Tujuh belas
**
Zefa menatap papanya tanpa menjawab. Aretha pun demikian, perempuan berjilbab merah jambu itu mengernyitkan dahi. Keduanya baru saja tiba dari mal sore itu. Sementara Jayden pun tak lama datang dari kantor.
"Brownie? Kenapa brownie, Pa?"
Jayden mengusap wajahnya.
"Zefa ingat janji apa ke Papa?" tanya Jayden dengan wajah mengeras.
"Janji apa, Pa? Zefa nggak janji apa-apa," tuturnya lirih.
"Zefa lupa punya brownie? Zefa kasi makan brownie nggak!"
Zefanya terlihat takut dengan kemarahan sang papa, dia mundur seolah mencari perlindungan ke Aretha. Melihat kilat amarah di mata Jayden, Aretha mendekat.
"Jayden, kamu apa-apaan sih! Kenapa kasar gitu sama Zefa?"
"Aretha, aku hanya ingin mendidik anakku agar bertanggung jawab atas ucapannya."
"Tanggung jawab? Jayden, dia masih kecil, lagipula hanya karena kucing kamu bisa semarah ini ke Zefa? Keterlaluan!"
Emosi Aretha mulai memuncak.
"Tinggal suruh Bik Sundari kasi makan apa susahnya sih?" sambungnya lalu mengajak Zefa ke kamar.
"Zefa, Papa belum selesai bicara!"
"Cukup, Jayden! Urusan kucing biar Bik Sundari yang urus. Zefa lelah, biarkan dia istirahat!"
Pintu kamar ditutup Aretha cukup keras. Lamat dia mendengar tangis Zefanya.
Menarik napas, Jayden menuju ke halaman samping, dia melihat brownie tengah diberi makan oleh asisten rumah tangganya.
"Bik, jangan lupa kasi susunya ya.
"Baik, Pak."
Pria itu kemudian melangkah menuju kamar dengan rahang yang masih mengeras.
**
Fayra melipat mukena kemudian meletakkan kembali Al-Qur'an yang baru saja dibacanya ke meja. Besok hari Minggu dan tidak ada pesanan kue, berarti dia bisa merawat bunga-bunganya.
"Fayra." Suara neneknya terdengar dari luar kamar.
"Ya, Nek?" jawabnya seraya membuka pintu.
"Ada yang ngirim bunga."
Kening Fayra berkerut.
"Bunga, Nek?"
"Iya. Barusan yang ngantar pergi. Rangkaian bunga mawar putih," terang sang nenek. "Nenek letakkan di meja tamu, ada identitas pengirim tertulis di sana."
Mata indahnya menyipit kemudian menuju ruang tamu. Aroma segar bunga mawar menyeruak segar di ruangan itu. Fayra duduk kemudian meraih buket mawar di depannya. Dia membaca identitas pengirim kemudian tersenyum tipis.
"Dari siapa, Fay?" tanya neneknya yang muncul membawa dua cangkir teh hangat.
"Dari papanya Zefa, Nek," balasnya pelan.
Perempuan tua itu duduk di samping Fayra. Meski Fayra tidak pernah menceritakan soal perasaan hatinya, tetapi dia paham apa yang sedang menggelayut pikiran cucunya itu.
"Fayra, kamu nggak apa-apa, kan?"
"Nggak apa-apa, Nek," jawabnya masih dengan suara lirih.
"Kamu yakin? Tapi Nenek tidak percaya dengan ucapan itu. Kamu bahkan terlihat tidak sedang baik-baik saja."
Fayra tersenyum tipis kemudian membaca pesan yang terselip di rangkaian bunga itu.
'Bunga ini sebagai ungkapan terima kasih saya untuk semua kebaikan dan ketulusan yang kamu beri untuk saya juga Zefa. Terima kasih untuk semuanya.'
Membaca pesan itu mata indahnya terlihat berkaca-kaca. Tak ingin neneknya tahu, segera dia memejamkan mata agar bulir airnya tidak turun.
"Fayra, kamu bisa ikhlas, kan?"
"Maksud, Nenek?"
Perempuan di sampingnya itu tersenyum lalu merengkuh bahu Fayra.
"Nenek tahu apa yang kamu rasakan, Fayra. Kamu nggak perlu bersembunyi dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Nenek paham bagaimana hatimu saat ini."
Mendengar ucapan sang nenek, Fayra tidak bisa menahan tangisnya. Air matanya tumpah dalam dekapan perempuan bijak itu.
"Menangislah. Luapkan semua yang ada di hati. Jika sudah puas, tenang dan coba ikhlaskan," tuturnya.
"Kamu bukan Allah, Fay. Kamu hanya makhluk lemah yang tidak memiliki kemampuan membolak-balikkan hati. Kita ini hanya makhluk yang wajib ikhlas dan pasrah atas semua ketentuan yang Dia beri. Kamu paham, kan, Sayang?"
Perempuan berkulit putih itu mengangguk dan masih terisak.
"Jangan berharap pada manusia. Allah memberikan semua ini untuk mengingatkan bahwa kita wajib hanya berharap kepada-Nya."
Kembali Fayra mengangguk.
"Sudah masuk waktu salat Isya. Ayo siap-siap salat!" ajak sang nenek.
**
"Mama, Papa masih marah ya?" tanya Zefa saat hendak tidur.
Aretha tersenyum lebar sembari menggeleng.
"Zefa salah ya, Ma?"
"Nggak, Sayang. Zefa hanya lupa, dan itu bukan kesalahan. Zefa bisa perbaiki kesalahan itu, kan?"
Terlihat Zefanya tidak puas dengan jawaban Aretha.
"Kasihan brownie. Zefa lupa nggak kasi makan sampai ...."
"Sayang, seingat Mama, Papa nggak suka kucing deh!" Aretha mengusap puncak kepala putrinya.
Gadis kecil itu mengangguk, kemudian menceritakan asal muasal kucing kecokelatan itu. Aretha menggut-manggut dengan kening berkerut.
"Jadi kucing itu punya Bunda Fayra yang kemarin di sini?"
Zefanya mengangguk.
"Mama."
"Iya?"
"Bunda Fayra itu baik banget."
"Oh iya?"
Kembali Zefa mengangguk.
"Pinter bikin kue juga, Ma. Kuenya enak! Papa juga suka."
Ucapan putrinya membuat dada Aretha sedikit bergejolak. Dia bisa merasakan kekaguman sang putri kepada perempuan bernama Fayra itu.
"Papa suka?"
"Iya, Papa suka!"
Kali ini ada yang menusuk hatinya. Dia tahu bagaimana Jayden. Pria itu menyukai perempuan yang menjadi kemapuan di dapur seperti mendiang mamanya. Aretha kembali teringat bagaimana dia begitu cemburu pada sepupu Jayden yang kala itu sering membuatkan makanan untuk dirinya.
"Sekarang Zefa tidur ya. Mama mau bicara banyak sama Papa malam ini," tuturnya seraya menyelimuti Zefa.
"Mama."
"Iya?"
"Mama mau bicara apa sama Papa?"
Perempuan berambut cokelat itu tersenyum.
"Mama mau bicara banyak banget," tutur Aretha.
"Mama."
"Iya, Zefa?"
"Besok kita ajak Papa jalan-jalan ya, Ma."
"Oke, nanti Mama bilang ke Papa. Sekarang Zefa tidur ya, Sayang."
**
Seperti biasa, jika Zefa sudah tertidur pulas, Jayden bersiap pergi ke apartemennya.
"Jayden, kali ini biar aku yang pergi! Kamu tetap di rumah ini. Besok pagi sekali, aku akan tiba di sini," ujar Aretha saat keluar dari kamar dan melihat Jayden hendak pergi.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top