- - 02 - -
• OVERDUE •
•
•
•
------------------------⭐⭐
"Are you OK?"
Satu pertanyaan sederhana yang tidak pernah aku pikirkan efek kelanjutan dari jawaban yang telah aku berikan itu.
Rasa sesak itu masih terasa kala duduk berhadapan dengan keluarga besar dan banyak pertanyaan yang sudah semestinya tidak perlu lagi dipertanyakan. Menjalin silaturahim bukan berarti harus menceritakan semua apa yang kita lakukan kepada orang lain bukan?
Sungguh hal yang membuatku bergidik, dengan dalih bahwa seorang muslim yang baik harus haus akan nasihat. Tidak ada yang salah akan hal itu jika waktu dan tempatnya pas. Nasihat juga harus sesuai dengan porsinya, berhadapan dengan siapa dan atas dasar apa nasihat itu diberikan.
Teringat pesan Aini, apa kabar pentheraphobia? Tanganku kembali bergetar, tubuhku bereaksi dengan keringat dingin yang mulai membasahi tubuh. Sejauh ini aku masih yakin bahwa usahaku telah menampakkan hasil. Tapi saat semuanya kembali terjadi, kilatan-kilatan kesakitan itu kembali berputar bak roll film yang bisa kapan saja dinikmati oleh semua pengunjung bioskop setiap jam penayangannya.
Tidakkah ada mata yang melihat? Bahwa bibirku pun bergetar dan jawaban yang aku keluarkan sedikit ngawur. Tuhan, ini bukan untuk yang pertama kalinya. Duduk di hadapan keluarga besar kemudian dicerca berbagai pertanyaan, sudah layaknya seperti terdakwa yang siap dengan segala dakwaan oleh jaksa penuntut umum di sebuah sidang terbuka di pengadilan. Sayangnya bukannya hatiku bisa menerima dengan 'legawa' namun rasa berontak dan tidak bisa menahan apa yang seharusnya bisa aku lakukan itu muncul kembali.
Siapa diriku? Bahkan aku dan András pun tak lagi memiliki hubungan. Hubungan kami hanyalah mantan pasangan, iya mantan pasangan yang terpaksa berpisah karena banyak faktor yang mempengaruhi. Salah satunya ya seperti ini, intervensi keluarga besar yang ingin selalu ikut campur urusan dalam negeri rumah tangga kami hingga akhirnya menimbulkan percekcokan antara aku dan András, hingga merembet pada masalah yang lain yang semestinya bisa kami anulir.
"Maaf, saya kemari atas undangan kak Farheen jadi rasanya tidak perlu menceritakan apa yang telah selesai dan apa yang saya lakukan. Apa pun itu, saya berusaha untuk bertanggung jawab penuh atas apa yang telah saya lakukan. Terlepas itu, maaf, menyakiti keluarga atau pun tidak." Tuhan, baru sekali ini aku berkata dengan begitu tegas di hadapan mereka.
"Bukan begitu Tata, kami bicara supaya semuanya lurus. Tidak ada masalah juga tidak ada dendam dalam hati seperti sekarang." Dendam? Rasanya jika kakiku sudah sanggup melangkah untuk memenuhi undangan di keluarga besar ini, tentunya aku telah berusaha menghapus semua yang pernah terjadi diantara kami dan menganggap semuanya telah kembali normal.
"Tidak ada dendam Kak, wallahi aku datang karena kakak mengundangku. Tetap menjalin silaturahim dengan keluarga besar aku pikir tidak ada yang salah. Tapi sepertinya maaf, jika keadaannya seperti ini memang sebaiknya aku tidak perlu menampakkan diri. Bukan karena aku tidak mau menghormati semuanya namun ada hal yang tidak bisa aku jelaskan kepada kalian. Itu privasiku, dan aku sangat berharap kalian bisa menghormati itu sebagaimana aku yang tidak pernah ingin mengusik kehidupan pribadi dan urusan keluarga András."
"Itu adalah bentuk sayang kami kepadamu, bentuk perhatian kami. Sebenarnya András tahu itu namun sepertinya dia enggan untuk mengkomunikasikan ini kepadamu dulu." Kak Farheen berusaha menjelaskan semua yang terjadi saat aku mohon izin untuk pulang padahal acara belum dimulai.
"Dulu, semua itu telah berlalu Kak. Cerita kami memang telah selesai dan tidak sepantasnya kita membuka sesuatu yang telah kami tutup. András punya kehidupan sendiri, pun demikian pula denganku. Aku pamit, Kak. Maaf kalau keberadaanku di sini justru membuat atmosfer ketidaknyamanan itu begitu kentara dan terasa." Dia mengangguk tanpa bersuara lalu kami bersalaman. Seusai mengucapkan salam aku berlalu dan memanggil Jihan untuk mengikuti langkahku menuju mobil.
"Kak, lets go home."
"Sudah selesai Bunda?" Jihan yang sedang asyik bermain bersama teman-teman barunya, keponakan-keponakan András, sepertinya terkejut mendapatiku yang kini mengajaknya pulang. "Padahal aku belum doain papa."
"Kita bisa doain papa di mobil, ok?" Aku mencoba untuk bernegosiasi dengannya.
Meski dengan berat karena meninggalkan teman-teman barunya saat permainan sedang asyik tapi dia mengikuti langkahku juga.
Tiba-tiba langkahku terhenti saat tangan kekar itu mencengkeram lenganku ketika aku hendak meraih handle pintu untuk Jihan.
"We have to talk, Tata." Suara itu, ya suara itu milik András. Apa yang harus dibicarakan, bukankah semua sudah selesai saat hakim menjatuhkan putusannya dulu. Tidak ada yang tersisa diantara kami walau sungguh terkadang rasa rindu itu tiba-tiba hadir dalam diriku.
"Are you OK?" Aku memandangnya sekilas lalu mengangguk. "Then how if I tell you that I'm not?" Dia kembali melanjutkan kalimatnya.
"Enough András, the time was over, we have to continue living with or without our old story, enough. Lagian kamu bukan Judika yang harus menyanyikan lagu dengan judul itu."
"Apa itu?" tanyanya.
"Bagaimana kalau aku tidak baik-baik saja."
"Yeah that's hurt me, Ta. Break our love and I'm losing you__" ucapan tanpa basa-basi namun sepertinya telah menjadi basi.
"That's none of my business." Berat, tapi aku harus mampu melakukannya Tuhan, ternyata moving on itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
"Where do you live now?" tanyanya lagi. Aku menggeleng, tidak perlu dia tahu dimana aku tinggal sekarang, untuk apa?
"Tata, I'm asking you. Where do you live?"
"I don't have to answer that."
"You have to! I want to know, where do you live?"
"András, kita itu sudah mantan, mantan pasangan, itu kalau kamu sudah lupa atau sedang mengalami amnesia. We're already ex-partners. Keep that in your mind! Move, I have to go."
Aku berbalik namun kalah cepat dengan András yang telah duduk di belakang kemudi. "I will let you go, tapi denganku tidak sendiri." Aku mendesah, mobilku ini jenis mobil dengan remote engine start dan András tahu benar memanfaatkan situasi dengan kondisi ini.
"Pengajian di rumahmu bahkan belum dimulai, mengapa kamu harus pergi András?"
"Because you are a woman dan aku tidak akan membiarkanmu self driving till home meski aku tahu kamu bisa dan biasa melakukannya."
"Tidak, turun dari mobilku." Mesin berbunyi dan seolah András mengabaikan permintaanku. Dia menjalankan mobilnya dan aku tersadar ada Jihan diantara kami. Tidak mungkin aku memperlihatkan perseteruan kami yang lebih daripada ini di depannya.
"Bunda__" maafkan bunda Sayang, hati kecilku yang berucap. Aku menatap Jihan yang kini ada di pangkuanku. Memilih untuk mengalah sesaat. Aku tahu bagaimana kerasnya András ketika ada maunya seperti ini.
"Bobo Sayang, bunda akan jagain kakak."
"Apa om ini jahat?" pertanyaan wajar dari seorang anak dibawah usia seperti Jihan. Akibat dari perdebatan sengit kami, beruntunglah bahasa planet kami menyelamatkan meski tidak dengan air mukaku. Jihan pasti juga memahami kapan aku menampakkan raut wajah tidak sukaku kepada orang lain.
"Bukan jahat," jawabku.
"Tapi marahin bunda."
"Tidak, kami hanya bicara."
"Apa cara bicara orang dewasa harus seperti orang yang sedang marah? Bunda dan mama tidak begitu, kalian sering tertawa bersama."
"No sweet girl, benar kata bunda kami memang hanya bicara, tidak sedang marah. Buktinya om András mengantar bunda bukan?" Dalam bingungku András membantu untuk meyakinkan Jihan bahwa kami tidak sedang bertengkar.
"Om, jangan nakalin bundaku. Kalau om jahatin bunda, kakak akan laporkan ke polisi." Jihan menatapku dengan intens. "Jangan takut bunda, kakak akan jagain bunda." Aku mencium kepala Jihan dan mengajaknya berbicara dengan tema yang lain untuk mengalihkan perhatiannya.
Sebenarnya sangat nyaman berada di samping András, dia tipe laki-laki penjaga. Hanya saja moody yang unpredictable juga masalah dengan komunikasi kami. Sebagai non warga pribumi asli dan dia besar bersama keluarganya yang lain di Iran, András juga sedikit kesulitan untuk berbahasa Indonesia dengan fasih. Sementara aku tidak bisa berbicara menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris kami juga setali tiga uang dengan English Javanese. Masalah komunikasi, iya itu hal mendasar yang harusnya kami prediksi dari awal. András juga bukan orang yang suka main tangan. Dia hanya sering bersilat lidah hanya karena masalah komunikasi kami yang kadang tidak sinkron.
Dalam perjalanan kami, tepatnya setelah protes yang dilayangkan oleh Jihan, András lebih banyak memperhatikan gadis kecil itu. Mengajaknya bicara dan bercerita meski aku tahu itu tidak mudah tapi András berusaha. Membuat Jihan nyaman bersamanya, dan tidak butuh waktu sampai satu jam mereka berdua sudah asyik bercerita sambil tertawa bersama.
"Jihan, what fish has many eyes. Ikan apa yang punya mata banyak sekali?"
"Octopus?" Jihan menjawab sambil berpikir dan aku melihat gigi susunya yang masih tersusun rapi.
"No, octopus has many legs not many eyes."
"Nggak ada Om, semua ikan matanya dua seperti kita." Pada akhirnya Jihan menyerah.
"Surrender?"
"Son keder, ikan apa itu Bunda kok kakak baru dengar? Temannya maskoki, koi atau louhan?" Aku tertawa, disambung suara András yang tak kalah kerasnya tertawa hingga dalam mobil terdengar membahana.
"Bukan son keder Kak, om András tanya surrender artinya kakak menyerah, nggak tahu jawabannya begitu maksudnya." Jihan ber-oh ria mendengar penjelasanku.
"Ok kakak Jihan, sudah menyerah?" András kembali bertanya kepada Jihan setelah tawanya berhenti.
"Nggak ada ikan matanya banyak Om András, mereka punya mata dua."
"Ada," András masih tetap bersikukuh.
"Ikan apa coba kalau ada?" Jihan akhirnya terpancing untuk bertanya.
"Do you know anchovy?" Jihan memajukan wajahnya tanda dia tidak mengerti. "Kakak tahu ikan teri, anchovy, ikan teri?" Jihan memandangku meminta untuk menerjemahkannya.
"Itu loh Kak, ikan teri yang kemarin bunda masakin buat balado teri kacang buat kakak dan mama." Jihan mengingatnya kemudian mengerutkan kening. Sepertinya setelah mengingat bagaimana bentuk ikan teri dia tidak setuju dengan pendapat András.
"Itu juga dua matanya, Om."
"Iya, ikan teri matanya hanya dua tapi jawabannya bukan itu. Ikan yang matanya banyak adalah ikan teri yang jumlahnya satu kilo." Mau tidak mau aku tertawa mendengar jawaban András. Benar saja, siapa yang mau menghitung matanya, jangankan satu kilo, satu ons pun tidak ada yang mau kecuali maba yang sedang diospek oleh kakak tingkatnya.
Terkadang begitulah yang membuat András itu selalu terindukan. Dia humoris, menyukai anak kecil hanya saja ada beberapa hal yang membuat kami selalu cek cok dan seolah tidak ada penyelesaian hingga emosi yang menjadi raja dalam diri.
Jihan? Tentu saja dia tertawa ngakak setelah paham seperti apa yang dimaksudkan András. Sederhana, tapi intimacy diantara keduanya menggelitik hatiku. Jika, dan andai ada Jihan yang sesungguhnya diantara kami mungkin cerita kami tidak seperti ini. Hangat, seperti sekarang dengan cerita András dan beberapa kali tawa Jihan terdengar di telinga. Celoteh riang milik Jihan pun mengimbangi suara András yang menjadi kemudi dari percakapan mereka.
Hingga mobil berhenti di depan rumah masa kecilku. András menggoyangkan lenganku dan berkata lirih. "We have arrived, wake up." Aku terhenyak beberapa saat sebelum sadar sepenuhnya, kemudian menghela nafas panjang setelah mengetahui Jihan juga tertidur di pangkuanku.
András turun dan membuka pintu gerbang rumah orang tuaku. Setelah berhenti carport, baru dia menghampiriku dan meminta Jihan. "Give her to me, I will carry her into the house."
Mengetahui aku datang bersama András, jelas kedua orang tuaku penuh tanda tanya. Apalagi dengan gaya kebapakannya, tanpa aku beritahu pun dia sudah sangat hafal sudut di rumah ini dan dimana dia harus merebahkan Jihan. Kamar kecilku, kamar kami dulu ketika kami berdua menginap di rumah ini, András pasti masih sangat hafal karena aku tidak merubah apa pun.
"Tata, bisa jelaskan pada ayah apa maksud semua ini?" Tidak menunggu lama, ayah langsung bertanya kepadaku saat András membawa Jihan ke kamar.
"Tata terima undangan kak Farheen, Ayah. Lalu András mengantar kami pulang."
"Ayah hanya tidak akan pernah ikhlas jika kamu dipermainkan lagi olehnya, Ta."
"Yah__"
"Ibu juga setuju dengan ayahmu." Tidak ada orang tua yang ikhlas melihat anak yang mereka cintai dipermainkan, tidak ayah ibuku atau orang tua lainnya.
"Rumah tangga itu tidak hanya sekedar saling mencintai, Neng. Yang jelas dan pasti adalah menekan ego untuk bisa menyelaraskan langkah bersama pasangan. Tidak kamu atau pun suamimu nanti, harusnya itu menjadi prinsip penting dalam pernikahan. Yang kemarin sudah, jadikanlah pelajaran jangan mau jatuh terperosok ke lubang yang sama." Ayah memberikan nasihatnya dan aku mengerti. Aku paham bagaimana hancurnya perasaan mereka, meski aku sendiri juga sangat terkejut dengan status baruku.
"Memutuskan untuk kembali dengan orang yang sama itu bukan sebuah solusi, Tata."
"Tata juga tidak menginginkan itu, Bu."
"Tapi sikapmu tidak berkata seperti itu. Tatapan András padamu juga masih sama seperti yang dulu. Tidakkah kamu merasakan itu? Ibu sudah hilang respect kepadanya, kepercayaan ibu juga sudah menguap entah kemana."
Ayah dan ibu, semua yang kalian nasihatkan adalah kebenaran. Menikah itu tidak hanya bisa mengucap aku cinta kamu, tapi bagaimana kita bisa memangkas perasaan, menekan ego, mengesampingkan keinginan sendiri untuk bisa melangkah bersama. Hanya saja perkara hati, mencintai itu tidak bisa disetir untuk dengan mudah berbelok arah. Sakit, perih jika mengingat semuanya namun kembali lagi dari kesakitan itu juga banyak tawa dan bahagia yang telah aku dan András rasakan. Kami pernah mengecap indahnya mahligai rumah tangga, dulu.
"Kalau kamu merasa berat untuk menolak András, biar ayah yang melakukannya."
"Yah__"
"Tata, jika kamu kembali dengan András itu artinya kamu harus siap dengan semua konsekuensinya. Perlakuan dia, sikap keluarga besarnya, hubunganmu dengan mertuamu. Percayalah ini bukan hanya tetang András tapi juga seluruh keluarga besarnya." Ibu menambahkan.
Bisa apa aku saat bibir wanita yang membuatku ada di dunia ini sudah bersabda. Ibu, wanita yang aku anggap suci karena seluruh cinta dan kasihnya yang tidak pernah berpamrih. Ibu yang selalu menghapus air mata yang menetes dari kedua mataku, mendekapku erat saat tubuhku limbung dan membutuhkan pijakan. Ibu yang selalu menghangatkan duniaku. Ibu, wanita yang super dan luar biasa. Tapi mengapa aku belum bisa menganggap dan memperlakukan hal yang sama dengan wanita yang telah melahirkan mantan suamiku ke dunia.
Belum atau tidak, mungkinkah kesempatan itu akan kembali lagi atau membiarkan semuanya terpendam bersama seluruh kenangan yang pernah ada.
⭐⭐------------------------
• to be continued •
Sorry for typo
Blitar, 03 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top