Lima belas

**

Tausiyah selesai, ketika pria yang menjaga rumah Jayden menyampaikan pesan perempuan di luar tadi. Sementara Fayra terlihat memotongkan kue seperti yang diinginkan Zefa.

"Apa kamu bilang, Rudi? Aretha?" Suara Jayden terdengar sedikit meninggi sehingga Bisma yang berada tak jauh dari Jayden mendekat.

"Iya, Pak. Maaf, dia bilang namanya, Aretha," jelas pria yang dipanggil Rudi itu.

Bisma menatap Jayden dengan wajah ragu.

"Sebutkan ciri-cirinya, Rud!" titah Bisma.

Rudi menyebutkan ciri-ciri yang tampak pada perempuan di luar tadi.

"Aretha berhijab?" Bisma kembali menatap Jayden seolah tak percaya.

"Oke, aku keluar!" Pria bertubuh tegap itu bangkit keluar bersama Rudi.

Jayden berjalan pelan menuju pagar. Matanya memindai perempuan yang tengah berdiri membelakangi. Sesekali perempuan itu melihat ke arloji.

"Kamu ... Aretha?"

Mendengar suara pria itu, sontak Aretha membalikkan badannya. Mereka saling bertukar pandang dengan tatapan sulit diartikan. Keduanya saling mengamati dari ujung rambut hingga kaki seolah sama-sama tidak yakin dengan penampilan masing-masing.

"Aku Aretha, Jay. Kamu nggak ingat?" tanyanya lirih.

Masih tak percaya, pria itu tetap menatap lekat padanya.

"Mana anak kita? Dia pasti sudah besar."

Jayden bergeming.

"Jay! Mana anak kita? Kamu sudah memberi nama yang indah padanya."

Menarik napas, Jayden mengusap wajahnya. Pria itu bahkan tidak sempat berpikir apa yang akan dia katakan kepada putrinya.

"Jayden. Aku boleh menemuinya, kan? Kamu ceritakan tentang aku seperti apa padanya? Apa dia membenciku atau ...."

"Dia ada di dalam, tapi tunggu setelah aku memberikan penjelasan padanya."

Aretha tersenyum kemudian mengangguk. Pria di depannya memberi isyarat agar dia ikut masuk. Di dalam para undangan tengah menikmati hidangan, tidak tampak Zefa juga Fayra.

"Mana putriku, Jay?"

"Dia juga putriku. Kamu lupa pernah berpikir menggugurkannya?" ungkap Jayden terdengar kesal.

"Aku tahu, tapi akhirnya itu tidak terjadi, kan?" kilahnya masih mengedarkan pandangan mencari sosok putrinya meski dia tidak tahu bagaimana Zefanya.

"Itu semua tidak terjadi karena orang tuaku yang mencegah, Aretha!"

Mendengar itu, Aretha terlihat kesal.

"Kita baru saja bertemu, Jay. Tak bisakah kamu berkata lembut padaku?"

Jayden mengusap wajahnya.

"Kamu tunggu di sini. Aku cari Zefanya!"

Pria itu meninggalkan Aretha menuju halaman samping. Kesukaan Zefa adalah bermain di halaman samping bersama brownie kucingnya. Terdengar tawa Zefa lepas bersama Fayra ketika melihat kucing berbulu lebat itu mengejar bola yang sengaja dilemparkan Zefanya.

Sejenak dia berdiri menikmati pemandangan itu, ada senyum tipis terukir di bibirnya. Membayangkan Fayra berada terus bersama mereka di rumah ini tiba-tiba membuat senyumnya semakin lebar. Teringat ucapan Bisma beberapa waktu lalu, membuat dia merasa harus mengungkapkan perasaannya pada perempuan berpipi kemerahan itu.

"Asyik banget main berdua di sini," sapanya mendekat.

"Eh, Papa! Eum ... Zefa belum ngucapin selamat ulang tahun untuk Papa. Selamat ulang tahun, Pa. Semoga panjang umur dan makin sayang sama Zefa!" ucapnya beringsut dari duduk menyambut Jayden.

"Makasih, Sayang," balas Jayden mengecup puncak kepala Zefa dengan mata menatap Fayra.

"Papa, bentar ya, Zefa mau ambil brownie, dia lari-larian melulu." Gadis kecil itu berlari meninggalkan keduanya.

"Semoga berkah di sisa usia ya, Pak. Semoga semangat dalam hijrah dan berislam," tutur Fayra tersenyum.

"Makasih, Fayra. Oh iya, kue buatan kamu enak. Mengingatkan aku pada kue buatan Mama." Lagi-lagi pria itu hanya memanggil namanya, membuat dadanya kembali berdesir indah.

"Terima kasih, Pak."

"Apa aku terlalu tua sehingga sampai detik ini kamu memanggil dengan sebutan Pak?"

Fayra kembali tersenyum.

"Saya memanggil seperti itu, karena Anda orang tua dari anak didik saya, Pak."

Dia semakin terlihat nervous. Tangannya mulai memilin ujung jilbab.

"Kalau Zefa bukan lagi anak didikmu, apa kamu panggil namaku saja atau yang lainnya?"

"Maksud, Bapak?"

"Fayra." Jayden menarik napas dalam-dalam.

"Jayden!" Suara perempuan yang berdiri di pintu samping menahan ucapan pria itu.

Dengan wajah penuh selidik, Aretha mendekat. Matanya memindai perempuan yang berdiri tak jauh dari Jayden.

"Kamu bilang aku disuruh nunggu? Kenapa lama?"

Jayden mengusap tengkuk lalu memanggil Zefanya.

"Aretha, kenalkan ini Fayra. Dia pengasuh Zefa di day care. Fayra ini Aretha, dia ... mamanya Zefa."

Keduanya bersalaman dan saling menyebutkan nama. Tak lama gadis kecil itu tiba di tengah-tengah mereka. Mata polosnya menatap tiga orang dewasa di depannya bergantian.

"Zefanya?" Aretha berlutut seraya mengusap pipi Zefa.

"Zefa, dia Mama. Zefa ingat? Papa sering tunjukkan foto Mama ke Zefa, kan?"

Sejenak gadis kecil itu menatap lekat pada Aretha yang mulai meneteskan air mata.

"Mama? Mama Zefa?"

"Iya, Sayang. Ini Mama." Aretha tak sanggup menahan kerinduan. Segera dia merengkuh putrinya dan mendekap erat dengan air mata bercucuran.

"Mama sudah datang, Mama jangan pergi ya. Jangan tinggalkan Zefa," tuturnya terisak.

Melihat pemandangan di depannya, Fayra perlahan mundur. Dengan senyum tipis dia pergi meninggalkanku tempat itu.

"Fayra kamu mau ke mana?"

"Acara sudah selesai, Pak. Saya harus pulang. Assalamualaikum."

"Waalaikum salam, tunggu, Fayra!"

"Ada apa, Pak?" Dia membalikkan badan.

"Aku antar pulang. Tunggu!"

"Nggak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri. Kasihan Mbak Aretha, beliau baru saja datang. Permisi."

Fayra melangkah pergi meninggalkan rumah itu. Terasa ada perih menjalar menusuk hati hingga menyebabkan genangan air di matanya.

**

Seolah takut berpisah, Zefanya tidak mengizinkan Aretha jauh sedetik pun darinya. Gadis kecil itu banyak bercerita dan bertanya. Keingintahuan yang besar menyebabkan Aretha harus sabar dan pintar dalam memilih kata untuk bisa diterima putrinya. Sementara Jayden memilih diam, hanya sesekali saja dia menanggapi ketika zefa bertanya.

"Mama malam ini temani Zefa tidur ya."

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top