🍻 7. Jengkel 🍻

Malam, temans❤
Todei, aku ontime, dong😁
Hayuklah, baca💃

Ada rasa senang tersendiri di hati Prasasti ketika Mahesa muncul pada pukul lima di akhir pekan. Ini bukanlah kebiasaan suaminya, mengingat pekerjaannya yang selalu banyak. Namun, pria itu menepati janjinya supaya memiliki banyak waktu untuk keluarga.

Sebenarnya bukan sekali ini saja Mahesa seperti itu. Sejak dikomplain ayahnya tempo hari, suaminya jadi pulang lebih awal. Sampai rumah pada pukul tujuh merupakan sebuah kemajuan mengingat kebiasaannya yang biasa sampai pada pukul sepuluh malam.

Apa pun usaha Mahesa untuk meluangkan waktu, Prasasti menghargainya. Bahkan kekecewaan mendalam ketika dia diturunkan di pinggir jalan pun sudah terlupakan. Cukuplah ada itikad baik bahwa pria itu bisa menghabiskan banyak waktu untuk keluarga mereka tanpa didahului omelan dari sang ayah.

"Rifky mana, Sas?" tanya Mahesa begitu memasuki ruang makan.

"Ada sama Ayah." Prasasti mengambil sepiring nasi untuk Mahesa dan memberikannya sambil mendorong mangkuk sayur mendekat. "Ayah membelikannya mainan baru siang tadi."

"Manja sekali," komentar Mahesa. "Mana makanmu?"

"Aku nggak makan. Tadi sore beli bakso sama anak-anak." Prasasti juga mendorong stoples kerupuk pada Mahesa.

"Ambillah piring, temani aku makan! Aku beli makanan ini bukan untuk kunikmati sendiri." Mahesa memang beli seporsi koloke yang juga Prasasti hidangkan di atas piring lebar sementara Simbok memasak sop merah atas permintaannya.

Prasasti bangkit tanpa kata. Setelah meraih piring, diambilnya sedikit nasi. Entah menu sop merah ini cocok atau tidak dimakan dengan koloke, tetapi Prasasti menikmati makan malamnya bersama Mahesa. Lupakanlah rasa kenyang yang sebenarnya masih terasa, baru kali ini suaminya memintanya makan bersama. Ini pertama kalinya mereka makan berdua karena biasanya selalu ada ayah atau anaknya di sana.

Beberapa kali kesempatan menemani Mahesa makan malam, Prasasti hanya menemani saja. Mengambilkan ini dan itu, apa pun yang menjadi kebutuhan suaminya. Tengah malam pun dia tidak keberatan karena rumah tangga adalah prioritas utamanya.

Di antara suapannya, beberapa kali Prasasti mengamati Mahesa. Mulai dari rambutnya yang bergaya undercut dan selalu terlihat rapi. Hidungnya yang tinggi dan bibir tipis yang terus bergerak seiring kunyahannya.

Ada yang tiba-tiba menghangat di hati Prasasti. Kesan pertamanya melihat Mahesa adalah tampan dan sekarang lebih dari itu. Lupakanlah suaminya yang minim ekspresi atau bahkan tega menurunkannya di jalan. Hal itu pasti tak akan terjadi jika minta diantar kerja bukan di hari Senin. Dia mengaku salah karena sudah mengganggu waktu kerja Mahesa yang padat.

"Ada apa?" tanya Mahesa sambil menatap Prasasti.

"Apa?" Prasasti balik bertanya, tak mengerti apa yang ditanyakan Mahesa.

"Kenapa melihatku begitu lama?"

Prasasti menggeleng. "Tidak ada apa-apa. Hanya sedang mengamati saja, siapa tahu rambut Mas Hesa sudah beruban."

"Asal. Aku masih tiga puluh tahun."

Kadang-kadang Prasasti heran. Dalam pikirannya sempat bertanya-tanya. Tidak pernahkah Mahesa itu tersenyum terhadap hal-hal remeh? Pria itu sudah minim ekspresi, tetapi setidaknya tidak begitu dengan istrinya.

Menikah karena perjodohan memang tak selamanya buruk, Prasasti mengakui itu. Di awal-awal, dia tidak mengerti jalan pikiran Mahesa. Dia mengerti, tentu sulit tiba-tiba terikat pernikahan tanpa saling kenal sama sekali. Suaminya juga bukanlah orang yang terbuka. Jadi, diminta makan bersama saja sudah merupakan perhatian baginya.

Prasasti mengupas mangga setelah menyingkirkan piring kosong. Mahesa memakan potongan demi potongan buah yang sudah disiapkannya. Suaminya memang menyukai buah yang dikupas dan langsung dimakan.

"Sepertinya aku ingin Rifky lebih pintar."

"Lebih pintar?" Kening Prasasti mengerut, tidak mengerti maksud ucapan Mahesa. "Anak itu termasuk pintar, Mas."

"Maksudku supaya waktu bermainnya berkurang."

"Anak seusianya memang masih waktunya bermain."

"Kalau kuamati, dia itu makin banyak bermainnya. Hampir setiap minggu ada saja mainan baru. Itu tidak bagus untuk perkembangannya."

Heran. Tidakkah Mahesa sadar kalau itu adalah hasil perbuatannya. Pria itu sendiri yang menjanjikan mainan baru ketika harus bekerja lebih lama dan wajar jika Rifky jadi terpola dengan itu. Lagi pula, Mahesa juga terlalu sering memberinya ponsel supaya anaknya mau diam sementara dirinya sibuk dengan urusan kantor.

"Mau Mas Hesa gimana?"

"Buat dia bisa membaca, Sas. Sekalian berhitung, menulis dan hafalan."

"Apa?" Tanpa sadar suara Prasasti sedikit meninggi. "Tapi—"

"Jangan bilang terlalu kecil. Anak temanku bahkan sudah masuk TPA dan mulai menghafal."

Prasasti bangkit dan mencuci tangan di wastafel. Setelah itu, dia kembali duduk, kali ini lebih dekat dengan Mahesa. Ada berbagai pemikiran yang tiba-tiba mampir di kepalanya.

Seorang anak memang berhak mendapat pendidikan yang layak, tetapi Prasasti berpikir bahwa Rifky masih terlalu kecil. Meski bukan seorang psikolog yang mempelajari tahap-tahap perkembangan manusia, setidaknya dia tahu bagaimana harus memperlakukan anak. Memperkenalkan anak pada pelajaran dan bersosialisasi tentu sudah cukup. Belum lagi tontonan anak yang dipilihnya, pasti sudah cukup.

Ada rasa tidak suka di hati Prasasti ketika anak seharusnya masih asyik bermain dan sudah diberi beban pikiran. Baginya, itu sama saja dengan merampas kemerdekaan anak. Memang, anak harus dididik dengan baik, tetapi tidak harus sebanyak itu, bukan? Belajar sesuai dengan usianya tentu lebih baik daripada memberikan beban yang walaupun si anak mampu melakukannya, tetapi itu bukan cara terbaik.

"Memang terlalu kecil. Kasihan kalau harus dibebani dengan hal sebanyak itu."

Mahesa tampak berpikir. Prasasti tidak mendesak supaya pendapatnya diterima. Dia tahu, setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Begitu pun Mahesa pada Rifky. Meski hanya orang tua asuh, tetap saja mereka harus berperan sebagai orang tua yang baik dengan cara merawat dan mencukupi kebutuhannya serta memberikan pendidikan yang layak.

"Aku tetap ingin Rifky mendapatkan pendidikan sedini mungkin."

"Ya nggak apa-apa. Tapi, jangan sebanyak itulah."

"Jadi, menurutmu gimana, Sas?"

"Pelan-pelan, Mas. Nanti kita lihat perkembangannya."

Mahesa mengangguk. "Atur saja kalau begitu. Dahulukan mengajinya, Sas!"

"Ya. Nanti kudaftarkan." Prasasti senang Mahesa mendengarkan ucapannya."

"Sekalian membaca, belajar di rumah saja."

"Tidak," tolak Prasasti. "Untuk mengaji, Rifky harus ke masjid. Aku nggak keberatan menemani. Sampai dia mengenal teman-temannya"

"Belajar membaca di masjid juga?"

Jengkel merambati hati Prasasti. Suaminya ini bertanya seperti orang yang tidak mengerti apa-apa. Bagaimana mungkin belajar membaca di masjid? Kalau dikatakan bercanda, rasanya tidak mungkin karena tidak ada senyum di wajah Mahesa.

"Nanti kupikirkan," sahut Prasasti. "Bagaimana kalau kita carikan guru les?"

"Boleh. Aturlah semuanya. Aku tahunya beres dan dilakukan segera." Mahesa mengutak-atik ponselnya sebentar. "Apa sudah bisa kau buatkan jadwal untuk Rifky? Kira-kira saja, supaya aku tahu apa yang dilakukan anak itu dan kapan harus mengajaknya bermain."

"Saranku, sih, dua kali seminggu untuk membaca. Sementara ngajinya hanya Senin sampai Kamis. Kurasa cukup kalau dia libur di akhir pekan."

"Dua harinya les kumon. Biar pintar anak itu."

Apa? Rasanya ingin berteriak pada Mahesa. Susah payah dia berpikir mengatur jadwal untuk putera mereka dan pria itu terlihat setuju. Lalu, apa gunanya bertanya jadwal kalau masih menambahkan kumon di dalamnya?

Tipikal orang tua zaman now, ya. Nggak rela banget lihat anak bermain🤧

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top