2. Dua

Hening. Satu kata yang bisa menggambarkan suasana di dalam mobil mewah Raka. Cinta dan Raka hanya terdiam sepanjang perjalanan menuju RSJ Soeharto. Pikiran keduanya melayang-layang entah kemana. Raka kembali mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu sebelum ayah Cinta meninggal. Sedangkan Cinta terhanyut dengan perasaan yang bercampur aduk menjadi satu. Perasaan itu tak seperti rasa permen nano-nano. Tak ada rasa manis sedikit pun. Dadanya pun serasa sesak saat ini. Sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tak terjatuh.

Pandangannya lurus ke depan, menatap jalan di balik kaca mobil. Entah apa yang sudah dirasakannya kepada Raka saat ini. Dosen muda yang mampu membius semua mahasiswinya dengan ketampanannya dan juga kharismanya. Ia baru mengenalnya beberapa jam yang lalu, namun melihatnya tak mengacuhkannya seperti ini membuat hatinya merasa sakit. Perlakuan Raka yang sangat manis kemarin malam, pagi ini telah berubah drastis.

Cinta harus membuang jauh-jauh perasaan anehnya ini kepada Raka. Ia tak boleh mencintai seseorang di sekitarnya saat dirinya sedang menjalankan tugas. Helaan napas beratnya berembus. Matanya masih terfokus melihat pemandangan membosankan dari dalam mobil mewah milik Raka. Waktu seakan melambat. Perjalanan seakan menjadi sangat jauh. Raka telah membuat dunianya porak poranda seketika.

“Tolong hapuslah rasa aneh ini ya Allah. Aku mohon.”  Cinta berdoa di dalam hati.

Sebulir air matanya telah sukses menetes kembali. Dadanya benar-benar sesak. Ia seakan sulit untuk bernapas. Ia menyeka air matanya yang mulai membasahi pipi chubby-nya. Ia berharap, ini yang terakhir kalinya dirinya bersama dengan Raka. Permainan konyol ini harus segera diakhiri. Tak seharusnya ia membiarkan Raka masuk ke kehidupannya saat ini.

“Sudah sampai, Ta.” Suara berat Raka membuat Cinta tersentak.

“Iya,” jawab Cinta singkat tanpa menoleh pada Raka.

Raka segera turun dari mobilnya. Cinta terkejut saat pintu mobil telah terbuka. Raka membukakan pintu mobil untuknya. Kedua matanya memanas kembali. keduanya saling beradu pandang sesaat. Melihat Cinta seperti ini membuat Raka ingin memeluk tubuh wanita di hadapannya dengan erat. Raut wajah Raka tak bisa Cinta deskripsikan saat ini. Datar, ekspresi yang sulit untuk dibacanya.

Raka mengulurkan tangannya untuk membantu Cinta turun. Dengan ragu Cinta meraih uluran tangan Raka. Tak ada senyum yang menghiasi wajah tampan Raka detik ini. Otaknya seakan tak mampu untuk berpikir. Ia menggandeng tangan Cinta dengan erat saat memasuki RSJ Soeharto.

Cinta membiarkan tangan besar Raka mengenggam jemari mungil tangannya. Mungkin untuk yang terakhir kali. Sungguh, ia tak ingin perasaan aneh yang dirasakannya saat ini akan menjadi semakin aneh nantinya.

“Ya Allah. Rapikanlah hatiku sekarang juga!” Cinta membatin.

Langkah Cinta terhenti, sesaat setelah melihat sosok suster Ana sedang mengunci sebuah pintu ruangan. Raka pun ikut menghentikan langkahnya.

“Suster Ana,” panggil Cinta.

Wanita itu menoleh kemudian tersenyum kepada Cinta. Cinta pun tersenyum simpul membalasnya.

“Cinta,” suara lembutnya mulai terdengar.

Cinta melepas genggaman tangannya kepada Raka. Ia segera menghamburkan pelukannya kepada suster Ana. Air matanya menetes kembali. Suster Ana sudah seperti kakaknya sekarang. Dia juga menganggap Cinta seperti adiknya sendiri. Hampir satu bulan Cinta absen menjenguk bundanya karena kesibukannya. Dari suster Ana lah, Cinta mengetahui bagaimana perkembangan kondisi bundanya setiap hari.

“Bagaimana keadaan Bunda, Sust? Maaf, Cinta baru sempat datang,” ucap Cinta menyesal.

Suster Ana tersenyum kembali. Dia menyeka air mata Cinta yang sempat menetes tadi.

“Tidak apa-apa, Ta. Saya tahu kamu lagi sibuk sekarang. Bunda sudah mulai tenang, dia ada di kamarnya." Cinta bernapas lega mendengar penuturan suster Ana.

Raka hanya terdiam. Jadi ini yang terjadi setelah ayah Cinta meninggal. Cinta benar-benar wanita hebat, dia bisa menutupi hal sebesar ini dari siapa pun. Suster Ana merangkul Cinta dan berjalan menuju ruang perawatan bunda. Ia menoleh ke belakang. Pandangan matanya jatuh ke arah Raka. Raka menatap Cinta dan berjalan mengekori kedua wanita yang berjalan di depannya.

“Bunda tadi kenapa, Sust? Cinta kira Bunda sudah mulai stabil sekarang. Tapi ternyata,” ucap Cinta menggantung.

Suster Ana mengusap-usap punggung Cinta memberi ketenangan kepadanya.

“Biasa Ta, ada yang mau mengambil boneka kesayangan Bunda. Kamu tahu bukan, apa yang akan terjadi kalau boneka kesayangan Bunda kamu disentuh orang?” tutur suster Ana.

Cinta mengangguk mendengar penjelasan suster Ana. Langkah mereka pun terhenti sesaat setelah berada di depan ruang perawatan Bunda Cinta selama ini. Suster Ana membukakan pintu ruangan itu. Kemudian ia menganggukkan kepalanya. Memberi isyarat kepada Cinta untuk masuk. Cinta menoleh kembali kepada Raka yang sudah berdiri disampingnya.

“Aku tunggu kamu di sini, Ta,” ucap Raka.

Cinta mengangguk. Ia melangkahkan kakinya perlahan, mendekati sosok bundanya yang tengah duduk di tepi bangsal.

Kedua tangan bundanya memeluk sebuah boneka Doraemon berukuran sedang. Boneka yang sejatinya adalah boneka kesayangan Cinta. Matanya menatap lurus ke luar jendela. Tatapannya kosong seperti biasa. Cinta pun duduk di sampingnya. Ia menatap wajah cantik bundanya yang mulai tirus kembali. Menurut Suster Ana, akhir-akhir ini bunda sangat sulit untuk makan. Air mata Cinta menetes perlahan. Melihat sosok wanita yang telah berjuang melahirkannya dan juga merawatnya selama ini, telah menjadi mayat hidup baginya.

“Bunda, apa kabar?” Cinta memeluk bundanya dari samping.

Bundanya bergeming. Cinta menyandarkan kepalanya di pundak bundanya. Air mata yang sedari tadi tertahan, saat ini jebol seketika.

“Illy kangen banget sama Bunda. Illy kangen masak bareng Bunda lagi,” ucap Cinta sembari  terisak.

Cinta membiarkan air matanya mengalir bebas. Dadanya semakin terasa sesak.

“Bunda, cepat sembuh ya! Illy janji, Illy akan membawa Bunda pulang lagi ke rumah kita,” lanjut Cinta.

Tenggorokannya terasa tercekit sekarang. Lidahnya menjadi kelu. Hanya air mata yang masih terus mengalir membasahi wajah cantik Cinta. Air mata yang mewakili isi hatinya saat ini.

Cinta menggenggam tangan bundanya yang sedang memeluk boneka doraemon kesayangannya. Namun bunda menarik tangannya dengan cepat. Dia menatap Cinta dengan penuh amarah. Cinta terkesiap. Dalam hitungan detik, bundanya mendorong tubuhnya dengan keras.

Bruk.

Cinta meringis menahan sakit. Kepalanya sungguh terasa sakit. Bunda mendorong Cinta hingga membuatnya tersungkur dan membuat kepalanya terbentur ujung meja yang juga berfungsi sebagai lemari kecil di samping ranjang. Cinta terbelalak saat bundanya mencekik lehernya. Mata bundanya melotot tajam kepadanya. Tangannya sangat kuat mencekik leher Cinta. Air mata Cinta pun mengalir dengan deras. Ia mulai kesulitan untuk bernapas.

“Bun …, daaa...,” ucap Cinta terbata-bata.

Raka pun terkejut bukan main. Ia segera masuk ke dalam ruangan dan mencoba melepaskan tangan bunda dari leher Cinta. Sekuat tenaga Raka berusaha melepaskan tangan bunda Cinta yang semakin lama semakin kuat mencekik wanita terkasihnya. Setelah tangan bunda terlepas, Suster Ana membantu Cinta untuk berdiri. Cinta memeluk Suster Ana dengan erat.

Bunda terdiam saat Raka memeluknya dari belakang sembari mengunci tangan bunda. Raka menuntun bunda untuk duduk kembali ke ranjangnya. Cinta terdiam membeku melihat reaksi bundanya terhadap Raka. Bundanya menatap Raka dengan lekat. Sudah lama Cinta tak melihat bundanya menatap orang seperti itu. Ia saja sudah lama tak pernah ditatap bundanya dengan lekat seperti saat bundanya menatap Raka saat ini. Tangan kanan bunda terangkat. Sedangkan tangan kirinya masih memeluk boneka doraemon kesayangan anaknya, Cinta, dengan erat. Bunda membelai wajah Raka dengan perlahan.

Raka terdiam. Kedua mata tajamnya menatap bunda dengan lekat. Badannya masih membungkuk sedikit karena membantu bunda untuk duduk tadi. Air mata bunda menetes. Cinta pun menteskan air mata harunya.

“Kamu,” ucap bunda, “akhirnya kamu datang juga.”

Cinta terkejut. Matanya melebar dengan sempurna. Bunda mengeluarkan suaranya saat ini. Hanya kepada Raka. Cinta menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Raka masih terdiam. Ia bergeming seperti patung. Bunda memberikan boneka Doraemon itu kepada Raka.

“Tolong jaga anak Bunda ya! Bunda yakin, kamu pasti bisa menjaga anak Bunda dengan baik” lanjut bunda.

Air mata Cinta mengalir kembali. Ia menutup mulutnya rapat-rapat dengan tangan kanannya. Suster Ana memeluknya dengan erat. Raka mengambil boneka doraemon itu. Senyum manisnya tersungging.

“Pasti, Bunda. Raka akan menjaga anak bunda yang cantik ini dengan baik,” ucap Raka sambil memeluk boneka Doraemon yang dipegangnya.

Bunda memeluk Raka dengan erat. Kedua sisi bibirnya tersungging. Hal yang sudah lama tak pernah Cinta lihat. Entah apa yang sedang terjadi saat ini. Berbagai macam pertanyaan hinggap di otak Cinta.

Siapa Raka? Ada hubungan apa antara Raka dengan bundanya? Mengapa ia tak pernah mengenal Raka sebelumnya? Ia pun yakin, jika dirinya tak pernah mengidap amnesia sebelumnya. Rasa pusing mulai menderanya. Kebingungan pun mulai menghinggapi dirinya saat ini.

“Sekarang Bunda istirahat ya! Raka boleh membawa anak Bunda pulang?” tanya Raka meminta ijin setelah bunda melepaskan pelukannya.

Bunda mengangguk, “Terima kasih Ali,” ucap bunda.

Raka mengangguk. Ia tersenyum membalasnya. Ia tak mengerti, mengapa ibunda Cinta memanggilnya dengan panggilan itu. Ia membantu bunda untuk merebahkan tubuhnya di ranjang. Bunda masih memandang Raka dengan lekat.

“Raka pulang dulu ya, Bunda. Nanti, Raka ke sini lagi sama putri cantiknya Bunda.” Raka berpamitan.

Bunda mengangguk, kemudian tersenyum mendengar Raka berpamitan. Raka mencium punggung tangan bunda sebelum meninggalkan ruang perawatan. Hatinya sungguh merasa berbunga-bunga. Walaupun ia tak mengetahui dengan pasti siapa yang bunda maksud saat ini.

Suster Ana menuntun Cinta untuk keluar dari ruang perawatan bunda. Cinta masih terdiam. Ia semakin ingin mengetahui siapa Raka yang sesungguhnya.

---

Suasana hening mulai terasa kembali di ruangan Suster Ana. Dengan telaten Suster Ana mengobati luka di kepala Cinta yang terbentur keras oleh dorongan bunda. Cinta meringis kesakitan saat Suster Ana membersihkan lukanya dan sekaligus memberi obat di sana. Terakhir Suster Ana memberikan plester di pelipis Cinta. Luka yang berada di kepala Cinta dibiarkan begitu saja, karena Cinta menolak untuk memberikan perban di kepalanya.

Raka menatap Cinta dengan intens. Tangan kanannya masih memegang boneka Doraemon yang bunda berikan kepadanya. Ia sungguh tak tega melihat wanitanya tersakiti seperti itu. Ia tahu, jika Cinta tak hanya tersakiti dari luar, namun dari dalam pun Cinta pasti merasakan kesakitan yang luar biasa. Entah bagaimana wanita pujaannya itu selalu terlihat tegar hingga detik ini.

“Lukanya parah, Sust?” tanya Raka.

Raut wajah Raka masih datar. Senyum mautnya tak lagi menghiasi wajah tampannya. Ia sangat khawatir melihat wanitanya terluka seperti itu. Suster Ana tersenyum.

“Nggak terlalu parah sih. Nanti kalau Cinta tiba-tiba amnesia, kamu langsung bawa dia kerumah sakit ya!” seloroh Suster Ana, membuat Raka tersenyum sembari mengangguk.

Rasa sakit yang Cinta rasakan tiba-tiba saja sedikit demi sedikit menguap saat melihat senyum Raka nan manis itu. Raka pun beranjak dari tempat duduknya. Tangan kanannya terulur memberikan boneka Doraemon itu kepada Cinta.

Cinta meraihnya. Air matanya menetes kembali saat memeluk boneka doremon kesayangannya dengan erat. Hati Raka seakan teriris melihatnya. Kedua tangannya terulur, menyeka air mata Cinta perlahan. Namun air mata itu semakin deras mengalir. Raka yang semakin tak tahan dengan pemandangan yang menyayat hatinya itu, segera merengkuh tubuh wanita tercintanya dan memeluknya dengan erat.

Rasa tenang dan nyaman mulai Cinta rasakan saat ini. Raka memeluknya dengan erat. Jantungnya berdegup tak beraturan di dalam sana. Sudah lama jantungnya tak berdegup sekencang ini pada lawan jenisnya.

“Suster Ana seneng deh, akhirnya kamu punya pacar juga, Ta,” ujar suster Ana yang membuat Cinta terkejut.

Dengan gerak cepat, Cinta mendorong tubuh Raka yang sedang memeluknya. Raka pun terkejut.

“Dia bukan pacar Cinta, Sust!” protes Cinta.

Raka menatap Cinta dengan tatapan tajamnya. Kemudian tersenyum jahil kepada Cinta.

“Lupa ya tadi malam kita jadian, hah?” goda Raka.

Suster Ana terkekeh. Cinta mengerucutkan mulutnya lantas mendengus kesal.

“Idih! Kapan kita jadian? Pede banget kamu. Aku cuma memberi kamu ijin untuk mengenalku lebih dekat. Nggak lebih dari itu!” elak Cinta.

“Sama saja, Sayang. Pacaran itu mengenal seseorang yang kita cintai lebih dekat. Bukan begitu, Sust?” ungkap Raka kepada Suster Ana.

Suster Ana mengangguk kemudian tersenyum. Cinta semakin geram mendengarnya, walaupun dalam hati tak dapat memungkiri jika dirinya telah jatuh hati kepada seorang Raka Bagaskara.

“Beda!” pekik Cinta kesal.

“Sama,” timpal Raka seraya tersenyum.

Cinta mengembuskan napas beratnya. Jantungnya sudah bekerja semakin abnormal saat ini. Senyum manis Raka benar-benar membuat pertahanannya runtuh seketika. Namun ia tak boleh merasa di atas angin saat ini. Ia harus tetap waspada. Bagaimana pun Raka adalah sesosok lelaki yang masih misterius baginya.

“Beda, Raka!” teriak Cinta semakin kesal, membuat Raka terkekeh.

“Sama, Cintanya Raka. Pokoknya mulai tadi malam, kamu itu kekasihku. Tinggal disahkan saja nanti, menjadi kekasih halalku,” jelas Raka.

Suara kekehan dari Suster Ana terdengar. Membuat Raka tersenyum senang. Sedangkan Cinta memasang wajah kesalnya sembari mengumpat kesal.

“Mimpi!” seru Cinta geram.

“Dan mimpi itu akan segera aku wujudkan secepatnya,” timpal Raka tanpa ragu.

Napas Cinta tercekat. Jantungnya seakan merosot jatuh keluar dari posisinya. Lelaki ini benar-benar membuat Cinta merasa senang bukan kepalang. Ia berharap semoga Raka tidak akan menghempaskan dirinya ketika sudah membawanya terbang tinggi seperti sekarang. Mungkin Cinta munafik saat ini. Namun ia hanya tak ingin perasaannya yang belum jelas saat ini akan membuatnya sakit kembali.

“Semoga kalian langgeng ya! Ditunggu undangannya.” Ledek suster Ana.

Raka tersenyum. Sedangkan Cinta mendengus dengan kesal.

“Pasti, Sust,” jawab Raka dengan over confidence-nya.

Setelah selesai, Cinta dan Raka pun berpamitan untuk pulang. Raka menggandeng tangan Cinta kembali saat menuju tempat parkir. Suasana kembali hening saat perjalanan pulang. Raka pun memulai membuka suaranya untuk memecahkan keheningan di dalam mobilnya.

“Kita sarapan dulu ya, Ta,” ujar Raka membuyarkan lamunan Cinta.

Cinta menyahut, “Apa?”

Raka menoleh, kemudian mengacak-acak rambut Cinta.

“Awww... sakit, Ka,” rintih Cinta.

Raka terkejut. Ia lupa jika kepala wanita tercintanya sedang terluka.

“Eh, maaf Sayang. Lupa,” ucap Raka.

Cinta menatapnya dengan lekat. Rasa hangat mulai menjalar di sekujur tubuhnya saat mendengar Raka memanggilnya dengan sebutan sayang.

“Sayang-sayang, kepala Lo peyang!” timpal Cinta memasang wajah berpura-pura kesal.

Raka tertawa, “Kayaknya kepala kamu yang peyang, Sayang. Gara-gara kejedot tadi,” ujar Raka.

Cinta mendengus kesal mendengar ucapan Raka. Raka tertawa keras. Ia semakin gemas melihat wanita tercintanya kesal seperti ini.

“Kita sarapan dulu ya, Cintanya Raka. Habis sarapan, aku antar kamu pulang,” ucap Raka.

Cinta terdiam. Entah apa yang harus ia lakukan kepada lelaki yang sepertinya mulai memasuki ruang kosong di hatinya saat ini. Kedua matanya menatap Raka yang sedang fokus mengendarai mobilnya dengan lekat. Ia tak tahu bagaimana perasaannya kepada Raka saat ini.

Raka memarkirkan mobilnya di depan sebuah cafe. Cafe yang sudah biasa Cinta datangi untuk menikmati secangkir kopi kesukaannya. Grey Cafe. Kedua sisi bibirnya tersungging.

“Kamu biasa kesini, Ka?” tanya Cinta penasaran saat Raka menggandeng tangannya untuk masuk ke dalam cafe.

Raka hanya tersenyum. Belum saatnya Cinta mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.

“Aku nggak butuh senyuman kamu, Raka! Aku butuh jawaban kamu!” sungut Cinta kesal.

Raka terkekeh. Kemudian ia membawa Cinta ke sebuah meja di pojok ruangan cafe. Meja yang biasa Cinta tempati saat menikmati secangkir kopi dan juga makanan kesukaannya setiap datang ke cafe. Kedua mata Cinta menatap Raka dengan tajam. Sungguh, ia sama sekali tak pernah mengenal lelaki di hadapannya ini sebelumnya.

Siapa Raka? Bagaimana dia selalu mengetahui tempat-tempat yang sering Cinta kunjungi? Cinta pun semakin tak tahan untuk menginterogasi Raka dengan berbagai macam pertanyaan yang sudah disiapkan di dalam otaknya.

“Terpesona?” goda Raka yang membuat Cinta terperanjat.

Cinta mengerucutkan mulutnya dengan kesal untuk menutupi rasa malunya. Ia tak menyangka jika Raka mengetahui apa yang sedang dilakukannya.

“Pede!” kilah Cinta.

Raka tersenyum kembali. Senyuman maut Raka tak pernah terlihat biasa di mata Cinta. Raka benar-benar membuat Cinta terpesona tiada akhir.

“Kalau nggak pede, gantengnya bisa hilang, Sayang,” balas Raka menggoda.

Cinta mengerutkan dahinya. Lelaki tampan di hadapannya itu benar-benar membuatnya gila. Gila karena tingkah anehnya.

“Tenang saja, Ta, kamu bisa sepuasnya menikmati wajah tampanku semaumu. Cuma kamu, I'm yours, Baby,” lanjut Raka kembali.

Cinta mengembuskan napasnya sebelum menyahut, “Whatever!”

Raka terkekeh mendengarnya. Ia tak terlalu mengambil hati sikap Cinta yang masih tak acuh kepadanya. Karena hal itu memang sudah diprediksikan olehnya sebelum mendekati Cinta.

“Pagi Bos, pagi Cantik,” sapa Kevin, salah satu karyawan café yang juga sahabat baik dari Raka.

Cinta terbelalak kaget mendengar sapaan Kevin. Benarkah lelaki yang mengaku kekasihnya itu adalah pemilik cafe ini? Cinta menatap Raka tak percaya.

“Pagi Bro, espresso macchiato dan pisang bakar coklat keju,” pesan Raka.

Kevin mengangguk. Ia tak menulis pesanan Raka sama sekali. Seakan sangat hafal dengan pesanan Raka di luar kepalanya.

“Chococino and fruit pancake. Is it right, Cantik?” tawar Kevin kepada Cinta.

Cinta mengangguk sembari tersenyum.

“Apa lo bilang, Kev? Cantik?!” tanya Raka.

Kevin tersenyum. Ia tak menyangka jika panggilan khusus yang ditujukannya untuk Cinta, membuat sahabatnya menjadi cemburu buta. Bagi Kevin, Cinta seperti adik kecil mungilnya. Jika cafe sedang tak ramai, ia dan Cinta akan saling berbagi cerita.

“Maaf, Bos. Baru tahu kalau cantiknya aku ini pacarnya Lo.” Raka mengangguk mendengar pernyataan Kevin.

Raka tahu, siapa yang bisa membuat hati Kevin luluh lantak seketika. Hanya adik bungsunya yang bisa membuat Kevin mengunci hatinya hingga detik ini. Kiandra Az-Zahra Bagaskara.

“Sekarang Lo sudah tahu bukan si cantik ini punya siapa?” lanjut Raka.

Kevin tersenyum bahagia. Sedangkan Cinta mendengus kesal. Entah sejak kapan dirinya ini menjadi hak milik Raka. Walaupun ia senang mendengarnya, namun hatinya masih setengah hati menerima kehadiran Raka. Cinta menatap kedua lelaki tampan itu bergantian. Raka tersenyum, saat Kevin menepuk bahunya pertanda mengerti.

“Kak Kev tahu saja apa yang mau aku pesan,” kata Cinta yang membuat Kevin tersenyum kembali.

“Tahulah. Tiap datang ke sini cuma itu pesanan kamu,” sahut Kevin yang membuat Cinta terkekeh mendengar ucapannya.

“Oke! Tunggu sebentar ya! Aku buatkan dulu pesanan kalian,” lanjut Kevin.

Cinta dan Raka mengangguk sembari tersenyum. Raka menatap Cinta dengan sangat intens. Kedua mata mereka saling beradu pandang. Mereka saling memandang dalam diam. Banyak sekali yang ingin Cinta tanyakan kepada lelaki super tampan di hadapannya itu. Raka Bagaskara.

“Who are you?” tanya Cinta kepada Raka.

Raka tersenyum sebelum menjawab, “Bukannya kamu sudah tahu, Ta. Aku pacar kamu sekarang, Raka Bagaskara.”

Cinta menggeleng. Bukan hal itu yang dimaksudkan olehnya.

“Bukan itu, Ka. Siapa kamu sebenarnya? Ada hubungan apa kamu sama Bunda? Siapa Ali? Dan Bos? Can you explain it to me, please?” pinta Cinta dan disambut kekehan dari Raka.

“It's not funny, Ka. Please, tell me who you are!” lanjut Cinta.

“Sabar dong, Sayang. Satu-satu ya!” ucap Raka.

Cinta menatap Raka dengan tajam. Sesaat kemudian pesanan mereka pun datang.

“Thanks Kev,” ucap Raka.

“You're welcome, Boss. Enjoy it!” balas Kevin.

Cinta tersenyum membalas senyuman Kevin kepadanya. Raka mulai menyesap espresso macchiato miliknya. Setelah itu, ia memakan pisang bakar yang dipesannya. Cinta mengembuskan napasnya sebelum meminum chococino kesukaannya. Kedua matanya masih memandang lelaki yang sedang menikmati sarapan paginya di hadapannya. Raka menghentikan aktivitasnya. Ia melemparkan senyum manisnya kepada Cinta.

“Aku seorang pengacara. Menjadi dosen, hanyalah sekedar sambilan untukku. Itu pun karena Pak Hotman memintaku untuk membantunya. Dan cafe ini milikku bersama Kevin. Kevin sahabat baikku. Kenapa dia memanggilku Bos? Karena menurut Kevin, aku yang paling banyak mengeluarkan uang untuk bisa mendirikan cafe ini,” jelas Raka menjawab pertanyaan Cinta.

Cinta menatap kedua manik mata Raka dengan lekat. Ia tak menyangka jika Raka adalah seorang pengacara dan juga seorang pengusaha.

“Dan soal Bunda?” desak Cinta kembali.

Raka tersenyum. Ia kembali menyesap espresso macchiato-nya perlahan. Kemudian kepalanya menggeleng -geleng. Ia tak menyangka jika Cinta sangat ingin mengetahui tentang dirinya. Namun belum saatnya Cinta mengetahui siapa dirinya saat ini. Ia tak menginginkan jika nanti Cinta akan menjauhinya. Untuk bisa mencapai tahap sedekat ini, tidaklah mudah untuk Raka.

“Aku baru pertama kali bertemu dengan Bunda kamu. Aku sama sekali tidak pernah mengenal Bunda kamu sebelumnya, Ta. Kamu dengar bukan, bagaimana Bunda kamu memanggilku tadi?” jelas Raka.

Cinta menatap Raka dengan lekat. Tak ada kebohongan di mata Raka saat ini. Bundanya memang tak memanggil nama Raka. Mungkinkah Raka mirip dengan seseorang yang bernama Ali? Tapi siapa Ali? Pertanyaan itu masih hinggap dalam benak Cinta.

“Kamu tidak sedang membohongiku kan, Ka?” desak Cinta lagi.

Raka menggeleng sembari tersenyum simpul.

“Nggak, Sayang. Beneran, aku tidak pernah bertemu dengan Bunda kamu sebelumnya. Well, setidaknya aku senang sekali hari ini. Bunda kamu sudah menitipkan anaknya kepadaku. So, secara otomatis dia sudah pasti merestuiku menjadi menantunya,” ujar Raka.

Cinta mengerutkan dahinya mendengar penuturan Raka. Raka benar-benar seperti orang yang sedang terobsesi kepadanya. Cinta menghela dan mengembuskan napas beratnya.

“Kamu yakin? Apa yang sedang kamu rasakan kepadaku itu adalah rasa cinta? Sejak kapan?” tanya Cinta penasaran.

Raka tersenyum simpul. Apa yang Raka rasakan saat ini adalah rasa yang sudah lama terpendam untuk Cinta. Ia menatap wanita di hadapannya dengan lekat. Raut wajahnya mulai serius kali ini.

“Aku mencintaimu tanpa alasan, tanpa kenapa, tanpa tetapi dan tanpa pertanyaan lainnya,” jawab Raka.

Cinta tertegun mendengarnya. Ia membatin, “Mungkinkah perasaan cinta itu bisa terjadi dengan secepat kilat?”

“Mata itu tidak pernah salah dalam  melihat, hati pun tidak pernah salah dalam merasakan. Saat melihatmu, aku bahagia. Hanya kamu, Cinta,” lanjut Raka kembali.

Raka menggenggam kedua tangan Cinta dengan erat, “Aku nggak peduli, kamu menganggapku gila atau apa pun itu. Aku yakin dengan perasaanku sama kamu. Dan sekarang, aku tinggal menunggu kepastian dari kamu tentang perasaanmu kepadaku,” ungkap Raka.

Cinta terhenyak mendengarnya. Jantungnya berdetak kencang. Seakan dirinya sedang berlari maraton memutari GBK saat ini.

“Woy ..., pacaran mulu Lo! Pantes gue kirim pesan nggak dibaca sama sekali.”

Cinta terkejut mendengar suara seorang perempuan yang sudah tak asing untuknya.

“Fiza?!” pekik Cinta seraya melepaskan genggaman tangannya dengan Raka.

Fiza mengulurkan tangannya kepada Raka, “Hai Abang cakep, aku Fiza. Sahabatnya Cinta.”

“Raka. Pacarnya Cinta,” sahut Raka diiringi senyumannya.

Cinta terdiam. Rasanya ia harus mulai terbiasa dengan perkataan Raka tentang status hak kepemilikannya. Beruntung Raka adalah lelaki yang tampan. Jika tidak, turunlah pasaran Cinta selama ini.

“Serius, Bang?! Lo kok mau sih jadi pacarnya Cinta? Lo pasti rabun deh, Bang! Masa cewek abal-abal gini Lo jadikan pacar sih, Bang!” celoteh Fiza.

Cinta mencubit lengan Fiza dengan keras.

“Aduh!” pekik Fiza kesakitan, sedangkan Cinta mengerucutkan mulutnya karena kesal.

“Lo lihat kan, Bang! Bagaimana cewek Lo ini?” adu Fiza.

“Aha! Gue traktir Lo makan selama satu minggu, Bang. Kalau Lo kuat bertahan selama satu minggu bersama Cinta,” tantang Fiza.

Raka tersenyum. Cinta mengembuskan napas beratnya lantas memejamkan matanya sekejap. Ingin rasanya ia menyeret Fiza untuk segera keluar dari cafe ini.

“Ada apa Lo kirim pesan ke gue, Za?” sela Cinta.

“Bentar, Ta. Gimana Bang?” tanya Fiza lagi.

Raka mengangguk. Cinta kembali menghela dan mengembuskan napasnya. Sepertinya mereka berdua bisa membuat Cinta mati muda karena serangan jantung mendadak. Raka dan Fiza pun saling berjabat tangan, tanda persetujuan tantangan konyol itu. Cinta memandang mereka berdua dengan sebal.

“Ahay! Sorry, Ta,” ucap Fiza sambil mencolek dagu Cinta dan duduk di sebelahnya.

“Gue cuma penasaran aja sama Abang cakep ini. Semoga dia kuat menghadapi Lo setiap hari. Lagian Lo udah kelamaan jomblo, Ta. Gue takut Lo keburu berkarat nanti,” tutur Fiza yang dibalas dengusan kesal dari Cinta.

Raka terkekeh. Dan Fiza tertawa konyol.

“Buru! Ada apa Lo cari Gue?” tanya Cinta kesal.

Fiza tersenyum. Kemudian memakan pancake Cinta tanpa meminta ijin terlebih dahulu kepada si pemilik seperti biasanya.

“Ada drag racing nanti malam. Ikut nggak Lo?” ujar Fiza.

Raka terbelalak. Ia menatap Cinta tajam. Ia tak menyangka jika Cinta masih melakukan pertandingan konyol itu. Walaupun Raka mengetahui mengapa Cinta melakukan hal itu.

“Apa taruhannya?” tanya Cinta kembali.

“Lamborghini Huracan, Lamborghini Gallardo, Ferary F12, Audi R8. Itu yang gue tahu. Ambil nggak?” Fiza tersenyum pada Cinta.

Cinta tersenyum membalasnya.

“Take it,” balas Cinta singkat, “siapkan mobil Gue, Za! Cek semuanya!”

“Siap Bos, laksanakan! Gue jemput Lo nanti malam. See ya!” seru Fiza antusias.

Kemudian Fiza mencium pipi Cinta. Tak lupa dia pun berpamitan kepada Raka sebelum pergi. Cinta meminum kembali chococino-nya yang sudah mulai dingin. Ia tak menghiraukan tatapan tajam dari kedua mata Raka yang mengintimidasinya. Ia pun memakan kembali pancake-nya dengan tak acuh.

“Sudah lama ikut drag racing?” Cinta mengangguk menjawab pertanyaan Raka.

“Kamu butuh uang berapa, Ta?” tanya Raka kembali.

Cinta menghentikan makannya. Kemudian menatap Raka.

“Tolong berhenti dari balapan liar itu! Aku akan kasih berapa pun yang kamu butuhkan,” sambung Raka.

Cinta mengembuskan napasnya. Baru beberapa menit yang lalu, ia menerima Raka menjadi kekasihnya. Dan sekarang, Raka sudah mulai posesif kepadanya. Semua lelaki ternyata sama saja.

“Terima kasih, Ka. Tapi aku masih bisa memenuhi semua kebutuhanku sendiri,” ucap Cinta.

Raka menggeleng, “Dan bukan dengan cara konyol seperti itu untuk memenuhi semua kebutuhan kamu!” pekik Raka geram.

Cinta terperanjat. Ia sangat terkejut mendengar pekikan keras dari Raka. Kedua matanya memandang Raka dengan  geram.

“Tapi ini caraku untuk tetap bisa bertahan hidup,” balas Cinta tak kalah kesal.

“Aku akan memenuhi semua kebutuhan kamu, Ta. Aku nggak akan membiarkan wanitaku melakukan hal bodoh seperti itu!!!” seru Raka kembali dengan intonasi nada yang semakin meninggi.

Cinta mengembuskan napas beratnya, “Oke! Aku kekasih kamu sekarang. Aku terima itu. Tapi bukan berarti kamu bisa mengatur hidupku sesuka hati kamu!” protes Cinta, “aku kekasih kamu, bukan istri kamu!” tegas Cinta penuh penekanan.

“Jadi kamu tidak mempunyai hak untuk mengatur hidupku! Selama aku masih bisa mencari uang untuk memenuhi kebutuhanku sendiri, aku nggak akan pernah meminta apa pun dari kamu. Aku bukan wanita yang biasa kamu temui di luar sana. Wanita yang akan luluh dengan ketampananmu dan juga hartamu!” pungkas Cinta.

Rahang Raka mulai mengeras. Salah satu tangannya mengepal kuat, menahan emosinya yang siap meledak. Cinta benar-benar menyulut emosinya kali ini. Raka hanya tak ingin jika Cinta menanggung resiko yang bisa membahayakan nyawanya. Inilah cara Raka memperlakukan wanitanya, double  possessive.

“Kalau kamu memang benar-benar mencintaiku, seharusnya kamu bisa menerimaku apa adanya. This is me, and this is my life, Raka!” terang Cinta kembali.

Tatapan Raka semakin tajam menatap Cinta. Ia menghela dan mengembuskan napas beratnya, “Oke, fine! Lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan sekarang, sebelum kamu menjadi istriku. Karena aku tidak akan pernah mengijinkan istriku nanti melakukan hal-hal yang bisa membuatnya celaka atau terluka sedikit pun!!!” tandas Raka keras memperingati, membuat Cinta terperanjat untuk kesekian kalinya.

Cinta menelan salivanya dengan susah payah. Ia tak bisa membayangkan jika dirinya benar-benar menjadi istri Raka nanti. Ia hanya terdiam, saat Raka beranjak dari tempat duduknya dengan kasar. Kemudian melangkah pergi meninggalkan dirinya begitu saja dan membanting pintu cafe dengan keras. Hingga membuat jantungnya berdegup tak karuan. Rasa takut pun mulai menjalar di seluruh aliran darahnya. Entah apa yang telah membuat perasaannya menjadi aneh kala melihat Raka begitu marah kepadanya. Jika benar apa yang Cinta rasakan saat ini adalah jatuh cinta kepada Raka, maka ia harus segera mempersiapkan hatinya untuk merasakan sakit kembali.

CintaRaka®

Republished, 10Nov.17 (10Jul. 2015)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top