- - 03 - -
• ₜₕᵣₒwᵦₐ𝄴ₖ •
•
•
•
------------------------⭐⭐
Apa yang bisa dikatakan, saat duduk kembali di kursi pesakitan dan seolah semua pertanyaan harus dijawab dengan cepat tepat dan tanpa salah.
Rentetan pertanyaan itu kembali berdengung di telingaku, tidak lagi memberikan jeda untuk menghela nafas dengan santai. Ayah dan ibuku, mereka berdua meminta jawaban kami segera. Apa yang harus aku katakan? Kadang kejujuran itu terasa begitu menyakitkan.
Mengingat kembali bagaimana caranya memperlakukan, ah rasanya kilatan memori itu kembali berputar di otakku. Bagaimana dulu kami berdua pertama kali dipertemukan. Aku hanya berpikir bahwa Allah begitu baiknya dengan mempertemukan kami saat aku telah bersiap menerima seseorang sebagai pelengkap hidup dan matiku.
Siapa yang bercita-cita menikah untuk bercerai, rasanya tidak satu pun orang di dunia ini yang memiliki pemikiran konyol seperti itu. Lalu jika dalam perjalanan hidup pada akhirnya keputusan itu dipilih karena alasan yang tidak lagi bisa ditolerir, apa iya harus memberikan kesempatan sekali lagi atau berulang kali untuk bisa memperbaiki diri.
Terkadang untuk bisa berlari dengan kencang, kita harus belajar dulu berdiri lalu berjalan baru kemudian bisa berlari. Dalam perjalanannya tentu tidak akan berjalan mulus, jatuh, terluka bahkan berdarah adalah hal yang sangat wajar, tapi tentang hidup. Tidak satu orang pun yang ingin mempertaruhkannya bahkan berniat untuk menjadikan sebagai sebuah permainan.
"Maaf Ayah, saya baru menyadari setelah hidup sendiri dan berjauhan dengan Tata." Suara András terdengar menjawab pertanyaan ayah saat bibirku kelu untuk bergerak.
Telingaku mendengar desah nafas kasar yang dihembuskan ayah saat András telah menyelesaikan kalimatnya. Sepenuhnya aku sangat mengerti jika kedua orang tuaku masih menyimpan rasa kecewa.
"Semua kembali kepada Tata, Yah. Semalam saya mengantarkan mereka pulang karena tidak tega, Tata menyetir sendiri dari luar kota dan kondisinya kemarin saya melihat dia begitu capek. Itu sebabnya saya memaksa untuk mengantar Tata dan Jihan untuk pulang kemari. Maaf jika ayah dan ibu kurang berkenan atas kedatangan saya." Jika mendengar bahasa András seperti ini rasa adem di hati itu seolah kembali lagi. Pada dasarnya dia memang baik, hanya saja moody yang terkadang mempengaruhi sikapnya terkadang bersumber dari orang-orang terdekatnya. Entah itu teman, saudara atau bahkan keluarganya. Rasanya sikap independen itu begitu jauh dari diri seorang András.
Tidak ada yang keliru, menuruti perintah orang tua terutama ibu. Namun kami juga memiliki keluarga kecil sendiri yang juga perlu berjalan menyeimbangkan irama langkah kaki kami tanpa harus dikomando harus dengan kaki kanan atau kaki kiri untuk melangkahkannya. Naifnya, aku seolah tuli, dia seolah menghilangkan seluruh legitimasi bahwa perempuan tidak selamanya hanya berkutat dengan dapur, sumur dan kasur.
Entahlah, apa yang membuatku masih juga terperdaya oleh pesona yang aku rasa tidak pernah luntur. Is it because of he has a handsome face, sharp nose, thick eyebrows or his beautiful beard that made me fall in love? I don't know. Yang jelas perasaan itu masih ada hingga kini. Memilih berpisah pun sebenarnya karena sesungguhnya aku tidak lagi ingin merasa terbelenggu dengan lingkar dan aturan keluarganya yang menurutku sedikit memberatkanku sebagai anggota 'menantu' yang dianggapnya berbeda. Selain juga karena sikap moody András yang membuatku senewen seketika jika dia tidak bisa diajak berbicara dengan baik.
"Sebaiknya kamu pulang András, ayah dan ibu tidak ingin keluarga kami dinilai buruk oleh tetangga. Terlebih dinilai buruk oleh Allah, kami terbuka menerimamu sebagai tamu tapi tidak untuk menginap dan berhari-hari berada di sini. Tolong dipahami untuk itu."
"Saya sangat mengerti, Yah. Maaf untuk itu, pagi ini saya akan pulang."
Tidak ada yang meminta namun seketika bibirku menyahuti kalimat pernyataan terakhir András. "Dengan apa kamu akan pulang?" Pertanyaan bodoh, harusnya jika aku sudah mengikhlaskannya, terserahlah padanya dengan cara apa András akan pulang ke rumah keluarganya. Nyatanya pertanyaan sederhana itu membuat manik mata ayah menatapku tajam seolah menghunus dengan sebilah pisau, tidak, aku ternyata salah melemparkan pertanyaan itu.
"Pakai kendaraan umum, András sudah dewasa, kamu tidak perlu mengkhawatirkannya lagi, Tata." Final, keputusan ayah tidak bisa diganggu gugat. András hanya menggelengkan kepalanya seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Yakinlah, seburuk apa pun hubungan kami sebelumnya saat kedua mataku melihat bagaimana sendu manik matanya menatapku belas kasih dan rasa empati itu kembali muncul. Dia adalah satu-satunya laki-laki yang berhasil mengambil seluruh hatiku untuk berpusat kepadanya dulu.
Aku tahu hatiku masih menginginkanmu András, tapi sayang dia menolak untuk dekat dengan keluargamu yang lain. Jadi aku harus bagaimana?
Selepas kepergian András, aku ingin sekali mengajak Jihan berkeliling desa. Setidaknya membuat dia tersenyum selayaknya anak-anak yang tertawa tanpa beban.
"Bunda kita sarapan di sini?" Aku membuka bekal makanan yang kami bawa dari rumah.
Gubug di pematang sawah, menjadi tujuan utama aku dan Jihan menikmati sarapan pagi ini. Sembari menikmati rumpunan padi yang mulai menguning dan sebentar lagi siap untuk dipanen. Puluhan burung pipit bercuit menambah semarak suasana pagi yang begitu cerah.
"Bunda, mengapa harus sarapannya di sawah seperti ini?" suara Jihan membuatku memberikan jawaban dengan spontan.
"Kakak tidak suka?" gadis kecil itu langsung menggelengkan kepalanya. "Tidak suka?" tanyaku lagi, karena aku beranggapan bahwa gelengan kepala itu menandakan bahwa dia tidak menyukainya.
"Suka, bisa makan sambil lihat burung. Tapi mengapa harus ke sawah? Di rumah juga bisa kan lihat burung, kakek punya burung di sangkar yang ditaruh di depan rumah."
Aku tersenyum, lalu menjawabnya singkat. "Om András dulu paling suka sarapan di pematang sawah seperti ini."
"Om András?" menyadari ada nama yang tersebut dari bibirku, seketika Jihan mengulangnya lagi. Lagi-lagi nama itu masih saja berkelebat di dalam pikiranku. "Oh iya Bunda, kok tadi kakak tidak melihat om András lagi di rumah?"
Aku terhenyak, sejak percakapan kami tadi setelah subuh András memang telah pergi dengan menggunakan ojek online dan Jihan tentu saja tidak tahu karena dia masih tertidur. "Om András sudah pulang, Sayang."
Tidak ada lagi pertanyaan atau percakapan kami yang melibatkan András di dalamnya. Beberapa kali aku dan Jihan berusaha menghalau burung pipit yang hendak mematuk bulir padi dengan menarik tali yang sudah diikat di gubuk itu dan terdengarlah bunyi gedombrangan dari kaleng-kaleng bekas yang digantung di tali itu dengan menambahkan anak lonceng di setiap kalengnya.
"Seru Bunda, kakak mau lagi mainan ini." Ini bukan mainan Jihan, ini adalah cara petani untuk menghalau burung pipit yang hendak mematuk tanaman yang sebentar lagi bisa mereka panen. Tapi melihat tawa Jihan hatiku kembali tenang hingga gawaiku berbunyi dan suara Jihan terdengar kembali. "Om András, Bunda."
Keningku mengernyit, darimana Jihan tahu jika András yang menelponku. "Kakak tahu darimana?" sedikit berteriak karena aku tengah berjalan di pematang sawah untuk menghampirinya.
"Ada fotonya bunda dan om András di hape," dia lalu menunjukkan foto kami berdua yang selalu muncul ketika András menelponku, sepertinya aku memang terlupa untuk menghapusnya.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam, I just arrived at home. Have you take your breakfast?"
"Heem,"
"How's Jihan?"
"She's being with me. We are___"
"__wait," András memotong ucapanku. "The bird chirping, are you in the field now?"
"Yes, we are. We have been taken our breakfast here."
"Without me? Do you still remember that, sarapan di sawah, memperhatikan burung pipit yang berterbangan adalah one of my favourite activity." Aku mendesah, sejak kapan aku menyukai sawah? Dari dulu aku memang tidak terlalu menyukai berpanas ria seperti ini, selain untuk melihat senyum manis yang selalu terbit dari bibir András sudah bisa dipastikan bahwa aku tidak akan mau berpanas-panas turun ke sawah seperti ini.
Lalu hari ini atas alasan apa? Melihat senyum Jihan atau memutar kembali kenangan yang pernah aku lalui bersama András dulu?
Tuhan, how naive I am.
Dan hari ini tujuan utamaku adalah untuk membuat Jihan bahagia. Dan sekali lagi kebahagiaan yang aku maksudkan itu adalah tanpa sengaja aku mengajaknya menyusur semua kenangan yang pernah aku lalui bersama dengan András, sekali lagi bersama András.
"Apa dulu Bunda Tata juga sering datang kemari bersama om András?" pertanyaan sederhana dari Jihan yang berhasil menohok hatiku.
"Mengapa kakak bertanya seperti itu kepada Bunda?"
"Karena dari tadi, setiap kali kita mengunjungi tempat bunda sering bilang dulu pernah datang kesini dengan om András. Memangnya om András itu siapa sih Bunda?"
Teman, sahabat, keluarga, atau harus berbicara yang sesungguhnya, mantan suami. Yakin bahwa seusia Jihan tidak akan mengerti dan tidak pantas juga untuk diberikan pengertian. Kata saudara sepertinya jauh lebih baik untuk diucapkan.
"Om András itu adalah teman yang sudah seperti saudara, Sayang."
"Seperti bunda dan mama?" aku mengangguk untuk setuju.
Pada akhirnya waktu yang mampu menjawab, apa yang tersimpan di dalam hatiku. Rasa cintaku mengisyaratkan kepada semesta bahwa janji yang pernah aku ucapkan dulu hingga kini masih sama, bahwa cinta itu akan selalu sama dan bertumbuh di setiap musim kehidupan kami berdua. Nyatanya setelah sekian lama aku bersembunyi dan memilih untuk tidak menatapnya, pertemuan kami kembali menyuburkan bunga yang setahun ini telah layu tak tersirami.
"Kamu bisa setir sendiri atau perlu ayah antar sampai ke tempat kerjaanmu?"
"Tata bisa sendiri Ayah."
"Yakin?" aku mengangguk. Hari ini aku memang harus kembali dan tujuh jam perjalanan menanti di depan mata untukku bermain setir bundar, pedal gas dan juga rem.
"Hati-hati di jalan, Nduk. Ingat pesan ayah." Dalam benakku masih juga menyimpan pesan itu meski hatiku menolak namun otakku mengiyakannya.
'Mungkin dengan menghadirkan pengganti di dalam hidupmu, kamu akan bisa menganggap András sebagai orang biasa. Karena sesungguhnya bukan hanya waktu yang bisa menghapus semua rasa kecewamu, anakku. Namun juga laki-laki hebat yang bisa memuliakanmu selayaknya ratu dalam kehidupan rumah tangga kalian.'
Tidak ada yang keliru, dan bahkan aku bisa menyebutnya adalah sebuah kebenaran yang sudah sepatutnya aku lakukan. Lampu hijau bahkan telah dinyalakan oleh kedua orang tuaku untukku bisa membina rumah tangga kembali. Lalu, dimana aku bisa menemukan seseorang yang ayah maksudkan sebagai laki-laki hebat yang akan memperlakukanku sebagai seorang ratu, sementara hatiku masih juga stuck pada orang dengan label András Zachti.
⭐⭐------------------------
• to be continued •
Sorry for typo
Blitar, 26 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top