✏ 07 🍯 Yogyakarta Sejuta Cinta

بسم الله الرحمن الرحيم
¤Marentin Niagara¤

-- Selamat Membaca --

bukan hanya sebuah kota yang romantis, kenangannyapun begitu manis, mengundang rindu untuk kembali bertemu

🐾🐾

Tiga bulan berlalu dari pertemuan Samudra dan Aida di Bandung banyak hal telah mereka lalui. Kesibukan dan rutinitas mereka berdua memang menantang untuk bisa ditaklukkan.

Aida sudah mulai mengurangi kegiatannya. Jam siarannya sudah mulai berkurang. Kini hanya tinggal hari Senin dan Selasa saja, sehingga waktunya yang lain bisa dia pake untuk fokus kuliah dan mengajar. Menginjak semester ini memang mata kuliah yang di ambil Aida sedikit berbeda, sedikit lebih detail dan diperlukan untuk pengerjaan skripsinya.

Sore itu Aida yang sedang mengerjakan makalah di perpustakaan tanpa sengaja mendapatkan pesan dari Samudra. Liburan panjang akhir pekan yang kebetulan hari Jumat dan Selasa tanggal merah.

<Ndut, weekend Jogja yuk>

Pesan singkat itu seolah mengingatkan Aida bahwa mereka sudah tidak bertemu setelah 3 bulan berpisah dan terpisah jarak.

<pengen Nda, cuma senin selasa aku siaran, coba nego dulu ya?>

<uang tiketnya ada? Aku kirim ya?>

<nggak usah, gajiku siaran masih bisa kok>

Aida memang harus menyelesaikan tugasnya. Bahkan untuk bisa bertemu dengan Samudra, Aida harus menghubungi salah seorang temannya yang melanjutkan studi di Jogja. Tinggal selama kurang lebih 4 hari di sana, sebagai mahasiswa nggak mungkin menyewa sebuah hotel. Setidaknya hanya untuk menumpang tidur dan mandi, untuk yang lainnya pasti Aida akan banyak bersama dengan Samudra.

<Nda nginepnya dimana? Aku sama Yufa, temenku SMA di Kaliurang deket UGM>

<di rumah eyangnya Togar daerah Bantul>

<itu dekat atau jauh?>

<nanti aku tanya si Togar dulu>

Percakapan mereka terhenti dengan kesepakatan. Bahwa Aida berangkat dengan kereta Sancaka Pagi dari Gubeng sedangkan Samudra berangkat dengan kereta Lodaya Pagi dari Bandung.

Yogyakarta, kota yang kata orang terbuat dari rindu. Kota yang setiap gangnya selalu menyimpan kenangan manis karena selalu romantis namun tak jarang membuat orang menangis. Kota yang selalu membawa kenangan yang selalu akan melekat selamanya di hati. Tertawa bahkan menangis secara bersama.

Aida menapakkan kakinya untuk yang kedua kalinya. Jogja yang dulunya hanya pernah dikunjungi ketika karya wisata saat dia duduk di bangku SMP. Jogja yang sejauh ini hanya dia tahu melalui media sosial atau berita berita di TV.

"Jogja, bersikaplah manis kepadaku sama seperti Bandung yang selalu tersenyum berkenalan denganku." Aida sengaja menitipkan tas besarnya di penitipan tas yang ada di stasiun. Sambil menunggu kedatangan Samudra yang masih kurang satu setengah jam lagi Aida sengaja ingin berjalan jalan menyusur Malioboro.

Jalan legendaris di dunia. Tiada duanya, hanya ada satu Malioboro Yogyakarta.

Pedagang asongan yang menjajakan daster dan juga kaos oblong khas Jogja sudah seperti jamur di sepanjang Malioboro. Jalan yang memang menjadi surganya wisata belanja.

<aku sudah sampe di Stasiun Wates Ndut, kamu ke stasiun dulu ya>

Aida memang tidak jalan jauh ke selatan hanya di Malioboro sebelah utara. Sehingga ketika harus kembali ke stasiun tidak terlalu jauh.

Kereta Api Lodaya telah berhenti sempurna. Di pintu keluar Aida telah siap menyambut Samudra. Hingga sang kekasih berjalan Aida memamerkan barisan gigi putihnya. Dan rasanya memang seperti itulah orang yang sedang jatuh cinta, rindu untuk selalu bertemu.

Tangan kekar Samudra mengacak kepala Aida. Bentuk dari sebuah rasa sayang Samudra yang bisa dia tunjukkan saat ini. Aida pun justru semakin bahagia. Samnya tidak pernah berubah meski mereka terbentang jarak dan waktu untuk bisa bertemu.

Seperti yang disampaikan Samudra sebelumnya, bahwa dia tidak pulang sendiri. Bersama seorang teman yang kebetulan rumahnya di Bantul.

"Ndut, kenalin ini Togar. Temennya Nda kuliah di Bandung. Dia asli Bandung, hanya eyangnya di Bantul. Mumpung kemarin dia berniat untuk nginep di rumah eyangnya, ya aku ngikut sekalian ajakin kamu." Prolog yang disampaikan Samudra saat memperkenalkan Togar kepada Aida.

"Aida,"

"Togar."

Setelah Aida mengambil tas besar yang berisi pakaiannya di penitipan stasiun. Dia pun akhirnya ikut di dalam mobil yang menjemput Togar dan Samudra.

"Kamu nginep di Bantul aja Da, di rumah tanteku. Jadi nggak jauh banget kalau nanti mau jalan. Kaliurang itu sebelah utara loh." Ucap Togar saat mereka sudah berada di dalam mobil.

"Waduh aku sudah terlanjur janji eh Mas Togar sama temenku mau nginep di sana. Nggak enak juga sama tantenya. Nanti ngerepotin." Jawab Aida.

"Nggak apa-apa, kata tanteku punya kamar kos kosong. Nanti kamu bisa pake untuk beberapa hari ke depan." Sambung Togar.

"Iya Ndut, nanti kamu nginep di kost Yufa menjelang akhir aja biar sama-sama enaknya." Samudra ikut bicara.

Rumah eyang Togar memang sangat dekat dengan kampus ISI Jogja itu mungkin yang menyebabkan alasan tantenya memiliki kamar kost untuk disewakan. Rumah eyang Togar dan juga tantenya bersebelahan.

"Jadi aku harus bayar berapa untuk kost semalam 4 hari ke depan?" tanya Aida kepada Togar setelah kunci kamar diberikan oleh tante Listi.

Listi yang baru saja berlalu akhirnya kembali dan tersenyum mendengar pertanyaan Aida kepada Togar. Segera berkata supaya tidak terjadi kesalahfahaman, "Nggak usah bayar Aida, selama belum ada yang berminat untuk kost kamu pakai saja. Wong cuma 4 malam saja, nanti kalau misalnya dalam 4 hari itu ada yang mau kost di kamar yang kamu pakai, kamu pindah ke rumah induk ya."

Ini yang membuat Aida menjadi sungkan dengan keluarga Togar. Baru juga mengenal langsung merepotkan.

"Saya jadi tidak enak sendiri Tante."

"Westo, nggak enaknya disakuin saja. Toh Togar dan saudara yang lain juga sering begitu kalau ngajak teman-temannya. Gar, nanti malam jadi to ke rumah Dewanti?" Kata Listi dengan senyum yang masih mengembang.

Samudra seolah memberikan kode kepada Togar. Siapa perempuan yang disebutkan oleh tantenya itu. Namun Togar hanya tersenyum mengetahui maksud Samudra.

"Memangnya cuma kamu doang yang punya Aida?" kata Togar sambil berlalu meninggalkan Samudra dan Aida berdua.

Ya, Dewanti adalah kekasih Togar yang memang sejak kecil berada di Jogja karena orang tuanya asli Jogja. Teman main di waktu kecil hingga tumbuh bunga cinta setelah mereka sama-sama telah dewasa.

"Sepertinya nanti kita bakalan sering double date. Kamu mandi dulu ya istirahat habis maghrib kita ketemu lagi. Nanti aku ke sini." kata Samudra sebelum meninggalkan Aida.

Bagi Aida tidak menjadi soal, mau double date, triple date, quarted date tujuan dia ke Jogja memang untuk berlibur bersama Samudra namun akan sangat menyenangkan jika bisa dengan banyak orang. Suasananya pasti akan berbeda lebih ramai dan mengasyikan.

Malam ini akhirnya Aida, Samudra, Togar keluar bersama. Sebelum mereka ke tempat yang diceritakan Togar sebelumnya, terlebih dulu harus menjemput Dewanti ke rumahnya. Masih di satu desa yang sama dengan rumah eyang Togar, Sewon Bantul.

"Kok nggak pernah cerita si, kalau punya cewek di sini?" Tanya Samudra saat mereka sudah berada di mobil. Togar sengaja membawa mobil supaya bisa muat berempat untuk jalan-jalan menikmati indahnya malam di Yogyakarta.

"Buat apa Sam. Lagian emang kamu juga pernah cerita kalau punya Aida di Surabaya? Mun kamari Aida teu aya acara di Bandung ya urang-urang teu apal yen maneh tos boga kabogoh."

Samudra langsung tertawa mendengar kalimat panjang Togar. Memang benar, kaum laki-laki tidak terlalu menyukai up closed sesuatu yang dia miliki. Mereka lebih suka menunjukkan dengan sikap ketika telah bersama. Tidak banyak juga yang suka bercuit-cuit di sosmed tentang keseharian mereka.

Itu yang bisa di lihat Aida dari seorang Samudra. Sejak mereka memulai berjanji untuk menjaga hati dalam sebuah rasa yang sama hanya sekali Samudra menuliskan ungkapan hatinya di laman sosmednya.

'Bahagia memilikimu' dengan foto Aida dari belakang yang sedang memandang dengan takjub jembatan yang menghubungkan pulau Jawa dan Madura. Selain itu tidak ada lagi, hanya sekedar kalimat motivasi dan juga beberapa quotes dari orang orang terkenal untuk menyemangati diri.

"Sampai juga akhirnya." kata Togar yang menghentikan mobilnya di area parkir aloon-aloon lor. Setelah menjemput Dewanti mereka segera menuju ke cafe pendhopo lawas yang terletak di sebelah timur aloon-aloon lor Jogja.

"Nangkring dulu sambil menikmati musisi jalanan khas Jogja." Ajak Dewanti kepada Aida. Meski mereka baru berkenalan tapi karena sikap hangat yang ditunjukkan Dewanti membuat Aida mudah mengakrabkan diri. Seperti cerita yang selama ini dia dengar, orang Jogja memang terkenal dengan keramahannya.

"Nangkring? Kok koyo manuk to Dew," kata Aida. -- nangkring, seperti burung Dew --

"Iyo iki meh mangan neng angkringan. Di sini disebut nangkring." Jawab Dewanti. -- Iya kita akan makan di angkringan --

Aida baru sekali ini melihat betapa Jogja yang katanya romantis di malam hari diisi dengan senyuman hangat setiap orang yang berada di sana. Sambil menikmati secangkir kopi hitam diselingi dengan panganan panganan khas kaki lima yang menggoyang lidah.

Samudra memilih untuk mengajak Aida berjalan ke utara. Menikmati titik 0 km Jogja hanya berdua. Setelah pamit dengan Togar dan Dewanti yang tentunya juga pasti membutuhkan waktu untuk bersama, Samudra langsung mengajak Aida untuk berjalan beriringan.

"Dan di sinilah nanti kita akan menghabiskan masa tua kita bersama. Kamu mau kan, menua bersamaku di kota ini?" sekali lagi Samudra membuat dada Aida berdesir hebat.

Seolah lamaran secara tidak langsung. Aida mengeratkan tautan jari yang kini tengah bersatu dengan milik Samudra. Gedung tua milik BNI dan juga Kantor Pos yang menghiasi mata Aida saat kini dia telah berada di 0 km Jogja. Duduk di sebuah bangku sambil menunggu Samudra yang pamit pergi entah kemana.

Aida seolah menghitung, ada banyak mobil, sepeda motor, sepeda angin bahkan beca dan andong pun melintas di sana. Ramainya dengan hiruk pikuk orang yang mungkin juga sama sepertinya.

Alunan angklung dan juga tabuhan yang mengiring menjadikan sebuah lagu yang sangat enak di dengar di telinga. Lagu lama yang masih cukup enak di telinga milik Elvis Presley. Tiba-tiba dari belakang Aida, Samudra memberikan sekuntum kembang mawar kertas berwarna putih.

"Mengapa harus kertas? Karena aku nggak ingin mawar ini layu, seperti sayangku sama kamu yang tidak akan pernah layu." Kaget Aida mendengar ucapan Samudra yang tiba-tiba muncul dari belakangnya.

"I can't help falling in love with you." Suara Samudra yang kini bernyanyi sesuai dengan nada yang keluar dari alunan angklung yang ada di sebelah Aida.

"Nda yang request lagunya Elvis tadi?" tanya Aida saat menerima kembang kertas dari Samudra.

Tidak ada harum yang bisa dia bau dari mawar kertas itu tapi sekali lagi Aida tahu maksud Samudra. Tidak ada yang ingin ditutupi dengan apa pun. Samudra menginginkan mereka menjalani segala sesuatunya secara apa adanya.

"Belum bisa memberikan banyak untukmu tapi yakinlah inshaallah aku akan berusaha untuk memberikan yang terbaik untukmu." Ucap Samudra.

Tidak ingin mengucapkan janji yang terlalu muluk kepada Aida. Samudra hanya ingin menjalani semuanya secara alami. Dan tentu saja dia berharap dukungan dari Aida untuk mewujudkan semuanya.

"Gimana? Jogja romantis bukan?" tanya Samudra saat mereka telah menikmati malam panjang di 0 km Jogja.

"Jogja bikin adem, romantisnya Jogja bukan karena kotanya deh Nda buatku."

"Lah terus apanya?"

"Karena ada Nda bersama di sini. Kalau aku sendirian pasti cuma bisa belok ngiri sama mereka-mereka." Tawa Aida dan Samudra bersama saat telunjuk Aida menunjuk orang-orang yang sedang bercengkerama bersama. Bukan hanya dengan sang kekasih namun juga bersama sahabat dan juga keluarga.

Mulai dari menghitung sepeda, bernyanyi bersama, menghitung bintang di angkasa bersama bahkan hingga bermain kembang api.

Kenangan pertama yang membuat Aida semakin jatuh cinta dengan kota yang menurut orang romantis ini. Dan Samudralah orang pertama yang mengenalkan bagaimana romantisnya Yogyakarta kepada Aida.

"Sepertinya sudah terlalu larut, kita pulang yuk. Si Togar juga sudah WA mau jemput kita." Ajak Samudra.

Jam tangan yang kini melingkar di lengan kirinya telah menunjukkan pukul 21.50, tidak ingin membuat Aida kedinginan di larutnya malam Samudra segera memberitahu Togar untuk menjemputnya di seputaran 0 km.

"Kita nyebrang ke sana yuk, supaya Togar tidak repot nantinya." Samudra menarik lengan Aida.

Malam pertama untuk sebuah cerita yang tentu akan bersambung dengan cerita-cerita yang lainnya di sini. Jogja dengan sejuta pesona, Jogja dengan sejuta cinta, Jogja yang akan menorehkan cerita bersama rasa yang akan selalu ada di dalam jiwa.

Ya, Yogyakarta dengan semua keramahan alam serta masyarakatnya. Citra kuliner untuk memanjakan lidah mengecap manisnya rasa. Gudeg yang selalu manis, oseng mercon yang membuat lidah selalu teriris, brongkos yang membuat ngos-ngos karena rasa nagihnya lagi, lagi, lagi dan lagi. Apalagi burger jawa yang lumer di lidah alias jadah tempe yang melegenda.

"Kenapa begitu mukanya?" tanya Samudra.

"Aku lapar lagi." Bisik Aida di telinga Samudra yang membuatnya terkekeh. Membayangkan lezatnya makanan Jogja membuat perut Aida kembali bergolak.

Gara-gara menikmati romantis Jogja bersama Samudra di sampingnya, Aida melupakan bahwa tadi dia hanya makan sebungkus nasi kepel dengan lauk minimalis yeng tersebut sego kucing.

"Nanti gofood saja, nggak enak sama Togar." Bisik Samudra. Dia baru ingat bahwa selama di 0 km mereka hanya menikmati waktu bersama tanpa mengecap makanan apa pun.

"Hayo kalian berdua ghibahin kita ya?" nahkan si Togar mulai salah faham. Namun akhirnya berempat tertawa bersama.

👦👧
-- to be continued --


Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

‍♀️🙇‍♀️
Jazakhumullah khair


Blitar, 09 Agustus 2019
R

epublish 02 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top