🍻 31. Pergi 🍻

Malam, temans. Maafkanlah Mas Mahesa yang telat update. Sehari doang, tapi, 'kan? Ngalah sama Mas Pilot soalnya. Dahlah, selamat membaca😁

Prasasti menuntun tangan Rifky yang berjalan sambil memegang es krim. Bocah itu terlihat bahagia karena Prasasti yang menunggunya sampai selesai sekolah. Sebagai ibu, Prasasti memang tak pernah keberatan melakukan apa saja untuk sang anak. Begitu pula hari ini, ketika dia berpikir kebersamaannya dengan Rifky sudah tidak lama lagi.

Rifky menurut ketika Prasasti mengatakan supaya ganti baju dengan Simbok. Dia masuk kamar setelahnya dan menarik kopernya dari kolong tempat tidur. Benda  itu dia letakkan di sana setelah mengambilnya dari gudang. Bersih dan terawat karena memang dia menyimpannya di dalam plastik.

Tak perlu waktu lama bagi Prasasti untuk memasukkan semua bajunya ke sana. Beruntung dia memiliki koper besar dan tidak belanja terlalu banyak baju sejak menikah. Barangnya yang tak seberapa bisa masuk semua tanpa kesulitan menata.

Selesai membereskan barang miliknya, Prasasti keluar kamar. Matanya menyapu ruang tengah, mencari keberadaan mertuanya. Tidak menemukan beliau sampai di ruang tamu dan teras, Prasasti menuju teras belakang. Benar saja, pria paruh baya itu sedang memberi makan ikan.

“Yah,” panggil Prasasti, “Ayah sedang sibuk?”

Sasmito menoleh. “Tidak,” jawabnya. Diletakkannya kaleng berisi pakan ikan di meja bawah pohon mangga.

Prasasti duduk di salah satu kursi. Menunggu Sasmito mencuci tangan, lalu meraih ponsel dan botol air mineral. Mertua yang baik dan sabar, kata Prasasti dalam hati. Perempuan mana pun pasti akan bahagia memiliki beliau sebagai mertua. Beliau juga tidak membela anak yang melakukan kesalahan, dengan kata lain ... didikannya benar-benar luar biasa.

“Sasti mau pergi, Yah.” Prasasti langsung mengutarakan tujuannya menemui Sasmito.

“Tumben dadakan,” kata Sasmito, “mau ke mana?”

“Maksud Sasti ... Sasti dan Mas Hesa mau berpisah.”

“Apa?” Kalaupun Sasmito terkejut, pria itu bisa menguasai dirinya dengan cepat. Dia menarik napas panjang beberapa kali setelah meneguk air mineralnya yang tersisa. “Jelaskan pada Ayah! Apa yang terjadi? Tentu keputusan ini sudah kalian pikirkan masak-masak?”

“Mas Hesa sudah menikah dengan Dewi, Yah.” Secara singkat, Prasasti menceritakan semua yang terjadi pada mertuanya. Tidak ada yang dia tutupi dari pria baik itu. “Ayah pasti tahu hubungan Mas Hesa dengan perempuan itu sebelumnya, ‘kan?”

“Ayah tahu kalau Mahesa pernah memiliki hubungan dengan perempuan bernama Dewi.” Sasmito mulai bercerita. Dewi yang dikenalnya adalah perempuan yang ingin dinikahi Mahesa ketika berada di bangku kuliah. Ibu Mahesa tidak menyetujui itu karena sebagai anak laki-laki, Mahesa harus menyelesaikan pendidikan dan memiliki pekerjaan hingga mapan sebelum meminang perempuan.

Sasmito tidak tahu karena semua diurus oleh ibunya Mahesa. Entah apa yang terjadi hingga nama Dewi pun menghilang. Tidak ada kabar lagi sampai hari pernikahan Mahesa dan Prasasti. Pria itu tidak menyangka kalau Dewi, guru les Rifky, adalah orang yang sama dengan kekasih Mahesa di masa lalu.

Memang terdengar aneh, tetapi itulah yang terjadi. Sasmito tidak pernah bertemu dengan kekasih putranya karena tidak sekali pun diajak ke rumah. Dirinya juga tidak menyangka guru les cucunya adalah orang itu. Ada ribuan bahkan mungkin jutaan perempuan dengan nama Dewi di dunia ini.

“Ayah tidak menyangka kalau Mahesa sudah menikahi perempuan itu, Sas.” Sasmito menyusut air matanya yang meleleh di pipi. “Maafkan Ayah yang tidak bisa mendidik Mahesa dengan baik.”

“Jangan sedih, Yah.” Prasasti menarik dua lembar tisu dan meletakkannya di tangan Sasmito. “Sasti tidak menyalahkan Ayah atas semua yang Mas Hesa lakukan.”

“Maaf ... Mahesa tak memperlakukanmu dengan baik, tapi Ayah ....” Sasmito tak mampu melanjutkan kata-katanya. Jika semula dia bisa mengendalikan dirinya dengan baik, kini kesedihannya justru tumpah. Air matanya mengalir lebih deras dengan isak tertahan yang terdengar memilukan.

“Prasasti nggak marah dengan Ayah. Sasti hanya minta maaf, mungkin selama menjadi menantu Ayah ... ada perilaku yang tidak sopan.”

Prasasti membiarkan Sasmito sampai isaknya mereda. Hatinya tercabik melihat orang tua yang terlihat putus asa karena merasa gagal mendidik anak. Walaupun merasa tidak tega, Prasasti harus menguatkan tekad. Rumah ini bukanlah tempatnya untuk melanjutkan hidup. Melanjutkan pernikahan yang sejak awal tidak sehat bukanlah pilihan yang bijaksana.  Berpisah adalah jalan terbaik dan memberikan kesempatan kepada dirinya sendiri untuk bahagia.

“Ayah bahagia dengan keberadaanmu di rumah ini, Sas.”

“Sasti juga senang di rumah ini. Meski hanya menantu, tapi Ayah sama baiknya dengan orang tua Sasti sendiri.”

“Kalau kamu bahagia di sini, tetaplah tinggal!” pinta Sasmito dengan mata sedikit berbinar.

Apa dasar Prasasti untuk tetap tinggal di rumah itu jika dirinya akan berpisah dengan Mahesa. Mereka bukanlah saudara dan untuk tetap menjadi istri Mahesa adalah hal paling tidak mungkin untuk dilakukan. Suaminya itu mungkin berpikir bahwa tidak masalah bagi mereka untuk tetap menjadi suami istri, tetapi Prasasti menganggap hal itu tidak mungkin.

“Mana bisa begitu, Yah? Ayah sudah punya menantu lain dan lebih dicintai Mas Hesa.”

“Apa kamu ... sedikit saja tidak mencintai Mahesa?”

Giliran Prasasti yang kini menitikkan air matanya tanpa aba-aba. Bagaimana mungkin dia tidak mencintai Mahesa? Tidak sulit baginya untuk mencintai suami serupawan itu. Dia sudah memberikan banyak pemakluman dan pengertian yang sedikit pun tidak pernah ditengok oleh suaminya. Dia berjuang seorang diri dalam bahtera rumah tangga dan ke mana semuanya akan dibawa ketika ternyata dia berjuang untuk sesuatu yang sia-sia?

“Itu sudah nggak penting lagi, Yah.”

“Tidak bisakah kamu bertahan untuk sedikit rasa itu, Sas?”

Demi semua kebaikan di dunia ini, Prasasti bisa bertahan seandainya sedikit saja Mahesa memiliki perasaan yang sama. Namun, dengan semua yang sudah terlewati dan perasaan yang tidak pernah berbalas ini, melepaskan adalah pilihan paling bijaksana. Tidak mungkin baginya untuk terus terikat seumur hidup sedangkan dia tahu pasti bahwa semuanya sia-sia. Hidupnya terlalu berharga dan dirinya tak ingin membuang waktu dengan sia-sia.

“Sasti sudah bertahan, Yah, dan itu tidak ada hasilnya.”

“Keputusanmu tidak bisa ditawar lagi?”

Prasasti diam. Berpisah dengan Mahesa artinya berpisah pula dengan keluarga ini. Setelah perceraian resmi maka dirinya bukan lagi anggota keluarga, tetapi masih bisa bersilaturahmi, bukan?

“Yah ....”

“Pergilah, Sas!” Kata Sasmito akhirnya. “Berjanjilah kamu akan tetap bahagia setelah berpisah dengan Mahesa.”

Prasasti hanya bisa mengangguk dan mengusap matanya dengan gumpalan tisu.

“Ayah tidak bisa menahanmu lagi.” Sasmito mengelus kepala Prasasti dan berlalu ke dalam lebih dulu. Prasasti menatap bahu beliau yang bergetar seiring jalannya yang menjauh lalu menghilang di balik pintu kamarnya. Setelah menguatkan hatinya sendiri, dia pergi ke kamarnya sendiri untuk mengambil koper.

Setelah memesan taksi online, Prasasti menatap kamarnya untuk terakhir kali. Lebih tepatnya kamar Mahesa. Tidak ada yang berubah di sana karena sejak awal dia sudah menyukai penataan ruangan itu. Apa yang dia tambahkan hanya gantungan baju di belakang pintu.

Klakson dari depan rumah memutus lamunan Prasasti. Dia berbalik dan keluar kamar. Satu tangannya menyeret koper sedangkan tangan lainnya menutup pintu.

“Mama ikut!”

Anak siapa sih ini? Ngekor mulu kerjaan😅

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top