✏ 14 🍯 Without Him
بسم الله الرحمن الرحيم
¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --
✏ Belajar itu tidak selamanya bersumber dari sebuah buku, tentang sebuah kehidupan perjalanan waktulah yang menunjukkannya ✏
🐾🐾
Empat hari menjelang ujian skripsi yang sudah di depan mata. Suhu badan Aida kembali meninggi. Sejak kepergian Samudra Aida memang hanya berguling di kamarnya. Membuka jejak yang selama tiga tahun ditinggalkan oleh Samudra untuknya. Kenangan-kenangan manis saat mereka bersama. Foto serta barang-barang peninggalannya.
Tangan Aida terhenti pada sebuah album foto yang diberikan Samudra untuknya saat dia sedang melakukan kerja praktek di sebuah rig oil company.
Mengenakan seragam khusus yang menurut Aida, Samudra look smoke sexy guy when he is wearing that uniform.
Tak henti-hentinya mata Aida memandang foto Samudra. Senyumnya, gesture tubuhnya, sorot matanya yang selalu ada dia di dalamnya. Samudra dengan semua cintanya.
Aida masih dengan mode tidak ingin diganggu orang lain bersama kenangannya. Tidak satu pun tanggapan saat kamarnya diketuk oleh teman-teman kostnya. Mengabaikan semua yang memang tidak ingin dia lakukan.
Dunianya serasa runtuh, puing-puing hatinya yang masih berserakan entah kapan lagi bisa terobati. Kepergian Samudra membawa hatinya serta.
"Aida__" suara Syafira yang kini memanggilnya.
Sahabat sejatinya itu sangat mengerti apa yang kini Aida rasakan. Namun bukan berarti dengan kepergian Samudra lantas Aida menghukum dirinya dengan tidak ingin bertemu dengan siapa pun.
"Aida ini Fira, buka pintunya Da. Kita semua tahu kalau kamu sedang bersedih, tapi tolong buka bolehkah kita bicara?"
Setelah setengah jam berlalu, Aida baru membukakan pintu kamarnya untuk menemui Syafira.
"Aida, are you OK?"
Dengan melihat pun sebenarnya Syafira tahu bahwa Aida tidak dalam keadaan yang sedang baik-baik saja. Wajahnya pucat, lingkaran hitam di matanya menandakan bahwa gadis itu tidak beristirahat dengan cukup. Ditambah bekas air mata yang entahlah, mata yang melempuh karena terlalu banyak menangis.
"Subhanallah, badan kamu panas sekali. Makan dulu ya, ini aku bawakan bubur."
Aida masih belum menjawab ucapan Syafira sepatah kata pun. Dia hanya tiduran meringkuk di kasurnya. Album foto, baju bengkel warna merah, laptop yang masih menyala dengan slide yang menampilkan foto-foto Aida dengan Samudra.
Syafira tahu ini keliru, Allah tidak menyukai sesuatu hal yang terlalu berlebihan. Tapi saat ini bukanlah saat yang tepat untuk bicara dengan Aida. Mungkin nanti jika Aida sudah bisa sedikit membuka perasaannya untuk menerima orang lain bicara dari hati ke hati.
"Aku suapi ya, kamu makan dulu biar bisa minum obatnya." Syafira menyiapkan bubur di dalam mangkok dan bersiap untuk menyuapi sahabatnya. Aida telah terduduk kini namun tangannya mengisyaratkan menolak suapan Syafira.
"Kamu harus makan Aida, badanmu panas sekali dan kamu harus minum obat setelahnya. Tolong jangan hukum dirimu seperti ini karena kepergian Samudra." Kata Syafira yang kini sudah tidak tahu lagi bagaimana harus membujuk Aida.
"Aku tidak lapar Fir."
"Tapi kamu harus makan." Aida akhirnya mengalah. Tidak tega melihat sahabatnya yang telah berbaik hati membawakan makanan dan merawatnya saat dia benar-benar membutuhkan orang lain untuk sekedar menemaninya.
Tidak banyak hanya beberapa suapan namun sepertinya itu sudah cukup membuat Aida mengisi perutnya yang memang sedari kemarin belum terisi oleh apa pun juga. Tubuhnya yang lemas dan juga kondisi psikis Aida yang tidak baik membuat penampilannya sangat tidak sedap untuk dipandang mata.
"Kamu mau aku sibin atau bagaimana?" Syafira menawarkan diri untuk mengelap tubuh sahabatnya.
"Aku mandi aja Fir. Kamu tunggu disini ya. Hari ini aku juga akan ke kampus untuk menemui pak Agung." Aida memang tidak menyukai sebuah larangan jika dia sudah memutuskan sesuatu hal. Itu sebabnya Syafira memilih untuk diam.
Tiga puluh menit berlalu Aida sudah bersiap dengan aktivitasnya kembali. Namun karena memang kondisinya yang mungkin tidak terlalu kuat untuk beraktivitas membuat gadis itu terhuyung saat berjalan menuju kampusnya. Syafira yang berjalan di sampingnya langsung sigap dan meminta pertolongan saat tiba tiba tubuh Aida ambruk. Aida pingsan.
"Tolong Pak__" hanya kata itu yang Syafira ucapkan kepada salah seorang yang sedang melintas di dekatnya. Setelah membantu membopong Aida ke tempat yang aman Syafira memesan taksi online untuk bisa membawa Aida ke rumah sakit segera.
IGD yang ramai dengan pasien pagi ini membuat Syafira harus menunggu agak lama untuk Aida mendapat giliran di periksa tim medis.
"Maaf Dok, Aida baru saja dirawat karena Hepatitis A." Kata Syafira sebelum tim dokter memeriksanya.
Lima belas menit kemudian saat Aida telah siuman, tim medis telah selesai melakukan pemeriksaan dan meminta kepada Aida untuk dirawat kembali di rumah sakit.
"Re opname. Kami akan informasikan kepada internis yang kemarin merawat pasien Aida untuk kembali menjadi dokter rawatnya." Kata seorang perawat kepada Syafira.
Sungguh Aida sangat tidak menyetujui dengan keputusan ini. Empat hari lagi dia harus ujian skripsi. Tidak mungkin gagal hanya karena dia sedang dirawat rumah sakit dan harus menunggu kembali ikut wisuda periode selanjutnya. Tapi apalah daya, tubuhnya tidak kuat untuk membuat dia bisa meronta untuk menolak. Pasrah adalah hal yang lebih baik saat dia didudukkan di sebuah kursi roda dengan infus yang sudah terpasang di tangan kirinya.
Tidak banyak yang berubah dari Aida dua hari terakhir ini. Masih melamun dan menangis untuk beberapa saat kemudian kembali tertidur. Tidak banyak bicara tidak juga mengeluh dengan sakitnya. Aida lebih banyak diam.
Satu hari menjelang jadwal ujian skripsinya, Aida memohon kepada dokter untuk bisa diberikan izin ke kampus guna mengikuti ujian baru setelahnya akan kembali lagi ke rumah sakit.
"Tolong Dok. Saya hanya ingin menyelesaikan tanggung jawab ini dan setelahnya saya sudah ikhlas dengan semua yang akan terjadi nanti__" Bukan ingin menjelaskan secara detail kepada dokter tentang apa yang dia alami hanya saja sesak di dalam dada Aida terpaksa harus mengeluarkan kalimat itu untuk memohon sang dokter bisa berbaik hati untuk memberinya izin bisa kembali.
Negosiasi yang lumayan alot akhirnya membuahkan keputusan bahwa sang dokter bersedia untuk memberikan izinnya kepada Aida untuk pulang setelah ayah Aida yang selama tiga hari dirawat menungguinya di rumah sakit menandatangani pernyataan pulang paksa dan bersedia tidak menuntut dokter dan rumah sakit apabila kedepannya terjadi sesuatu hal dengan Aida.
"Kamu jangan bertindak macam-macam lagi Aida. Makan dan minum obat secara teratur. Terlebih juga istirahat yang cukup. Sedih, kami tahu kamu sedang berduka atas kepergian Samudra. Kami pun juga sangat kehilangan. Meski ayah belum mengenalnya dengan dekat. Tapi melihatnya memperlakukan kamu dan keluarganya yang begitu hangat dengan keluarga kita. Ayah tahu bahwa Samudra memang anak yang baik. Ingatlah bahwa Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebihan. Terima semua qodar untuk Samudra, jangan membebaninya di sana dengan kesedihanmu. Ini memang berat, melakukan tidak semudah seperti yang ayah katakan. Tapi kamu harus mencobanya, doakan Samudra supaya bisa tenang dan bahagia di sana." Pesan panjang dari sang ayah membuat Aida sedikit tergelitik.
Benarkah apa yang dia lakukan sekarang justru akan membebani Samudra di sana?
Dan di sinilah Aida kini. Kampus tercinta yang telah menempanya selama kurang lebih 3.5 tahun. Pagi ini dengan pakaian putih dan juga bawahan hitam Aida telah bersiap untuk menghadapi tim penguji skripsinya. Meski dengan tubuh yang terus terang masih sangat lemas.
"Ghaida Aulia Akbar." Panggilan untuk namanya dari akademik membuatnya menjadi risau. Pasalnya seluruh tim penguji telah bersiap. Mengapa bukan mereka yang memanggilnya untuk masuk ke ruang ujian namun justru pihak akademik yang memanggilnya.
"Iya?"
"Asisten dosen bapak Yusuf Ibrahim?"
"Betul Pak"
"Tim penguji skripsi meminta untuk asisten dosen atas nama Ghaida Aulia Akbar melaksanakan sidang skripsi terbuka." Jlep, sidang terbuka itu artinya bukan hanya tim penguji yang boleh memberikan pertanyaan namun seluruh audience yang mengikuti sidang skripsinya bisa mengajukan pertanyaan seputar tentang karya ilmiah yang ditulisnya.
'Seandainya kamu ada disini Nda, mungkin aku tidak akan sefrustasi ini.'
"Siapkan materi 20 eksemplar untuk pesertanya, satu jam dari sekarang maksimal bisa diserahkan kepada kami. Kalau tidak bisa hari ini berarti ujian ditunda hari Senin." Tidak ada waktu lagi, Aida mengeluarkan laptop dan langsung membuat ringkasan dari materinya. Hanya sedikit latar belakang masalah, tujuan penelitian, work flow, metodologi yang dipakainya serta pembahasan hasil penelitian terakhir penutup dengan sebuah saran.
Penggandaan materinya juga cukup di fotokopi tidak dalam pembuatan buku yang biasa dilakukan oleh mahasiswa pascasarjana untuk thesis dan desertasi mereka.
Paparan skripsi yang akhirnya diujiankan di sebuah kelas dengan 7 orang dosen dan sekitar 15 mahasiswa yang juga ingin menyaksikan jalannya ujian. Cukup membuat Aida harus bolak-balik menuliskan sesuatu dalam flip chart tentang bahasan apa yang kini sedang dia angkat dalam karya tulisnya.
Menegangkan namun cukup berjalan dengan baik. Bukan masalah besar bagi Aida untuk berbicara secara ilmiah di depan dosen atau mahasiswa ketika di sedang melaksanakan tugasnya sebagai salah satu pengajar di fakultasnya meskipun hanya berpredikat sebagai asisten dosen. Namun saat dia harus mempertahankan dan menjelaskan secara rinci dan detail tentang tulisannya ada rasa grogi, takut salah dan juga rasa kurang percaya diri tiba-tiba menyergapnya.
Di akhir sidang suara applous seluruh audience dan Pak Yusuf Ibrahim yang waktu itu berada di dalamnya langsung memberikan ucapan selamat karena bisa melaluinya dengan cukup baik, Aida hanya bisa tersenyum tipis. Tubuhnya kini telah basah dengan keringat dingin yang sedari tadi telah mengucur. Beruntungnya dia memakai jaket almamater yang bisa menyembunyikannya dari pakaian putih yang dia pakai saat ini.
"Bapak bangga kepadamu Aida. Kamu bisa menyelesaikan dengan sangat baik meski kami tahu apa yang terjadi kepadamu. Selamat ya, dan bapak sangat berduka cita atas kepergian Samudra. Kamu harus sabar dan kuat. Allah sedang mencobamu untuk memberikan sesuatu yang indah di depan sana nanti untukmu."
"Terima kasih pak Yusuf, tanpa adanya Bapak, pak Agung, bu Elok. Aida belum tentu bisa seperti hari ini. Terima kasih juga Pak doanya untuk mas Sam."
"Semua itu juga berkat kerja keras dan ketekunanmu. Kami hanya membantu untuk membimbingmu."
"Terima kasih Pak Yus, terima kasih banyak telah memberikan kesempatan kepada Aida untuk belajar lebih dengan Bapak."
"With all my pleasure."
Aida telah menyelesaikan semuanya tetapi Syafira masih harus berjuang untuk mempertahankan karya ilmiahnya. Awalnya memang terasa berat untuk Syafira bisa ikut ujian skripsi periode ini. Namun karena dukungan, bantuan dan juga semangat yang selalu ditularkan oleh Aida yang membuat Syafira akhirnya yakin bisa mengikuti ujian bersama sahabatnya.
Tiga puluh menit berlalu semenjak Aida keluar dari kelas yang menjadi saksi akhir dari perjuangannya memperoleh gelar sarjana di fakultas ini Syafira belum keluar. Namun ketika pak Agung menghampirinya, hatinya semakin berdesir dan gugup seketika. Tidak bisa diterka dari wajah pak Agung ketika membawa map kerja milik Aida serta lembaran kertas yang kemungkinan adalah notes revisi yang ditulis oleh seluruh dosen penguji.
Dosen pembimbing Aida ini memang terkenal ramah, namun sangat tegas jika berada di dalam kelas. Itu yang membuat Aida sedikit bergetar mengartikan muka dosen pembimbingnya itu saat berjalan mendekatinya.
"Aida, something to say for you."
Hanya senyum tipis yang Aida tunjukkan untuk menutupi semua kegugupannya. Tangannya sudah sedingin kulkas jika orang lain memegangnya.
"Let me give an assessment of your apprearance today." Ucap pak Agung saat dia telah duduk di single sofa yang ada di sebelah Aida.
"Yes, please." Jawab Aida yang masih sangat gugup.
"I see you are very nervous today. It looks very real when you play your ballpoint when you have to answer our questions. Isn't it? And that makes me a bit disappointed cause that was very disturbing view."
Aida tidak lagi bisa berkata apa-apa. Semua yang dikatakan pak Agung adalah suatu kebenaran. Dia sangat gugup dan untuk menghilangkannya tangannya secara reflek memainkan tombol yang ada diatas bolpoinnya ketika sedang menjawab pertanyaan yang membuatnya sedikit harus mengulas lebih panjang.
"But overall I am proud of you. I see that the spirit is still visible even though it has been much reduced." Pak Agung memandang Aida dengan senyum tipisnya kemudian melanjutkan ucapannya lagi. "Congratulations Aida, you have passed it."
Segelintir rasa bahagia menyelinap di balik hatinya yang pilu. Menyelesaikan kuliahnya adalah mimpi sedari awal Aida berjanji untuk membuat kedua orang tuanya bangga telah memilikinya. Namun saat pak Agung menunjukkan kertas revisi kerja dari tim penguji Aida justru menangis dengan sangat keras meski tanpa suara. Air mata yang dengan deras mengalir dari kedua matanya membuatnya semakin pilu.
Revision for typo
Nothing have to do
Take some footnote for all literature
Tidak ada revisi yang berarti, tidak juga harus merubah tulisannya. Hanya beberapa yang memang harus direvisi karena kesalahan ketik dan kutipan dari literatur yang belum dicantumkan sumbernya. Harusnya ini bisa Aida persembahkan untuk Samudra, namun semua seolah tidak berarti lagi karena Samudra sudah tidak lagi bisa berada di sisinya untuk selamanya.
Aida hanya bisa berharap semoga dia masih bisa membahagiakan semuanya meski tanpa Samudra di sisinya lagi. Lima hari telah selesai untuk membendel skripsinya dan menyerahkan ke fakultas dan universitas sebagai syarat untuk pendaftaran wisuda.
Membuka kembali ucapan terimakasih di lembaran kata pengantar. Mata Aida kembali berembun. Tak pernah sanggup dia menuliskan nama Samudra disana. Matahari jiwaku sebagai pengganti namanya, karena memang Samudra bercita cita bisa menjadi matahari untuk hidup Aida dan keluarga mereka kelak. Namun ternyata harapan itu hanyalah tinggal mimpi yang tidak akan pernah terwujud selamanya.
Hari ini tepat 25 Maret, saat Aida telah bersiap dengan kebaya dan toganya. Meski dengan mata yang sembab dan make up tipis untuk menutupinya. Dia berangkat menuju convention center milik universitasnya. Wisuda tepat di hari lahirnya dengan predikat cumlaude tidak membuat Aida bisa tertawa bahagia seperti halnya yang dilakukan oleh teman-temannya.
Di dalam hati kecilnya masih selalu berharap bahwa seharusnya Samudra berdiri di sampingnya. Memberikan ucapan selamat ulang tahun dan memberikan ucapan selamat atas kelulusannya serta bersama sama menapaki jalan untuk mewujudkan mimpi setelahnya. Sekali lagi, semua harus tunduk dengan ketentuan yang telah tertulis untuk semua makhlukNya.
Undangan tambahan yang sejatinya dipesan untuk Samudra tetap Aida berikan kepada rama atau mama Samudra yang berkenan hadir untuk menghadiri wisudanya.
Namun saat prosesi upacara telah selesai dan saatnya para wisudawan bergerak kepada keluarga mereka. Alangkah terkejutnya diantara kedua orang tuanya telah berdiri tegak sosok laki-laki lengkap dengan pakaian formal yang sudah tidak asing lagi bagi Aida.
"Chaca__?"
"Maafin rama dan mama yang tidak bisa datang untung menghadiri wisuda kakak ya. Sepertinya mereka masih belum siap melihat euforia wisuda karena kaka tahu sendiri bukan alasannya karena apa?"
Tidak perlu menjawab, Aida sangat tahu alasannya karena mereka tidak akan pernah bisa melihat kebahagiaan yang seharusnya juga milik Samudra namun belum sampai Samudra melaluinya dia harus meninggalkan semuanya.
"Maaf Kak, ada yang ingin Chaca sampaikan kepada kakak. Boleh kita bicara berdua? Om, Tante maaf Chaca harus bicara sesuatu kepada kak Aida."
Setelah itu Chaca berbicara sangat serius dengan Aida. Bahkan seolah rasa canggung yang biasanya tertepis karena memang keduanya sudah akrab sebagai calon ipar kini menguap. Bukan suasana awkward namun lebih kepada intimacy yang belum pernah mereka ciptakan.
"Apa yang ingin kamu katakan Cha, katakanlah."
"Sebelumnya Chaca minta maaf, bukan bermaksud lancang atau justru membuat hati kak Aida semakin sakit. Tapi mendengar cerita om, tante, romo dan juga mama kemarin yang akhirnya membulatkan tekat Chaca untuk mengatakan ini kepada Kak Aida."
Flashback on
Harusnya Aida pulang ke kotanya dengan kereta api penataran namun entah apa yang membuat tangannya memesan kereta api yang akhirnya kini membawanya ke kota yang menjadi impiannya dengan Samudra untuk hidup bersama di sana.
Yogyakarta, Stasiun Tugu sebagai pemberhentian terakhir kereta api Sancaka yang kini ditumpangi oleh Aida masih belum membuatnya tersadar. Aida masih dengan santainya melangkahkan kaki keluar stasiun. Sambil menelpon ayahnya tercinta bahwa dia telah sampai di stasiun dan menunggu di depan stasiun untuk bisa dijemput dengan segera.
Sepuluh menit berlalu tiba-tiba gawainya bergetar nama ayahnya terlihat jelas di sana.
"Mba, kamu dimana. Ayah sudah sampai di depan stasiun tapi kok nggak nemu kamu nunggu dimana?"
"Loh aku di depan Ayah ini ada di pintu selatan. Ayah di pintu timur mungkin."
"Pintu selatan? Yang ada di sini itu pintu masuk di timur, pintu keluar di sebelah barat."
"Iya Ayah ini di pintu selatan. Coba deh aku bacain ya, Pintu Selatan Stasiun Yog__" Aida terdiam sebentar matanya membulat saat tahu tulisan selanjutnya yang akan dia baca. Namun mulutnya terus melanjutkan ucapannya. "ya__karta"
"Loh ngapain ke Yogyakarta, katanya mau pulang untuk ngambil kebaya yang akan dipakai untuk wisuda nanti?"
"Loh Ayah, mengapa Aida sampai di Yogya. Aida tadi rencananya juga pulang ke rumah. Tapi mengapa sekarang sudah sampai di sini?"
Saat itulah keluarga Aida tahu bahwa Aida tidak lagi bisa fokus pada tujuannya. Alam bawah sadarnya selalu mengingatkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kenangannya bersama Samudra.
Flashback off
Aida masih diam untuk mendengar semua yang ingin Chaca sampaikan.
"Let me be able to take care of you not to replace my brother's position but just wanna take care of you and we can paint new dreams together." Kalimat yang dengan lancar dikatakan Chaca membuat Aida membulatkan matanya.
"Chaca, mengapa kamu bicara seperti itu?"
"Aku sudah memikirkannya dengan sungguh-sungguh kak. Tolong, izinkanlah aku untuk bisa menjagamu. Setidaknya untuk membuat Samudra tenang di sana."
"Kamu itu adikku."
"Please, look at me as a man who can falling in love with you. Mungkin tidak sekarang tapi itu tidak menutup kemungkinannya nanti." Kata Chaca dengan kesungguhannya. Benar memang Chaca bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
Baginya tidak menjadi soal jika harus belajar untuk mencintai Aida yang dua tahun lebih tua darinya. Tujuannya hanya ingin menjaga calon istri kakak yang tidak akan pernah bisa menjadikannya istri. Mendengar cerita miris Aida yang salah membeli tiket kereta dan tidak menyadari sampai dia turun membuat hatinya trenyuh sebagai seorang laki-laki. Tidak ada niat jelek sedikit pun dari Chaca mengatakan semua ini kepada Aida.
Sambil tersenyum dia kembali memandang Aida lekat lekat. Kemudian berkata, "__dan mulai hari ini tidak akan ada lagi panggilan kaka buatmu lagi, Ghaida Aulia Akbar."
Apa lagi yang bisa Aida jawab selain gelengan kepala dan meninggalkan laki-laki yang menyodorkan sebuket mawar sebagai ucapan selamat atas wisudanya.
👦👧
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
Blitar, 09 September 2019
Republish 03 November 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top