🍻 5. Suami apa 🍻
Malam, temans. Yang nungguin Prasasti langsung merapat. Selamat malam minggu🤩
Prasasti bergerak cepat di dapur menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk sarapan. Dia kesiangan, padahal harus segera pergi bekerja. Walaupun usahanya sendiri, tetapi disiplin adalah hal yang selalu ditekankannya.
Rifky yang tidak mau tidur hingga larut malam merupakan drama yang dihadapinya. Tak hanya itu, si bocah terbangun pada dinihari dan mencari mainan baru yang dibelikan Mahesa kemarin siang. Mau tak mau, Prasasti jadi menemani anaknya hingga tertidur.
Mungkin sudah hampir pukul tiga ketika Prasasti membaringkan Rifky di tempat tidurnya. Itu pun setelah bujukan yang sangat lama supaya si anak meninggalkan mainan barunya. Belum memiliki istirahat cukup membuat Prasasti segera nyenyak begitu kepalanya menyentuh bantal. Suaminya tidur dengan tenang tanpa terganggu apa-apa.
"Kamu segera siap-siaplah, Sas!" Sasmito muncul di meja makan dan duduk di salah satu kursi.
"Katanya pekerjaanmu sedang banyak?"
"Iya, Yah." Prasasti meletakkan roti panggang isi alpukat di depan mertuanya.
"Sasti siapkan sarapan dulu sebelum berangkat."
"Biar Simbok saja yang urus itu. Kamu segeralah siap-siap!"
"Nggak apa-apa, Yah. Mas Hesa nggak mau sarapan nanti kalau bukan Sasti yang siapin." Mertuanya berdecak. "Manja sekali suamimu itu," gerutunya. "Sebelum ada kamu, siapa yang siapin makan kalau bukan Simbok. Makan kok dia."
"Ya, 'kan beda, Yah? Sekarang sudah ada Sasti."
"Ayah tidak begitu ke Ibu. Dasar Mahesa saja yang manja."
Prasasti tersenyum mendengar ucapan mertuanya. Meskipun akhir-akhir ini beliau sering marah kepada putranya, tetapi itu tak pernah lama. Hubungan ayah dan anak yang baik tentu lebih indah dibanding perselisihan. Dia selalu memercayai bahwa keluarga barunya adalah keluarga terbaik untuknya.
"Yah, nanti makan siang Ayah itu sama orem-orem, ikan panggang, dan nasi merah. Ayah nggak boleh mencuri-curi nasi karena kemarin gula darah Ayah tinggi banget. Hari ini Sasti sudah bilang sama Simbok supaya nggak bikin nasi." Prasasti berbicara panjang lebar yang diikuti oleh dengkusan Sasmito.
"Sekalian saja tak usah diberi makan ayahmu ini, Sas! Mau makan saja kok susah. Kamu tak tahu, sih, rasanya nasi itu. Susah nelan Ayah ini." Gerutuan yang sama dan hampir setiap hari diucapkan Sasmito. Beberapa kali pria itu coba menawar menu pada Prasasti, tetapi tak pernah berhasil. Prasasti tersenyum. "Makanan Ayah itu enak banget," sahutnya sabar. "Di kulkas ada puding mangga. Ayah pasti suka."
"Enak apanya?" sengit Sasmito. "Ayah tak bisa merasakan nikmatnya makan dengan menu nasi anehmu itu."
"Kalau begitu puding saja. Ayah boleh makan itu sepuasnya."
"Tetap saja, Sas. Makanan itu juga tak spesial. Tak ada manisnya sama sekali."
"Ayah kebanyakan nawar." Prasasti meletakkan potongan melon di meja. "Rifky saja nggak rewel kalau makan."
Ada senyum mengembang di bibir Prasasti. Dia senang ketika Sasmito sudah menghabiskan roti panggang dan beralih pada potongan melon. Mertuanya itu hanya sedang merajuk saja karena sudah merindukan nasi putih. Namun, Prasasti tak bisa mengabulkan keinginan itu mengingat perilaku sang ayah yang tak pernah cukup dengan porsi yang sudah diberikannya. Ada saja alasan supaya Simbok bisa memberinya lebih.
"Sarapanku sudah, Sas?" Mahesa muncul dan duduk di depan ayahnya, langsung menyeruput kopi yang sudah pasti disiapkan Prasasti sebelum dirinya turun.
"Sudah."
Prasasti meletakkan sepiring pecel yang diminta suaminya. Semalam, Mahesa mengatakan ingin menu itu ditambah gudeg dan sambal. Terlalu berat menurutnya, tetapi keinginan suami sama seperti titah yang tak bisa ditolak.
"Giliran Mahesa yang minta, diturutin semua. Anak tidak adil Prasasti ini."
"Nanti, saat gula darah Ayah sudah stabil selama tiga bulan berturut-turut, Sasti kasih Ayah makan seperti Mas Hesa," janji Prasasti.
"Itu janji palsu, Sas. Ayah tidak pernah dapat makanan seperti yang Ayah mau."
"Karena Ayah nakal dan suka makan sembarangan. Sembunyi-sembunyi lagi. Jadi ...." Prasasti meletakkan tatakan berisi tiga butir obat di depan Sasmito. "Minum obat Ayah dan Sasti akan pantau. Kalau Ayah masih suka delivery order Sasti tidak kasih makan yang enak-enak."
"Kompeni!"
Prasasti mengulum senyum mendengar gerutuan Sasmito. Mertuanya itu tak ubahnya seperti Rifky. Suka sekali menawar makanan. Kalau satu dituruti maka akan ada permintaan yang lain lagi. Begitu seterusnya sampai kenyang.
Selesai mengurus sarapan, Prasasti segera merapikan dirinya. Hanya dalam tiga puluh menit dia siap untuk berangkat kerja. Tidak terlalu siang jika pergi dengan Mahesa. Dia keluar kamar tepat ketika suaminya menuju pintu samping.
"Mas, aku bareng, ya," pinta Prasasti. "Ada banyak pekerjaan yang harus selesai hari ini."
Mahesa berhenti dan menoleh, alisnya berkerut. "Ini Senin, Sas. Kamu tahu, 'kan, kalau ini adalah hari yang sibuk untukku?"
"Masih belum terlalu siang, Mas. Masa Mas Hesa nggak mau antar aku kerja."
"Sas...." Mahesa hanya menatap sekilas wajah Prasasti. "Pesanlah kendaraan online. Ada meeting pagi yang harus kuhadiri dan tak ingin terlambat."
Tak lama, Sasmito hadir dengan Rifky dalam gendongan. Anak itu memeluk erat leher sang kakek sementara kepala mungilnya rebah di bahu. Terlihat manja dan masih mengantuk.
"Jadi suami itu yang bertanggung jawab, Hes. Istrimu itu juga bekerja, gak ada salahnya kamu antar dia dulu."
"Ada meeting pagi, Yah." Mahesa tetap berusaha menolak permintaan Prasasti.
"Kamu ini, istrimu lebih penting dari pekerjaanmu. Tanpa dia, apa yang bisa kamu lakukan?"
Ada helaan napas panjang yang tertangkap telinga Prasasti. Rupanya Mahesa benar-benar keberatan mengantarkan bekerja. Mungkin waktunya tidak tepat karena bertepatan dengan padatnya jadwal sang suami.
"Tak apa, Yah. Ini Senin, Mas Hesa memang selalu sibuk dan nggak bisa dijeda waktunya."
"Tidak ada kata sibuk untuk segala sesuatu," tukas Sasmito. "Semua hanya masalah prioritas saja."
"Baiklah, baiklah. Tidak usah ramai." Mahesa menengahi. "Ayo berangkat, Sas! Sudah siap, 'kan?"
Setelah mencium tangan mertuanya, Prasasti mengikuti Mahesa yang sudah lebih dulu masuk mobil. Mobil langsung mundur begitu dia duduk tenang di samping suaminya. Sebelum berlalu, masih sempat dilihatnya senyum Sasmito terkembang.
Mobil melaju dalam keheningan. Baik Prasasti maupun Mahesa sama-sama tak ada niat untuk membuka percakapan. Prasasti asyik dengan ponselnya untuk memantau perkembangan toko online-nya, membiarkan suaminya fokus mengemudi. Membaca pesanan yang masuk jelas merupakan kesenangan tersendiri baginya.
"Memangnya harus, ya, aku mengantarmu pergi bekerja?" Akhirnya, Mahesa membuka percakapan.
"Ya ... aku sudah bilang kalau sibuk, Mas," jawab Prasasti. Matanya masih terus tertuju ke ponsel. Jarinya lincah menyentuh layar, mencatat seluruh pesanan yang diterima.
"Kalau memang sibuk, mestinya berangkat lebih pagi. Jangan bikin repot seperti ini!"
Prasasti menoleh karena mendengar suara Mahesa yang mendadak terdengar tak bersahabat. "Mas Hesa keberatan ngantar aku?"
"Ya kamu pikirlah. Sudah tahu Senin adalah hari sibukku."
Bukan pertanda baik jika Mahesa sudah uring-uringan begitu. Prasasti berpikir bahwa hari akan berlaku dengan tidak baik jika dimulai dengan kemarahan. Namun, dalam keadaan seperti ini, menenangkan suaminya jelas tak akan menghasilkan apa-apa."
"Kalau Mas Hesa keberatan, berhenti saja di depan. Nanti biar Sasti naik taksi online saja." Ucapan spontan itu keluar begitu saja dari bibir Prasasti.
Tak disangka, Mahesa benar-benar berhenti dan menoleh tanpa kata pada Prasasti. Prasasti sempat terkejut, tetapi segera menguasai dirinya. Tanpa kata, dia turun dari mobil. Mahesa langsung melaju begitu pintu tertutup. Memutar di perempatan depan dan berlalu menuju tempatnya bekerja.
Meski semua ini karena kalimatnya, Prasasti tetap nelangsa. Seharusnya, suami istri tidak begitu, 'kan? Diturunkan di jalan tentu menegaskan bahwa dia memang sudah mengganggu waktu Mahesa.
Punya suami kok mengsedih terus. Bahagianya kapan coba, Sasti ini?
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top