Sepuluh
**
Sore menjelang, Clara memenuhi janjinya menjemput Fayra. Setelah dirasa semua beres, dia berpamitan.
"Bunda, terima kasih sudah mau temani Zefa. Zefa senang banget! Papa juga, kan?" ucapnya seraya mendongak menatap Jayden yang tak lagi terlihat pucat.
Pria itu tampak kikuk dengan pertanyaan putrinya.
"Zefa, Bunda pamit ya, jangan lupa ingatkan Papa untuk makan dan minum obat. Oke!" Fayra mencoba mengabaikan perasaan serba salah.
"Oke, Bunda!"
"Saya pamit. Jaga kesehatan seperti yang dokter bilang tadi. Jangan begadang, kasihan Zefa kalau papanya sakit. Permisi," pamitnya sopan.
"Terima kasih, Bunda. Saya akan lakukan apa yang dokter bilang tadi. Sekali lagi, terima kasih," ujar Jayden seraya tersenyum.
Clara dan Fayra meninggalkan kediaman Zefa. Di jalan tak henti Clara menggoda Fayra hingga perempuan berhijab itu mencubit keras lengan rekannya.
"Kamu bisa berhenti bicara soal itu nggak sih!"
Clara terkekeh geli.
"Nggak, Fay! Aku nggak bisa berhenti! Kamu nggak lihat apa sorot mata Pak Jayden ke kamu? Beda saat dia menatapku, Fayra!" tutur Clara.
"Kamu sok jadi pembaca gesture orang lain!"
"Fay, aku bukan anak kecil yang nggak ngerti makna tatapan orang. Jelas ada hal yang sulit dia ungkap dari sorot matanya!"
"Clara, udah! Konsentrasi bawa motornya!"
"Fayra, kamu juga suka, kan?" tebak Clara memelankan laju motor.
Fayra pura-pura tidak mendengar pertanyaan temannya. Namun, Clara rupanya tak puas, kembali dia menanyakan hal yang sama.
"Nggak, Clara!"
"Bohong! Kamu nggak bisa bohong, Fayra. Aku tahu siapa kamu! Ayolah, jujur ke aku."
Fayra tak menanggapi, dia membiarkan Clara terus dengan asumsinya hingga mereka tiba di day care. Tempat itu telah sepi. Fayra turun mengambil motornya untuk kembali ke rumah. Namun, tangan Clara mencekalnya.
"Fay, aku tahu kamu menyembunyikan perasaan itu. Aku juga tahu alasannya," ujarnya.
Fayra tersenyum tipis kemudian menggeleng.
"Clara, kamu jangan suka baca novel roman deh! Jadi kebawa, kan?" elak Fayra.
"Aku nggak suka baca roman! Aku malah suka baca novel detektif! Makanya aku bisa tahu apa yang terjadi di antara kalian!" balasnya dengan mimik wajah menggoda Fayra.
"Clara, udah ah! Aku mau pulang!"
Melihat ekspresi Fayra, Clara terkekeh geli.
"Aku nggak salah, kan, Fay!"
Fayra hanya tersenyum tipis kemudian naik ke motor.
"Sudah senja, Clara. Ayo pulang!"
**
Jayden tersenyum menatap ponselnya. Dua perempuan beda generasi tengah berpose bersama.
Diam-diam wajah Fayra mulai terekam di kepalanya. Pipi yang selalu merona ketika mata mereka tanpa sengaja saling menatap. Bibir yang senantiasa tersenyum saat menyambut anak-anak asuhnya. Wajah yang selalu ceria dan tak pernah menunjukkan lelah. Semua lekat di memorinya.
Semesta seolah tak ingin membiarkan sedetik pun dia melepas bayangan Fayra.
Senyum Jayden perlahan pudar seperti teringat sesuatu. Sementara pria di depannya tengah menikmati rokoknya.
"Kenapa kamu selalu naksir sama perempuan beda agama sih!" tutur Bisma. Mereka bertemu di sebuah kafe.
Jayden menarik napas dalam-dalam. Apa yang diucapkan temannya itu benar. Dia bukan termasuk pria yang mudah jatuh cinta, dan setiap jatuh cinta selalu dengan perempuan yang berbeda keyakinan.
"Menurut kamu aku harus ngapain, Bisma?"
"Kamu mau apa sekarang?"
"Entah! Aku sendiri nggak ngerti.
"Kamu mencintai Fayra?"
Manik Jayden berhenti di wajah Bisma. Temannya itu terkekeh.
"Oke! Aku anggap matamu menjawab, iya!"
Jayden tersenyum tipis.
"Kamu mau pindah keyakinan?"
Pria itu bergeming.
"Aku tahu, Jay. Kamu dilema. Satu sisi kamu benar-benar jatuh cinta, di sisi lain kamu masih mencari jawaban soal kegalauan keyakinanmu. Iya, kan?"
Lagi-lagi dia tak menjawab.
"Jay! Kamu serius pingin tahu banyak soal Islam?"
Jayden mengubah duduknya.
"Aku bisa ajak kamu ke orang yang kamu bisa banyak tanya tentang semua kegalauanmu!"
Jayden mengangguk seraya berkata, "Oke, aku atur waktu dulu! Nanti aku hubungi kalau ada waktu luang. Sebab menurutku, ini bukan untuk main-main. Soal keyakinan adalah hal yang wajib kita luangkan waktu untuk tahu lebih banyak!"
Bisma mengangguk setuju.
"Kamu nggak pengin merokok?"
Jayden menggeleng.
"Kamu kan tahu sejak Zefa hadir di dunia ini, aku sama sekali nggak pernah merokok lagi!"
Bisma menaikkan alis, kemudian menyesap kopi hitam di depannya.
"Jadi ... aku balik lagi ke Fayra. Apa kamu pernah bicarakan soal perasaan kamu ke dia?"
Jayden menggeleng.
"Nggak semudah itu, Bisma! Kamu pikir dia seperti perempuan kebanyakan itu?"
"Aku tahu itu, tapi paling nggak, sebelum kamu benar-benar yakin padanya, kamu harus tahu soal dia!"
Sambil mengerutkan kening, Jayden bertanya, "Maksudmu?"
"Ya mana tahu dia sudah punya calon suami!"
Wajah Jayden itu berubah ketika mendengar kalimat Bisma.
"Benar juga sih, tapi kan aku ...."
"Atau kamu bisa tanya teman dekatnya atau ...."
"Tunggu! Aku pikir dia belum punya calon suami!"
"Jangan sok yakin! Perempuan seperti dia pasti banyak yang ngincer, Bro!"
Jayden terlihat murung seketika. Pria itu kemudian mengusap tengkuknya.
"Oke, dengar! Mungkin dulu aku bisa dengan mudah mengatakan perasaan dengan perempuan yang aku sukai, tapi ... dia beda, Bisma. Jangankan mau bicara lebih banyak, melihat senyum dia aja aku susah!"
Bisma terkekeh mendengar ucapan rekannya.
"Sebaiknya kamu atur waktu jika kamu serius untuk tahu lebih dalam soal Islam!"
Pria berkemeja abu-abu itu meneguk jus semangka yang sejak tadi tak disentuhnya.
"Jangan khawatir, Bro! Kalau memang dia jodohmu ... nggak akan ke mana kok!"
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top