Sembilan

**

Sesampainya di depan rumah Zefa, mereka melihat gadis kecil berdiri di balik pagar. Matanya berbinar melihat kedatangan Clara dan Fayra. Gegas dia membuka pagar dan menyilakan keduanya masuk.

"Bunda, Zefa lapar," ungkapnya.

"Oke, Zefa mau makan apa, nanti Bunda masakin. Sekarang kita masuk dulu."

Mereka bertiga masuk ke rumah besar milik Zefa. Ada sofa besar berwarna putih menyambut kedatangan mereka. Di dinding terdapat beberapa lukisan abstrak yang menurut Zefa karya papanya.

"Clara, sebaiknya kita lihat kondisi Pak Jayden. Menurut Zefa sejak pagi beliau belum makan."

Terlihat Clara ragu, tetapi kemudian dia mengangguk. Bersama Zefa mereka menuju kamar. Tampak Jayden terlelap di balik selimut.

"Ayo masuk, Bunda!" ajak Zefa kepada keduanya.

Fayra menggeleng kemudian menunduk bertumpu pada lututnya sehingga sejajar dengan Zefa.

"Bunda bikin makanan dulu buat Papa ya. Biar Bunda Clara panggil dokter. Zefa mau tunggu Papa atau ikut Bunda masak?"

Gadis kecil itu memilih ikut Fayra ke dapur.

"Clara, aku pikir kita harus hubungi Bu Dian. Beliau tadi sudah berpesan seperti itu."

"Oke, biar aku yang hubungi beliau. Supaya Pak Jayden bisa segera ditangani dokter."

Fayra tersenyum kemudian mengangguk.

"Ayo, Zefa, kita ke dapur."

**

Keterangan dari dokter Budi membuat ketiganya lega. Menurut suami Bu Dian, Jayden kelelahan dan harus beristirahat.

"Sekarang sedang pancaroba, jadi jika immun tidak kuat, maka mudah terserang penyakit. Sepertinya Anda belakangan ini bekerja terlalu keras dan sering begadang. Betul begitu, Pak Jayden?"

Jayden yang tengah bersandar di ranjang tersenyum tipis kemudian mengangguk.

"Nah, selain beberapa hal tadi, Anda juga sering abai pada lambung. Itu juga jadi pencetus penyakit. Jadi saya sarankan jangan pernah telat makan," sambung dokter Budi lagi.

"Iya, Dokter. Terima kasih."

"Sama-sama, Pak. Saya juga nggak akan tahu kalau bukan mereka yang kabari. Jadi sepertinya mereka harus lebih dahulu mendapatkan ucapan terima kasih," ucap Dokter Budi seraya menatap Fayra juga Clara.

Papa Zefa itu menoleh ke samping dokter, lalu tersenyum mengucapkan terima kasih.

"Papa, sekarang makan ya. Ini masakan Bunda Fay. Enak, Pa!" Zefa menyodorkan semangkuk sup ayam ke papanya. "Tadi Zefa juga sudah makan!" tuturnya lagi.

"Iya, Anda harus makan yang banyak supaya energi bisa kembali. Jangan lupa, diminum obatnya."

Dokter Budi bangkit dari duduknya kemudian pamit pulang. Sepeninggal suami Bu Dian, baik Fayra dan Clara juga merasa tugas mereka sudah selesai.

"Maaf, Pak. Kami rasa kami juga harus kembali. Semoga cepat sembuh." Fayra berkata seraya mengatupkan kedua tangannya di dada.

"Terima kasih, saya sangat berterima kasih."

"Sama-sama, Pak. Zefa, Bunda pulang ya."

Wajah gadis kecil itu berubah sendu.

"Papa, kalau Bunda Fayra tetap di sini boleh, kan?" tanyanya lirih.

Jayden mengusap puncak kepala putrinya kemudian menggeleng.

"Sayang, Bunda harus kembali ke day care. Teman-teman Zefa di sana gimana kalau Bunda Fay di sini?"

"Tapi Zefa pingin Bunda di sini, Pa," tuturnya dengan mata berkaca-kaca.

Fayra bergeming, hingga Clara menyenggol lengannya.

"Fayra, kamu tega ninggalin Zefa dengan kondisi seperti itu?" bisiknya.

"Aku nggak bisa di sini, Clara. Aku ...."

"Nggak ada yang berpikir macam-macam, Fay! Zefa hanya perlu ditenangkan sebentar. Aku pikir kamu lebih faham soal dia daripada aku!"

Fayra menarik napas dalam-dalam.

"Zefanya, sini sama Bunda. Kita main yuk. Zefa bilang punya mainan banyak di kamar Zefa?"

"Iya, Bunda. Bunda mau temani Zefa?"

Clara dan Fayra saling bertukar pandang.

"Aku pulang dulu, nanti aku konfirmasi soal ini ke Bu Dian. Sore aku jemput kamu. Gimana?"

Fayra mengangguk.

"Aku tunggu sore, Clara!"

"Beres, kamu tenang aja."

Clara kemudian memohon diri untuk pulang kepada Jayden seraya mengatakan bahwa Fayra masih di sini menemani Zefa hingga sore.

Pria bermata tajam itu terlihat lega dan mengucapkan terima kasih.

**

Zefa nyenyak di pangkuan Fayra. Gadis kecil itu tertidur setelah makan siang. Bermain sambil menceritakan kisah nabi adalah hal yang disukai Zefa. Siang ini Fayra berkisah tentang kesabaran Nabi Ayyub yang ditimpa penyakit hingga akhirnya Allah memberikan kesembuhan.

"Jadi kita harus sabar ya, Bun?"

"Iya, Sayang. Semua yang terjadi menimpa kita itu datang dari Tuhan. Tuhan memberi cobaan ke Zefa dengan sakitnya Papa karena Tuhan tahu Zefa bisa sabar," tuturnya seraya mengusap puncak kepala gadis kecil itu.

Hening sejenak, Zefa kemudian menatap Fayra seperti hendak mengatakan hal serius.

"Ada apa, Zefa?"

"Bunda, sayang nggak sama Zefa?"

Fayra tersenyum.

"Sayang dong! Sayang banget!"

"Zefa juga sayang sama Bunda!"

Fayra memeluk tubuh gadis kecil itu.

"Zefa sayang Bunda juga sayang Papa. Bunda sayang sama Papa juga nggak?"

Mata Fayra membulat, mendadak tubuhnya menegang mendengar pertanyaan gadis kecil itu.

"Bunda?"

"Eh, i ... ya, Zefa?"

"Bunda sayang sama Papa nggak?"

"Kata Papa, Papa sayang sama Bunda! Sama seperti Papa sayang ke Zefa."

Fayra bergeming masih dengan tubuh membeku. Ucapan Zefa telah membuat hati dan perasaannya naik turun seperti rollercoaster.

"Eum ... iya, karena kita semua harus saling menyayangi, kan, Zefa?"

Bocah kecil itu mencebik, lalu menggeleng cepat.

"Zefa pingin Bunda jadi Mama Zefa. Bunda mau ya?"

Tak ingin berlama-lama dengan pertanyaan Zefanya, Fayra mengajak bocah kecil itu tidur. Bersyukur Zefa tak membantah, hingga dia terselamatkan.

Namun, tanpa sepengetahuan keduanya, ada pria yang sejak tadi berdiri di depan pintu kamar Zefa yang tidak tertutup sempurna, dengan bibir tertarik kecil mendengar obrolan keduanya.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top