Dua puluh dua
"Itu ada di situ, Zefa baca," jelasnya kembali menunjuk lengan mamanya.
Aretha mencoba tersenyum menepis rasa panik.
"Nick itu ... nama, nama teman Mama," tuturnya seraya kembali memakai tuniknya.
"Kenapa nama teman Mama ditulis di situ?"
"Eum ... karena dia teman baik Mama, tapi Mama mau hapus nanti."
"Kenapa dihapus, Ma? Apa sudah bukan teman baik Mama lagi?"
"Zefa! Jangan tanya soal ini lagi, mengerti?" Aretha sedikit menaikkan nada suaranya.
Terkejut atas reaksi Aretha, dia tak lagi bertanya, Zefa hanya mengangguk meski di wajahnya masih tampak ingin tahu.
"Mama."
"Iya, Zefa?"
"Zefa boleh telepon Bunda Fayra?" tanyanya tiba-tiba.
Mendengar nama Fayra disebut, Aretha terdiam. Menarik napas dia menatap putrinya.
"Untuk apa telepon ke Bunda Fayra? Mama sudah hapus nomornya."
"Kenapa Mama hapus?"
Dia tersenyum kecil kemudian mendekat lalu mengusap kepala Zefa.
"Zefa sudah punya Mama. Apa pun yang Zefa mau, Zefa bisa minta ke Mama. Oke!"
"Tapi, Ma ...."
"Ssstt, kita berangkat sekarang yuk! Kita beli sesuatu untuk mengejutkan Papa," ajaknya menghentikan ucapan Zefanya.
**
Fayra tengah memindahkan beberapa bunga ke pot yang baru saja dibeli. Terik matahari tidak menyurutkan semangat merawat tanaman kesayangannya.
"Fayra, matahari sudah tinggi. Disambung nanti aja kalau sudah menjelang sore," ujar neneknya.
Perempuan itu mengangguk.
"Iya, Nek. Tanggung, bentar lagi," tuturnya seraya merapikan beberapa pot yang sudah berisi bunga anggrek.
Sang nenek duduk di teras mengamati cucunya. Ucapan Fayra yang mengatakan bahwa Jayden berencana akan ke rumah mereka membuat hati perempuan sepuh itu bertanya-tanya.
"Fayra," panggilnya ketika cucunya telah mencuci tangan.
"Iya, Nek?"
"Kemarilah! Duduk sini."
Fayra melangkah mendekat kemudian duduk tepat di sebelah neneknya.
"Ada apa, Nek?"
"Kamu bilang Jayden akan ke sini?"
Fayra mengangguk seraya menepuk ujung gamis yang kotor oleh tanah.
"Dia bilang nggak, dalam rangka apa dia ke sini?"
Perempuan berpipi kemerahan itu menggeleng.
"Pak Jayden nggak bicara apa tujuannya, Nek. Beliau hanya bilang apa boleh beliau bertandang ke rumah dan bertemu Nenek. Itu aja."
Perempuan sepuh itu menarik napas dalam-dalam kemudian mengusap bahu cucunya.
"Entah kenapa Nenek berpikir dia akan memintamu, Fay."
"Meminta Fayra? Maksud Nenek?" tanyanya dengan mata menyipit.
Menarik napas, sang nenek berkata, "Itu pemikiran Nenek, sebab ada urusan apa sehingga Jayden ingin bertemu Nenek?"
Fayra menggeleng.
"Nek, Pak Jayden itu sudah bertemu kembali dengan Mbak Aretha. Kenapa Nenek malah berpikir sejauh itu?"
"Jadi apa kira-kira maksud datang ke sini?"
"Entah, mungkin mau pesan beberapa macam kue?" tebaknya dengan mata membulat.
"Kamu ini! Bisa aja."
"Kan mungkin, Nek. Bisa jadi mereka ingin mengadakan syukuran gitu?"
Neneknya menggeleng tersenyum tipis.
"Fayra, Nenek rasa mamanya Zefa tidak menyukaimu."
Menarik napas dalam-dalam, Fayra tersenyum.
"Nenek pernah bilang kalau kita tidak bisa menuntut semua orang menyukai kita, kan?" tanyanya. "Fay belajar banyak dari petuah yang diberikan Nenek. Nenek, percayalah, Fayra cukup kuat untuk menghadapi ini. Lagipula ... melihat Zefa bahagia itu sudah bikin Fay merasa bahagia juga."
Senyum sang nenek terbit.
"Nenek bersyukur kamu bisa memahami kondisi ini," tuturnya seraya mengusap puncak kepala Fayra.
"Insyaallah, Nek. Eum ... Fayra lapar deh, Nek. Yuk makan yuk!"
Mereka berdua bangkit masuk ke rumah.
**
Jayden menarik napas dalam-dalam mencoba meredam emosi yang mulai menggelegak di hatinya. Cerita Zefa tentang tato di lengan Aretha membuat pria itu kesal. Dia merasa tidak nyaman karena Zefa meminta agar lengannya diberi coretan yang sama seperti Aretha.
"Mama bilang kalau kita punya teman baik, kita bisa menuliskan namanya di sini, Pa," tuturnya seraya menunjuk lengannya. "Seperti Mama," jelasnya.
Gadis kecil itu menyebutkan nama yang tertulis di lengan mamanya.
"Zefa boleh nggak tulis nama Bunda Fayra di sini? Kan Bunda teman baik Zefa?"
Pria yang baru tiba dari kantor itu menggeleng pelan seraya mengusap puncak kepala putrinya.
"Mama ke mana?"
"Mama ke rumah Eyang."
Jayden mengusap wajahnya.
"Zefa, kalau punya teman baik, nggak perlu mencorat-coret badan kita. Cukup diletakkan di hati dan didoakan. Itu lebih baik daripada mencorat-coret seperti yang Zefa lihat di lengan Mama," tuturnya.
"Nggak boleh ya, Pa?"
"Nggak boleh, Sayang."
"Kalau nggak boleh, kenapa Mama ...."
"Bisa jadi Mama lupa, atau ... Mama belum tahu."
Zefanya mengangguk mengerti. Bocah kecil itu kembali mengatakan bahwa dia akan memberitahukan soal ini kepada mamanya.
"Papa, Zefa boleh telepon Bunda Fayra?"
Mata Jayden menyipit.
"Telepon Bunda Fayra untuk apa?"
"Zefa pingin bicara aja. Zefa sudah lama nggak belajar Iqra'. Boleh, Pa?"
"Mau belajar ya? Boleh, tapi tanya dulu, mengganggu waktu Bunda apa nggak?"
Zefa bersorak saat tahu papanya mengizinkannya. Dengan polos dia berucap jika mamanya tidak memperbolehkan dirinya menghubungi Fayra.
"Mama nggak ngebolehin?"
"Iya, Pa. Mama bilang sekarang sudah ada Mama. Jadi, kalau mau apa-apa ke Mama aja, gitu, Pa. Tapi, kan, Zefa pingin belajar sama Bunda," ungkapnya.
Pria berpostur tinggi itu kembali menghela napas.
"Zefa boleh menghubungi Bunda. Kapan mau telepon?"
"Sekarang! Boleh, Pa?"
Jayden mengangguk menyerahkan ponselnya ke Zefanya.
**
Aretha menangis mengungkapkan kekesalannya. Perempuan berdagu lancip itu merasa Jayden smaa sekali tidak peduli dengan keinginannya. Hal itu dia ceritakan kepada sang mama.
"Aretha, kamu nggak bisa berjuang sendiri, itu akan sia-sia, Nak."
"Lalu apa yang harus Retha lakukan, Ma? Retha hanya ingin memiliki keluarga yang utuh! Retha ingin memperbaiki hubungan yang telah lama terputus," ungkapnya dengan mata mengembun.
*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top