✏ 06 🍯 Asmara Gedung Sate
بسم الله الرحمن الرحيم
¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --
✏ jangan pernah bertanya dari mana awal datangnya sebuah rasa yang tersebut cinta, semua pasti bermula dari mata lalu turun ke hati ✏
🐾🐾
Hanya belajar untuk bisa mengerti dan memahami. Kegiatan Samudra memang sangatlah banyak. Aida baru mengerti mengapa Samudra kadang suka lelet membalas chatnya.
Romansa Bandung memang sulit untuk dilupakan. Romantisme ala-ala budaya kolonial yang begitu menggoda mata. Ditambah lagi dengan banyak tempat yang tersedia untuk menorehkan cerita dan sejarah.
"Ndut, Phino. Jalan-jalan yuk." Ajak Samudra sesaat setelah keduanya baru saja balik dari surau untuk melaksanakan sholat subuh. Hari minggu adalah waktu yang pas untuk mereka mengagendakan waktu untuk bersama.
"Kemana?"
"Gedung sate, ke pasar tumpah. Biasanya kalau hari Minggu disana sangat ramai." Ajak Samudra
"Boleh, memangnya kamu nggak sibuk hari ini Nda?" Tanya Aida.
"Kalau Minggu diusahakanlah sampai nanti juga nggak akan sibuk." Jawab Samudra
Akhirnya setelah mereka membersihkan diri. Samudra sungguh mengajak Aida jalan-jalan melihat pasar tumpah yang ada di sekitar gedung sate.
Sedikit berbeda dengan orang yang sejatinya ingin mengisi car free day dengan berolah raga. Samudra dan Aida ingin mengisinya dengan wisata kuliner. Kuliner di pasar tumpah gedung sate memang beraneka ragam. Rata rata jenis makanannya memang makanan junk food yang sangat terkenal dari Bandung.
Aida memandang takjub. Bangunan tua yang berdiri kokoh sebagai gedung tempat gubernur Jawa Barat bertugas ini memang menjadi iconik untuk kota Bandung.
Sejauh matanya memandang gedung tua ini sangatlah bersih dan tentu tertata dengan begitu indah. Nuansa kolonial yang masih tetap terasa dipadu dengan khas ornamen millenial yang kini berkembang bak jamur di musim penghujan.
Siang hari saja begitu apik dan indah. Apalagi jika malam dengan kerlap kerlip lampu yang menghiasinya. Pasti akan lebih memukau mata.
Itulah kota Bandung dengan sejuta pesonanya.
"Mangga A', teteh diraosan jajanan na dijamin sadayana raos. Sok atuh." Salah seorang penjaja makanan ringan menawarkan dagangan yang dia jual. -- Mari kakak silakan dicoba jajanan nya, dijamin semuanya enak-enak --
"Kamu mau apa Ndut? Itu ada batagor, cireng, siomay, sate jebred___" Samudra menawarkan kepada Aida yang langsung dipotong saat Aida belum pernah mendengar yang namanya sate jebred.
"Sate jebred itu apaan sih, Nda?" Potong Aida.
"Kalau ditempat kita itu mirip mirip sate kikil." Jawab Samudra.
"Sate kere?"
"Bukan, kalau sate kere kan lamur ini kikilnya neng geulis sayangnya ndanda." Jawab Samudra yang dibuat seperti orang yang sedang gemas pada Aida.
"Siomay kayaknya enak pagi begini." Kata Aida yang di jabat dengan kernyitan di kening Samudra.
"Yakin nanti nggak kelaperan sampe siang?"
"Yaelah Nda, tempat aku kan cuma setengahnya punya Ndanda. Jadi wajar si, makanku jauh lebih sedikit dari Ndanda." Jawab Aida.
"Kamu kalau seperti ini makin gemesin. Pengen cepet cepet halalin aja." Bukan bercanda maksud Samudra tapi itu merupakan doa yang diharapkan bisa dikabulkan oleh Allah secepatnya.
"Kamu makan siomay, Nda beli bubur ayam ya? Disebelahnya itu." Tunjuk Samudra pada penjual siomay dan bubur ayam yang berdampingan tempatnya.
"Ok kita ke sana."
"Kang buburna satu." Pesan Samudra saat dia dan Aida sudah sampai di tempat yang mereka tuju.
"Muhun antosan sakedap nya." Kemudian si akang penjual bubur melayani pesanan Samudra sambil berbincang dengan penjual siomay. Sedangkan Aida sudah menerima pesanan siomaynya. -- mohon ditunggu sebentar ya --
"Kang, terang teu aya mahasiswa kamari beres wisuda di arak arak ku geng motor ngurilingan kota. Naha memang tos jadi budaya sepertos kitu?" Si penjual bubur mulai perbincangannya dengan penjual somay. -- Tau nggak berita kemarin tuh Kang. Anak mahasiswa yang baru wisuda diarak pakai geng motor keliling kota. Apa memang sudah budaya ya seperti itu --
"Iya, kamari dugika bade ngalangkung oge bingung padahal jadi pamuda teh ulah sok seueuer gaya. Biasa we nu penting mah urang bisa ngamajukeun bangsa jeng mangfaat ker nagara." Jawab Akang Somay -- Iya, sampai mau lewat saja bingung kemarin. Mbokya jadi anak muda itu nggak usah banyak gaya, biasa saja yang penting bisa memajukan bangsa --
"Leres kitu. Rek jadi naon atuh bangsa urang teh lamun pamuda na barandalan sapertos kitu?" Masih juga berlanjut percakapan mereka. Aida sepertinya memang tidak ingin mengerti apa yang mereka bicarakan namun lama lama dia berpikir ini bapak-bapak pada julid ngomongin orang sepertinya. Sudah seperti emak-emak rumpi yang selalu ngomongin dandang femes dari Manhattan. -- Benar itu. Mau jadi apa bangsa kita kalau anak mudanya berandalan seperti itu --
"Ancur we pasti nagara Indonesia teh" -- Ya hancurlah pasti Indonesia --
Samudra yang awalnya hanya diam mendengarkan menjadi ingin ikut nimbrung bicara. Karena yang menjadi topik pembicaraan mereka adalah teman-teman kampusnya. Satu jurusan malah.
"Punten Kang, ngiring ngobrol. Saleresna mah kami teh sanes barandalan tapi eta teh bentuk solidaritas ti rerencangan we. Matak diarak nganggo motor sapertos kitu." Kata Samudra dengan santainya. Aida memandang kekasihnya dengan isyarat bertanya menggunakan mata. Namun Samudra hanya menggelengkan kepala. -- Permisi Mas, mohon maaf ikut nimbrung bicara. Sebenarnya kami bukan berandalan tapi itu bentuk solidaritas dari teman teman saja. Makanya diarak pake sepeda motor seperti itu --
"Aa' ge mahasiswa nya? Pantes we ngabela." Kata si tukang bubur. -- Mas mahasiswa juga ya? Pantas membela mereka --
"Sanes kitu Kang. Abdi mah mung ngaluruskeun we." -- bukan begitu, saya hanya meluruskan saja --
"Memangna Aa' teu terang pan eta teh ngaganggu kabatur?" -- Memangnya mas nggak tahu kalau itu menganggu pengguna jalan yang lain? --
"Tapi pan eta teu unggal dinten. Bari tos izin heula." Samudra masih keukeuh menjawabnya. -- Tapi kan nggak setiap hari. Kami juga izin kok --
"Saizin-izin na nya." Sepertinya penjual bubur itu menjadi geram dengan jawaban dari Samudra. -- seizin izinnya --
Aida lantas segera mengambil sikap supaya perdebatan itu tidak jadi melebar. Nggak lucu rasanya Samudra harus adu mulut dengan pedagang makanan di minggu yang seharusnya menciptakan suasana romantis bersamanya.
"Nda, westo ojo diteruke. Tak tinggal bali disik mbuh kowe mengko." Aida mulai menggunakan bahasa ibu. Kalau sudah seperti ini Samudra mengerti maksud dari kekasihnya itu. Dia tidak suka Samudra menggunakan bahasa daerah yang Aida tidak mengerti artinya. -- Nda, sudahlah jangan dilanjutkan. Aku tinggal pulang duluan loh nanti kamu --
"Iyo ora, lagian isih seru rempon kok dipenging" -- iya tidak, lagian masih semangat ngobrol kok dilarang --
"Nah kan mulai, aku kan nggak paham apa yang kalian bicarakan. Jangan-jangan ghibahin aku lagi. Iya aku ini cantik wes nggak perlu dighibahin lagi." Pede yang dimiliki Aida memang ada 17. Sudah seperti tanggal kemerdekaan saja ya. Namun karena ucapan itu yang akhirnya mencairkan suasana tegang antara Samudra dan juga dua pedagang di pasar tumpah Gasibu itu.
"Memangna eneng urang mana? Gening teu ngartos kana bahasa sunda." Tanya tukang somay kepada Aida -- memangnya Mba orang mana? Kok tidak mengerti bahasa sunda --
"Urang teh yang biasanya dipake lauk, Kang. Digoreng enak malah, apalagi dipakein tepung sama sambel kecap. Maknyus." Jawab Aida sekenanya yang membuat dua orang pedagang itu tertawa lepas.
"A' pasanganna lucu oge nya." mendengar kalimat tukang somay membuat Samudra memalingkan mukanya ke wajah Aida. Sambil mengelus kepalanya yang tertutup jilbab Samudra berkata seraya tersenyum.
"Muhun iye kabogoh abdi mah sanes urang Sunda tapi urang Jawa. Kaleresan didieu nju ngarencangan abdi nju nyusun skripsi." -- Dia orang jawa Mas, kesini sedang nemani saya saja untuk persiapan skripsi --
"A' jigana Aa' mah deudeh pisan nya ka kabogohna." Kata tukang bubur sambil memainkan matanya. -- sepertinya mas sayang sekali dengan pacarnya --
Samudra hanya tersenyum tanpa melepas tangannya dari atas kepala Aida.
"Mudah mudahan atuh tiasa jodo dugika pernikana," -- semoga berjodoh sampai ke pernikahan --
"Aamiin. Janten sabaraha sadayana?" Akhirnya Samudra menutup pembicaraan mereka karena telah menyelesaikan sarapannya. -- aamiin. Jadi berapa semuanya? --
"Janten dua puluh tujuh rebu sadayana" -- jadi dua puluh tujuh ribu semuanya --
"Hatur nuhun A', Sanes waktos sindang deui kadieu nya." Ucap penjual somay setelah Samudra membayar semuanya. -- terima kasih Mas, lain kali mampir kemari lagi --
"Sami-sami Kang, inshaallah. Ayo kita jalan lagi. Kamu mau apa?" Kata Samudra yang akhirnya bertanya kepada Aida.
Dalam perjalanannya kini akhirnya Samudra mengungkapkan keinginannya untuk masa depan mereka. Merenda hari untuk masa depan. "Ndut, kamu tahu kan nanti kalau kita menikah kamu harus seperti apa?" Tanya Samudra saat mereka berdua sedang duduk di sebuah kursi di taman Gasibu.
"Ya, aku harus ikut kamu kan?"
"Nah itu. Coba mulai sekarang kamu membuka pembicaraan dengan kedua orang tuamu. Lapangan kerja yang sesuai dengan passionku itu rata-rata berada di luar Jawa. Dan terus terang aku nggak bisa jauh dari kamu kalau kita sudah menikah. Selain karena aku nggak mau juga karena itu sebuah bentuk tanggung jawab seorang suami kepada istri dan keluarganya," kata Samudra.
"Iya aku paham Nda."
"Itu makanya mengapa aku ingin kamu bisa membahagiakan mereka terlebih dulu. Sebelum akhirnya nanti kita akan mengembara ke luar Jawa." Kata Samudra lagi.
"Pembicaraan kita kok jadi berat begini ya Nda?" Aida seolah terhenyak dari mimpinya. Biasanya dia yang begitu santainya menikmati hari hari menjadi seorang mahasiswa kini harus berbincang serius membicarakan sebuah masa depannya bersama seseorang yang kini duduk di sampingnya.
"Karena aku ingin serius denganmu. Dan aku tidak pernah main main dengan keputusan yang aku ambil." Kata Samudra.
"Aku juga serius."
"Sejak kamu bersedia untuk datang ke Bandung ini menyusulku. Aku sudah percaya akan keseriusanmu tentang kita." Jawab Samudra.
Aida menatap Samudra lekat-lekat. Tidak ada kebohongan dari sorot matanya. Justru di sana ada sebuah harapan besar. Masa depan yang mungkin bukan hanya sebagai mimpi untuk mewujudkannya. Namun juga kenyataan yang harus diperjuangkan bersama.
"Kapan Nda akan mengajak orang tua Nda ke rumah? Karena jika aku harus membicarakan semua ini dengan ayah dan mama pasti mereka akan bertanya tentang keseriusan Nda." Kata Aida, dia bisa secepatnya membicarakan itu kepada kedua orang tuanya namun jika Samudra tidak kunjung membawa kedua orang tuanya ke rumah ya sama saja pembohongan publik.
"Pulang semester ini aku akan berbicara dengan rama dan mama. Semoga mereka bersedia dengan secepatnya untuk berkunjung ke rumahmu dan menemui kedua orang tuamu." Janji Samudra.
Kemudian Samudra dan Aida sempurna dengan bayangan dan hayalan mereka berdua tentang sebuah masa depan yang indah. Hingga suara Aida berhasil mengoyaknya.
"Tapi ngomong-ngomong apakah selamanya nanti kita akan tinggal di luar Jawa Nda. Tidak bisakan nanti disaat orang tua kita menua kita bisa membersamai mereka?" tanya Aida
"Ya enggaklah, nanti kita beli rumah di Yogyakarta. Kita akan tinggal di Jogja ketika aku sedang off tugas. Nggak jauh kan dengan orang tua kita?" Jawab Samudra tiba-tiba.
"Jogja?"
Entah mengapa Samudra memilih kota di tengah pulau jawa sebelah selatan itu. Kota yang orang bilang selalu mengundang rindu untuk bertemu jika sudah mengenalnya dengan begitu dalam. Kota yang tidak kalah romantisnya dengan Bandung.
"Iya Jogja. Sepertinya kota itu pas untuk kita beristirahat sambil ngicip teh di pagi hari. Orangnya ramah, kotanya istimewa dan suasanya membuat hati jadi tentram." Kata Samudra.
"Memangnya Jogja seindah itu? Biasa saja menurutku." Pendapat Aida
"Memangnya kamu belum pernah ke Jogja Ndut?"
"Ya sudah jaman SMP dulu."
Samudra tertawa mendengar jawaban dari Aida. Jaman SMP itu artinya sudah 6 - 8 tahun berselang. Mungkin juga sudah banyak perubahan meski bukan pada budaya dan tempat wisatanya.
"Nanti deh, kalau kita bertemu sebaiknya kita janjian bertemu di Jogja. Kan pas di tengah-tengah antara Surabaya dan Bandung. Supaya kamu tahu bagaimana romantisnya kota Jogja yang selalu membuat kita merindu untuk bisa kembali bertemu di sana." Kata Samudra.
Percakapan mereka memang cukup sampai di situ. Belum ada tindakan yang lebih serius dari apa yang mereka bicarakan untuk merencanakan masa depan mereka. Samudra masih fokus dengan kegiatan kegiatannya. Aida pun akan kembali kepada rutinitas yang akan dia lewati di Surabaya seperti biasanya.
Kehadiran Samudra di hati Aida memang bukanlah bentuk kemunafikan. Dia sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari sepenggal kisah hidup Samudra. Pemantik semangat kala lelah menyapa dan tentunya menjadi pelita kaki saat melangkah atau alam berubah menjadi gelap gulita.
Pun demikian halnya dengan Samudra. Kehadiran Aida memberikan warna tersendiri dalam hidupnya. Gadis mandiri yang selalu pantang menyerah dalam hidup ini benar benar membuat Samudra takjub. Setidaknya dengan semangat dan juga perjuangannya dia tahu bahwa Aida adalah gadis yang tepat.
"Ndut, tetaplah seperti ini." Kata Samudra lirih tepat di belakang telinga Aida.
"Iya Nda, seperti apa?"
"Bersinarlah seperti bintang di angkasa. Meskipun dia bersinar tidak seterang rembulan, namun tidak pernah sekali pun dia bergantung kepada matahari untuk memancarkan sinarnya dan menghiasi angkasa." Ucap Samudra dengan mantapnya.
Aida memandang wajah kekasihnya. Berlatar Gedung Sate Bandung dari lapangan Gasibu, Samudra dan Aida berjanji untuk tetap menautkan hati dan menyongsong masa depan mereka dengan sebaik-baiknya.
"Ghaida Aulia Akbar. Berjanjilah untuk selalu menjadi bintang kejoraku."
👦👧
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama🙇♀️🙇♀️
Jazakhumullah khair
Blitar, 31 Juli 2019
R
epublish 02 November 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top