sebelas
**
Fayra tengah sibuk membuat kue pesanan untuk acara pengajian sore nanti. Empat jenis kue dia buat sejak subuh tadi. Dia sendiri yang mempersiapkan semua bahan dan membuatnya. Fayra selalu menolak jika neneknya ikut membantu.
"Nenek yang masukin ke kotak deh kalau udah siap. Ini semua biar Fay yang ngerjain," ujarnya saat sang nenek hendak membantu.
"Fayra, kamu nggak perlu bekerja sekeras ini. Untuk makan dan sehari-hari sudah cukup dari gajimu dan pensiun Nenek."
Perempuan tua itu terkadang tidak tega melihat hampir setiap akhir pekan cucunya disibukkan dengan membuat pesanan kue. Selalu ada saja yang memesan kue buatannya. Selain punya pelanggan, Fayra juga rajin mempromosikan kue buatannya ke market place.
"Nek, membuat kue adalah hobi, Fayra. Selama Fay menikmati, Fay nggak ngerasa capek kok," elaknya seraya tersenyum.
Neneknya tersenyum, Fayra adalah cucu satu-satunya dari putri tunggalnya. Bagi perempuan sepuh itu Fayra adalah dunianya. Bahagia dan sedih ada pada cucu perempuannya itu.
Membesarkan Fayra sejak kecil hingga dewasa dan menjadi perempuan salihah adalah janjinya pada Faiza, ibu Fayra. Kini sang nenek merasa cucunya sudah sampai pada usia menikah.
Pernah terbesit di kepalanya mencari jodoh untuk cucunya. Ada beberapa teman yang memiliki cucu laki-laki yang seusia atau lebih tua beberapa tahun dari Fayra. Namun, hingga saat ini sang nenek belum menemukan sosok pendamping yang pas untuk putri almarhum anaknya itu.
"Fayra."
"Iya, Nek?" jawabnya seraya mengeluarkan brownies dari oven. Aroma cokelat seketika menguar di dapur mereka.
"Harum ya, Nek!" ucapnya seraya menghidu dengan memejamkan mata.
Neneknya tertawa kecil melihat ekspresi Fayra.
"Nenek tadi mau bicara apa?" tanyanya setelah kembali memasukkan loyang berisi brownies ke oven.
"Tahun ini berapa usiamu, Fay?"
Fayra menoleh sejenak kemudian tersenyum.
"Nenek tumben tanya usia. Kenapa, Nek?"
"Nenek hanya ingin tahu."
Perempuan berkulit putih itu menarik bibirnya lebar.
"Dua puluh tiga tahun, Nek. Kenapa? Apa Fay terlihat tua?" tanyanya menggoda sang nenek dengan meletakkan dua tangan di dagu.
Neneknya tertawa kecil kemudian berkata, "Dulu waktu Nenek seusiamu, Nenek sudah menikah."
Lagi-lagi senyum lebar terlihat dari bibir Fayra. Dia sudah tahu arah pembicaraan itu.
"Kan dulu, Nek. Masa Nenek sama masa Fayra beda," tuturnya.
"Apa kamu sudah memiliki seseorang yang kamu cintai, Fayra?
Mendengar penuturan sang Nenek, Fayra bergeming kemudian menggeleng.
"Nenek tahu sendiri, kan. Fayra nggak pernah dekat dengan laki-laki mana pun. Nenek pertanyaannya aneh," jawabnya sembari mengulas senyum kemudian kembali fokus ke oven.
Perempuan bergamis ungu itu menarik napas dalam-dalam. Dia bukan tak tahu, bagaimana mata Fayra saat menceritakan Zefa dan perhatian papanya. Ada bias kagum terbaca di mata cucunya terhadap pria itu.
"Fayra, apa kamu mencintainya?"
Suara sang nenek menghentikan aktivitasnya. Perlahan dia berbalik menatap satu-satunya keluarga yang dia miliki itu.
"Nenek sedang membicarakan siapa?"
"Apa kamu mencintai pria itu?"
"Pria itu?"
Belum sempat neneknya menjawab, suara deru mobil memutus pembicaraan mereka.
"Ada tamu, Nek?"
"Bunda Fayra!" Terdengar teriakan Zefa dari luar.
Mendengar suara itu Fayra sontak menyambar jilbab yang tergeletak di kursi dekat sang nenek duduk.
"Fayra, pria itu orang baik, tapi dia bukan muslim. Kamu paham soal itu, kan, Sayang?"
"Fay paham, Nek," Jawabnya lirih.
"Ya sudah, Nenek percaya padamu. Keluarlah! Temui mereka."
**
Fayra tertawa kecil saat Jayden menceritakan bagaimana dia diminta Zefa untuk membaca buku Iqra' jilid satu yang diberikan Fayra pada putrinya.
"Nggak ada pilihan lain selain datang ke sini. Apa menganggu?" tanyanya ragu. Sementara aroma cokelat dan butter menguar hingga ke ruang tamu.
"Eum ... saya sedang ...."
"Bunda bikin kue?" sela Zefa dengan mata berbinar.
"Iya, Sayang."
"Kalau begitu kedatangan kami mengganggu?" Jayden merasa tidak nyaman.
Perempuan berjilbab hijau tosca itu menggeleng.
"Enggak kok. Nggak mengganggu, lagipula tinggal satu loyang lagi yang ...."
"Fay, sepertinya brownies kamu kematengan!" seru neneknya dari dalam.
Mata Fayra membulat sempurna, segera dia bangkit menuju dapur setelah meminta izin pada Jayden dan Zefa.
"Hangus, Nek." Fayra terlihat kecewa seraya mengeluarkan brownies panggang yang sudah berwarna kehitaman.
"Maafin Nenek, tadi Nenek lupa nggak ngecek ovennya," tutur sang nenek dengan wajah bersalah.
"Nggak, Nek. Bukan salah Nenek. Eum ... nggak apa-apa, Fay bikin lagi. Masih ada waktu kok!"
Fayra membuka lemari tempat penyimpanan bahan kue, tetapi wajahnya kembali murung.
"Kenapa, Fay?"
"Bahannya sudah habis, Nek. Fay harus ke pasar dulu," tuturnya seraya mengambil dompet di atas lemari es.
"Nenek, Fay ke pasar dulu ya."
"Fayra, tapi kamu bilang ban motor kamu bocor?"
Zefa menatap papanya yang sejak tadi mendengar percakapan Fayra dan neneknya.
"Papa, tolongin Bunda Fay!"
"Bunda! Ayo sama Zefa ke pasar, biar Papa yang antar. Iya, kan, Pa?" tanya Zefa seraya menggandeng tangan Fayra.
Jayden tersenyum dan kembali manik mereka bertemu.
"Bapak nggak repot?" tanyanya ragu seraya menyembunyikan wajahnya.
"Nggak repot. Justru kami yang merepotkan."
"Ayo, Bunda! Nanti Zefa bantu bikin kuenya!" ajak gadis kecil itu antusias.
**
"Kita beli di mana?" tanya Jayden saat mobil meluncur.
"Di toko bahan kue sebelum perempatan pasar itu."
"Oke!"
Tak lama mereka tiba di depan toko yang dimaksud.
"Zefa ikut masuk?"
"Ikut boleh?"
"Boleh."
"Papa nggak turun? Bunda nanti pasti belanja banyak, kan berat! Ayo, Pa. Bantu Bunda!"
Fayra menggeleng kemudian berkata, "Zefa, Bunda belanja nggak banyak kok. Nggak berat. Biar Papa tunggu ...."
"Nggak apa-apa, saya turun. Zefa benar. Ayo Zefa!"
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top