Dua puluh
**
Sejenak ruang keluarga itu hening.
"Aku mau nanti malam kita semua ke rumahku!"
Mata Jayden menyipit.
"Kenapa? Kamu nggak mau?" tanya Aretha.
"Kenapa harus malam ini?" Dia balik bertanya.
"Karena lebih cepat lebih baik!" balas Aretha.
Jayden melipat lengan kemejanya hingga siku, lalu bangkit meninggalkan ruangan itu. Merasa tidak mendapatkan reaksi dari pria itu, Aretha bangkit mengikuti langkahnya.
"Jayden! Kamu belum menjawab pertanyaanku."
Pria itu membalikkan badannya kemudian menggeleng.
"Kamu menolak?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Karena aku belum mau."
"Demi Zefa? Kamu nggak mau?"
Jayden kembali membalikkan badannya.
"Aretha dengar, bukan aku nggak mau, tapi ada banyak hal yang harus aku pikirkan untuk membangun sebuah rumah tangga seperti yang dikonsepkan dalam Islam. Kamu tahu aku baru saja memeluk agama ini? Tugas sebagai suami itu tidak mudah. Dia harus bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya sekaligus perbuatan anak istrinya. Sementara aku harus belajar lebih lagi untuk itu."
Aretha membisu.
"Kamu salah jika ingin membangun rumah tangga demi Zefanya."
"Salah? Demi anak kita ... itu salah?" tanya Aretha dengan wajah tegang.
Jayden menarik napas dalam-dalam kemudian tersenyum.
"Tentu saja salah. Niatnya saja sudah nggak benar, bagaimana kelanjutannya?"
Aretha mendengkus. Dia kembali duduk di sofa dengan wajah masam.
"Aku nggak ngerti cara berpikirmu! Kamu berbelit-belit! Ini pasti karena dia, iya, kan?"
Kali ini Jayden sedikit kesal. Dia kembali ke sofa tempat duduknya tadi.
"Dia siapa, Retha?"
"Nggak usah pura-pura, Jay!"
Pria itu mengusap wajahnya kemudian menarik napas dalam-dalam.
"Dia ... maksudmu, Fayra?"
Aretha menyandarkan tubuhnya ke sofa. Dadanya bergejolak rasa cemburu. Dia tidak sanggup membayangkan bagaimana jika harus kehilangan Zefa dan Jayden sekaligus. Aretha tidak siap untuk itu.
"Jika memang Fayra yang kamu maksud, kamu salah. Kamu bisa cek sejauh apa aku dengan dia. Aku bahkan nggak pernah bertemu sejak kamu hadir. Tolong, jangan libatkan dia pada masalah ini."
"Kamu sedang berusaha melindunginya?"
"Aretha, berhenti berburuk sangka padanya."
"Lalu jika bukan karena dia, kenapa kamu menolak usulanku? Kamu nggak ingin Zefa memiliki keluarga yang utuh?"
"Aku akan mengambil keputusan jika niatmu, niatku sudah benar!"
"Maksudnya?"
"Jika niat kita didasari karena Allah, bukan karena yang lain!"
Mendengar ucapan Jayden, Aretha terdiam.
"Jelas, Retha?" tanyanya menatap perempuan itu, "bukan karena siapa-siapa, tapi lebih karena aku harus memperbaiki semua niat untuk kebaikan Zefanya kelak!"
Aretha membuang napas kasar. Menurutnya, pria itu telah benar-benar berubah. Mungkin Jayden benar dengan ucapannya, tetapi dirinya juga merasa telah berbuat benar demi Zefa juga pria yang ternyata masih dia cintai.
"Jadi kamu nggak mau datang ke rumah orang tuaku nanti malam?"
Jayden hanya mengedikkan bahu lalu bangkit menuju kamarnya.
**
Suasana binatang malam bersahutan. Angin sepoi menyapa dedaunan. Langit tampak cerah dengan sinar bulan dan bintang.
Fayra duduk di balai-balai bersama sang nenek dan Eyang Sri sahabat neneknya. Di tengah-tengah mereka ada teh hangat dan menemani pisang dan singkong rebus.
"Rasanya tinggal di sini nyaman banget ya, Nek," tutur Fayra seraya menyesap teh hangat.
"Kamu suka, Fay?"
Fayra mengangguk cepat. Dia menuturkan jika saja bisa liburan lebih lama, pasti dia akan menikmati setiap sudut desa ini.
"Nanti kalau ada libur panjang kamu bisa main ke sini. Nanti Eyang kenalkan sama Ardian cucu Eyang. Biasanya dalam sebulan dia datang ke sini di akhir pekan. Kebetulan pekan ini dia tidak bisa datang, karena ada acara kantor," jelas Eyang Sri.
"Ardian itu ... anaknya ...."
"Hani, Ardian itu anak pertama Hani, dari tiga bersaudara," potong perempuan berusia separuh abad lebih itu.
Mendengar penjelasan sahabatnya, sang nenek melirik Fayra kemudian berkata, "Sepertinya kita bisa jodohkan Ardian dengan Fayra. Bagaimana, Sri?"
Eyang Sri tersenyum kemudian mengangguk.
"Bisa juga, tapi kita harus tanya Fayra dulu. Jaga-jaga bila ternyata dia sudah punya pilihan lain gimana? Bagaimana, Fayra?"
"Bagaimana apa, Eyang?" tanyanya gelagapan.
Kedua perempuan sepuh itu tertawa melihat tingkah Fayra.
"Nggak apa-apa, Fayra. Kami hanya bercanda. Kamu lebih tahu hidupmu. Nenek hanya berdoa dan berharap yang terbaik buat cucu nenek," tuturnya seraya mengusap bahu cucunya.
Fayra tersenyum tipis kemudian mengangguk.
"Nenek, nanti jika sudah saatnya tiba, pasti Allah akan beri. Betul begitu, kan, Eyang?"
Eyang Sri mengangguk seraya mengacungkan jempol tanda setuju.
**
"Pernikahan mesti didasarkan pada niat karena Allah. Segenap konsekuensi dari pernikahan, mesti berada di jalan menuju ridha Allah Ta'ala."
Ucapan Ustaz Amir kembali terngiang di telinga Jayden. Selain itu, Ustaz Amir juga mengatakan hendaknya ketika menikah harus selektif, dalam arti seorang muslim harus benar-benar diketahui latar belakangnya.
Masih menurut beliau, yang terpenting adalah memastikan tentang keteguhan akidah dan kebaikan akhlak calon pasangan. Sangat dianjurkan untuk memilih calon istri yang bisa diajak sama-sama menuju ketakwaan kepada Allah.
Pria itu meregangkan tubuhnya membuang penat. Permintaan Aretha agar dinikahi membuat dia harus berupaya meluruskan niat. Bukan dia tidak ingin memberikan kebahagiaan bagi Zefa, tetapi Jayden merasa belum yakin dengan Aretha.
**
"Sebenarnya siapa yang kamu inginkan untuk jadi pendampingmu, Jay?" tanya Bisma saat pria itu di telepon untuk datang ke kantornya.
Jayden tersenyum miring.
"Aku ingin mengawali semuanya dengan baik, tapi ... entah kenapa aku nggak yakin dengan keputusan ini."
"Maksud kamu?"
Pria itu menutup laptop, lalu bersandar seraya melonggarkan dasinya.
"Aku hanya ingin memulai ibadah terpanjang ini dengan niat karena Allah seperti yang dikatakan Ustaz Amir, tapi ...."
"Tapi?"
"Aku nggak yakin, Bisma."
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top