Empat

**

Berjalan menyusuri pertokoan hingga akhirnya mereka sampai di sebuah gerai baju khusus busana muslim. Jayden terlihat kikuk ketika hendak masuk.

"Kalian berdua saja yang masuk. Papa tunggu di luar aja, Ze."

Zefa mencebik manja.

"Papa yang pilihin baju yang cocok buat Zefa!"

"Eum ... nggak apa-apa kalau saya masuk? Kan saya bukan ...."

"Nggak apa-apa, Pak. Mari, sekalian pilihkan baju yang pas untuk Zefa."

Mereka bertiga memasuki gerai busana muslim ternama itu. Zefa terus menggandeng Fayra sementara Jayden mengikuti langkah keduanya.

"Bunda Fay, warna apa yang bagus buat Zefa ya?"

"Semua warna bagus buat Zefa!" ungkapnya.

Bocah kecil itu mengedarkan pandangan, kemudian berhenti pada manekin berbaju biru lengkap dengan jilbabnya.

"Papa!"

"Iya, Ze?"

"Zefa suka yang itu!" cetusnya.

"Boleh. Kita minta ke pelayan ya."

Dengan bantuan Fayra, gamis berwarna biru kini sudah berada di tangan Zefa. Riang bocah kecil ketika mencoba gamisnya.

"Papa bagus nggak?"

"Bagus!"

"Boleh, kan, Zefa ambil yang ini, Pa?"

Jayden mengangguk disambut sorak bahagia dari putrinya. Setelah menyelesaikan pembayaran, mereka keluar tepat saat terdengar azan Maghrib.

"Papa, Zefa mau pizza!"

"Oke!"

"Eum, maaf, Pak. Jika tidak merepotkan, saya mau salat dulu," tutur Fayra sopan.

"Oh boleh, sama sekali nggak repot. Mau salat di mana? Eum maksudnya di sekitar sini atau ...."

"Di musala sini aja," potongnya.

"Oke, kita ke sana!"

Tak ingin merepotkan, Fayra menggeleng seraya berkata, "Nggak usah, Pak. Biar saya sendiri aja."

"Kamu yakin?"

"Iya, Pak."

"Baik. Saya dan Zefa di sana ya," ujarnya seraya menunjuk restoran yang diinginkan putrinya.

Fayra mengangguk kemudian menjauh meninggalkan keduanya.

**

Selesai menjalankan kewajiban, Fayra melipat mukena kemudian kembali meletakkan di tempat semula. Tak ingin Zefa dan papanya menunggu lama, segera dia keluar dari musala.

"Bunda!"

"Zefa? Kenapa ke sini?"

"Zefa pengin lihat Bunda salat."

Perempuan berjilbab itu menghela napas mendengar jawaban Zefa. Dia semakin merasa segan dengan Jayden.

"Zefa, lain kali jangan bikin repot papa ya. Kan kasihan papa harus jalan lagi antar Zefa ke musala," tuturnya lembut seraya membungkuk menatap wajah Zefanya.

"Papa nggak apa-apa kok, Bun," balas gadis kecil itu.

"Oke, sekarang papa di mana?"

"Ehem ... sudah selesai?" Suara bariton Jayden terdengar dari belakang Fayra.

Lagi-lagi suara itu sukses membuatnya tersentak.

"Eum, sudah, Pak. Maaf jadi bikin repot."

"Nggak masalah, Bunda Fay. Justru Zefa yang bikin repot."

"Ayo, Bunda, Zefa lapar!"

**

Jayden menutup pintu kamar Zefa pelan. Sepanjang sore hingga malam gadis kecilnya itu terlihat bahagia. Tak dipungkiri dirinya ikut merasakan kebahagian Zefa. Melihat tawa lepasnya dan binar mata gembira saat bersama Fayra membuat Jayden merasa putrinya menemukan sosok yang bisa membuat nyaman.

Putrinya, ya hanya putrinya. Sementara dirinya masih ingin fokus membesarkan perusahaan keluarga. Ada banyak pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Meski terkadang rasa sepi menyapa. Bayangan kenakalan di masa lalu membuat dia ingin mengubur dan menebus semuanya.

Satu-satunya yang dia miliki adalah Zefa. Gadis kecil itu harus selalu bahagia. Cukuplah kemunculannya menjadi prahara. Dia ditolak ibunya sendiri dengan alasan menjaga kehormatan orang tua, bahkan hal itu disepakati oleh keluarga Aretha.

Jayden bersyukur keluarganya bisa menerima, meski harus bersitegang terlebih dahulu, baik dengan keluarganya maupun keluarga Aretha.

Kesepakatan dengan pihak Aretha agar dia tetap menjaga kehamilannya hingga lahir, akhirnya bisa diwujudkan. Namun, dengan catatan setelah melahirkan, Aretha harus segera terbang ke Amerika, dan pihak keluarganya tidak memberi akses untuk berkomunikasi sama sekali.

Kini enam tahun telah berlalu, ingatan tentang masa lalu terkadang hadir, meski dia ingin lupakan.

Mungkin dulu saat masih tahun-tahun pertama, dia tidak bisa melepaskan bayangan Aretha. Selain karena bibir Zefa sangat mirip perempuan yang pernah begitu dicintainya, juga keinginan untuk bersama membesarkan putri mereka sangat kuat.

Akan tetapi, semua sebatas angan. Keluarga Aretha benar-benar mengunci akses untuknya dan keluarga. Bahkan mereka seolah ingin menghapus bahwa ada gadis kecil yang pernah lahir dari rahim anak mereka.

Menjadi orang tua tunggal memang tidak mudah, meski begitu, dia bersyukur saat itu masih ada kedua orang tuanya yang banyak membantu. Kini Jayden benar-benar sendiri. Mau tidak mau kesibukan semakin bertambah. Dirinya harus bisa menjadi, seorang ayah, ibu sekaligus pemimpin perusahaan setiap hari.

Jayden menuju dapur, malam ini terasa lebih dingin dari malam sebelumnya. Pria itu menyeduh secangkir kopi hitam lalu membawanya ke ruang tengah. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, masih ada waktu untuk membaca beberapa proposal kerja sama dari beberapa perusahaan.

**

"Pagi, Papa!" seru Zefanya yang sudah segar dari ruang makan.

Gadis kecil itu telah menyelesaikan sarapannya. Bibik Sundari, asisten rumah tangganya sangat tahu kebiasaan dan kesukaan Zefanya. Segelas susu cokelat dan roti lapis selai kacang adalah sarapan favoritnya.

"Pagi, Sayang."

"Papa nggak mandi? Kan kita mau ibadah terus ke rumah Bunda," celoteh Zefa.

"Iya, Sayang. Papa semalam tidur terlalu larut. Oke, Papa sarapan dulu setelah itu kita berangkat!"

Zefanya mengangguk. Dia tampak memperhatikan gerak-gerik papanya.

"Kenapa malah lihatin Papa? Zefa nggak siap-siap?"

Senyum Zefanya terbit, tetapi kemudian wajahnya terlihat menyembunyikan pertanyaan.

"Papa, Papa pernah bilang kalau Mama masih di luar negeri. Kenapa Mama nggak pulang?"

Mendengar ucapan Zefa, Jayden sontak menghentikan memotong sandwich paginya.

"Mama masih sibuk, Sayang," tuturnya meneguk segelas lemon hangat mencoba mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan putrinya yang tiba-tiba.

"Mama sayang sama Zefa nggak, Pa?"

"Pasti sayang, dong!"

"Kalau sayang kenapa Mama nggak pernah telepon atau video call?"

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top