Dua belas

Mendengar penuturan Jayden, degup jantungnya terasa bertalu semakin cepat. Kembali Fayra merasakan desir halus menyapa ruang kosong hatinya.

"Ayo, Bunda!" Tarikan tangan Zefa membuyarkan lamunan Fayra.

Mereka bertiga masuk ke toko, sigap Jayden mengambil trolly, lalu berjalan di samping Fayra. Sementara Zefa tak berhenti bertanya tentang semua yang dianggapnya menarik.

Fayra menarik napas dalam-dalam mengatur ritme jantung yang tidak beraturan. Satu per satu bahan untuk membuat brownies masuk ke trolly, hingga lengkap.

"Sudah, Pak," tuturnya seraya tersenyum tipis.

"Bunda, Zefa mau juga dibikinin brownies. Boleh ya?"

"Boleh dong. Bunda sudah belanja lebih buat bikinin Zefa." Fayra mengusap pipi bocah itu gemas.

"Bisa bikin cheesecake?" Jayden yang sejak tadi diam ikut bicara.

"Bisa."

"Kalau nggak keberatan, bisa buatkan untuk saya pekan depan?"

"Insyaallah, bisa, Pak."

"Bunda, Papa pekan depan itu ulang tahun, iya, kan, Pa?"

Jayden tersenyum.

"Dirayakan, Pak?"

Pria itu menggeleng.

"Dulu waktu Mama saya masih ada, beliau selalu membuat kue itu setiap hari spesial," jawabnya dengan mata menerawang.

"Insyaallah saya akan buatkan, tapi mungkin nggak seenak buatan Omanya Zefa," tutur Fayra.

"Saya nggak yakin, justru saya berpikir buatan Anda lebih enak!" timpalnya kali ini menatap ke wajah Fayra.

"Bapak belum coba, kan? Kok tahu kalau buatan saya enak?"

"Karena saya percaya Anda!"

"Percaya?"

"Percaya kalau ...."

"Papa! Ayo maju, antriannya udah tuh!" ucapan Zefa memutus pembicaraan mereka.

**

Dua loyang brownies akhirnya selesai. Zefa bersorak karena kue bertekstur lembut dan padat, berwarna cokelat kehitaman dan memiliki rasa khas cokelat miliknya telah matang.

Sementara Jayden ikut duduk di ruang makan bersama Nenek sembari berbincang santai. Sesekali mata pria itu mencuri pandang ke Fayra. Perempuan berjilbab itu sama sekali tidak menunjukkan rasa lelah.

"Apa Fayra setiap akhir pekan selalu sibuk, Nek?"

"Hampir seperti itu, meski kadang tidak. Kalau tidak pun dia asyik ngurusin koleksi tanamannya sampai lupa waktu. Paling ingat salat, terus balik lagi ke tanaman. Agak susah makan dia," terang sang nenek.

"Susah makan ya, Nek?"

Perempuan tua itu mengangguk.

"Asal perutnya sudah keisi jus di pagi hari, ya sudah, sampai sore, baru ketemu nasi. Itu aja kalau nggak dipaksa, dia nggak makan nasi,"  terangnya lagi seolah tengah mengadu.

"Papa! Ini kue brownies buatan Bunda! Cobain deh!" Zefa mendekat seraya menyodorkan piring berisi beberapa potong brownies.

Jayden tersenyum menatap Fayra yang juga tengah menatapnya.

"Saya coba ya."

"Silakan, Pak."

Perlahan pria itu menggigit kue dan menikmatinya.

"Gimana, Pa? Enak, kan?" tanya Zefa.

Sambil mengangguk, dia mengacungkan jempol kepada Fayra.

"Seperti yang saya duga, ini enak banget!"

Fayra tersenyum, diikuti Zefa Yang bersorak di sampingnya.

"Ayo, Fayra, kita masukkan ke kotaknya. Nanti keburu diambil orang yang pesan," ajak Nenek.

"Nenek, Zefa boleh bantu?"

"Boleh, Sayang."

Fayra mendekat mulai mengatur kotak, memasukkan satu per satu kue ke dalam kotaknya.

"Saya boleh bantu juga?" Jayden menawarkan tenaganya. "Masa saya cuma ngeliatin aja?"

"Silakan, Pak. Tapi ini pasti pengalaman pertama Bapak ya?" tutur Fayra mengulas senyum.

"Iya sih! Mohon petunjuknya ya, kalau salah," ujarnya seraya tertawa kecil.

Fayra tertawa melihat Jayden serius mengikuti bagaimana Nenek memasukkan kue-kue itu ke dalam kotak.

"Diambil jam berapa ini nanti, Fay?" tanya sang nenek saat semua sudah siap.

"Selepas Asar, Nek," jawabnya kemudian menatap Zefa yang masih asyik melahap kuenya.

Perempuan itu tersenyum tipis, dia merasa bahagia melihat kuenya disukai gadis kecil itu.

"Zefa, sudah siang. Bunda Fay butuh istirahat, kita pulang yuk!" ajak Jayden.

"Tapi Zefa belum belajar baca buku Iqra', Pa," elaknya.

"Besok, kan Zefa ketemu lagi sama Bunda?" bujuk Jayden lagi.

Gadis kecil itu diam, matanya menatap perempuan berjilbab di sampingnya.

"Iya, Pa. Bunda pasti capek! Bunda, besok kita belajar ya di day care."

"Iya, Sayang." Fayra mengusap puncak kepala gadis kecil itu.

"Yeay! Makasih, Bunda," tuturnya bersorak.

"Sama-sama, Zefa Sayang."

Melihat interaksi putrinya dan Fayra yang semakin dekat, membuat Jayden kagum pada perempuan itu. Hingga tanpa sadar sejak tadi matanya enggan berhenti memandang Fayra.

"Ayo, Papa. Kita pulang, biar Bunda istirahat!" Suara Zefa membuatnya segera memutus pandangan itu.

Pria itu mengangguk kemudian berpamitan dan tak lupa mengucapkan terima kasih.

"Nenek bilang,  Anda susah makan?" tanya Jayden sesaat sebelum meninggalkan rumah Fayra

Mendengar pertanyaan itu, Fayra hanya tersenyum.

"Itu artinya Anda nggak menyayangi diri Anda, Bunda Fayra," tuturnya lembut.

"Banyak yang mencintai Anda, jadi cintai diri Anda juga. Makan ya. Jangan malas, nanti sakit. Permisi."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Jayden melangkah meninggalkan Fayra, menuju mobil bersama Zefa.

Sementara  Fayra masih berdiri di tempat yang sama dengan perasaan tak menentu.

**

Air mata kedua orang tua Aretha mengalir menyambut kedatangan putri kesayangan mereka. Perubahan yang dibawa anak perempuan mereka telah membuat keduanya bahagia luar biasa. Kebahagiaan menatap dan memeluk kembali Aretha sudah lama mereka impikan, dan hari ini mereka berkumpul kembali.

"Selamat datang di rumah, Sayang," ujar mamanya seraya mengusap pipi Retha yang basah oleh air mata.

"Makasih, Ma. Papa, Aretha senang bisa kembali!"

"Kami juga sama sepertimu, Nak." Pria paruh baya itu terlihat tak bisa menyembunyikan bahagianya.

Aretha menjatuhkan tubuhnya ke sofa, tepat di sebelah mamanya.

"Kamu terlihat kurus, Sayang."

Aretha tersenyum.

"Sebentar lagi Retha bakal makan banyak. Retha rindu masakan Mbok Nah, juga semur lidah buatan Mama," ungkapnya.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top