Delapan

Fayra tersentak saat petir menyambar, dia mengurungkan niat untuk membuka pintu. Gegas dia  berlari ke kamar memastikan Zefa baik-baik saja.

Gadis kecil itu tampak tak terganggu oleh apa pun. Setelah yakin Zefa masih lelap, Fayra segera membuka pintu yang sejak tadi diketuk. Saat pintu terbuka, kembali mata keduanya bersirobok, tetapi seperti biasa, Fayra segera memutus kontak mata itu.

"Selamat malam, Bunda Fay. Maaf saya kemalaman. Tadi ada kecelakaan, jadi macet," cecar Jayden seraya memegang payung.

Fayra mengangguk kemudian mempersilakan masuk. Dia harus menjelaskan bahwa Zefa telah tertidur pulas. Dirinya juga tidak tega melihat Jayden kedinginan. Meski ragu, dia mencoba menawarkan segelas jahe hangat.

"Kalau tidak merepotkan, boleh," balas pria itu seraya melipat tangannya di dada menghalau udara dingin.

Cepat dia ke dapur dan membuatkan jahe hangat untuk pria itu.

"Silakan, Pak," tuturnya sopan.

Setelah mengucapkan terima kasih, Jayden perlahan menyesap minuman itu.

"Eum ... Zefa sudah tidur pasti," tuturnya meletakkan kembali cangkir ke meja.

"Iya, Pak. Sejak jam setengah delapan tadi."

"Maaf, tadinya mau saya suruh sopir kantor jemput untuk pulang ke rumah, tapi asisten rumah tangga sedang libur ada keperluan jadi ... saya nggak punya pilihan lain selain mempercayakan putri saya kepada Anda," paparnya.

"Nggak apa-apa, Pak. Saya paham."

"Sebab, saya melihat dia hanya dekat dengan Anda dibandingkan dengan pengasuh yang lain di day care."

Fayra melebarkan senyumnya.

"Anak-anak itu sebenarnya sama dengan kita orang dewasa, Pak. Dia akan memilih ke mana akan dekat jika hatinya merasa nyaman dan terlindungi," jelas Fayra.

"Begitu?" Mata Jayden membidik wajahnya.

"Iya. Ini menurut pengalaman saya." Kembali dia mencoba menyembunyikan wajahnya, Fayra merasa ada kalimat yang salah dari ucapannya barusan.

"Jadi bagaimana dengan Zefa? Apa dibangunkan?"

Jayden terdiam. Dia sangat tahu kebiasaan putrinya jika sudah tertidur akan sulit dibangunkan kecuali pagi tiba. Jika dia bangun, dipastikan akan uring-uringan hingga dia tertidur kembali.

Namun, membiarkan Zefa tidur di rumah Fayra tentu bukan hal yang bijak mengingat hampir seharian dia merepotkan perempuan itu.

"Bagaimana, Pak?"

"Iya, dibangunkan saja. Bilang saya sudah datang."

"Baik."

Sekitar dua puluh menit Fayra membangunkan Zefa akhirnya gadis kecil itu terbangun dan mau menemui papanya. Senyum Jayden mengembang saat Zefa muncul dari dalam.

"Halo, Sayang. Maafin papa, ya. Tadi di jalan ada kecelakaan jadi telat sampai sini," ujarnya seraya mengecup puncak kepala putrinya yang duduk di pangkuan.

"Kita pulang sekarang?"

"Papa."

"Ya?"

"Tinggal bareng Bunda enak! Zefa dibacakan cerita, dimasakkan enak sama Nenek, diajari salat ... Zefa suka!" ungkapnya dengan mata masih mengantuk.

Jayden tertawa kecil kemudian menatap Fayra.

"Kami pamit dulu, Bunda. Terima kasih untuk semuanya," tutur Jayden sembari beringsut menggendong Zefa, karena anak itu tidak mau jalan sendiri.

Di luar masih hujan, tentu akan sulit jika pria itu menggendong putrinya dengan membawa payung. Fayra merasa dia harus memberikan sedikit pertolongannya.

"Pak, biar saya yang pegang payungnya. Akan kesulitan jika Bapak juga yang membawa. Bisa-bisa Zefa kehujanan."

Jayden tersenyum kemudian mengangguk. Karena memang tidak mungkin menggendong tubuh Zefa yang bukan lagi ukuran bayi. Dia juga tidak mungkin membuat Fayra keberatan jika harus yang menggendong putrinya.

Berjalan pelan menuju mobil hingga akhirnya Zefa telah berada di dalam.

"Sampai ketemu besok, Zefa."

"Terima kasih, Bunda." Dia melambaikan tangan sebelum pintu di tutup.

"Ini payungnya, Pak."

"Kalau payung ini saya bawa, Anda akan kehujanan."

"Baik, kalau begitu Bapak segera memutar ke pintu kemudi, saya antar! Supaya tidak kehujanan, nanti payung saya bawa, besok saya kembalikan," usulnya seraya menahan gigil karena cuaca semakin dingin dan hujan seperti enggan berhenti.

Sejenak Jayden diam, kali ini dia bisa menatap pengasuh kesayangan putrinya itu dari jarak yang sangat dekat.

"Terima kasih, tapi nggak etis kalau saya membiarkan Anda kembali ke rumah dengan cuaca seperti ini sendirian. Mari, saya antar!"

Pria itu mengambil payung dari tangan Fayra kemudian memberi isyarat agar dia melangkah menuju rumah.

"Terima kasih."

"Sama-sama. Anda harus istirahat. Selamat malam."

Pria itu membalikkan badannya melangkah kembali ke mobil. Entah kenapa Fayra justru membeku terdiam di pintu hingga pria itu menghilang masuk ke kendaraannya.

Suara klakson Jayden membuatnya tersadar kemudian segera menutup pintu.

**

"Bunda, Papa sakit. Zefa nggak ke day care, nggak sekolah juga."

"Di rumah ada siapa, Zefa?"

"Nggak ada siapa-siapa. Bik Sundari masih libur."

Fayra menarik napas dalam-dalam, ada rasa khawatir menelusup hatinya.

"Papa sakit apa?"

"Demam, Bunda. Papa panas badannya, sejak tadi matanya pejam terus. Zefa lapar, tapi Papa bilang sabar."

"Zefa mau goreng sosis tapi nggak bisa nyalain kompor. Zefa bosan dari pagi udah makan roti!" keluhnya dengan sedikit terisak.

"Zefa takut Papa mati! Zefa takut, Bunda!" Kali ini tangisnya pecah.

Tanpa banyak berpikir, Fayra berkata, "Bunda ke sana sekarang ya. Zefa tenang. Bunda ke sana."

Segera dia menutup telepon kemudian berbalik mencoba melaporkan hal ini kepada Bu Dian. Namun, rupanya pimpinan tempat itu telah mendengar semuanya.

"Bu Dian, maaf, Zefa ...."

"Kamu kamu ke sana?"

"Jika diperbolehkan, karena saya nggak tega membayangkan dia lapar sementara ...."

"Saya tahu. Kamu bisa ajak Clara! Pergilah kalian. Jika butuh sesuatu, segera telepon!"

Fayra mengucapkan terima kasih kepada Bu Dian. Segera dia mengajak Clara yang berada tak jauh dari mereka.

"Aku yang bawa motor, Fay. Kamu gugup gitu!" Clara memakai helm kemudian mengambil kunci motor dari tangan Fayra.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top