**
Jayden bergeming.
"Tadi malam Zefa mimpi Mama," ungkapnya lirih.
"Zefa mimpi Mama?" tanyanya mengulang ucapan Zefa.
Gadis kecil itu mengangguk. Jayden memang beberapa kali menunjukkan foto Aretha dan mengenalkannya kepada gadis kecil itu.
"Papa."
"Iya, Sayang?"
"Zefa boleh nggak ikut salat seperti Bunda Fayra?"
Pria itu meletakkan garpu ke piringnya, lalu bersandar di punggung kursi. Dia selalu kesulitan jika putrinya bertanya soal ini. Setidaknya beberapa kali, Zefa memaksanya mengikuti bagaimana gerak-gerik muslim mengerjakan ibadah mereka melalui YouTube.
Meski dia pemeluk agama lain, sebenarnya diam-diam dia juga memiliki ketertarikan untuk lebih tahu tentang agama Islam. Dia sendiri bukan orang yang taat atau fanatik pada agamanya. Beribadah hanya pelengkap agar putrinya menjadi pribadi yang lebih baik dari dirinya.
Ketertarikan pada Islam bermula saat asisten rumah tangganya menjalankan ibadah puasa. Dia banyak bertanya soal puasa dan sahur yang selalu dilakukan Bik Sundari selama satu bulan.
"Papa! Kok malah bengong?"
Jayden tertawa kecil kemudian mengangguk.
"Boleh, asal Zefa tanya dulu ke Bunda."
"Yes! Oke, Pa!" Gadis kecil itu beringsut mendekat kemudian mengecup pipi Jayden seraya mengucapkan terima kasih.
"Zefa siap-siap ya, Pa!" tuturnya seraya berlari menuju kamar.
**
Fayra tengah bercanda dengan kucing kesayangannya ketika sebuah mobil kuning berhenti di depan rumah. Teriakan bocah kecil memanggil namanya membuat Fayra bangkit menyambut dengan senyum.
"Zefa mau di sini sampai sore! Papa udah izinkan."
Fayra tersenyum, matanya menangkap sosok Jayden turun dari mobil. Pria itu membawa paper bag berjalan mendekat.
"Semoga Anda nggak bosan dengan kedatangan Zefa dan permintaan maaf saya. Zefa sering membuat Anda repot, mungkin ini bisa jadi satu dari permohonan maaf kami," ujarnya seraya menyerahkan paper bag kepada Fayra.
Perempuan berjilbab biru itu menggeleng kemudian berkata, "Saya tidak pernah merasa direpotkan oleh Zefa, Pak. Lalu ini apa?"
"Itu pemberian Papa dan Zefa untuk Bunda sebagai ucapan terima kasih, Bun."
Fayra mengangkat wajahnya sejenak menerima pemberian pria itu, dan kembali mata mereka bertemu, tetapi cepat ia menunduk.
"Menurut Zefa, Anda suka warna biru, semoga cocok!" tutur Jayden tersenyum.
Zefa menceritakan bahwa kemarin saat di toko baju, dia meminta papanya membelikan baju yang sama dengan dirinya secara diam-diam.
"Kalau Zefa bilang ke Bunda, pasti Bunda nggak mau, jadi ... Zefa diam-diam aja!" tuturnya seraya tertawa.
Fayra tersenyum lalu mencubit gemas pipi tembam gadis kecil itu seraya mengucapkan terima kasih.
"Oke, Zefa. Papa tinggal ya. Nanti sore, Papa jemput!"
Zefa mengangguk kemudian mencium punggung tangan Jayden. Pria itu hangat memeluk putrinya dan menyematkan kecupan di puncak kepala Zefa.
**
Bisma terkekeh mendengar cerita Jayden soal Zefa. Pria yang sejak lama mengenal Jayden itu tahu bagaimana kisah dia dan Aretha.
"Lalu apa yang akan kamu jawab kalau Zefa tanya lagi soal mamanya?"
"Entah! Mungkin aku harus datang ke rumah keluarga Aretha."
"Lagi?"
Jayden menaikkan alisnya.
"Nggak ada pilihan lain. Mungkin kali ini aku harus memaksa penjaga untuk membuka gerbang rumah itu!"
Lagi-lagi Bisma terkekeh seraya menggeleng.
"Terakhir aku dengar mereka sudah pindah, Bro! Maksudnya itu tetap rumah mereka, tapi sudah nggak ditinggali lagi."
"Dengar dari mana kamu?"
Pria berkepala pelontos itu memantik korek untuk rokoknya.
"Kebetulan pacar aku rumahnya satu komplek sama keluarga Retha," jelasnya seraya mengepulkan asap ke atas.
Jayden memijit pelipisnya.
"Kamu masih berharap Aretha pulang dan kembali pada kalian?" Bisma menatap pria yang terlihat kacau di depannya.
Pria berhidung mancung itu menggeleng kemudian berkata, "Entah. Aku nggak memikirkan soal itu, Bisma. Aku hanya ingin Zefa tahu kalau aku nggak bohong soal Aretha. Setidaknya dia masih punya mama. Itu aja!"
"Walaupun sekarang mungkin Aretha sudah memiliki keluarga?"
"Iya. Aku nggak memikirkan soal itu! Enam tahun, Bisma. Enam tahun itu apa pun bisa terjadi, kan?"
Temannya itu menyeringai lalu kembali mengisap rokoknya dalam-dalam.
"Enam tahun ya, dan kamu masih sendiri?" kelakarnya disambut senyum masam Jayden.
"Setidaknya aku punya Zefa. Sedangkan kamu? Kapan kamu ajak Nita ke penghulu?" balas Jayden kali ini tertawa lepas.
Bisma meringis mengusap tengkuk.
"Kita sedang bicara soal kamu, bukan aku!" elaknya dengan sedikit tawa.
"Lalu soal pengasuh yang berhasil membuat Zefa jatuh cinta itu gimana?" tanyanya dengan mimik serius.
"Apanya yang gimana?" Jayden balik bertanya.
"Apa kamu nggak ingin menjajaki lebih dalam? Eum, maksudku, apa kamu juga tidak jatuh cinta?" Bisma menaik turunkan alisnya membalas tatapan penuh tanya dari Jayden.
Melihat ekspresi Bisma, pria itu justru terbahak.
"Wajahmu sukses merusak bayanganku tentang Fayra! Sialan!" selorohnya tertawa.
**
Seorang perempuan berjilbab cokelat baru saja keluar dari masjid. Ada kajian soal bagaimana berislam dengan kaffah. Semenjak hijrah setahun lalu melalui seorang teman, dia merasa menemukan kenyamanan dan ketentraman. Tak ada lagi perasaan was-was dan hal lain yang menyebabkan dia kembali ke dunia malam. Perempuan itu terlihat lebih tenang dan semakin terlihat bahagia.
Enam tahun sudah dia berada di negeri orang. Mengikuti keinginan orang tua dan lari dari kenyataan masa lalu. Di negeri orang bukannya dia menemukan ketenangan, tetapi justru sebaliknya. Dia semakin larut dalam ingar bingar dan liarnya pergaulan malam. Kuliah tak terselesaikan hingga kedua orang tuanya kehabisan akal untuk menjadikan dia perempuan seperti yang diinginkan.
Kini, semua telah dia tinggalkan. Dia ingin membenahi segala yang telah membuat dirinya jauh dari Sang Pencipta. Perlahan tapi pasti dia bangkit, menyelesaikan janji kuliah pada kedua orang tuanya, yang lama tertunda.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top