Delapan belas

**

"Nggak apa-apa, Retha. Kamu bisa menghabiskan waktu dengan Zefa," balasnya seraya menuju pintu.

"Jayden tunggu, aku mau bicara." Aretha mengekorinya.

"Bicara apa?"

"Tentang kita!"

Ucapan Aretha menahan langkahnya. Pria itu berbalik menatap Aretha.

"Kita?"

"Iya, tentang aku, kamu, dan Zefanya."

Jayden tersenyum tipis kemudian mengangguk.

"Oke," jawabnya seraya memberi isyarat agar Aretha duduk.

Sejenak suasana senyap. Bukan Jayden tidak ingin membicarakan tentang mereka, tetapi dia masih belum mau berpikir soal itu. Baginya melihat keduanya akrab adalah hal utama untuk saat ini.

"Jayden, aku sudah di sini. Semua sudah berubah.  Apa kamu tidak pernah berpikir untuk mewujudkan keinginan Zefa?"

Pria itu melihat ke arah Aretha sekilas.

"Tentu! Aku ingin mewujudkan keinginannya."

"Lalu?"

"Butuh waktu, Retha. Sama seperti saat aku mengganti keyakinan. Nggak semudah itu."

"Maksudmu?"

Jayden menarik napas dalam-dalam kemudian bersandar di bahu sofa.

"Aku harus benar-benar yakin."

"Yakin dengan siapa?"

"Dengan perasaanku."

Aretha menatap lekat pria di sampingnya.

"Untuk Zefa kamu masih harus berpikir dua kali?" tanyanya.

Pria berkaus biru gelap itu mengedikkan bahu.

"Tentu saja. Karena perjalanan hidupnya masih panjang. Setidaknya aku harus yakin dengan langkah awal ini," tuturnya.

"Aku, kamu ... kita pernah salah. Cukup itu jadi pelajaran buat agar tidak lagi tergesa-gesa, Aretha."

Perempuan bertunik hitam dengan motif polkadot  putih itu membisu. Perlahan dia paham arah pembicaraan Jayden. Sekilas bayangan perempuan bernama Fayra melintas di kepalanya.

"Apa ini karena perempuan itu?"

Jayden membalas tatapan Aretha.

"Perempuan yang mana?"

Senyum miring Aretha terbit.

"Perempuan yang bersama kalian saat aku pertama kali datang. Perempuan yang kamu kenalkan sebagai pengasuh Zefanya di day care," terangnya.

Pria itu menaikkan alisnya.

"Jangan terlalu cepat menyimpulkan. Aku sudah belajar banyak dari hidup."

"Aku nggak ngerti maksudmu. Aku cuma ingin bersama Zefa ... dan berharap kita bisa seperti dulu," tuturnya pelan.

Hening.

"Aretha, aku mengerti apa yang kamu pikirkan. Aku juga nggak ingin memisahkan kamu dengan Zefanya," ungkapnya sembari menarik napas dalam-dalam. "Kamu pasti ingin yang terbaik untuknya, bukan?

Aretha mengangguk.

"Sudah dua pekan bersenang-senang dengannya. Sekarang sudah waktunya Zefa kembali sekolah dan pergi ke day care. Dia harus kembali ke rutinitas semula."

"Aku tahu. Untuk sekolah biar aku yang antar jemput, dan ke day care ... sebaiknya tidak diteruskan!"

Dahi Jayden berkerut mendengar perkataan Aretha.

"Kenapa?"

"Aku nggak ingin ada dua matahari di hidup Zefa juga hidupmu!" tegasnya. "Zefa begitu jatuh cinta dengan perempuan itu, dan aku rasa ... kamu juga begitu. Benar, kan, Jayden?"

Pria berhidung mancung itu menghela nafas panjang.

"Mungkin aku egois, tetapi aku sedang mencoba memulai kembali semuanya dari awal. Demi Zefanya."

Jayden menghidu rasa cemburu Aretha terhadap Fayra.

"Lalu sepulang sekolah, Zefa ...."

"Ada aku! Aku yang akan bersamanya dan menemaninya."

Pria itu mengangguk.

**

Jayden berdiri menatap ke bawah dari kantornya yang terletak di lantai delapan. Lalu lalang mobil tak berhenti meski cuaca di luar hujan lebat.

Waktu menunjukkan pukul lima sore, dan dia masih berada di ketinggian kantornya. Ketukan pintu mengakhiri tatapannya ke luar.

"Masuk!"

Senyum lepas Bisma berbanding terbalik dengan Jayden. Tahu rekannya tidak dalam kondisi perasaan yang baik, dia menutup pintu kemudian menghempaskan tubuh ke sofa.

"Jadi kamu sedang galau?"

Jayden menarik sedikit bibirnya lalu ikut duduk di sofa.

"Ada apa? Bukannya kedatangan Aretha sudah bisa menjawab kegalauanmu?"

Jayden mengangkat bahu.

"Fayra?" Bisma menatap lekat.

Tak ada jawaban dari pria itu, tetapi Bisma paham.

"Jayden, kamu belum mengatakan apa pun padanya, kan?"

"Maksudmu?"

"Kamu belum mengatakan apa-apa soal perasaanmu pada Fayra?"

Jayden menggeleng, dia mengatakan belum punya nyali untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan terhadap perempuan bermata indah itu.

"Apa Aretha ingin kamu kembali padanya?"

Pria itu  melonggarkan dasinya seraya menaikkan alis.

"Nggak ada yang salah dengan keinginan Retha. Itu artinya kalian harus menikah!"

"Aku tahu, Bisma, tapi ...."

"Perasaanmu padanya sudah tidak sekuat dulu? Atau bahkan ...."

"Entahlah!" tukas Jayden.

Bisma terkekeh.

"Jawaban yang ambigu dan terkesan membela diri," sindirnya.

Pria berkemeja putih itu tersenyum tipis.

"Aku undang kamu ke sini bukan untuk menghabisiku, Bisma," candanya.

Tawa Bisma meledak.

"Oke, oke! Jadi apa yang bisa kubantu?"

"Aku ingin bertemu Ustaz Amir."

"Untuk?"

"Hanya ingin mendengar petuah dari beliau."

**

Sore itu Aretha mengajak Zefa ke rumah orang tuanya. Gadis kecil itu bermain di kolam renang belakang rumah, sementara dia dan kedua orang tuanya duduk sambil mengawasi di pinggir kolam.

"Jadi kamu serius ingin kembali bersama Jayden?" tanya mamanya.

"Serius, Ma. Demi Zefa. Lagipula Jayden sudah seiman, jadi Aretha rasa nggak ada masalah," jawabnya.

Pak Dedi -- papa Aretha mengangguk setuju. Dia pun merasa sudah tidak ada kendala lagi untuk merestui putrinya.

"Kalau memang itu kehendakmu, Papa ikut saja, tapi ... bagaimana dengan Jayden? Apa dia berpikiran yang sama denganmu?"

Aretha membisu saat mendengar pertanyaan papanya. Jayden memang belum pernah mengatakan setuju soal rencana ini. Aretha hanya mengambil kesimpulan dan keputusan sepihak. Meski begitu, dia yakin pria itu masih mencintainya, sehingga Aretha berani memutuskan.

"Aretha? Apa Jayden setuju dengan keputusan ini?" Papanya kembali bertanya.

"Eum ... iya, Pa. Jayden tentu saja setuju!"

"Oke, kalau memang begitu, Papa minta dia datang ke rumah untuk membicarakan lebih lanjut soal ini."

Aretha tersenyum kemudian mengangguk.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top