Dua
**
Fayra yang ada di sebelah Bu Dian tersenyum seraya mengacungkan jempol kepada Zefa. Tak lama terdengar suara mobil berhenti di halaman. Mata Zefa membulat sempurna. Gadis itu sangat hapal dengan deru mobil papanya.
Gegas dia menyambar tas yang disorongkan Fayra kemudian melangkah ke depan.
"Papa!" teriaknya seraya melompat gembira.
Pria yang dipanggil papa itu turun seraya melepas kacamata hitamnya. Senyumnya mengembang sempurna melihat putrinya berlari ke arahnya. Tampak dia menggendong Zefa lalu mengecup pipi tembam Zefanya.
"Apa kabar cantiknya Papa?"
"Baik, Pa!"
"Kita pulang sekarang?"
Zefa mengangguk cepat.
"Oke, Papa pamit ke Bunda Dian sama Bunda Fayra dulu ya."
Masih menggendong putrinya, Jayden mendekati kedua pengasuh Zefa.
"Terima kasih sudah menjaga Zefa," tuturnya sopan.
"Terima kasih kembali, Pak," balas Bu Dian sembari menangkup tangannya di dada.
"Oh iya, saya mau berterima kasih ke Bunda Fayra."
"Ada apa ya, Pak?" Fayra sedikit serba salah saat mata Jayden menatap lekat padanya.
"Zefa banyak bercerita tentang Anda. Zefa juga sekarang sudah bisa mengikat sepatunya sendiri, kaya dia itu karena Anda yang mengajarkan padanya. Terima kasih sekali lagi," tutur Jayden seraya menganggukkan kepalanya tanda hormat.
"Sudah tugas saya, Pak."
Setelah mengucapkan terima kasih kepada keduanya, Jayden dan Zefa pergi meninggalkan tempat itu.
**
Malam selepas makan malam, Zefa duduk di sofa sembari menonton film kesukaannya di televisi.
"Papa."
"Ya, Zefa?" Jayden mendekat dengan membawa laptop, kemudian duduk di samping putrinya.
"Zefa pingin pakai kain di kepala seperti yang dipakai Bunda Fayra!" cetusnya.
Kening Jayden berkerut, kemudian kembali fokus ke layar tujuh belas inci di pangkuannya.
"Kenapa Zefa pingin pakai kain seperti Bunda Fayra?"
Zefa tersenyum menatap papanya kemudian kembali ke televisi.
"Nggak kenapa-kenapa, Pa. Zefa pingin aja! Boleh kan, Pa?"
Jayden diam sejenak kemudian mengedikkan bahu.
"Belinya di mana?" tanyanya.
"Nanti Zefa tanya ke Bunda Fay."
"Oke!"
Pria itu kembali ke laptop sedangkan Zefa kembali menonton televisi.
"Pa."
"Iya, Sayang?"
"Kapan-kapan boleh nggak Zefa main ke rumah Bunda Fay?"
"Papa sih boleh-boleh aja, emang Bunda Fay bolehin?"
"Boleh dong, Pa. Bunda Fay pernah bilang kalau di rumahnya banyak bunga warna warni. Bunda bilang dia suka menanam. Tahu nggak, Pa? Bunda Fey juga jago bikin kue loh!"
"Oh ya?"
"Iya, Pa! Bunda pernah bagi-bagi pastel ke Zeefa dan teman-teman. Enak banget, Pa!"
Jayden manggut-manggut mendengar cerita putrinya. Semenjak berada di day care itu, gadis kecilnya selalu membicarakan pengasuhnya yang bernama Fayra.
Dari kisah yang meluncur, Jay bisa mengambil kesimpulan bahwa Fayra adalah perempuan baik dan sayang dengan anak-anak.
"Boleh ya, Pa?"
"Boleh, nanti Papa bicara ke Bunda Fayra."
Zefa melonjak gembira. Gadis kecil itu terus bercerita bagaimana pengalamannya bersama teman-teman di tempat itu. Sesekali kembali dia menceritakan tentang Fayra. Tentang ayah ibu Fayra yang sudah meninggal saat dia masih kecil, tentang bunga-bunga peliharaannya, tentang hobi memasak dan kucing kesayangannya. Seringnya menceritakan hal yang sama soal Fayra, hingga pria itu hapal kegemaran dan latar belakang perempuan berjilbab itu.
"Zefa."
"Ya, Pa?"
"Di day care, kan banyak pengasuh, kan?"
"Iya, Pa."
"Kenapa Zefa cuma cerita soal Bunda Feyra? Kenapa nggak Bunda Clara, Bunda Sylvia, Bunda ...."
"Karena Zefa suka sama Bunda Feyra!" potongnya.
Mendengar jawaban putrinya, Jayden menaikkan alisnya kemudian mengangguk, kemudian kembali menekuri laptopnya.
"Papa, Zefa ngantuk!"
"Oke, anak Papa! Matikan televisi, cuci tangan, cuci kaki, gosok gigi, berdoa, dan ...."
"Tidur!" sambung putrinya seraya menyambut pelukan Jayden.
**
Fayra masih sibuk dengan adonan saat neneknya tiba dari pasar. Seperti biasa, jika akhir pekan, Sabtu dan Minggu dia libur. Di saat itulah Fayra menerima beberapa pesanan kue. Ada pesanan beberapa macam kue untuk pengajian di masjid lingkungannya.
Sejak sebelum subuh dia sudah berkutat di dapur.
"Fayra, sarapan dulu! Nenek beli nasi pecel tadi di pasar."
Gadis berlesung pipi itu tersenyum.
"Nenek seharusnya nggak perlu ken pasar, Nek."
"Pasar, kan dekat, Fay. Lagipula sekalian jalan-jalan," kelit neneknya.
Ibu dari ayah Fayra itu masih terlihat sehat di usianya yang hampir enam puluh tahun. Kegemarannya mengonsumsi sayuran dan buah-buahan serta hanya minum air putih membuat perempuan sepuh itu jarang dihinggapi penyakit.
"Makan itu harus yang halalan thayyiban. Kalau halal saja tapi tidak thayyib ya nggak baik juga, Fayra."
"Contoh halalan thayyiban itu seperti apa, Nek?"
"Misalnya, kamu makan buah. Buah itu halal, kan?"
"Iya, Nek. Halal."
"Buah halal, tapi sebelum makan kami tidak mencucinya terlebih dahulu. Itu tidak thayyib. Karena bisa jadi di kulit buah tadi ada tertinggal sisa pupuk, pestisida dan kotoran lainnya yang masuk ke tubuh. Jadilah apa yang kamu konsumsi tidak thayyib meski halal!" paparnya suatu ketika.
Kehati-hatian neneknya dalam mengonsumsi makanan membuat Fayra mengikuti jejak sang nenek.
"Fayra. Kok malah ngelamun? Ayo temani nenek sarapan!"
Tersenyum, Fayra mencuci tangan kemudian bergabung di meja makan dengan neneknya.
**
Semua kue sudah masuk ke kotak dan siap diantar. Setelah salat Asar, perempuan berkulit kuning langsat itu mengganti pakaian rumah dengan gamis abu-abu kombinasi merah muda di lengannya. Memulas pipi dengan bedak kemudian memakai khimar panjang berwarna senada yang menutup hingga dada.
Saat hendak keluar kamar, ponsel Fayra berbunyi.
"Zefa?" gumamnya seraya menggeser layar ke atas.
"Halo Zefa? Apa kabar, Sayang?"
"Halo? Maaf dengan Bunda Fayra?"
Suara bariton terdengar dari seberang membuat tenggorokannya tercekat.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top