✏ 05 🍯 Bebek Cinta St. Borromeus

بسم الله الرحمن الرحيم

¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --

hiduplah bersama orang orang yang membuatmu bahagia


🐾🐾

Hanya bisa mengamati tanpa berkata lebih. Menikmati indahnya pagi di kota yang langsung membuatku jatuh cinta. Dingin dan masih segar untuk memanjakan mata.

Sebongkah rindu yang telah menyatu membawanya sampai di kota kembang dengan julukan seribu awewe geulis. Samudra yang telah tersenyum manis kepadanya. Membuat Aida segera menuju kepada kekasih hati yang selalu ada di dalam angannya sejak semalaman.

"Emang nggak dipake mas sepedanya sama mas Ari?" tanya Aida kepada Samudra saat dia berada di boncengannya.

"Ya ke kampus juga nggak sepagi ini, Sayang. Kamu ke kos aku dulu ya, belum sholat subuh kan?" tanya Samudra yang melajukan motornya dengan kecepatan sedang.

Sambil berjalan dia menunjukkan jalan dan tempat tempat yang mereka lalui. Kebon binatang Bandung, Sabuga, dan tentunya kampus kebanggaan Samudra.

"Boleh masuk nggak sih Mas seperti aku ini?" tanya Aida.

"Boleh, tapi kan nggak bisa masuk perpus kalau nggak nunjukin KTM. Terus kalau aku ada kelas bagaimana?" jawab Samudra.

"Ya nunggu di luar," kekeh Aida yang kemudian mengeratkan tangannya di jaket milik Samudra.

"Dingin ya? Sebentar lagi sampe sabar ya."

Tak berapa lama Samudra membelokkan sepeda motornya ke sebuah gang. Memberhentikannya di sebuah kos dengan nomor 21C.

"Ini kosnya Mas Sam?"

"Iya, ayo masuk dulu. Kamu bersih-bersih sholat baru nanti setelah sarapan ke kos sebelah ya," kata Samudra kemudian menyiapkan handuk yang masih bersih dan juga sajadah untuk dipakai Aida.

Mandi di Bandung pagi hari itu sama saja dengan menceburkan diri ke lautan es. Dinginnya membekukan sampai ke ruas ruas jari. Namun Aida lebih memilih untuk mengguyur tubuhnya ketimbang harus berlengket ria dengan pakaian kotornya yang dipakai semalam di kereta.

Setelah melaksanakan kewajibannya, Aida memilih untuk merebahkan badan di sebuah single bed yang dipakai oleh Samudra untuk tidur setiap harinya. Entah ke mana gerangan lelaki yang dekat dengannya itu. Sejak Aida selesai mandi belum dilihatnya Samudra di kamarnya.

Lelah Aida mengalahkan rasa keingintahuan ke mana kekasihnya berada kini. Matanya memilih untuk terpejam melanjutkan sisa mimpi yang belum lena teraih saat berada di atas kereta. Samudra sengaja berada di kamar tidur Ari setelah dia mengembalikan kontak sepeda motornya. Ingin memberikan ruang yang lebih untuk kekasihnya beristirahat dengan tenang.

Mungkin ini perjalan jauh pertama yang dilakukan oleh Aida seorang diri. Meski Samudra tahu Aida sering bepergian keluar kota guna kegiatan kampusnya. Namun dia tidak pernah sendirian seperti semalam.

Memiliki Aida itu buat Samudra adalah tantangan tersendiri. Aida yang memang keras kepala. Mau menang sendiri, pengen benar sendiri, bahkan bisa dikatakan terlalu mandiri untuk ukuran wanita seusianya. Menaklukkan hati Aida itu seperti meremukkan bongkahan batu di sebuah tebing yang terjal.

Sekali lagi hanya sabar dan menyentuh sisi hati terdalamnya. Itu yang akhirnya membuat Aida takluk dan selalu berpacu dengan Samudra tentang akademik mereka.

Masih jelas teringat di benak Samudra bahwa dia memberikan tantangan bagi Aida untuk mengejar IPKnya. Sebenarnya bukan masalah yang sulit, hanya saja dengan seabrek kegiatan Aida di kampus dan juga diluar kampus yang mungkin membuat Aida agak keteteran mengatur jadwal belajarnya. Namun masih sangat bisa ditolerir, Aida masih bisa melampaui batas minimal kriteria seorang mahasiswa pintar. IPKnya masih di angka 3,71.

"Bahasa Inggrisnya di bagusin lagi dong, Ndut. Apa perlu nih kita kalau ngobrol pake bahasa Inggris aja? Supaya kamunya terbiasa bicara dengan aksen itu?" kata Samudra saat mereka sedang ngobrol di telpon beberapa hari silam.

"Mas Sam malu memangnya?"

"Bukan malu, tapi demi kebaikanmu. Kedepan pasti sangat membutuhkan itu nanti. Masa IPnya tinggi, lulusan universitas negeri terbaik tapi gagap ngomong English," kata Samudra.

"Nggak gagap juga kali Mas, kan kalau siaran juga sering dipake itu."

"Iya tapi cuma bahasa gaulnya doang. Bahasa formalnya malah yang nanti dibutuhkan kalau kamu bekerja," kata Samudra lagi.

"Emang nanti masih dibolehin kerja sama Mas Sam?"

"Lah memangnya kamu nggak pengen kerja begitu?"

"Ya pengen tapi kan mas Samnya juga sering pindah-pindah, aku nggak mau ya kita nikah tapi jauh-jauhan seperti ini," kata Aida yang entah mendapat keberanian darimana dia membahas tentang pernikahan.

"Setidaknya sebelum kita menikah. Bekerjalah terlebih dahulu supaya ayah dan mama memiliki kesenangan dan rasa bangga, berhasil menyekolahkan dan menjadikan anaknya sarjana. Bisa bekerja dan mereka bisa tersenyum bahagia," kata Samudra yang membuat Aida berpikir kembali.

Tidak ada yang salah dengan ucapan Samudra. Membuat kedua orang tua bahagia itu adalah hal mutlak setiap anak. Bahkan sudah seharusnya menjadi sebuah cita-cita.

Aida menguap. Tak terasa dia telah tertidur lebih dari satu jam. Namun Samudra belum juga kembali ke kamar. Gawai yang dia geletakkan di meja belajar Samudra akhirnya dia buka dan segera mengirimkan pesan kepada kekasihnya.

Ndanda Chay_ank
<Mas di mana, aku laper ini>

Pesan singkat itu sengaja Aida kirimkan supaya Samudra segera kembali ke kamarnya.

Tak butuh lama tiba-tiba terdengar ketukan di pintu dan suara decitan pintu terbuka. Tubuh Samudra muncul di balik pintu.

"Mau sarapan apa? Buryam, mie, atau mau swike?" tanya Samudra yang kelihatan juga baru saja terbangun dari tidurnya.

"Jauh?"

"Sedikit, kita naik angkot saja biar kamu juga sekalian ngerasain gimana rasanya naik angkot di Bandung," ajak Samudra. "Aku mandi dulu, tunggu sebentar sekalian kamu bersiap."

"Bersiap? Apa yang harus aku siapin lagi Mas?"

"Biasanya kan perempuan lama banget siap-siapnya?" jawab Samudra sambil tersenyum tipis, manis.

Aida senewen seketika. Sejak kapan bersiap lama menjadi kebiasaannya. Meski Aida perempuan dia tidak suka berlama-lama dengan sebuah persiapan yang menurutnya hanya menipu pasangannya saja.

Tidak akan ada yang berubah dengan dempul 3 cm itu. Justru akan membuat muka terlihat tampak lebih tua dari usia. Dan Aida tahu Samudra bukan tipe laki-laki yang menyukai perempuan dengan modal dempul seperti itu. Cukup moizturizer dan sun screen untuk siang hari sudah menjadi andalan Aida.

Di depan villa merah ITB, berdua bersama Samudra Aida akhirnya menikmati bubur ayam ternikmat idola mahasiswa ITB, Bubur Ayam Mang Haji Oyo.

"Mas sering sarapan di sini?"

"Sekali waktu."

"Enak buburnya, sayang aku bukan penikmat bubur ayam jadi gampang eneg," kata Aida yang akhirnya memilih untuk menyuapkan buburnya ke mulut Samudra.

"Eh, ini kenapa jadinya ke aku. Kamu katanya lapar?"

"Kenyang lihat mas makannya kaya nggak makan 3 hari begitu."

"Lagian makan bubur ya nggak usah dikunyah banyak-banyak Phino. Kamunya saja yang nggak suka kan?" kata Samudra yang kini justru memilih untuk makan dari suapan Aida daripada menghabiskan miliknya. "Nanti sore aku ajak makan bebek eundes gulindes."

"Bebek?"

"Iya bebek goreng di deket rumah sakit Santo Borromeus sana. Siang ini kamu istirahat ya, aku ke kampus cuma bentar kok. Ngomongin proyek ke Bontang," kata Samudra.

"Loh katanya nggak ada acara. Kalau begitu ntar aku ke Dipatiukur saja Mas," kata Aida yang memilih untuk mengisi waktunya sesuai misi ke Bandung selain bertemu dengan Samudra.

"Jadi janjian dengan temanmu?"

"Nanti aku kabari," Aida segera mengambil gawainya dan segera mengetikkan pesan untuk temannya. Ratih yang dia kenal lewat beberapa pertemuan Akuntansi Indonesia. Sama seperti Aida, Ratih juga mahasiswa ekonomi yang sangat aktif di kampusnya. Kali ini Aida berharap bisa belajar banyak dan mencari literasi untuk kebutuhan penulisan skripsinya dan juga tentang pojok bursa yang kini sedang dia kelola bersama rekan rekan dosen.

"Ratih itu anak mana sih? Surabaya juga?"

"Bukan. Dia orang Tangerang aslinya. Kenal pada waktu di USU kemarin waktu ada pertemuan seminar Akuntansi sebagai Prospektif Ekonomi Indonesia," jawab Aida.

"Kayaknya sudah akrab banget."

"Yaelah Mas kan sekarang ada whatsapp yang membuat orang jauh bisa menjadi dekat. Bahkan yang belum pernah bertemu sudah seperti saudara," jawab Aida.

"Ada memang yang seperti itu?"

"Ada, aku punya group sama pecinta wattpad itu. Nggak pernah bertemu tapi selalu ramai setiap hari sudah seperti saudara."

"Semua cewek kan?" tanya Samudra penuh selidik.

"Iyalah, buat apa berteman dekat sama cowok. Nyari masalah saja," kata Aida.

"Awas saja kalau sampai begitu. By the way itu panggilan mas buat aku nggak ada berubahnya gitu yang lebih romantis?" tanya Samudra saat dia telah menghabiskan buburnya.

"Mas Sam mau dipanggil apa?"

Samudra meminta gawai milik Aida yang mencari sesuatu di dalamnya. Satu nama yang membuatnya tersenyum lebar. "Ndanda Chay_ank? Apa itu ndanda?"

Dengan malu-malu Aida menjelaskan, "Mas Sam kan sudah panggil aku dindut phino kan? Adinda toh? Ya ndanda itu maksudnya kanda, cuma kan lebay banget kalau musti manggil kanda, jadi cukup di belakangnya saja, Ndanda."

"Deal," kemudian Samudra menggenggam tangan Aida. "Panggil aku seperti itu. Kaya penjual sayur tahu dipanggil mas-mas"

"Bukannya kalau di sini akang atau Aa'?"

"Whatever, aku maunya dipanggil ndanda. Dan nanti juga panggil ndamu ini Panda untuk anak-anak kita," kata Samudra kemudian berdiri untuk membayar makanannya.

"Anti mainstream banget si? Panda itu maksudnya___?"

"Papa kandanya bunda," jawab Samudra yang kini telah menghentikan sebuah angkot untuk mereka.

Mengagumi Bandung dengan sejuta pesonanya. Membuat Aida tidak pernah berhenti bersyukur. Matanya tidak berhenti menyapu setiap sudut kota yang menurutnya tua namun elegan ini. Sayangnya memang di Indonesia itu hampir di setiap kota besar selalu satu yang menjadi masalahnya yaitu macet dan yang kedua adalah tumpukan sampah.

Bertemu dengan teman sepahamnya membuat Aida bersemangat untuk menyelesaikan pengerjaan proposal skripsinya. Beberapa kali berkonsultasi dengan dosen yang dianggapnya kompeten di judul yang diambilnya membawa Aida ke perpustakaan sebuah perguruan negeri di Dipatiukur untuk melengkapkan literasi yang Aida butuhkan.

Aida juga sempat berjalan ke pojok bursa dan berkenalan dengan sahabat Ratih baik untuk kelompok belajar Pasar Modal atau dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan.

"Aida punya sodara di Bandung?" tanya teman Ratih yang baru dikenal Aida bernama Lilis.

"Enggak Teh."

"Terus di sini nginep dimana? Nginep di rumah aku aja yuk. Pasti seneng nantinya. Nuansa pedesaan yang bisa buat mata seger."

"Memangnya rumah Teteh di mana? Jauh nggak dari sini?"

"Rumah aku teh di Cihampelas Bandung Barat, ya kalau dari sini sekitar 45 menit, itu kalau tidak macet. Kalau macet mah tambah rieweh," jawab Lilis.

"Wah jauh juga ya, inshaallah ya teh nanti mampir kalau waktunya cukup. Aku di sini ada di kosan temen kakak kebetulan dia kuliah juga di sini," jawab Aida.

Berkenalan dengan teman baru membuat Aida semakin membuka wawasannya. Samudra juga tidak pernah melarang dia harus berteman dengan siapa. Namun harus tahu batasannya. Lepas sholat dhuhur Aida baru bisa pulang, sebelumnya dia memberikan kabar kepada Samudra.

<Nda, aku sudah kelar. Ndanda di mana sekarang?>

<di kampusnya udah kelar, tapi ini lagi di BEC, kamu aku jemput atau gimana?>

<Nda sudah beres di sananya? Kalau belum aku kesana saja deh. Naik ojol>

<ya sudah, tungguin di BIP saja ntar aku ke sana atau ke gramedia deketnya BIP deh>

<ok>

Aida sengaja memilih ojol karena dia tidak mau bingung jika harus sendirian mengendarai angkot. Jika dilihat di mapnya dari tempatnya berdiri menuju ke pusat belanja yang disebutkan Samudra sangatlah dekat. Ditempuh sepeda motor pun tidak lebih dari 10 menit berjalan.

Aida dan buku sama halnya dengan Samudra dan buku. Keduanya sama sama menyukai benda kotak yang tersebut sebagai jendela dunia itu. Selama dua jam Aida dan juga Samudra berada di gramedia. Banyak hal yang bisa mereka lakukan disana termasuk membaca lawakan receh ala mahasiswa.

"Ndut, kalau Alladin itu punya istri namanya Jasmin."

"Terus?" tanya Aida yang belum mengerti kemana arah bicara kekasihnya.

"Kalau aku dan kamu?"

"Maksudnya apa si Nda?"

"Jasfren," jawaban Samudra membuat mata Aida belok membulat sempurna.

"Are you sure, between us just friend?" tanya Aida memastikan.

"Ya enggaklah, you are mine and of course I'm yours," jawab Samudra. "Besok kalau punya anak perempuan aku pengen kasih nama Senja yah?" kata Samudra lagi.

Pertanyaan yang lagi-lagi membuat Aida memperhatikan muka serius Samudra. "Anak? Aku pengennya yang islami Nda. Jangan deh."

"Yah kalau islami senja itu ba'da ashar. Masa iya kita kasih nama anak kita Ba'da Ashar biar kelihatan islaminya?" jawab Samudra tak pelak membuat Aida sewot tapi juga ingin tertawa dalam waktu yang sama.

"Sudah, sudah, dari tadi ngomongnya ngaco. Kok anak, halalin dululah akunya," kata Aida yang akhirnya membuat Samudra semakin intens memandang perempuan di sampingnya.

"Kamu yakin dengan kita?"

"Memangnya kamu nggak yakin dengan hubungan kita, Nda?" tanya Aida yang tidak bisa membaca arti tatapan tajam Samudra kepadanya.

"Baiklah, selepas semester ini aku akan bilang sama romo dan mama untuk bertemu orang tuamu," santai namun sarat makna. Samudra segera mengajak Aida menuju Santo Borromeus.

"Tahu mengapa aku ajak kamu kemari meskipun aku tahu bebek itu memiliki tingkat kolesterol tinggi untuk di konsumsi?" tanya Samudra saat mereka menunggu pesanan makanan tersaji di meja.

"Enggak."

"Bebek itu mengajarkan kita tentang kesabaran. Pernah dengar kata cuek bebek?" Samudra melihat Aida mengangguk. "Itulah kesabaran bebek yang tidak mau mendengar lingkungan yang mencemoohnya. Dia lebih percaya atas kerja kerasnya. Bebek mampu bersosialisasi tidak memandang umur, jabatan atau asal usul mereka dalam suatu kelompok yang bagaikan peleton pasukan yang sering kita sebut 'Pasukan Bebek'. Seekor Bebek bisa dikatakan hewan yang sangat setia dengan pasangannya. Dan selalu terlihat anggun di atas padahal di bawah bekerja keras, melakukan sesuatu yang hampir tidak bisa dilakukan oleh hewan lain."

"Suka bebek banget Pak? Sampai berfilosofi seperti itu," tanya Aida.

"Bersabarlah atas hubungan kita. Aku akan menghalalkanmu secepat aku mampu melakukannya," kata Samudra kemudian memandang lurus ke manik mata Aida.

Seperti ada yang menyeruak namun Aida berhasil menguasai dirinya. Kalimat terakhir yang diucapkan Samudra membuat hatinya semakin kuat untuk menjatuhkan kepadanya.

Syafira, sahabatnya pernah berkata bahwa laki-laki sejati itu lebih memilih untuk menjaga perempuan daripada bergerilya untuk mengambil untungnya saja. Jadi bolehkan Aida berada di satu kesimpulan bahwa Samudra benar-benar ingin menjadikannya pendampingnya.

👦👧

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

🙇‍♀️🙇‍♀️

Jazakhumullah khair

Negara, 15 Juli 2019
R

epublish 01 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top