Sembilan belas

Fayra mengemas beberapa baju kemudian memasukkan ke tas hijau miliknya. Tawaran sang nenek untuk pergi ke rumah sahabat lama akhir pekan ini dia terima.

"Kamu akan sedikit terhibur jika berada di sana. Meski hanya dua hari, Fay."

"Iya, Nek. Terima kasih. Eum ... Nenek sudah siap?" tanyanya.

Perempuan tua itu mengangguk. Fayra meraih ponselnya untuk memesan taksi daring. Saat baru  saja mencoba menekan aplikasi yang menyediakan transportasi daring itu, tiba-tiba satu panggilan masuk tak dikenal memanggil.

Tak terbiasa dengan panggilan asing, perempuan itu menyentuh tombol merah. Lalu kembali ke aplikasi untuk memesan taksi. Namun, kembali nomor yang sama memanggil. Lagi- lagi Fayra menolak panggilan masuk itu.

"Fayra, ada yang datang mencari," suara neneknya terdengar dari ruang tamu.

"Siapa, Nek?" Seraya merapikan jilbab dia keluar kamar.

Terlihat Zefa bersama Aretha berdiri di depan pintu. Tangan gadis kecil itu menggendong brownie yang terlihat kuyu.

"Zefa? Kenapa, Sayang?" Dia menghampiri lalu mengusap brownie lembut.

"Eum ... mari silakan masuk, Mbak Retha," tuturnya ramah.

"Terima kasih, di sini saja. Maaf kedatangan kami ingin mengembalikan kucing ini," ungkapnya.

Mendengar ucapan Aretha, mata Fayra menyipit kemudian menatap Zefa meminta penjelasan.

Dengan mata berkaca-kaca, gadis kecil itu meminta maaf karena dia harus mengembalikan brownie kepada Fayra.

"Kenapa dikembalikan, Zefa? Brownie sudah Bunda Fay kasi ke Zefa."

"Maaf, Fayra. Kami ... eum, maksudnya aku dan Jayden sepakat untuk tidak memelihara binatang di rumah, karena Zefa belum bisa bertanggung jawab terhadap peliharaannya," tutur Aretha tegas.

Ada pilu merasuk dalam hatinya. Namun, segera Fayra mengangguk kemudian tersenyum.

"Baik, kalau memang keputusannya seperti itu. Terima kasih, Zefa. Bunda ngucapin terima kasih karena beberapa pekan ini Zefa sudah membuat brownie happy. Makasih ya," ujarnya seraya mengambil brownie dan mendekap tubuh kucing kecokelatan itu.

"Maafin, Zefa ya, Bunda."

"Sama-sama, Zefa. Oh iya, Zefa kapan ke day care lagi? Ditunggu teman-teman loh."

Aretha tersenyum kemudian mengatakan bahwa Senin depan dia akan ke day care untuk menyampaikan bahwa Zefa tidak lagi dititipkan di tempat itu.

"Ada aku mamanya yang menemani," ucapnya seraya tersenyum tipis.

Senyuman Aretha disambut anggukan oleh Fayra.

"Syukurlah, tempat terbaik anak-anak adalah bersama ibunya," timpalnya. "Zefa, jangan lupain Bunda ya. Masih simpan nomor Bunda, kan?"

"Mama bilang anak-anak nggak boleh pegang handphone, Bunda."

Fayra tertegun mendengar jawaban gadis kecil itu, sejurus kemudian dia menatap Aretha. Perempuan di samping Zefanya itu menaikkan alisnya kemudian kembali tersenyum.

"Oke, Zefa. Pamit dulu. Kita pulang."

Gadis kecil berambut tebal itu meraih tangan Fayra kemudian mencium punggung tangannya seraya berpamitan.

"Terima kasih sudah mengasuh Zefanya dengan baik. Assalamualaikum."

Sepeninggal mereka, segera Fayra memandikan brownie, memberi makan dan susu buat kucing kesayangannya. Matanya mengembun melihat kondisi brownie. Sementara sang nenek hanya terpaku melihat peristiwa yang baru saja terjadi.

"Fayra, kita jadi pergi?"

Fayra menatap sang nenek dengan mata berkaca-kaca.

"Nenek, apa Fayra salah selama ini?"

Perempuan tua itu menggeleng menghampiri cucunya yang tengah menemani brownie minum susu.

"Nggak, Sayang. Kamu sudah berbuat baik. Sangat baik!"

Bulir bening keluar dari matanya. Luka itu begitu hebat tertoreh ketika melihat kondisi brownie. Dia ingat bagaimana bahagianya Zefa menerima kucing itu, dan bagaimana Jayden mencoba menyukai binatang berbulu itu demi kebahagiaan putrinya.

"Sudahlah, jangan pernah merasa bersalah. Kamu tidak salah, Fay. Sekarang, apa kita jadi berangkat?"

Fayra menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.

"Brownie Fay titip di rumah Clara aja, Nek. Fay telepon Clara dulu ya."

**

Mata Jayden menyipit melihat dua ekor kucing kecil berwarna putih dan abu-abu tengah bercanda dengan Zefa. Pria itu baru saja pulang kerja.

"Zefa? Kucing siapa ini? Brownie mana?" tanyanya heran.

Dengan lancar gadis kecil itu bercerita bahwa brownie telah dikembalikan ke Fayra.

"Dikembalikan?"

"Iya, Pa. Mama bilang, kau terjadi apa-apa sama brownie, pasti nanti akan disalahkan sama Bunda. Jadi Zefa sama Mama ke rumah Bunda Fayra tadi. Terus pulangnya mampir ke pet shop," jelasnya masih bermain dengan dua kucing itu.

Mendengar penjelasan Zefa, rahang Jayden mengeras.

"Mana Mama?"

"Mama di dalam, Pa. Kata Mama malam ini kita ke rumah Eyang," jelasnya.

Jayden melangkah cepat masuk rumah. Matanya mengedar mencari sosok Aretha.

"Assalamualaikum," sapa Aretha yang muncul dengan secangkir teh di tangannya.

"Waalaikum salam," jawabnya lirih.

"Tehnya?"

"Kamu letakkan saja di meja."

Aretha tersenyum kemudian mengangguk.

"Aretha, apa maksudmu mengembalikan brownie, lalu membeli dua kucing itu?" tanyanya menatap tajam pada perempuan bergamis oranye itu.

"Hei, kamu kenapa barusan datang langsung tanya soal kucing?" Aretha duduk di sofa tepat berhadapan dengan Jayden.

"Jawab saja. Kenapa?"

Wajah perempuan itu terlihat kesal.

"Karena aku nggak suka putriku mengingat perempuan itu!"

Jayden menarik napas dalam-dalam.

"Dia punya nama, Aretha!"

"Aku nggak mau menyebut namanya!" ketusnya.

"Aretha! Kamu ini kenapa sih?" Suara Jayden meninggi.

Aretha bangkit dari duduk, matanya terlihat berkaca-kaca.

"Kamu tahu rasanya ketika anakku menyebut namanya dengan sebutan yang manis? Kamu tahu bagaimana dia bercerita soal perempuan itu dengan demikian indahnya?" tanyanya. "Hatiku sakit, Jayden!"

Pria itu bergeming.

"Aku ingin memiliki tempat yang indah di kepala putriku, bukan dia! Dan kamu ... kamu juga jatuh hati padanya, kan?"

Jayden memejamkan mata sejenak lalu mengusap kepalanya.

"Aretha, tak bisakah kamu sedikit menurunkan egomu? Menghapus prasangka yang ada di kepalamu?"

Aretha kembali duduk. Napasnya tak teratur, terlihat kemarahan masih menyelimuti.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top