unit khusus investigasi 9 namanya, jika mereka hanya berpangku tangan saja. Mereka masih melakukan penyelidikan dengan cara mereka sendiri, walaupun ruang gerak mereka terbatas.
Kesempatan ini tentu saja di manfaatkan Cinta untuk membuat suaminya Raka beristirahat dengan total. Selama dua hari penuh, Raka terpenjara dalam rumah sakit dengan pengawasan ketat dari Cinta. Saat ini pun Cinta masih saja melarang suaminya Raka untuk beraktivitas. Walaupun suaminya itu sudah di ijinkan untuk pulang. Tentunya perlakuan Cinta ini sudah mendapatkan ijin dari Komandan Rio.
Cinta menundukkan kepalanya, saat dia bertemu dengan beberapa rekan kantornya ketika berjalan menuju markas unit 9. Dia sama sekali tak mempedulikan ocehan beberapa rekan kantornya yang mencibir unit khusus investigasi 9. Entah mengapa masalah unit 9 kali ini menyebar dengan cepat seperti virus penyakit.
"Pagi semua." Sapa Cinta pada kedua rekannya Ge dan Marshall.
"Pagi Cinta." Sapa balik Ge dan Marshall sembari tersenyum kepadanya.
Cinta meletakkan pesanan makanan Ge dan Marshall di atas meja. Sebelum ia duduk di kursi kerjanya.
"Itu pesanan kakak. Balado Green burger and espresso macchiato." Ucap Cinta.
"Thanks my baby Cinta." Sahut Marshall sembari mengambil makanan dan minuman untuknya.
"Thanks Ta." Sambung Ge.
Cinta pun mengangguk. Lantas dia menyalakan komputernya dan langsung memasukkan datanya agar sistem komputernya bisa segera terbuka.
"Itu si Raka masih ijin ya?" Tanya Ge.
"Masih." Jawab Cinta singkat sembari memainkan kedua jemarinya di atas keyboard.
"Ko lo tahu my baby Cinta?" Timpal Marshall yang duduk di sebelah.
Cinta menghela nafasnya. Jelas saja dia tahu, karena dia adalah istri Raka. Rasanya Cinta sudah ingin memberitahu kepada kedua rekannya ini tentang statusnya.
"Tahu lah. Masalah buat kak Marshall?" Protesnya. Kedua matanya menatap tajam Marshall.
Marshall tersedak. Sedangkan Ge tertawa keras.
"Shall, ikhlasin aja deh si Cinta. Dia sudah punya laki." Ujar Ge.
"Gue nggak percaya sebelum Cinta mengenalkan suaminya sama gue. Atau lo lagi ada affair sama Raka? Kenapa nggak sama gue aja sih main api nya Ta? Gue jamin, kalau main api sama gue, suami lo bakal kebakar hangus." Cinta mendengus kesal mendengar ocehan Marshall.
Ge tertawa keras. Tiba - tiba saja Marshall tersedak kembali karena sesuatu yang kasar menepuk pundaknya. Cinta terbelalak kaget menatap suaminya Raka sudah berada di belakang Marshall.
"Anjir lo Ka." Ucap Marshall sesaat setelah dia meminum minumannya.
Hidung Marshall masih terasa panas akibat dua kali tersedak. Matanya memerah. Membuat partner kerjanya Ge terkekeh. Tanpa rasa bersalah, Raka segera duduk di kursinya yang berhadapan dengan meja kerja istrinya Cinta. Raka tersenyum memandang istrinya yang sudah mulai murka dengan tatapan tajam ingin menguliti dirinya.
"Lo sudah sembuh bro?" Tanya Ge.
Raka mengangguk. Lantas dia pun menyalakan komputer di hadapannya yang sudah tiga hari ini tak tersentuh sama sekali.
"Hei Ka, lo nggak lagi bikin rumah tangga Cinta berantakan bukan?" Tanya Marshall.
Marshall sangat ingin mengetahui hubungan dekat Cinta dan Raka selama ini. Dia pun sangat tak rela, jika Cinta lebih memilih Raka di bandingkan dirinya. Raka terkekeh. Dia melanjutkan kegiatannya dengan menghiraukan pertanyaan Marshall yang sangat konyol itu. Bagaimana mungkin Raka menghancurkan rumah tangganya sendiri.
"Sue lo Ka!! Gue tanya nih. Atau jangan - jangan lo nggak tahu kalau Cinta, gebetan gue sudah punya suami?" Cerca Marshall kembali.
Ge menggeleng - gelengkan kepalanya menatap sahabat gilanya sedang meluapkan rasa kepo akutnya. Raka tertawa. Membuat istrinya menatapnya semakin tajam. Dia pun terdiam saat melihat tatapan tajam istrinya.
"Lo kali yang nggak tahu siapa suaminya Cinta." Seru Raka.
Cinta memandang suaminya dengan lekat. Jantungnya berdegup dengan kencang saat ini. Mungkinkah Raka akan mengatakan siapa dirinya kepada kedua kakak seniornya? Bukankah Raka yang memintanya untuk tak membongkar status pernikahan mereka demi keselamatannya?
"Emangnya lo sudah kenal sama suaminya Cinta?" Tanya Ge balik.
Raka mengangguk. Cinta menghela nafasnya. Dia meminum air mineral dari botol minum kesayangannya. Tenggorokannya benar - benar kering saat ini.
"Siapa suaminya Cinta?" Desak Marshall.
Raka tersenyum kepada Ge dan Marshall. Lantas dia berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Marshall. Marshall mengerutkan dahinya. Ia bingung melihat Raka.
"Sini salaman dulu. Mau tahu nggak siapa suaminya Cinta?" Ucap Raka.
Dengan ragu, Marshall pun mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Raka. Ge dan Cinta hanya terdiam.
"Kenalin. Gue suaminya Cinta." Ujar Raka.
Semuanya terdiam membisu. Suara tawa pun menggema dalam hitungan detik. Ge dan Marshall tertawa terbahak - bahak. Cinta menghela nafasnya. Raka hanya tersenyum. Setidaknya dia sudah mengatakan apa yang seharusnya dia ungkapkan selama ini.
"Gokil lo bro!" Pekik Ge diiringi tawa membahananya.
"Kampret lo! Mana mungkin lo suaminya Cinta. Gue nggak percaya." Sahut Marshall di tengah tawa kerasnya.
Raka mengendikkan bahu. Lantas dia kembali duduk.
"It's up to you." Lanjut Raka.
Tawa pun masih jelas terdengar. Suara keras itu mereda sesaat setelah Komandan Rio dan Kapten Tyo berdiri di hadapan mereka.
"Kamu sudah sembuh Raka?" Tanya Komandan Rio.
Raka tersenyum lantas mengangguk.
"Sudah Komandan." Balas Raka.
Komandan Rio mengangguk. Dia menatap anggota teamnya satu persatu.
"Kalian semua mungkin sudah tahu, informasi penyelidikan kita selalu bocor keluar. Maka dari itu, saya ingin kita semua mencari tahu dalang dari kebocoran penyelidikan kita ini dan juga sebisa mungkin kita segera menutup kebocoran itu." Ujar Komandan Rio.
"Wait. Ini maksudnya ada musuh dalam karung gitu?" Seru Marshall.
"Jadi ada mata - mata di sekitar kita Komandan?" Tanya Ge.
Raka dan Cinta terdiam. Mereka berdua sudah mengetahui hal ini sedari lama. Namun baik Raka dan Cinta belum menemukan siapa pengkhianat itu. Komandan Rio mengangguk menjawab pertanyaan Ge dan Marshall. Duo konyol itu terbelalak kaget.
"Damn it!" Pekik Ge dan Marshall serempak.
"Bagaimana jika pelakunya bukan hanya satu?" Raka membuka suaranya.
"Rasanya sangat tidak mungkin jika hanya ada satu kebocoran." Lanjut Raka.
"Saya tidak peduli. Yang pasti kita harus bisa menemukannya. Jika itu benar, maka kita harus terus mencari dan terus berusaha agar mereka semua terhalang. Lakukan apapun untuk bisa menghentikannya." Jelas Komandan Rio.
"Mungkin kalian akan kecewa mendengarnya, tetapi saya harus memberitahu kalian semua. Kalian harus mulai berhati - hati saat ini. Saya rasa ada salah satu di antara kita yang menjadi pelakunya." Sambung Komandan Rio.
Semua terkejut. Semua orang saling memandang satu sama lain. Saling meneliti teman rekan kerja mereka yang tak mungkin menjadi seorang pengkhianat.
"Impossible." Seru Marshall.
"Bagaimana dengan Kepala Rey?" Sambung Raka.
Semua menatap Raka. Bagaimana bisa Raka mencurigai Kepala Rey Abimanyu yang tak lain adalah atasan mereka. Atasan yang sudah mengambil alih kepemimpinan unit khusus investigasi 9.
"Kedudukannya bisa dengan mudah menerima semua laporan investigasi dari unit manapun. Di tambah lagi, dia menjadi orang yang membayangi tugas kita saat ini." Lanjut Raka.
Semua nampak berpikir. Raka benar, Kepala Rey Abimanyu bisa saja menjadi seseorang yang telah dibayar oleh Kendra. Komandan Rio pun terdiam. Lantas dia menatap Kapten Tyo di sampingnya.
"Kita tidak bisa menghilangkan kemungkinan ini." Ujar Kapten Tyo.
Semua terdiam. Komandan Rio pun berlalu dari hadapan mereka setelah mendapat telepon dari Kepala Rey Abimanyu. Semua team pun kembali bekerja. Menganalisa data - data terakhir yang telah di dapat sebelum Sultan meninggal.
Berbeda dengan Cinta. Rasanya otaknya sudah tidak bisa berpikir jernih saat ini. Otaknya serasa sudah penuh dengan segala informasi yang masih abu - abu. Dengan cepat, Cinta membereskan meja kerjanya dan menutup sistem di komputernya. Lantas dia segera beranjak dan menyampirkan tas selempangnya di bahu kanannya.
"Kamu mau kemana Ta?" Tanya Raka.
Cinta menghentikan langkahnya. Semua mata rekan kerjanya menatapnya.
"Keluar bentar." Jawab Cinta singkat.
"Mau aku antar beib?" Tanya Marshall.
"Nggak usah!" Balas Cinta ketus sembari meninggalkan ruangan.
Ge pun tertawa. Marshall mengerucutkan bibirnya. Kapten Tyo menggeleng - gelengkan kepalanya. Raka mulai beranjak dari tempat duduknya.
"Mau kemana lo? Mau nyusul Cintanya gue?" Cerca Marshall.
"Ke toilet. Mau ikut?" Balas Raka.
Tawa pun menggema di seluruh penjuru ruangan saat Raka mulai melangkah pergi meninggalkan ruangan.
Raka berlari mengejar istrinya. Dia segera mencekal tangan istrinya Cinta yang sedang membuka pintu mobil Audy RS6 Avant berwarna hitam milik istrinya. Cinta menatapnya kesal.
"Biar aku yang bawa." Pinta Raka.
"Ini mobil aku. Jadi aku yang bawa. Minggir!" Balas Cinta sebal.
Raka terkekeh mendengar ucapan istrinya yang sedang kesal.
"Okay. Aku ikut. Kan aku yang beli mobil ini." Timpal Raka sembari meledeknya.
Cinta mendengus kesal. Lantas dia segera masuk ke mobilnya. Raka pun memutari bagian depan mobil mewah yang sengaja dia belikan untuk istri tercintanya dua minggu yang lalu. Raka tahu, istrinya saat ini sedang kesal padanya. Karena dia tak mengacuhkan nasehat istrinya untuk beristirahat hari ini.
"Kita mau kemana sayang?" Tanya Raka sembari memasang seatbelt di tubuhnya.
"Ke suatu tempat." Jawab Cinta sambil melajukan mobilnya keluar dari basement parkir.
"Iya. Ke suatu tempatnya itu kemana sayangku??" Desak Raka.
"Nggak enakkan dapat jawaban abstrak kayak gitu??" Balas Cinta.
Raka menghela nafasnya. Rupanya istri cantiknya itu sedang membalas tingkah lakunya yang sering menjawab pertanyaan dengan jawaban yang serupa.
"Double shit!" Raka mengumpat dalam hati.
Dia pun memilih diam. Istrinya benar - benar sedang murka sekarang. Dia tak ingin menambah kesal istrinya apalagi berujung pada keributan nantinya.
---
"Kirain mau kemana." Seru Raka sesaat setelah dia turun dari mobil istrinya.
Cinta tak menghiraukan ucapan suaminya. Dia berjalan ke belakang, lantas membuka bagasi mobilnya untuk mengambil tas ranselnya. Setelah menggendong tas ranselnya, dia segera masuk ke tempat yang dia tuju. Lapangan Tembak.
Raka mengikuti langkah istrinya. Dia tersenyum menatap punggung istrinya dari belakang. Dia harus segera menghilangkan rasa kesal istrinya saat ini juga.
Raka memperhatikan istrinya yang sedang mempersiapkan senjata yang akan di pakai untuk berlatih. Raka terduduk di salah satu kursi yang tak jauh dari tempat istrinya berlatih tembak. Mata tajamnya menatap gerak - gerik istrinya tanpa berkedip.
Dengan lihai, Cinta melepas magazine dari pistol otomatisnya. Lantas dia mengisi magazine tersebut dengan beberapa butir peluru. Dia melirik ke arah suaminya Raka yang sedang duduk manis menatapnya. Cinta mengalihkan pandangannya saat suaminya Raka tersenyum manis padanya. Dia sungguh kesal karena suaminya tak mengacuhkan nasehatnya pagi tadi.
Setelah magazine terisi penuh oleh beberapa butir peluru, Cinta memasangnya kembali di pistol semi otomatisnya. Lantas dia mengenakan kacamata, penutup telinga yang mirip seperti headset untuk melindungi dirinya saat berlatih. Setelah semuanya siap, Cinta melangkahkan kakinya ke arah shooting range. Dia menghela nafasnya sebelum dia menembak.
Cinta mulai menarik pengokang pistolnya. Lantas dia memposisikan dirinya dengan tegap dan mengangkat pistolnya sejajar dengan bahunya. Moncong pistolnya sudah terarah di target tembakan. Jari telunjuk kanannya sudah siap menarik pelatuk pistolnya. Matanya menatap tajam ke arah target tembakan.
DOR.
"Damn it!" Umpat Cinta kesal saat pelurunya melenceng keluar dari arah target yang sudah dia tentukan.
Raka terkekeh melihat istrinya yang sedang mengumpat kesal. Dia yakin istrinya tak akan bisa menembak dengan tepat ke arah target sasaran. Keadaan istrinya yang sedang kesal saat ini, membuat konsentrasi istrinya tak fokus pada satu titik. Mantan seorang sniper pun bisa kehilangan jati dirinya saat dia kehilangan fokusnya.
"Oh my God. Jadi begitu tembakannya mantan sniper? So embarrassing!" Ledek Raka.
"Shut up!" Pekik Cinta.
Cinta mendengus kesal. Lantas dia kembali ke posisinya untuk menembak. Raka terkekeh. Kemudian dia mengambil sebuah pistol di kotak penyimpanan senjata milik istrinya. Lantas dia segera mengokang pistol itu untuk mengecek keberadaan peluru di dalamnya. Sepertinya masih ada beberapa peluru di dalamnya. Raka menggeleng - gelengkan kepalanya. Istrinya sungguh ceroboh, bisa - bisa dia menyimpan pistol dengan keadaan masih berisi peluru.
Raka berjalan ke arah shooting range yang berada di samping istrinya. Lantas dia memposisikan dirinya untuk segera menembak tanpa menggunakan pengaman apapun. Jari telunjuk kanannya sudah siap menarik pelatuk saat ini juga.
"Look at this baby!" Pekik Raka kepada istrinya.
DOR.
Sebuah peluru melesat cepat dan menancap tepat di titik tengah target tembakan. Raka tersenyum lantas menatap wajah istrinya yang sudah tertekuk sempurna.
"This is sniper's shooting baby." Ucapnya.
"I can do that!" Balas Cinta memekik geram.
Raka terkekeh. Dia melepas magazine pistol itu, dan mengeluarkan beberapa butir peluru yang masih bersisa di sana. Lantas memasang kembali magazine tersebut dan menyimpan pistol itu di dalam kotaknya kembali.
DOR.
Raka tertawa. Peluru yang di tembakan oleh istrinya melenceng kembali. Cinta mendengus kesal.
"Oh shit!" Umpat Cinta geram.
Raka menghampiri istrinya. Lantas dia memegang tangan istrinya yang masing menggenggam pistol dari arah belakang. Cinta terkejut. Jantungnya berdegup kencang. Raka berdiri tegap di belakangnya. Menuntun tangan Cinta untuk mengokang kembali pistolnya. Membetulkan posisi tubuhnya. Lantas menuntunnya untuk mengangkat pistol itu ke arah target yang di tuju.
"Fokus!" Ucap Raka.
"Lihat titik tengah itu sayang." Lanjut Raka.
Cinta terdiam. Dia menoleh ke samping kiri dimana kepala suaminya berada. Wajahnya saat ini tak berjarak dengan wajah suaminya. Cinta menatap wajah Raka dengan lekat. Matanya mulai berkaca - kaca saat dia melihat bayangan wajah Ayahnya saat ini. Kejadian ini pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Saat Ayahnya pertama kali mengajarinya menembak.
Cup.
Cinta terkejut. Dia terbelalak kaget. Dia membasahi bibirnya yang baru saja di cium oleh suaminya. Raka memincingkan matanya. Dia menatap tajam istrinya.
"Just focus baby!" Perintah Raka.
Cinta mengangguk. Lantas dia kembali ke posisinya. Raka pun menuntunnya kembali. Cinta menghela nafasnya sebelum ia menarik pelatuk pistolnya.
DOR.
Cinta tersenyum saat melihat pelurunya menancap tepat di titik tengah target tembakan. Raka pun mencium pipi istrinya sekilas. Cinta terkejut.
"Good job Cintanya Raka." Ucap Raka.
Cinta tersenyum. Lantas dia melihat sekitar. Semua orang ternyata sedang memperhatikan mereka. Wajah Cinta bersemu merah karena malu. Dengan segera dia mengeluarkan sisa peluru dari pistolnya dan menyimpannya di kotak penyimpanan senjata. Setelah itu dia memasukkan kotak itu ke dalam tas ranselnya dan menyusul suaminya yang sedang duduk santai sembari meminum sebotol air mineral.
Cinta meraih sebotol air mineral yang Raka berikan padanya. Lantas dia meletakkan tas ranselnya di atas kursi dan duduk bersebelahan dengan suaminya Raka.
"Maaf. Kalau aku bikin kamu kesel hari ini. Aku cuma bosen nggak ada kerjaan. Jadi aku menyusul kamu ke kantor. Maaf ya sayang." Aku Raka.
Cinta menatap suaminya lantas dia mengangguk. Dan meminum kembali minumannya. Raka menghela nafasnya. Dia menyandarkan tubuhnya di kepala kursi. Dia tak menyangka jika istri cantiknya itu sangat marah padanya.
"Aku cuma mau kamu sembuh total dulu, sebelum kamu kerja lagi. Aku nggak mau kamu kenapa - kenapa lagi Ka." Ujar Cinta.
"Aku baik - baik saja sayang. Trust me! Aku sudah sembuh. Yang penting aku nggak melakukan yang berat - berat kan?" Sahut Raka.
Cinta mengangguk. Dia tahu suaminya tak akan betah berlama - lama beristirahat di rumah. Semoga luka tembak suaminya benar - benar sudah kering dan sembuh.
"Kita jenguk Ayah sama Bunda yuk! Mau?" Ajak Cinta pada suaminya.
Raka tersenyum lantas mengangguk.
"Kangen ya?" Tanya Raka.
Cinta mengangguk. Raka tersenyum sembari mengusap - usap pucuk kepala istrinya. Dan segera beranjak keluar dari lapangan tembak.
---
Raka menggenggam tangan istrinya dengan erat saat memasuki area pemakaman. Ia menoleh ke arah istrinya. Sedari tadi istrinya hanya terdiam, walaupun rasa kesal padanya sudah menguap dan menghilang sebelum pulang dari lapangan tembak tadi. Tangan Cinta mulai terasa dingin dan basah. Membuat Raka menjadi khawatir.
Cinta membetulkan pashmina hitamnya untuk menutupi kepalanya, sebelum ia berjongkok di hadapan pusara kedua orangtuanya. Raka pun berjongkok di sebelahnya. Ia menuntun istrinya untuk berdoa bersama untuk kedua orangtua Cinta.
"Ayah, Bunda, apa kabar?" Sapa Cinta sembari mengusap salah satu batu nisan kedua orangtuanya.
Raka terdiam. Kedua mata tajamnya menatap wajah cantik istrinya yang sangat sendu.
"Illy tahu, saat ini ayah sama bunda sedang melihat Illy dan Raka dari atas." Lanjutnya dengan menahan air mata yang akan terjatuh.
"Kabar Illy baik, selalu baik. Selama ada Raka di samping Illy, Illy akan selalu baik - baik saja. Ayah sama bunda nggak perlu khawatir." Sambungnya dengan sebulir air mata yang menetes.
Raka terhenyak mendengar ucapan istrinya. Ternyata bukan hanya dirinya yang akan selalu merasa baik - baik saja jika bersama istrinya, Cinta pun demikian. Raka pun mulai takut jika sesuatu yang buruk menimpanya suatu saat nanti. Dia tak bisa membayangkan bagaimana keadaan istrinya nanti. Pekerjaannya yang berbahaya selalu memiliki tingkat resiko buruk dengan level tinggi.
"Illy kangen sama ayah dan bunda." Ucapnya lirih sambil terisak.
"Semoga nanti malam kita bisa bertemu di mimpi Illy." Cinta berharap ditengah isakan tangisnya.
Raka mengusap punggung istrinya dengan lembut. Dan menyeka air mata istrinya yang tak kunjung mereda.
"Illy sama Raka pamit dulu ya. Assalamualaikum." Pamit Cinta.
Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir mobil, Raka dan Cinta hanya terdiam. Tangan kanan Raka masih setia menggenggam erat tangan kiri istrinya. Dia membukakan pintu mobil untuk istrinya. Lantas ia pun segera menyusul istrinya untuk masuk kedalam mobil.
"Sayang, aku tadi lihat mama." Ucap Cinta sesaat setelah suaminya duduk di kursi kemudi.
Raka mengerutkan dahinya. Mata tajamnya mulai meneliti keadaan sekitar dari balik kaca mobil istrinya.
"Mama? Mana? Kamu salah lihat kali sayang." Ujar Raka.
"Nggak Ka. Mata aku masih normal tahu. Makam papa kamu disini juga?" Raka menggeleng menjawab pertanyaan istrinya. Tangannya masih sibuk memasang seatbelt.
"Makam papa ada di makam keluarga. Nanti aku ajak kamu kesana." Sahut Raka sembari mengusap lembut rambut Cinta.
Cinta mengangguk. Lantas ia memasang seatbelt di tubuhnya. Raka pun melajukan mobil istrinya keluar dari pelataran pemakaman.
---
"Assalamualaikum." Salam Cinta saat menerima sebuah panggilan.
"Wa'alaikumsalam. Lo lagi dimana kak? Bisa ketemu nggak sekarang?" Cerca Fiza di seberang dengan tak sabar.
"Lagi on the way nih. Penting?" Tanya Cinta balik.
"Urgent. Gue tunggu di Reddish Cafe sekarang. Nggak pakai lama!" Titah Fiza. Cinta mengerucutkan mulutnya.
"Okay. See you." Ucap Cinta.
Raka menoleh sekilas ke arah istrinya.
"Siapa sayang?" Tanya Raka.
"Fiza. Dia minta ketemuan di Reddish Cafe. Kamu bisa antar aku kesana?" Raka mengangguk patuh.
"Memangnya ada apa? Kenapa nggak ketemu di kantor aja sih?" Cerca Raka.
Cinta mengendikkan bahunya pertanda tak tahu.
"Mau aku tungguin nanti?" Lanjut Raka.
"Nggak usah sayang. Kamu langsung balik ke kantor aja. Nanti aku balik ke kantor sama Fiza." Ujar Cinta.
Raka mengangguk. Lantas dia membelokkan mobil ke arah tempat tujuan istrinya. Letaknya memang tak jauh dari kantor Mabes Polri.
"Kamu hati - hati ya sayang. Jangan ngebut - ngebut!" Peringat Cinta kepada suaminya Raka.
"Siap Cintanya Raka. Kamu juga hati - hati ya! Telpon aku kalau ada apa - apa. Ok?" Cinta mengangguk mendengar ucapan suaminya.
Sebelum turun, Cinta berpamitan dengan Raka. Dia mencium punggung tangan suaminya sebelum turun dari mobil. Sedangkan Raka membalasnya dengan mencium kening istrinya. Raka menatap punggung istrinya Cinta yang mulai menjauh dari pandangannya. Dia menggelengkan kepalanya untuk menepis perasaan tak mengenakkan saat istrinya Cinta menolak untuk di tunggu. Raka pun melajukan mobilnya kembali menuju kantor.
---
Cinta mengedarkan pandangannya sesaat setelah memasuki Reddish Cafe. Fiza melambaikan tangan ketika dia melihat orang yang sedari tadi sudah di tunggunya. Cinta tersenyum sembari melangkahkan kakinya ke arah sahabatnya, Fiza. Sahabat sekaligus adik kecil baginya.
"Kamu membolos kerja lagi ya dek bro? Ketahuan sama emak Widya (AKP. Widyastoety atasan Fiza), tamatlah dirimu. What's up?" Cicit Cinta saat melihat Fiza masih mengenakan seragam kepolisian yang berbalut jaket parka berwarna reddish.
Fiza menatap lekat Cinta dalam diam. Cinta mengerutkan dahinya sembari mengambil segelas smoothies milik Fiza dan segera menyedot minuman itu hingga hampir habis. Fiza lantas mengambil sebuah map tebal dari dalam tasnya. Lantas dia meletakkan map itu di atas meja.
"What'cha doin?" Tanya Cinta.
"Aku nggak sengaja dapat file ini Kak. Harusnya aku nggak melakukan itu, mengambil data tanpa ijin. Tapi aku nggak bisa biarin kak Cinta mendengar hal ini dari orang lain. Aku pikir lebih baik kak Cinta tahu ini terlebih dahulu." Jelas Fiza.
"Serius banget sih lo dek. Ada apa sih?" Tanya Cinta penasaran.
Fiza menyodorkan map tebal berwarna hitam dengan logo kesatuan kerjanya kepada Cinta. Cinta mengambilnya perlahan. Dia terkejut saat melihat nama ayahnya tertera di atas map hitam itu. Afrizal Pradipta, S.H., M.H.
Cinta menatap Fiza dengan lekat. Seakan memberi pertanyaan kepada Fiza apa maksud semua ini.
"Bukalah kak. Dan aku harap setelah kakak membacanya, jangan pernah menyalahkan atau membenci siapapun." Lanjut Fiza.
Cinta menatap Fiza tanpa berkedip, lantas dia membuka map itu perlahan. Nafasnya tercekat seketika. Oksigen seakan habis di sekitar. Dadanya terasa sesak. Aliran darahnya membeku sesaat setelah dia mulai membaca isi map itu. Air bening mulai bergumul di kedua pelupuk matanya.
Cinta menelan salivanya dengan susah payah. Membasahi tenggorokannya yang terasa kering seketika. Air matanya mulai menetes perlahan. Kedua mata Fiza pun mulai berkaca - kaca. Dia sungguh tidak tega melihat sahabat baiknya sedih.
"Kak... " Panggil Fiza.
Cinta menyeka air matanya dengan kasar. Namun air mata itu masih saja terus mengalir. Dia terus membuka lembar demi lembar kertas yang berada di dalam map tebal itu. Dia sungguh tak percaya dengan apa yang dibacanya saat ini. Ayahnya bukan seorang kriminal. Dia tahu betul siapa ayahnya itu. Dia mencoba menyakinkan dirinya sendiri bahwa data yang dia baca itu palsu.
"Leave me alone!" Pinta Cinta lirih.
Fiza terdiam. Air matanya pun ikut menetes. Dia terus memandangi wajah sahabatnya yang telah di banjiri oleh air mata. Dia tahu sahabat baiknya itu pasti akan sangat terpuruk melihat file itu. Namun ia tak ingin jika Cinta mengetahuinya dari orang lain karena itu akan sangat menyakitkan untuk sahabat baiknya itu.
"Lo yang pergi atau gue yang pergi?" Pekik Cinta dengan kedua matanya yang masih intens membaca isi map itu.
"Gue yang pergi." Jawab Fiza.
"Kakak baik - baik ya. Aku pergi dulu." Pamit Fiza sebelum beranjak dari tempat duduknya.
Air mata Cinta mengalir deras sesaat setelah Fiza pergi. Berulang kali dia menyeka air matanya itu, namun air mata itu tak seakan tak bisa dibendung lagi. Cinta merasa sangat hancur saat ini. Dia masih belum percaya dengan apa yang di bacanya. Dia yakin ayahnya tak mungkin melakukan hal sekotor itu.
Tbc.
***
Hey semua...
Maaf ya nextnya lama.
Bukannya mau jadi PHP buat kalian, tapi sungguh author abal - abal ini sedang sibuk. Mohon di maklumi ya!
Aku nggak akan janji, kapan akan di next lagi. Sebisa mungkin aku nggak akan biarin cerita anehku ini teronggok di library kalian hingga berbulan - bulan. Ini cerita endingnya masih lamaaa bangeeet. Semoga kalian selalu sabar ya untuk menunggu cerita anehku.
"Semoga feel nya dapet." Author abal - abal berharap cemas.
"Makin lama ini cerita makin nggak jelas tahu nggak sih kak." Pekik Raka kesal. Author mendengus kesal.
"Ya kali cerita kakak ada yang nungguin. Pakai update lama lagi, di tinggal readers baru tahu rasa lo kak." Sambung Cinta.
"Berisik banget sih lo berdua. Kalau kalian udah pada bosen, pergi sana jauh - jauh." Pekik author geram.
"Etdah... si kakak malah ngamuk - ngamuk. Kita berdua itu niatnya baik, ngingetin kakak. Yakin nggak nyesel kalau kita berdua pergi??" Timpal Cinta.
"Yuk ah sayang, kita pergi. Nggak tahu terima kasih. Kita pergi juga ini cerita kelar." Sambung Raka.
"Get out here!!!" Teriak author sambil melempar botol eco 500ml ke arah Raka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top