Dua puluh delapan


**

Zefa duduk sendiri di ruang makan. Dari tempatnya duduk, dia bisa melihat Bik Sundari yang tengah menyiapkan makan malam. Aroma ayam kecap kesukaannya menguar membuat bocah itu menghidu seraya berucap, "Sedap, Bik."

Perempuan yang memakai ciput rajut berwarna hitam itu tertawa kecil. Dia sangat tahu kegemaran putri majikannya.

"Zefa sabar, tunggu Papa datang ya," tuturnya meletakkan piring lebar berisi ayam yang sudah siap disantap ke meja.

"Iya, Bik. Eum ... Bik."

"Iya, Non?"

"Kan sebentar lagi Zefa punya Bunda."

"Iya, Non."

"Apa nanti Bunda bakal jadi ibu tiri Zefa? Kata Mama ibu tiri itu jahat. Apa nanti Zefa bakal dibentak juga disuruh-suruh, Bik?"

Bik Sundari menggeleng seraya mengusap dada mendengar penuturan Zefanya.

"Siapa yang bicara seperti itu, Zefa?"

"Mama, Bik."

Kembali Bik Sundari menggeleng.

"Itu nggak benar. Bunda Fay nggak bakal seperti yang Zefa sebut tadi. Meski Bibik hanya bertemu sekali dengan Bunda Fayra, Bibik yakin beliau nggak akan berbuat seperti itu."

"Tapi Zefa punya ibu tiri, kan, Bik? Dan kata Mama, yang sayang ke kita itu ibu yang melahirkan kita. Bukan ibu tiri," paparnya polos.

Perempuan paruh baya itu tersenyum tipis kemudian mendekati putri majikannya.

"Zefa, nggak semua ibu tiri itu jahat seperti yang diceritakan Mama. Ada juga ibu tiri yang baik, dan Bibik tahu Bunda Fayra akan menjadi ibu yang baik untuk Zefa."

Gadis kecil itu diam seperti tengah berpikir.

"Kata Mama ...."

"Assalamualaikum." Suara bariton Jayden terdengar. Pria itu ternyata telah berdiri tak jauh dari ruang makan. Keduanya menoleh seraya menjawab salam.

Bik Sundari mengangguk hormat lalu melangkah ke dapur.

"Lagi ngobrolin apa?" tanyanya menatap Zefanya.

"Papa," panggil Zefa ketika pria itu duduk di sampingnya.

"Iya, Zefa?"

Menarik napas bocah itu kembali menanyakan hal yang serupa.

"Zefa ... Zefa percaya Papa, kan?" tanyanya lembut.

Bocah kecil itu mengangguk.

"Kalau Zefa percaya ke Papa, Zefa nggak perlu khawatir soal apa pun. Termasuk soal ibu tiri yang Zefa tanyakan itu."

Mata polos Zefanya membalas tatapan sang papa.

"Iya, Pa. Zefa percaya Papa, tapi ...."

"Tapi apa, Sayang?"

"Apa nanti kalau Bunda Fay punya anak, Bunda jadi nggak sayang lagi ke Zefa, Pa?"

Kening Jayden kali ini berkerut.

"Mama yang bilang begitu?" tanyanya.

"Iya, Pa. Kayak cerita Cinderella itu, kan, Pa?"

Jayden berusaha menjaga perasaan meradang di hatinya. Dia sama sekali tidak menyangka jika Aretha telah melakukan hal ini.

"Zefa, kalau Zefa percaya ke Papa, Papa mohon jangan lagi percaya soal kisah ibu tiri itu lagi ya," pintanya.

Zefanya mengangguk mengerti.

"Sekarang kita makan malam yuk! Papa lapar."

"Oke, Pa!"

**

Aretha terdiam, tenggorokan kering seketika saat mendengar pertanyaan dokter. Pertanyaan yang sebenarnya sudah lama dia tidak ingin dengar.

"Bu? Berapa lama Ibu meninggalkan terapi dan pengobatan?"

Perempuan bertunik merah dengan legging hitam itu menggeleng pelan. Sudah sangat lama, bahkan jauh sebelum dia pulang ke Indonesia, Aretha berbohong pada Salwa saat temannya itu bertanya soal kemoterapinya.

Dokter yang sebagian rambutnya memutih itu menggeleng pelan, seraya berkata, "Kita jadwalkan ulang lagi ya, Bu. Kita mulai terapi dari awal."

Aretha bergeming. Dia sudah merasakan bagaimana sakitnya efek kemo waktu itu. Perutnya seolah diaduk dengan kencang sehingga menimbulkan mual hebat. Dia bahkan berpikir saat itu akan mati. Beruntung Salwa mengurus dan memperhatikan dengan baik.

"Bagaimana, Bu? Saya menganjurkan untuk ibu kembali memulai terapi dari awal. Sebab jika ...."

"Saya akan pikirkan lagi, Dokter. Bisa sementara ini saya minta obat penahan nyeri saja?" potongnya.

Menarik napas dokter itu mengangguk seraya berpesan agar Aretha tidak terlalu lama berpikir untuk segera menjadwalkan ulang terapinya.

"Sayangi diri Ibu juga orang-orang sekitar Ibu. Mereka ingin Ibu sehat."

"Iya, Dokter. Saya mengerti."

"Saya beri resep, tapi ingat segera kembali setidaknya pekan depan."

Aretha mengangguk lalu bangkit setelah menerima kertas resep yang harus dia tebus, seraya mengucapkan terima kasih.

Sepanjang koridor rumah sakit pikirannya menerawang. Mengabaikan terapi dan merasa dirinya baik-baik saja ternyata salah.

Penyakit yang menggerogotinya itu masih nyaman di tubuhnya. Terkadang ada sedikit harapan ketika merasa tubuhnya tidak merasakan nyeri. Namun, belakangan ini rasa sakit itu sering muncul membuatnya mau tak mau harus kembali berurusan dengan segala macam obat.

Langkahnya berhenti di apotek yang berada di rumah sakit itu. Menunggu antrian Aretha duduk di kursi panjang lalu bersandar di sana. Ingatannya membawa pada kehidupannya beberapa tahun silam.

Sex bebas! Melakukan hal tabu dengan berganti-ganti pasangan adalah hal biasa baginya. Belum lagi dengan minuman beralkohol yang tidak pernah absen bertengger di lemari pendingin di apartemennya. Semua begitu akrab dengan hidupnya kala itu.

Kenikmatan semu itu kini  muncul akibatnya. Penyakit itu telah hadir di tubuhnya. Aretha sendiri enggan untuk tahu seberapa jauh sakit itu berakar di dirinya. Satu yang dia tahu, jika serangan itu datang, maka hanya nyeri yang tak tertahankan dirasakan.

Bayangan Nick yang seringkali melakukan kekerasan padanya ikut hadir di memorinya.

Pria yang terlihat sempurna itu berubah menjadi monster yang selalu memintanya melakukan hubungan seksual dengan semua peralatan seks  yang dia miliki. Tak hanya itu, jika dia menolak maka siksaan yang didapat. Namun, anehnya hal itu dia nikmati hingga tiga tahun berjalan.

Aretha menghela napasnya saat seorang petugas bertanya padanya.

"Eh, iya. Saya mau menebus resep," tuturnya seraya bangkit menyerahkan kertas yang didapat dari dokter.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top