Dua puluh empat

**

"Kamu nggak ingin Zefa bahagia, Jayden?" tanyanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Jayden kembali meminta maaf.

"Bukan itu maksudku, Aretha."

"Lalu apa? Kenapa? Apa karena perempuan itu?" tanyanya dengan suara tinggi.

"Aretha, cukup! Setidaknya Jayden sudah jujur padamu!" Pak Dedi menengahi.

"Kamu akan lebih kecewa jika nanti tahu kalau ternyata Jayden berbohong, Retha," sambungnya.

"Tapi, Pa! Aretha ...."

"Jayden, Om hargai kejujuranmu. Kamu bebas menentukan pilihan."

"Terima kasih, Om. Maafkan jika jawaban saya tidak seperti yang diharapkan Om dan Tante."

"Sama seperti Om, Tante juga menghargai kejujuranmu. Siapa pun yang kamu pilih, kami harap itu juga yang terbaik untuk Zefa. Meskipun ada Aretha."

"Iya, Tante."

Air mata Aretha mengalir tak terbendung. Kekesalannya semakin memuncak kepada perempuan yang dia duga telah merenggut bahagia yang ia inginkan.

"Kamu keterlaluan, Jayden! Kamu bahkan sama sekali tidak menghargai aku sebagai perempuan yang telah melahirkan Zefa!" tuturnya meradang.

"Justru dengan ini aku menghargaimu, Aretha. Aku nggak ingin jadi pengecut dengan berpura-pura mau membina hubungan kembali demi sesuatu yang klise."

Kedua orang tua Aretha diam menyaksikan perdebatan putrinya dengan Jayden.

"Klise kamu bilang? Untuk seorang anak kamu bilang klise?" pekik Aretha. "Munafik!"

"Aretha sudah! Jayden, sudahlah, biar Aretha jadi urusan kami. Sekali lagi kami hargai keputusan dan kejujuranmu." Pak Dedi  kembali menengahi.

Setelah dirasa cukup, Jayden bangkit untuk pulang.

"Tunggu!"

Pria itu menahan langkahnya menoleh kepada Aretha.

"Ya, Aretha?"

"Apa aku masih boleh bertemu Zefa?"

Tersenyum, Jayden mengangguk.

"Seperti yang aku bilang, kamu mamanya. Kamu berhak kapan pun menemui Zefa."

**

Hela napas lega dan wajah berbinar terlihat dari Jayden. Satu masalah sudah dia selesaikan, meski harus membuat kecewa. Namun, bukankah dalam hidup kita memang harus memilih? Suka tidak suka kita terkadang memang dipaksa untuk membuat satu keputusan.

Meluncur dengan kecepatan sedang, Jayden mengarahkan mobil ke kediaman Fayra untuk menjemput gadis kecilnya.

Tibanya di rumah mungil, tetapi asri, pria itu diam sejenak. Matanya terpaku pada kedua perempuan beda generasi yang tampak bercanda. Sesekali perempuan berjilbab merah marun itu mengusap gemas pipi Zefa. Hal yang lama dia rindukan. Meski Zefa sering bersama Aretha, tetapi dirinya tidak pernah melihat keakraban seperti yang dia saksikan saat ini.

Bibirnya menyungging senyum, saat baru saja dia hendak turun dari mobil, sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depannya. Dari dalam kendaraan itu keluar seorang pria dengan perempuan paruh abad bergamis abu-abu. Kembali Jayden duduk mengurungkan niat untuk turun.

Dia melihat Fayra menyambut hangat keduanya, kemudian mempersilakan masuk. Hatinya mulai bertanya-tanya siapa pria yang dia taksir berusia sama dengannya itu. Sambutan hangat yang diberikan Fayra sedikit membuatnya risau. Ada gelombang rasa berbeda ketika melihat senyuman Fayra kepada kedua tamu tersebut.

Tak ingin terlalu lama berprasangka, segera dia keluar dari mobil mengayun langkah menuju rumah bercat biru itu.

Dari luar terdengar tawa renyah penghuninya, sesekali suara Zefa menimpali berkomentar soal kue yang dia makan. Perlahan dia mengetuk pintu seraya mengucap salam.

"Waalaikum salam," sahut yang di dalam bersamaan.

Tanpa sengaja matanya menangkap tatapan serta senyum Fayra menyambutnya.

"Silakan masuk, Jayden," tutur nenek sopan.

Perempuan sepuh yang masih rapat mengenakan jilbabnya itu mengenalkan dirinya dengan tamu yang membuatnya penasaran.

"Adrian," tutur pria yang sedikit lebih pendek dari Jayden itu menyebutkan namanya ramah. Pun demikian dengan Jayden.

"Papa, Zefa hari nini baca Iqra'nya udah naik ke halaman delapan, Pa," lapor gadis kecil yang berada di pangkuan Fayra.

"Hebat dong! Masyaallah, anak Papa pinter!" pujinya seraya tersenyum lebar.

Kehangatan tercipta di rumah Fayra. Dari obrolan ringan, barulah Jayden tahu jika Adrian adalah cucu sahabat lama sang nenek. Dari obrolan itu pula dia menangkap ada signal untuk lebih mendekatkan Fayra dengan pria berkemeja cokelat di sampingnya.

Tak dipungkiri Jayden mulai merasa tidak nyaman. Pria bernama Adrian itu terlihat lebih agamis dibandingkan dirinya. Tentu saja selain itu, Adrian masih single.

"Mari diminum, Jayden. Ini tadi sirup markisa buatan Fayra sendiri. Di belakang ada pohon markisa. Buahnya banyak, Fayra sama Zefa berdua tadi yang buat. Iya, kan Zefa?"

Zefanya mengangguk seraya memamerkan deretan giginya.

"Bunda Fay pinter bikin apa aja, Pa!" ungkapnya.

Dipuji Zefa, Fayra tersenyum tipis.

Setelah menyesap sirup buatan Fayra Jayden mengajak putrinya pulang.

"Besok sore sepertinya Zefa libur dulu, Pak. Eum ... saya sama Nenek mau pergi," tuturnya saat mengantarkan Zefa dan Jayden di teras.

"Libur?"

Fayra mengangguk sambil tersenyum.

"Ke mana?" tanyanya tak sanggup menyembunyikan rasa penasaran.

"Ke rumah Tante Hani, putri Eyang Sri, ibu dari Mas Adrian," jelasnya sopan.

Lagi-lagi ada gemuruh di dadanya yang menggelegak ingin keluar. Berbagai pikiran kembali muncul di kepalanya. Mendadak Jayden merasa seperti pria pengecut.

"Papa, Zefa ke mobil dulu ya," pamit Zefanya berlari kecil menuju kendaraannya.

"Oke, berangkat kapan?"

"Besok pagi."

"Lalu apa mereka menginap di sini?" tanyanya mulai resah.

"Mereka?"

"Iya, eum ... Eyang dan cucunya itu. Apa mereka bermalam di rumahmu?"

Fayra mengulum senyum melihat ekspresi Jayden.

"Nggak, Pak," jawabnya seraya menunduk.

Seperti ada beban yang sedikit terlepas dari pundaknya saat mendengar jawaban perempuan bermata indah itu.

"Kalau begitu ... aku balik ke sini malam nanti. Bisa?"

Mata Fayra menyipit mencoba memahami ucapan pria di depannya.

"Ke sini? Untuk?"

"Kamu akan tahu nanti. Tolong sampaikan ke Nenek soal ini ya. Assalamualaikum."

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top