Empat belas



**

Fayra tertawa kecil mendengar celoteh Zefa. Gadis itu bingung mempersiapkan kado yang tepat untuk papanya. Menurutnya sang papa tidak butuh apa-apa, tetapi justru dia ingin meminta sesuatu kepada papanya itu.

"Yang ulang tahun papa Zefa, kan? Kenapa malah Zefa yang minta hadiah?" tanyanya seraya mencubit gemas pipi gadis kecil itu.

"Zefa, kan, nggak punya banyak uang untuk beliin kado buat Papa, Bun."

"Emang Zefa mau minta apa sama Papa?"

Sejenak dia terdiam kemudian berkata, "Zefa pengin punya kucing kayak punya Bunda Fayra! Tapi ...."

"Tapi kenapa?"

"Papa nggak suka kucing," keluhnya.

Maya Fayra menyipit.

"Papa nggak suka kucing?"

Zefa menggeleng.

"Kalau Papa nggak suka, jangan paksa Papa untuk suka, Sayang."

"Tapi, Bunda, kucing itu, kan lucu. Itu kayak kucing punya Bunda, si Brownie. Lucu, kan?"

"Bunda bisa bilang ke Papa nggak?" tanyanya Zefa.

"Bilang apa?"

"Bilangin kalau Zefa mau pelihara kucing."

"Zefa sendiri dong yang harus bicara ke Papa."

Gadis kecil itu mencebik.

"Zefa mau pelihara kucing?" Suara Jayden terdengar dari belakang keduanya.

Rupanya pria itu sejak tadi sudah menjemput putri kecilnya. Namun, karena melihat Zefa sedang asyik bercengkerama dengan Fayra maka dia membiarkan keduanya.

"Papa!" serunya bangkit dari duduk menghampiri pria itu.

"Boleh ya, Pa. Boleh ya, Zefa pelihara kucing kayak Bunda Fayra?"

Fayra bangkit dari duduk tersenyum seraya mengangguk sopan. Jayden ikut melebarkan bibirnya dengan mata tak beranjak dari wajah perempuan berhijab itu.

"Papa!"

"Iya, Sayang?"

"Zefa mau kucing ya. Kucing yang kayak punya Bunda itu," pintanya lagi.

"Zefa mau brownie?" Fayra menyudahi rengekan Zefanya.

Gadis kecil yang sejak tiga hari lalu berpakaian panjang itu mengangguk.

"Kalau mau dan Papa ngebolehin, Zefa bisa ambil brownie Bunda. Asal Papa Zefa boleh," ujarnya mengulas senyum.

"Tapi Papa nggak suka ...."

"Papa suka kok! Papa suka kucing, asal Zefa mau merawat dengan baik!" potong Jayden menatap putrinya.

Sejenak Zefa diam mengamati wajah papanya, kemudian melonjak gembira.

"Yeay! Kita ambil brownie sekarang ya, Pa!" Tanpa melihat reaksi papanya, gadis kecil itu keluar ruangan menuju mobil meninggalkan Jayden dan Fayra.

Jayden mengangguk, tetapi matanya masih terpaku pada wajah perempuan di depannya. Lagi-lagi dia kagum pada kebaikan hati perempuan itu.

"Maaf, Pak. Ini tas Zefa," tuturnya seraya menyodorkan tas berwarna merah muda kepada Jayden.

"Fayra, eum ... maaf, boleh aku hanya memanggil seperti itu?"

Meski terlihat kikuk, dia mengangguk.

"Kenapa kamu memberikan kucing kesayanganmu pada putriku?"

"Karena Zefa menyayangi brownie."

"Hanya itu?"

Fayra mengangguk.

"Kalau aku menyayangimu, apa kamu juga akan memberikan hatimu untukku?" gumam Jayden hampir tak terdengar.

"Ada apa, Pak? Anda bicara apa barusan?"

"Nggak, eum ... kapan bisa kami bawa brownie?"

"Besok ya, Pak. Malam ini saya ingin tidur bersamanya," tuturnya seraya tersenyum manis.

**

Aretha berhenti tepat di depan rumah Jayden. Rumah yang enam tahun lalu sering dia kunjungi dan berakhir kelam. Rumah itu sudah banyak perubahan, baik cat, arsitektur hingga pagar dan tanamannya. Ada beberapa mobil terparkir di luar pagar. Beberapa di antaranya barusan tiba.

Mencoba cari tahu apa yang terjadi di dalam, dia turun.

"Eum ... maaf, apa benar ini rumah Jayden? Eum ... maksud saya Pak Jayden?" tanyanya pada seseorang yang baru saja turun dari mobilnya.

"Iya, Mbak," jawab pria berbaju koko putih itu. "Maaf, permisi," tuturnya meninggalkan Retha.

Masih meraba-raba apa yang terjadi, dia melihat seorang perempuan berjilbab biru dengan gamis putih kombinasi bunga-bunga kecil turun dari mobil. Di tangannya membawa kotak kue cukup besar. Dia juga tampak masuk ke rumah besar itu.  Kedatangannya disambut hormat oleh penjaga.

Melihat ada penjaga, Aretha bergegas menghampirinya.

"Maaf, Pak. Kau boleh tahu ada acara apa ya, Pak Jayden? Sepertinya sedang ada pesta?"

Pria berbadan besar itu mengatakan si empunya rumah sedang mengadakan syukuran hari lahir sekaligus menyatakan bahwa hari ini majikannya telah berganti keyakinan.

Aretha membulatkan matanya.

"Berganti keyakinan?"

"Iya, Mbak. Pak Jayden masuk Islam selepas subuh tadi di masjid Al Falah," terangnya. "Eum ... maaf, Mbak siapa? Kalau undangan langsung masuk aja, Mbak."

Aretha tersenyum tipis kemudian menggeleng.

"Saya ... saya bukan undangan. Terima kasih informasinya, Pak. Permisi ...."

Pria itu mengangguk ramah lalu kembali menyambut tamu yang baru datang.

"Eum, Pak." Aretha membalikkan badannya.

"Iya, Mbak?"

"Pak Jayden punya seorang putri, kan?"

"Iya, Mbak. Zefanya, namanya Zefanya."

Hati Aretha tiba-tiba diliputi kerinduan yang memuncak tatkala mendengar keterangan penjaga itu. Ingin rasanya dia menerjang masuk ke rumah mencari sosok putrinya lalu memeluk erat tubuhnya.

"Mbak siapa ya?" tanya penjaga ingin tahu.

"Saya ... Saya Aretha. Tolong sampaikan kepada Pak Jayden. Ada Aretha di luar."

**

Suasana syahdu begitu terasa di rumah besar itu. Setelah ayat Alquran dilantunkan, berganti dengan tausiyah dan pembacaan doa. Semua diikuti oleh undangan dengan khusyuk.

Setelah melewati perenungan dan banyak bertanya serta membaca banyak buku tentang keislaman, akhirnya Jayden Narendra memutuskan untuk berislam.

Sebenarnya sudah lama pria itu ingin tahu banyak soal agama yang dianut sekarang, tetapi waktu yang memang belum memungkinkan dia untuk mengulik lebih dalam. Namun, perlahan akhirnya dia mendapat jawaban dari semua pertanyaan yang bersarang di hatinya. Termasuk mengapa perempuan muslim tidak diperkenankan dinikahi oleh pria non muslim.

Selain itu, dirinya juga tertarik dengan konsep berpakaian bagi perempuan yang diterapkan dalam Islam. Semua pertanyaan itu dia telah dapatkan jawaban yang sangat bisa diterima oleh akalnya. Termasuk soal puasa sebulan penuh.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top