✏ Epilog
بسم الله الرحمن الرحيم
¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --
✏ Bagian tersulit itu bukanlah memilih tetapi untuk tetap bertahan pada pilihan ✏
Akhirnya sampai juga di akhir cerita, terima kasih untuk comment sopannya. Paham sekali jika tidak ada manusia yang sempurna.
Ini adalah point of view Ghaida Aulia Akbar.
Ketika kita semua berada di posisinya, haqqul yaqin tidak akan ada komentar yang menyesakkan hati.
🐾🐾
Mencoba bertahan dengan pilihan yang tidak mungkin akan terjadi. Butuh kekuatan super yang luar biasa. Kehilangan seseorang tanpa sebuah firasat, tanpa pesan dan tentunya dalam waktu yang begitu cepat.
Jika orang lain bisa, harusnya Aida juga harus bisa. Sayangnya setiap orang tidak bisa diukur dengan baju yang sama. Bisa menurut orang lain belum tentu bisa menurut kita. Cepat menurut orang lain belum tentu cepat untuk kita.
Itulah hidup, seseorang memiliki takaran sendiri-sendiri.
Sabar, ikhlas, itu memang harus dilakukan setiap orang yang beriman. Tapi percayalah dua pelajaran hidup dengan ilmu sangat tinggi itu bisa kita lakukan tidak semudah seperti yang bisa orang lain katakan. Butuh waktu bertahun tahun untuk bisa merelakan dan mengikhlaskan semua.
Harusnya dan harusnya, pendapat orang akan selalu berputar seperti itu. Bukan, bukan Aida tidak ingin membahagiakan Samudra, tapi belajar untuk bisa menerima, rela dan ikhlas itu tidak bisa seketika seperti halnya seseorang membalikkan telapak tangan.
"Kamu minum apa sih Aida?" tanya Fahmi yang saat itu juga sedang istirahat siang setelah seharian melayani nasabah sebagai frontliner di salah satu bank BUMN.
"Vitamin."
Jawaban singkat dari Aida memang tidak begitu dipusingkan oleh Fahmi. Ya, Fahmi telah mengenal Aida cukup dekat. Selama tiga tahun di SMA mereka selalu berada dalam kelas yang sama.
Dua tahun berlalu dari peristiwa memilukan yang merenggut semua harapan milik Aida. Kini, bersama dengan berjalannya waktu sedikit demi sedikit Aida mulai bisa membuka hatinya kembali. Bukan untuk mengisinya dengan hati yang baru, tapi dia mulai bisa bercerita tentang kisahnya bersama Samudra tanpa tetesan air mata.
Tidak satu pun orang di sekitarnya yang ingin mengusik atau sekedar hanya bercanda. Bagi Aida, hidup tidak sebercanda itu sampai harus dijadikan bahan olokan.
"Mama, kemarin Aida ke panti asuhan. Ada seorang bayi yang ditinggalkan ibunya Ma, kok Aida berminat untuk mengadopsi dia ya. Mama dan ayah bagaimana?" tanya Aida sesaat setelah pulang dari kantor.
"Maksud kamu?"
"Ya adopsi MA, dia jadi anak Aida. Cucunya mama dan ayah. Boleh ya?"
Tidak ada jawab dari kedua orang tua Aida. Bukan merasa berat tapi buat Aida mengasuh seorang bayi itu tidak akan mudah.
"Kamu belum menikah Aida, lagian kamu juga kerja. Lalu siapa yang akan mengasuhnya nanti?" Tanya ayah Aida.
"Selama Aida kerja ya ambil baby sitter ayah. Biar ada alasan buat Aida pulang cepet dari kantor kalau ada si kecil." Jawab Aida.
"Kalau kamu hanya pengen mencari alasan untuk pulang cepat kenapa nggak menikah saja Aida. Punya suami yang inshaallah nanti bisa memberimu keturunan sendiri. Kalau adopsi dan tidak ada saudara yang menyusui nanti besarnya tidak bisa mahram sama kita."
Aida yang kini terdiam. Mendengarkan pernikahan sepertinya masih membawa trauma tersendiri. Mungkin nanti tidak sekarang.
"Tidak sekarang, nanti kalau kamu sudah siap. Ayah dan mama tidak akan memaksamu. Tapi untuk mengadopsi bayi, sepertinya jangan dulu." Putus ayah Aida sebelum akhirnya mereka membicarakan hal yang lain lagi.
Alasan terpenting bagi ayah Aida adalah sebenarnya beliau mengerti kemana arah dan tujuan Aida untuk mengambil bayi itu. Ayahnya tentu tidak ingin Aida nantinya asyik dengan sang bayi dan justru malah melupakan hal yang benar benar disunnahkan oleh nabi, yaitu menikah.
Keluarga Aida tahu, 2 tahun kebelakang ini Aida benar-benar berjuang untuk semangat hidupnya. Merapikan kembali hatinya yang telah tercerai-berai.
Hidup untuk hidup yang sesungguhnya.
Empat hari dari pembicaraan tentang adopsi bayi itu. Aida menerima surat yang dikirim kurir ke kantornya. Tidak ada alamat pengirimnya, someone in somewhere? Ini sudah seperti jamannya mama Aida yang mendengarkan radio pada masa jayanya ada orang yang mengirim salam kepada orang lain dan dia menyebutkan diri dengan nama someone in somewhere.
Sebuah undangan dan juga replika gordon yang diterima Aida.
Ada sebuah tulisan yang menyertai disana. Aida membuka dan membacanya perlahan. Hamzah Perwira, wisudawan teknik industri, bahagia jika berkenan untuk meluangkan waktu untuk bisa menyaksikan pengukuhanku sebagai wisudawan. Kami akan menantimu Aida.
Rasanya memang sangat diistimewakan ketika semua ini terjadi. Undangan khusus sebagai pendamping wisuda non orang tua. Namun Aida secepatnya melipat kembali dan memasukkannya ke dalam amplop yang telah membungkusnya.
Kilatan memori 2 tahun yang telah silam kembali menghampirinya. Hingga rasa sesak itu kembali mendera namun Aida tahu bahwa air matanya tidak akan bisa memutarbalikkan fakta. Kenyataannya Samudra telah pergi, dan selama 2 tahun ini dia benar-benar merasa sendiri.
"Sampai kapan kamu menutup hatimu untuk laki-laki yang berusaha mendekatimu Da?" Suara Fahmi yang nyaris tidak terdengar karena halusnya.
"Dia adiknya Samudra."
"Dia laki-laki dewasa." Jawab Fahmi seketika.
Aida terdiam. Fahmi tahu bagaimana perjuangannya, kisahnya dengan Samudra dan juga cerita Chaca yang bermaksud untuk menggantikan Samudra menjaga Aida.
"Dia sudah menikah sekarang?"
"Belum, kan baru saja lulus masa iya sudah nikah kan laki-laki."
"Itu dia, laki-laki." Kata Fahmi.
"Iyalah laki-laki, masa perempuan."
"Dia memandangmu sebagai perempuan dewasa yang cukup matang untuk bisa di pinang. Selama ini dia memaksamu?"
"Tidak."
"Dia pernah melukai hatimu?"
"Tidak."
"Dia mengatakan kalau dia mencintaimu?"
"Tidak."
"Kadang cinta itu tidak harus di katakan. Dengan melihat sikapnya kita bisa tahu loh dia mencintai dan serius dengan kita."
"Kamu pernah mengusahakan undangan wisuda untuk orang lain selain orang tuamu?"
"Itu___"
"Untuk Samudra bukan? Orang yang sangat kamu istimewakan."
"Iya."
"Coba tempatkan kamu di point of view dia atau dia di point of viewmu. Apa bedanya?" Aida tidak menjawab sedikit pun. "Kamu diistimewakannya."
Aida bingung harus bagaimana melangkah. Selamanya dia tidak ingin menerima Chaca sebagai seorang yang istimewa. Cukup sebagai seorang adik ipar yang tidak akan pernah tersampai juga.
Ada kalanya memang kita harus memilih sesuatu yang sangat berat untuk kita pilih dan kita putuskan.
Tidak, Aida tidak ingin memberikan apa pun harapan yang nantinya akan jauh lebih menyakitkan untuk keluarga Samudra.
Tangannya meraih gawai dan menekan beberapa nomor yang begitu dia hafal. Meminta maaf dan ingin melepaskan semua yang pernah dia alami.
"Assalamu'alaikum. Mama."
Perbincangan antara Aida dan juga ibu dari Samudra itu mengerucut di satu titik keputusan bahwa selamanya Aida tidak akan bisa menerima Chaca sebagai pengganti Samudra. Kalau pun toh ada mungkin lebih tepatnya bukan seorang yang akan selalu mengingat Samudra dalam hidupnya. Merasa bersalah dan merasa kehilangan.
"Iya, mama tahu bagaimana perasaanmu. Chaca juga mengerti Aida. Tapi kamu juga tahu bukan adikmu satu itu jika sudah memiliki keinginan akan sulit untuk dicegah."
"Oya Ma, Aida tahu. Oleh karena itu, Aida mohon maaf kalau ternyata Aida tidak bisa menghadiri wisuda Chaca. Bukan karena Aida tidak menghormati mama dan rama. Hanya Aida tidak ingin disalahartikan oleh semuanya. Undangannya Aida kembalikan ya Ma mungkin nanti berguna untuk yang lainnya. Sekali lagi Aida minta maaf. Mama, rama, Chaca dan Meta selamanya akan tetap menjadi Saudara Aida."
Setelah cukup berbasa-basi Aida segera menutup sambungan telponnya.
Tarikan dalam dari nafas yang Aida ambil adalah pompa semangat yang sebelumnya telah Aida ikrarkan.
Hidup itu memang hanya sementara, kepastian makhluk hidup yang bernyawa memang hanyalah kematian. Entah itu kapan akan datang kepada kita.
Dalam tarikan nafasnya juga Aida kembali berjanji bahwa mengikhlaskan kepergian Samudra adalah hal paling utama. Setelah dua tahu ini dia menangis, menimbang dan mengingat akan semuanya. Sedih, suka, duka yang telah mereka lewati berdua. Biarlah selamanya akan tetap menjadi sebuah cerita. Menjadi kenangan yang tak akan pernah untuk dilupakan.
Katakanlah cinta, tapi Allahlah yang lebih berkuasa untuk semua yang dimilikiNya. Lantas apalagi yang bisa kita sombongkan di dunia?
Seperti roda yang selalu berputar. Kehidupan itu kadang berada di atas suatu ketika, namun bisa jadi berada di bawah. Logikanya bukan berarti harus mengeluh atau bersedih ketika kita berada di bawah. Tetapi nilai yang bisa kita ambil bahwa bagaimana kita berada di bawah namun tetap bisa bersyukur dan kembali memperbaiki diri untuk bisa berada di atas kembali.
Rasanya memang harus selalu di tumbuhkan. Menjadi seseorang yang selalu berada di timurnya matahari pagi. Semangat yang pantang surut, seperti matahari yang selalu membawa penerangan untuk dunia.
Di timur matahari pagi, inilah tentang semangat untuk bangkit. Semangat untuk berjuang. Dan semangat untuk memperbaiki diri.
Di timur matahari pagi, frase kehidupan yang akan selalu Aida pakai untuk membangkitkan kembali gelora yang sempat terpadamkan. Tidak sekarang, mungkin nanti.
Di timur matahari pagi, Aida berjanji untuk bisa tersenyum kembali kepada dunia. Bukan sekedar untuk basa -basi tapi sungguh terbit dari hati.
Di timur matahari pagi, kini Aida menggantungkan mimpi untuk kembali, bukan untuk menangisi tapi lebih menonjolkan eksistensi diri.
Di timur matahari pagi, bebaskanlah Aida untuk kembali berdiri dan melangkah pasti dengan kedua kaki.
"Selamat siang, transaksi setoran bapak Sam__" terjeda sebentar kemudian Aida melanjutkan dengan cukup manis. "__udra. Uangnya dua puluh juta, saya hitung di mesin untuk diperhatikan bersama."
Seorang pria muda, tegap, mengenakan seragam coklat khas dengan slogannya pelayan utama bangsa tersenyum mengangguk memperhatikan Aida menghitung uang di standing machine.
"Dua puluh juta, pas uangnya Bapak Samudra."
Aida melirik slip setoran yang tertera di ujung kanan atas dengan nama Samudra Baskara.
Setelah menyelesaikan transaksi dan mengkonfirmasikan kepada Samudra. Aida kembali memperlihatkan senyum manisnya dan salam untuk menutup transaksinya bersama Samudra.
Namun dengan tiba-tiba sebelum Aida mengucapkan salamnya, Samudra segera memberikan kertas kecil yang telah ditulisi olehnya.
"Ini nomer telpon saya mbak Aida, sebenarnya ingin menanyakan pembukaan tabungan tapi sepertinya costumer servicenya sedang ramai."
Aida membuka kertas pemberian polisi yang baru saja dia layani. Dan di dalamnya terdapat nomer telpon serta note singkat.
'Mohon berkenan untuk makan siang bersama'
Bibir Aida tersenyum tipis. Akan ada peluang dalam setiap kesempatan. Berserah diri dan nikmatilah semuanya seperti halnya air sungai yang selalu mengalir dari hulu ke hilir.
Tersenyum dan bahagia.
Dan tentang seorang Samudra Wijaya, selamanya akan ada di tahta terindah yang tidak akan terganti oleh siapapun juga. Namun jika nantinya Allah telah menunjukkan seseorang untuk hidup Aida, dia akan menerimanya dengan istimewa di tempat yang berbeda.
👦👧
-- the end --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
Akhirnya setelah hampir satu tahun, selesai juga cerita ini. Hanya sebuah cerita yang mungkin tidak ada alur yang indah menyertainya untuk pembaca. Tapi benar benar skenario terbaik dari Allah yang harus dijalani dengan ikhlas.
Samudra Wijaya, let me be your dindut pinokio forever.
Blitar, 13 September 2019
Republish 03 November 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top